Monday, July 20, 2009

Telaga Senja (83)



http://www.youtube.com/watch?v=RTGRtajINTY

======================
“ Baiklah, kalau nggak mau pergi. Mungkin Laura mau menuturkan kisah kasihmu dengan Gunawan, seperti Laura janjikan tadi siang.”
“Iya mas, tetapi jangan tiduran gitu dong.”
======================

Aku segera bangkit setelah melihat keseriusannya ingin menyampaikan sesuatu, duduk disebelahnya. Aku yakin benar bahwa dia punya masalah pribadi dengan keluarganya. Sejak siang aku telah menunggu, sesuai dengan janjinya, alasan kenapa dia ribut dengan maminya. Laura menarik tanganku,” Mas, kita duduk disana,” ujarnya.

“ Boleh cerita, tapi nggak pakai nangis. Ayo silahkan jangan sampai ada yang tersisa. Bertutur jangan datar, sedikit dramatis agar aku tidak tertidur.”
“ Mas, sekarang sudah hampir pukul sembilan, bagaimana kalau nanti aku ceritakan, setelah kita kembali dari bar. Nanti mereka kelamaan menununggu.”
“ Laura sendiri yang mengulur-ngulur waktu. Pakai diamlah, merunduk sedihlah, entah apapun yang disedihkan.?”

“ Karena mas egois! Maunya jalan sendiri.”
“ Baru tahu bahwa aku egois ? Eh...Laura, siapa mereka yang menunggu di bar ? Kamu buat janji dengan siapa? Mami, Papi, oom atau Gunawan..?” tanyaku tak sabar.
“ Kok marah mas?”
“ Bukan marah mbak, memang karakter suaraku begitu."
“ Iya sudah mas, kita nggak usah pergi.” ujarnya ngambek. Sebelum suasana semakin runyam, aku bangkit dan mengajaknya keluar dari kamar. Laura berdiri ketika aku menarik lengannya. “ Okey Laura, kita berangkat, tetapi beritahu dulu, siapa mereka yang sedang menunggu kita.”
“ Om Laurance dan Gunawan,” jawabnya.

“ Mengapa aku harus ikut.?”
“ Biar ada temanku mas.”
“ Belum cukup dua orang menemanimu disana.?” Laura tak mengindahkan pertanyaanku. Kini dia menarik lenganku, sambil jalan dan memberi kunci mobil;
“ Malam ini masih giliran mas yang nyetir mobil.”
“ Besok giliran Gunawan,” potongku.
“ Tidak! Giliranku !” sahutnya.
“ Kapan giliran Gunawan?”
“ Tak pernah ada.!” sergahnya, lantas naik kedalam mobil.

Sebelum berangkat, didalam mobil aku menanyakan “game” apa yang akan diperankan malam ini. “ Laura, kita bukan anak remaja lagi, utarakan dengan jujur, skenario apa yang kita lakoni malam ini.” Cinta sibuta dari gua hantu? atau “ Cintanya nyangkut di pohon cemara.”
“ Tak satupun judulnya nyangkut mas. Kita lihat saja nanti disana apa yang akan terjadi. Aku setuju dengan mas, kita bukan remaja lagi, aku ingin pembuktiannya dari mas,” ujarnya nantang. Ingin segera tiba di bar dan bertemu dengan Gunawan, aku mempercepat laju mobil. " Rileks saja mas, barnya buka hingga pukul dua subuh kok." tegurnya.

" Aku tak sabaran memainkan peran "misteri seorang putri dengan dua pemuda jahanam" kataku disambut ketawa renyah Laura.

Lengan Laura terus menempel pada lenganku setelah turun dari mobil hingga masuk bar. Dua sosok lelaki berdiri menyambut kami saat tiba di bar. Laura tidak melepaskan lengannya ketika dia memperkenalkan Laurance dan Gunawan. Laura mendekatkan mulutnya ke telingaku, bertanya ; “ mas kita minum apa?” Dia menyentuh pahaku pelan ketika aku belum menjawab.

Sengaja aku memilih minuman ringan, agar tampak lebih kompak dan mesra, kemudian Laura membisikkan permintaan kami kepada pramuria bar. Sementara menunggu minuman, aku menunggu aksi lanjutan Laura.

Aghh..aku kaget bukan main, ketika Laura mengambil rokok menthol buatan luar negeri dan macis dari tas tangannya. Bagai perokok berat, dia membuka bungkus yang masih utuh kemudian menyerahkan sebatang untukku. Selama berteman dengannya, belum sekalipun aku melihatnya merokok demikian juga denganku. “ Skenario tahi kucing,” gumamku dalam hati.

Rasa romantis yang hampir terhilang, kembali, setelah dia memberiku rokok yang disulutnya. Ah...ini skenario bengal, ujung rokokku belepotan lipstik. Mata Gunawan terus menatap Laura, sepertinya dia juga menunggu tawaran rokok dari Laura .
“ Sejak kapan Laura merokok? Om nggak pernah lihat?” tanya Laurance.
“ Sudah lama tetapi nggak selalu om,” ujarnya sambil menawarkan rokok ke Gunawan. Meski dalam remang, aku melihat wajah Gunawan sumringah ketika menerima tawaran rokok dari Laura. Aku memantik macis keujung rokok Gunawan, sebelum Laura melakukannya.
“ Terimakasih.” ucapnya lirih. Kembali aku merasakan colekan tangan Laura diatas pahaku. Entahlah memberi pujian; ” good boy,” atau cibiran; “ sok akrab lu.”

Skenario Laura aku rasakan semakin cantik setelah pramuria mengantarkan pesanan kami. Dua gelas berbeda isi. Tanpa setahuku, ternyata dia mengubah pesanan yang kuminta. Dia memesan minuman kesukaanku, entah dari siapa pula dia dapat bocoran, sementara gelasnya berisi minuman ringan. Ditengah alunan musik berirama lembut, kami terlibat dalam pembicaraan tentang politik yang sedang hangat pada saat itu, kediktatoran Soeharto. Paling semangat Gunawan. Dalam hatiku berujar, elu satu-satu berani ngomong karena sekolah di luar negeri.

Aku merasakan tekanan tangan dipahaku tidak lagi seperti sebelumnya, lembut. Kini Laura menekan pahaku dengan jempol jarinya, agak keras. Aku menerjemahkannya, hentikan omong kosong ini.

Sesaat kemudian, tangan Gunawan disodorkannya kearah Laura, mengajak melantai mengikuti musik lembut sendu. Awalnya, Laura agak enggan menyambut tangannya. Gunawan bangkit dari kursinya kemudian menarik tangan Laura. Laura mengalah, dia bangkit dari kusrsinya: “Sebentar mas,” bisiknya ke telingaku, bibirnya hampir menyentuh wajahku.
“ Bah! Kok Gunawan duluan.?” ( Bersambung)


Los Angeles, July 2009


Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/