Friday, September 11, 2009

Telaga Senja (121)

"Every Little Thing You Do"
Hello, let me know if you hear me /Hello, if you want to be near /Let me know /And I'll never let you go Hey love /When you ask what I feel, I say love /When you ask how I know /I say trust /And if that's not enough
[ Chorus ]
It's every little thing you do /That makes me fall in love with you /There isn't a way that I can show you /Ever since I've come to know you It's every little thing you say

That makes me wanna feel this way /There's not a thing that I can point to /'Cause it's every little thing you do Don't ask why /Let's just feel what we feel /'Cause sometimes /It's the secret that keeps it alive /But if you need a reason why

Is it your smile or your /laugh or your heart? /Does it really matter why I love you? /Anywhere there's a crowd, you stand out Can't you see why they can't ignore you /If you wanna know /Why I can't let go /Let me explain to you That every little dream comes true /With every little thing you do
[ Chorus X2 ]
===========
“ Ririn. Dia staf kantor cabang. Dia hanya numpang tidur,” jawabku sedikit gugup.
Tiba-tiba tangan Laura melayang kearah mukaku,. Aku kaget luar biasa. Laura yang aku kenal lembut dan sabar berubah jadi “singa”. “ Dasar lelaki...!” ujarnya sambil berjalan cepat meninggalkanku berikut barang bawaanya.
=============
KEHADIRAN Laura pagi subuh itu diluar dugaaanku. Pada pembicaraan kami sehari sebelumnya, dia akan datang esok lusa. Meski aku tidak merasa bersalah, tetapi aku perlu menjelaskan duduk persoalnanya, terserah dia mau terima atau tidak. Dia menepiskan tanganku, ketika aku menahannya. Laura melangkah cepat menuju eskalator.

“Laura, aku mengerti perasaanmu. Tetapi, tolong dengarkan dulu penjelasanku mengapa dia tidur dikamarku." Laura bergeming. Dia diam, menolehpun tidak. Aku terus mengikutinya kesisi jalan raya tempat dia memarkirkan mobil. Aku menahan pintu mobil ketika Laura hendak masuk kedalam.

“ Tidak Laura. Kamu nggak boleh pergi sebelum mendengarkan penjelasanku,” mohonku. Laura bertahan, tak mau bergerak dari sisi pintu mobil. Aku memohon lagi agar Laura sudi mendengarkan tuturanku kenapa Ririn tergeletak di atas tempat tidurku.
“ Laura, boleh kamu mneinggalkanku, bahkan untuk selamanya, setelah mendengarkan kenapa Ririn ada di kamarku. Tolonglah untuk kali ini.” bujukku.

Laura menoleh di ujung kalimatku. Wajahnya masih tampak kesal. “ Nanti boleh Laura tamparin aku, tetapi dengar dulu tuturanku, mau,?” tanyaku sambil memberanikan memegang lengan tangannya. Dia membiarkan tanganku menempel pada lengannya. Ada tanda-tanda perdamaian, pikirku. Tetapi ternyata hanya sesaat. Tiba-tiba dia melepaskan tangannya dari gemgamanku.

“ Aku tak menduga kalau moralmu juga bejat, tak ada ubahnya dengan lelaki yang kamu gantikan. Kemarin sebelum berangkat aku telah ingatkan agar mas hati-hati. Dalih apalagi yang mau mas utarakan? Semuanya sudah jelas, perempuan mainanmu itu tidur seranjang dengamu dan aku telah melihat dengan mata kepalaku sendiri.! Sekarang, apa kepentinganmu aku mau pergi kemana. Urus perempuan mangsamu itu,” ujarnya sambil mendorongku. Aku tetap ngotot, tak membiarkannya masuk dalam pintu mobil.
“ Pergi kamu dari sini, atau aku teriak,?” ancamnya.

“Silahkan kamu teriak sampai keujung bumi. Aku tak perduli. Ayo teriak...Ayo Laura teriak. Kumandangkan keseluruh dunia, aku manusia bejat karena telah main dengan Ririn. Ayo Laura...teriaklah! “balasku setengah teriak menahan amarah. “ Ya, aku berjinah, berselingkuh, moral bejat..apa pedulimu? Emang kamu siapa..huh ? Enyahlah engkau perempuan malaikat ! Setelah kamu menamparku kini menghujatku. Puas kamu!?” lanjutku masih dalam marah sambil meninggalkannya. Laura masuk kedalam mobil dengan membantikan pintu, kuat. Tak lama kemudian aku mendengar mobil laju melesat, entah kemana tujuannya.

Semalaman aku merasa "menang" karena terlepas dari godaan nafsu perjinahan. Aku lolos dari jebakan Tia. Tetapi, sayang, aku malah terperangkap oleh “kebaikan” hati, karena mengijinkan Ririn terlentang di tempat tidurku. Laura melampiaskan amarahnya dengan tamparan yang kini masih membekas dalam hati, menyakitkan. Aku kembali ke kamar membawa sejuta amarah bercampur penyesalan, kenapa aku mau menerima Ririn menginap di kamarku.

Tiba di kamar, aku tidak menemukan Ririn diatas tempat tidur, kecuali seluruh pakaiannya tergeletak diatas kursi. Hampir saja aku melabraknya ke kamar mandi. Ingin memaki-maki dan meludahinya. Amarahku memuncak ketika Ririn memanggilku masuk ke kamar mandi. Aku pungut semua pakaiannya dan melemparkan ke kedalam ketika dia membuka pintu kamar mandi. Hoda ! ( kuda, pen) teriakku sambil keluar dari kamar.

Kepala terasa mau pecah. Aku menulusuri hall way hotel menuju tangga. Tanpa aku sadari aku telah menapak jauh disekitar hotel. Aku berhenti dipertigaaan jalan, hanya sejenak. Kemudian aku berbalik kearah hotel. Amarahku sedikit surut ditelan udara pagi, namun hatiku gelisah. Gelisah, karena kepergian Laura , pergi entah kemana. Mungkinkah pagi ini dia kembali ke Jakarta? Dalam perjalanan menuju hotel, wajah ibu dan Magdalena datang bersamaan. Keduanya hanya menatapku, dingin. Ah..bayang-bayangpun ikut-ikutan dingin menatapku, bisikku dalam hati. Aku mempercepat laju jalan dan mencoba menghilangkan bayang-bayang ke dua wajah itu. Petugas shift malam heran ketika aku mengetuk pintu lobby yang masih tertutup.

" Pagi-pagi benar! Ada yang bisa kami bantu?” tanyanya.
“ Boleh aku duduk di lobby? Aku janjian dengan teman ketemu disini,”ujarku berpura-pura." Wajah Tia, Ririn, Laura, Ibu dan Magdalena, datang silih berganti dalam bayang kala aku duduk sendiri dalam lobby. Dalam dera siksa, kepalaku tak tahan menahan batu besar sedang menindih. Aku tertunduk, hening dalam gelisah. Tiga hari belakangan , aku mengalami “musibah”, diawali sikap arogan Magdalena, keributan di bar, ulah Tia dan Ririn. Terakhir tamparan Laura.

Mata terpejam dalam renung siksa. Kepalaku terkulai disandaran kursi tempat aku berhening pasrah. Dalam kesendirian, aku merasakan sentuhan sepasang tangan menggemgam tanganku, dingin. Aku terhenyak dari lamunan. Suara perempuan, berucap sendu kudengar.
“ Mas ! Mas..Tan Zung ....bangun mas...!” ( Bersambung)

Los Angeles. September 2009

Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/