Monday, June 22, 2009

Telaga Senja (60)

Its amazing how you can speak right to my heart/Without saying a word, you can light up the dark/Try as I may I could never explain/What I hear when you dont say a thing

The smile on your face lets me know that you need me/Theres a truth in your eyes saying youll never leave me/The touch of your hand says youll catch me when ever I fall/You say it best..when you say nothing at all


All day long I can hear people talking out loud/But when you hold me near, you drown out the crowd (the crowd)/Try as they may they can never define/Whats been said between your heart and mine

Chorus x 2
(you say it best when you say nothing at all/You say it best when you say nothing at all..)
The smile on your face/The truth in your eyes/The touch of your hand/Lets me know that you need me..


Chorus
(you say it best when you say nothing at all/You say it best when you say nothing at all..)
The smile on your face/The truth in your eyes/The touch of your hand/Lets me know that you need me../(you say it best when you say nothing at all/You say it best when you say nothing at all..)
==================
Sepertinya ada yang”tersembunyi” dalam benaknya yang akan ditunjukkan kepada tante Martha, hanya saja dia masih enggan mengungkapkannya secara langsung. Gejala ini mulai aku rasakan, sebelum dia jatuh sakit, beberapa kali aku diajaknya kerumah tante Martha sepulang dari kantor dengan berbagai alasan.
===================
Ketika kami tiba di stasion Gambir, aku berusaha lebih aktif dari Laura untuk menutupi kegamanganku, sebab, ini kali pertama berpergian keluar kota dengan menggunakan kereta api. Sepanjang ingatanku di Medan, belum pernah melihat kerumunan orang naik kereta bila bepergian keluar kota kecuali kereta barang atau atau muntik sebagai alat trasportasi antar perkebunan.

Melihat kesigapan Laura, aku merasa jengah ditengah sumpeknya penumpang yang tak sabar menunggu giliran masuk, padahal masing-masing sudah mempunyai tiket. Aku dan Laura berada diantara jejalan manusia, berjalan melalui gang, diantara kursi kereta, sambil menghindari tubuh penumpang yang telah lebih dulu duduk di lantai kereta.

Stamina tubuhku tiba-tiba melorot menahan pengapnya udara didalam kereta, kebetulan pula dua malam berturut-turut kurang tidur. Keringat dingin mengucur di seluruh kujur tubuh, sementara peluhpun terus mengalir diwajah. “ Mas sakit? Wajah mas tampak pucat,” tanya Laura ketika kami telah duduk dikursi sesuai dengan nomor tiket yang kami miliki.

Laura mengeluarkan minuman ringan dan obat dari tas kecil yang sengaja dia bawa; Dia melap peluhku dengan syal warna pink yang dikenakannya sebelum aku minum dan makan obat yang diberikan dokter sehari sebelumnya. Tampak wajahnya sangat prihatin; dia mantapku penuh belas kasihan.

” Mas, boleh aku tinggal sebentar,?” tanyanya masih dengan wajah cemas. Otakku kurang berfungsi normal, aku hanya mengangguk, walau aku tak tahu dia mau pergi kemana dan untuk apa. Laura meninggalkanku duduk dikursi sendirian, dengan mata berkunang aku melihatnya melangkah diantara himpitan penumpang yang duduk dilantai dan penumpang lainnya berdiri di gang yang memisahkan deretan kursi kereta. Pengaruh obat yang baru dicekokin kemulutku belum bereaksi sempurna, tubuh semakin lemah, leherku tak mampu lagi menahan kepala yang hampir “meledak”, akhirnya terkulai disandaran kursi kereta.

Aku berusaha membuka mata, tetapi terasa berat ketika sepasang tangan telanjang menyentuh dan mengangkat kepalaku, lantas menyisipkan bantal diantara kepala dan sandaran kursi. Jari lentik pemillik sepasang tangan itu “merayap” menjelelajah sisi kiri kanan keningku, lembut, pijatannya sedikit mengusir rasa nyut-nyutan dikepala. Sesekali dia mengipas wajahku membantu udara masuk lewat jendela kereta yang tak mampu lagi mengusir hawa panas akibat berjubelnya penumpang.
“ Sebentar lagi kereta akan jalan mas,” bisiknya pelan ditelingaku. Lagi, telapak tangannya mengusap sisa peluh di wajahku. Bagaikan sutera, sentuhan jari tangannya lembut, menepis peluh diujung batang hidung dan bibirku, namun aku tak kuasa membuka mata karena terasa tersedot oleh sakitnya kepala.

Aku hanya memegang tangannya, lemah, pengganti ucapan terimakasih. Telapak tangannya yang lain menyambut tangaku erat, seakan menjawab, “ I’ll do everything for you.” Saat itu Laura memberi pelayanan yang terbaik, mungkin berlebihan jika disebut, pengorbanan. Bak pelantun lagu bersenandung: “ When you love someone - youll sacrifice. Youd give it everything you got and you won’t think twice.”

Sendok demi sendok minuman ringan disorongkannya pelan diantara kedua bibirku yang terkatup menahan sakit, sedikit membantu. Laura memperbaiki posisi kepalaku diatas sandaran kursi, ketika merasakan getaran kereta pertanda akan berangkat. Tak lama kemudian, perlahan dia menggeser kepalaku ke sisi bahunya setelah beberapa saat kereta meninggalkan stasion Gambir, jari tangannya masih memegang erat telapak tanganku .
***
Aku terbangun setelah kereta berhenti. Sebahagian penumpang yang duduk dilantai dan berdiri di gang bergegas mau turun. Laura tersenyum melihatku ikut berkemas mau turun. “ Mas keretanya hanya berhenti sebentar,” katanya.
“ Kita belum turun?”
“ Belum. Masih jauh, tibanya besok pagi,” jawabnya dengan tawa geli seraya membetulkan syal yang lilitkan membungkus leherku. “ Mas sudah nggak sabaran iya.?” tanyanya lembut.

Sepasang suami isteri ( pasutri,pen) paruh baya duduk berhadapan dengan kami, sejak keberangkatan dari stasion Gambir memperhatikan keseriusan Laura merawatku. Wajah keduanya teduh dan bersahabat. Beberapa kali menawarkan uluran tangan ketika aku duduk dikursi terkapar lemah; mereka ikut memindahkan barang-barang bawanya dari atas dan bawah meja. Juga menawarkan minuman ringan dan obat gosok penolak angin dengan bahasa yang sedikitpun tak kumengerti.

Setelah kesehatanku sedikit pulih sang suami menyapa ramah dalam bahasa Jawa. Aku kelimpungan, tak sedikitpun mengerti apa yang diucapkan. Laura mengambil alih pembicaraan dengan bahasa yang sama. Pasangan suami isteri itu ketawa bersama Laura, menyusul kalimat yang diterjemahkan. Akupun menimpali ketawa mereka.

Dengan bahasa Indonesia, Laura melanjutkan permbicaraan dengan memperkenalkanku, dia beritahukan kalau aku orang Sumatera dan baru kali pertama berkunjung ke Yogya. Pasutri masih mengajak Laura bicara dengan bahasa Jawa, tetapi Laura selalu menjawab dengan bahasa Indonesia, sesekali terselip dengan bahasa Jawa. Dari jawaban Laura aku menangkap , mereka menanyakan hubunganku dengan Laura. Akhir percakapan mereka, Laura menjawab,” Iya, teman satu kantor.” (Bersambung)

Los Angeles. June 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/