Tuesday, November 17, 2009

Telaga Senja (164)

======================
“ Jadi siapa nama menantu Naomi? pancing Magda.
“ Aku juga nggak tahu kak. Abang saja sudah belajar setahun nggak tahu. Lagi, aku kan belum lahir waktu itu!”
“ Abang adik sama bangornya,” tawa Magda.
=====================

MALAM sebelum kami berangkat ke Medan, atas saran Magda, aku tidur di kamar Lam Hot. Sebelumnya Magda kesal ketika aku menolak tidur disana. “ Nanti kalau sakit papa kambuh siapa yang bantu? Kok papa susah benar di bilangin?”
“ Papa jamin nggak bakalan kambuh.”
” Mama bilang, sekarang juga, papa harus keluar dari kamar ini. Barangkali juga mama tua ada pesan sebelum kita berangkat ke Medan.”
“ Kalau papa nggak mau?”
“ Mama tinggal! Papa mau nggak !?” ancamnya, lantas meletakkan t-shirt, yang akan aku kenakan, diatas ranjang.
“ Sejak tadi pagi, mama marah terus...”
“ ....papa! mama capek. Sejak tadi malam kurang istrahat gara-gara papa bandel.”

Iya lah. Aku mau ikut. Tetapi pulangnya minggu depan iya mam...” eyelku. Mungkin karena sudah bosan mendegar rengekanku agar pulang minggu depan, dia tertawa sambil merangkulku hingga terjerembab diatas ranjang.
Papaaa sayang....mama sih mau. Tetapi masa cutiku tinggal dua hari lagi. Mumpung masih ada cuti, nanti mama akan merawat papa full time
“ Kenapa nggak bilang dari kemarin? Aku nggak capek ngerayu mama.”

“ Mama semakin yakin, seperti di ucapkan perawat minggu lalu. Pasien itu cengeng dan cerewet. Iya ini kayak papa. Duh...kalau bukan...” ujarnya tanpa mengakhiri kalimatnya.
“ Kalau bukan...apa, ayo teruskan.”
" Kalau bukan calon suamiku. Papa payah! Katanya pintar membaca hati orang. Ngomong doang.”
Kan papa lagi sakit ? Kamampuanku menembus relung renung lemah."
" Batereinya soak iya pap," ujarnya sambil meninggalkanku di kamar. Magda minta ijin ke ibu kos dan meberitahu, barang-barangku akan dijemput besok pagi.
***
Sebelum tidur, ibu, Lam Hot, Magda dan kedua orangtua Rina sempat ngobrol hingga larut malam. Kedua orangtua Rina selalu bersedih bila menyinggung keberadaan Rina serta kekerasan hati Rina karena tak mau menerima kehadiran mereka saat akan melahirkan. Malam itu Magda kembali mendapat pelukan haru dari ibu Rina setelah dia memberi “jaminan” bahwa Rina akan menerima kedua orangtuanya.
Temu keluarga malam itu berakhir menjelang tengah malam. Meski seluruh badan terasa lemah, mata sukar terpejam, sementara Lam Hot langsung pulas. Aku gelisah, nggak jelas kenapa. Aku keluar dari kamar, berbaring diatas sofa ruang tamu. Tak berapa lama, Magda menemuiku.

“ Kenapa tidur diluar pap?”
“ Papa nggak bisa tidur, entah kenapa. Kita jalan iya?”
“ Dinihari begini? Jalan kemana ? Ntar papa sakit lagi.”
“ Kalau sakit kan ada perawat. Ayolah, malam terakhir papa di Jakarta.”
“ Ya. Sebentar, mama ganti pakaian.”

Sementara Magda mengganti pakaian, aku keluar menunggu taksi. Sesaat keluar dari pintu, taksi melintas di depan rumah. Sembari menunggu Magda datang, kepada sopir taksi, aku telah memberitahu tempat yang dituju dan memberi petunjuk jalan yang harus dilalui.

Di dalam taksi, Magda kaget ketika aku menjawab pertanyaannya, kami mau kemana.
“ Kita tidur di kamarku. Aku kangen mam.”
“ Jangan...! Pap...kan kemarin dan kemarin dulu mama sudah tidur disana?” tolaknya.
“ Selama dua hari itu, aku sedang dalam perawatan. Tubuhku masih rapuh.“
Papppp...mama nggak enak ke mamatua. Ntar aku diangap perempuan apa. Pap, ayo kita pulang,” ibanya.
“ Yang mengajakmu papa, bukan ibuku. Mamatuamu kan ibuku sendiri. Ngapain mama malu. Memang sudah mau jadi suami isteri kok.”

“ Tetapi kan belum! Papa kenapa nggak sabaran sih?”
“ Benar mama nggak mau? Ayo kita pulang. Pak sopir, tolong ....”
Tiba-tiba tangan Magda menutup mulutku. Raut wajahnya sendu.” Pap...kenapa sih nggak mau terbuka. Tadi papa nggak bilang kalau kita mau ke rumah papa.”
“ Apa bedanya, dibilang sekarang atau tadi. Mama mau nggak!?”
Magda tak menjawab. Kepalanya tersandar lemah disisi lenganku. “Mam, jawab dulu. mau nggak?” desakku. Tetap saja dia bergeming. Aku merasakan cairan hangat di lenganku. Magda menangis.
“ Lho, kok menangis? Bahagia atau kesal?” tanyaku. Magda mengangkat wajahnya menatapku sendu.
“ Pap, ayo kita pulang,” bujuknya setelah mendekat ke rumah kosku.

Wajahnya berpaling ke luar, ke sisi jalan. Bebeberapa saat dia tetap menoleh keluar.
“ Papaaa... kita pulang,” ibanya. Aku diam seakan kesal atas sikapnya. Tak lama kemudian, Magda mulai sadar bahwa aku kerjain, setelah tahu taksi telah melewati rumah kos ku. Magda mencubit lenganku sangat kuat setelah tahu taksi melintas di Jl. Thamrin menuju ke Jl. Sudirman.

Tak puas mencubit, dia memukul-mukul pahaku, kemudian merebah diatasnya. Aku mengggerai rambutnya lantas mencium pipinya.
"Papa jahat. Tak habis-habisnya papa menguji mama,” ucapnya sambil mencubit betisku sementara taksi terus melaju menuju blok M. Tiba di palataran parkir yang setiap malam berubah menjadi “restauran tenda“itu, aku mengajak Magda turun. Dia masih enggan turun dari taksi. Kepalanya masih merebah diatas pahaku.
“ Magda, kita sudah sampai. Papa kelaparan nih. Jika mama tidak mau turun, papa tinggalin," bisikku di telinganya.
***
Aku dan Magda kaget ketika sopir menegurku dari kursi depan,” Hoi,.. Zung! Unang sai paksa. Sabar ho. Paima jo satongkin na i” ( Hoi, Zung ! Jangan main paksa. Sabar lah. Tunggu dulu sebentar, pen). Aku terpelongo, Magda pun segera mengangkat kepalanya. ( Bersambung)

Los Angeles. November 2009


Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/