Friday, July 3, 2009

Telaga Senja (70)

Spend all your time waiting /For that second chance /For a break that would make it okay /Theres always one reason /To feel not good enough /And its hard at the end of the day

I need some distraction /Oh beautiful release /Memory seeps from my veins /Let me be empty And weightless and maybe /Ill find some peace tonight

*) In the arms of an angel /Fly away from here /From this dark cold hotel room /And the endlessness that you fear /You are pulled from the wreckage /Of your silent reverie /Youre in the arms of the angel /May you find some comfort there

So tired of the straight line /And everywhere you turn /Theres vultures and thieves at your back /And the storm keeps on twisting /You keep on building the lie
That you make up for all that you lack /It dont make no difference /Escaping one last time /Its easier to believe in this sweet madness oh /This glorious sadness that brings me to my knees
Back to *)
===================
“ Kapan Rina melahirkan.?”
“ Abang mau datang? Mungkin bulan depan.” katanya seakan persoalan diantara kami telah raib ditelan angin.
“ Ya. Aku pasti datang sekalian bawa pakaiannya.”
“ Abang datang dengan Laura.?”
“ Lho kok.?”
===================
Pertanyaan akhir Magda membuatku penasaran. Seingatku, memang pernah Laura menyampaikan keinginannya satu saat ingin berlibur ke Medan. Dan, keinginannya itu aku sampaikan kepada adikku Lam Hot ketika ngobrol-ngobrol tentang rencana pulang bareng akhir tahun.

“ Magda, belumkah kamu mau mengampuniku? Kenapa harus menyinggung nama itu lagi, ?” tanyaku ketika Magda menyinggung nama Laura.
“ Aku kan hanya bertanya bang, memang nggak boleh.!?”
“ Nggak ada yang melarang, tetapi bertanyalah yang berkaitan perihal hubungan kita atau mengenai diriku sendiri.”
“ Laura kan sudah bagian dari dirimu bang.!?”

“ Kamu mengada-ngada dan sok tahu. Laura tak pernah mejadi bagian dari diriku, tidak segampang itu Magda.”
“ Tetapi batinku telah mendengar senandungmu bersama dia.”
“ Magda, itu hanya ilusimu. Mari kita bicara terbuka saja, sepertinya belakangan ini diantara kita ada yang sesuatu yang mengganjal bahkan bagaikan tekateki.”
“ Aku bicara seadanya, tidak ada yang tersebunyi dalam diriku. Ya. Aku melihat ada sesuatu yang tersembunyi pada dirimu, dan abang menutupinya dengan marah-marah.”
“ Tidak Magda, aku tidak ada menyembunyikan sesuatu. Magda saja belum mampu melihat hingga kesudut hati yang masih menyimpan harap. Tak satu hurufpun disana tertulis kecuali nama, M a g d a l e n a.”

“ Abang sudah terlalu jauh menapak, aku tak mampu lagi melihatnya, kecuali batinku menyimpan gelisah.”
“ Relung hati mesti dilihat dengan mata hati murni tetapi tidak terbungkus rasa curiga.”
“ Rasa curiga itu datang seiring dusta yang telah membungkus ruang hatimu bang.”
“ Dusta? Sejak kapan aku pernah mendustaimu.?”
“ Sejak abang bersenandung ria pada seseorang selain diriku.”
“ Belum Magda.....”
“ Belum...ya bang !? Dan, saatnya ruang itu akan abang serahkan sepenuhnya, tidak satu sudutpun tersisa untukku.!? sergahnya menghentakku.

“ Maksudku, tidak akan Magda! Tidak satu titikpun ternoda disudut itu, sama seperti lima tahun lalu. Seluruhnya masih milikmu seorang.”
“ Tapi aku tidak merasa nyaman lagi diam disana bang. Bayangan wajah lain selalu menggangguku.!”
“ Itu hanya perasaanmu Magda. Sampai detik ini belum seorangpun mampu mengusik sudut itu .”
“ Belum seorangpun? Tetapi aku telah merasakannya ada api lain sedang membara disana bang. Aku tak mendengar lagi simponi yang selalu abang dendangkan kala aku merindukanmu, seperti dulu, kecuali nada-nada sumbang yang menyayat gendang pendengaranku.”

“ Tidakkah Magda merasakan deru gelora rindu kala aku bersenandung siang dan malam karena gebyar cintaku.?”
“ Iya bang, aku masih mendegarnya tetapi dengan irama sumbang.”
“ Karena hati Magda masih mengukir bayang-bayang curiga.”
“ Tidak bang! Sebab aku juga melihat pelangi lain menutupi seluruh sudut itu.”
“ Itu juga milikmu semua Magda, bukan punya siapa-siapa.”

“ Zung, aku masih mengenal milikku. Matahatiku belum rabun bang.”
“ Tetapi Magda tidak lagi merasakan getar-getar jiwa yang menyiksa karena kamu telah memahat mati rasa curiga itu. Entah kapan semuanya ini akan berakhir.”
“ Bang, kenapa selalu mempertanyakan “akhir”? Abang punya hak untuk mengakhiri tanpa harus mempertanyakan. Bukankah dulu, abang sudah pernah melakukannya. Bang, dimatamu, aku hanyalah seorang perempuan “bekas temanmu” yang telah terbuang dari bilangan pilihan setelah perempuan lain duduk bersenandung bersamamu dengan nada cinta, untuk kali kedua.”

“ Magda, aku tidak mengatakan akhir hubungan kita. Kamu juga bukan bekas temanku, hingga kini aku masih milikmu seutuhnya, aku harap itu untuk selamanya. Aku hanya mempertanyakan kapan akhir dari kecurigaanmu terhadapku.”
“ Tak akan berakhir bang, selama pelangi lain masih ada disana, didalam hatimu.”
“ Magda, tidak mungkin pelangi lain ada disana selama milikmu masih bersinggasana, percayalah.”
“ Apa yang tidak mungkin pada abang! Abang membawaku terbang tinggi jauh keangkasa, kekemudian menghempaskannya dengan angkara murka.” ujarnya diikuti tawa sinis. ( Bersambung)

Los Angeles, July 2009


Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/