Thursday, October 1, 2009

Telaga Senja (132)

http://www.youtube.com/watch?v=FylEP65lGzw

Hard To Say I'm Sorry/Get Away
“Everybody needs a little time away.” /I heard her say,/“From each other.”/“Even lovers need a holiday. /Far away, from each other”

Hold me now /It's hard for me to say I'm sorry /I just want you to stay /After all that we've been through /I will make it up to you/I promise to /And after all that's been said and done /You're just the part of me I can't let go (Ooo ooo)

Couldn't stand to be kept away /Just for the day /From your body /Wouldn't wanna be swept away /Far away, from the one that I love / Hold me now /It's hard for me to say I'm sorry /I just want you to know

Hold me now /I really want to tell you I'm sorry /I could never let you go /After all that we've been through /I will make it up to you /I promise to /And after all that's been said and done /You're just the part of me I can't let go

After all that we've been through /I will make it up to you /I proYou're gonna be the lucky one

When we get there gonna jump in the air /No one will see us 'cause there's nobody there /After all, you know we really don't care /Hold on, I'm gonna take you there

===================
“ Ya..iya..bu. Aku mau sama nyonya,” jawabku seperti orang ketakutan. Laura langsung mengangkat koper kecil berisi “sampah”. Aku berpura-pura mengahalangi Laura mengambil koper dari tanganku,” Nyonya jangan!. Biar aku yang bawa...jangan nyonya.!” seruku. Ibu itu geleng-geleng kepala sambil tersenyum melihat tingkahku, sambil menunjuk-nunjuk dengan ibu jarinya, seakan berucap,” Ah sialan lu , kerjain ibu iya.”
====================


ENTAH apa yang bergolak dalam batin Laura. Kemarin malam dia tega membiarkanku tidur di kamar mandi, bahkan sebelumnya menawarkan selimut jika aku tidur di emperan hotel. Saat itu sikapnya sangat dingin membeku. Ketika aku menyadari kesalaha(berulang) dia tak sudi menerima niatku pulang bersama dengannya. Laura menepiskan tanganku bahkan tak perduli dengan nafas sengal hampir mencekeik leherku karena mengejarnya. Tanpa sepatah kata dan tolehan, dia meninggalkan aku di pinggiran jalan menuju ke pelataran parkir. Lusinan pasangan mata diantaranya ibu penjaja jamu menyaksikan “adegan” sekilas itu.

Kedatangan Laura menjemputku ke satasion kereta, membuatku merasa diatas angin. Saatnya aku mainkan layangan berekor rumbai seribu itu. Aku berjalan dibelakang Laura berlagak sopir enggan jalan bareng dengan nyonya. Dia terus beusaha mnnyesuaikan langkahnya dengan langkahku, hingga akhirnya dia kesal dan “marah”.

“ Mas, sudah ah..aku nggak suka lagakmu ini,” tegurnya. Aku diam tak mau tanggapin, menoleh kearahnyapun aku tidak. Dipertengahan jalan menuju parkiran, aku duduk sisi jalan sambil memeluk koperku. Dia melihat sekeliling, mungkin dia meraa malu dengan gayaku rada norak dan ndeso.

“ Massss...ayo...malu dilihatin orang,” rengeknya. Aku menatapnya, lalu berjalan masih memeluk koperku. Memang kelakuanku super norak. Tak tahan dia, dia memelukku sambil memelas,” Mas, sudah..aku minta maaf.” Masih tak kurespons. Aku terus melangkah hingga ke parkiran sementara tangannya terus menempel pada lenganku. Tiba di sisi mobil, dia bertanya,: “Mas yang nyetir,?” Aku hanya menatap wajahnya tak menjawab. Dia mengulang pertanyaan yang sama, hasilnya sama, tak ada jawaban dariku. Hampir putus asa dia, ku biarkan. Rasain, anak kemarin mau bermain tali dengan pemain lama, kataku dalam hati. Nafasnya mulai tersendat tak beraturan, seperti baru selesai berlari dikejar anjing.

Laura membuka pintu bagasi mobil. “ Mas, kopernya masukkin kesini,” perintahnya. Tak peduli perintahnya aku naik dan duduk di sisi kursi sopir sambil memeluk koperku mirip gaya pembantu pulang kampung. Aku sengaja, sampai dia benar-benar muak, mual dan muntah atas gaya norakku. Aku berhasil. Dia bantingkan pintu bagasi mobil dengan kuat. Laura berlari kecil masuk kemobil, duduk di kursi sopir. Aku diam, juga tak menolehnya. Mata kami beradu sesaat, kemudian aku kalah tatap, menunduk seperti ketakutan.

Tiba-tiba aku dikagetkan dengan teriakan histeris dalam mobil: ” Mamm...!!!” isaknya. Kepalanya terkulai diatas setir. Bah! Lari dari skenario, pikirku. Sesaat aku kehilangan kendali mendengar teriakan yang tak aku duga. Buru-buru koperku kupindahkan ketempat duduk belakang. Laura terus memanggil mamanya. Takut layanganku putus, aku sentuh lengannya, kemudian ku gerai rambutnya. Aku dekatkan mulutku ke kupingnya, bertanya pelan: “ Mama kenapa...?”

“ Nggak. Aku bukan mamamu. Mbak Magda mamamu,” teriaknya, kepalanya masih daiatas setir.
“ Lha iya mbak, duniapun tahu itu. Maksudku kenapa kamu panggil-panggil mama? Mamamu sakit?” tanyaku dengan gaya bego habis. Tiba-tiba wajahnya diangkat dari setir mobil, lalu berucap lirih,” Mass ...aku capek.”
“ Belum nyetir kok sudah capek,?” balasku dengan pelan pula.
“ Mas...aku capeeeekkkk,” ujarnya, kini tangannya sudah bergerak dan memukul-mukul dadaku. Ah..kena kau, pikirku.

“ Kemarin dulu kamu tampar wajahku. Tadi dijalanan kamu siksa batinku dengan mempermalukanku didepan orang banyak. Sekarang kau mau remukkan dadaku. Lalu apalagi dong yang tersisa untuk Magda. Magda yang orang batak itupun tak seganas kamu,” ujarku sambil menahan tangannya. Laura membiarkan tangannya dalam gemgamanku.

” Iya, aku perempuan Jawa ganas! Baru tahu.?”
“ Tahu dalam dua hari ini.”
“ Sudah tahu, sekarang mau mas apa?”
“ Kita pulang.!” jawabku singkat. Merasa jawabanku ngambang, Laura bertanya ulang berlagak marah: “ Aku tanya, sekarang mau mas apa.!?”
“ Kok main paksa? Iya sudah, mauku dicium pengganti minta maaf.!”
“ Belum puas dengan Tia dan Ririn.!?”
“ Racikannya kan beda!?” jawabku sengaja komporin.
Huh...dasar....!” ketusnya sambil mencubit pipiku.

Komporku pun semakin menyala; " Minta di cium malah di cubit. Piye toh mbak.!"
" Ya..iya..aku tahu, kapan-kapan saja. Tuh banyak orang lalu lalang," dalihnya.
" Mau sepi, tungguin sampai tengah malam, mau!?" tanyaku.

Prahara yang berlangsung selama dua hari berakhir dengan sebuah kecupan mesra dikedua bibirku, hanya kesentuh. " Kok sudahan..!?" tanyaku sambil meminta kunci mobil.

" Mas, serakah.!"
" Ya aku serakah, sampahpun ku telan apalagi bibir malaikat,"ujarku. Dia hanya senyum kecut.

Laura meminta kembali kunci mobil. " Biar aku yang bawa hingga di batas jalan kota, nanti mas yang meneruskan sampai ke Jakarta."
" Iya nyonya," jawabku. Dia mempelototin sambil menerima kunci. Meski dia mempelototin aku yakin itu hanya ekspresi kedekatan. Tiba di ujung batas kota Bandung, dia parkirkan mobil di bawah pohon rimbun di pinggir jalan yang agak sepi. Sebelum dia turun dari belakang setir berucap: " Mas, sekarang giliranmu."

Lagi-lagi aku jawab: " Iya... nyonya," jawabku sambil pindah tempat duduk ke belakang setir. Setelah Laura masuk ke dalam mobil, dia berlagak marah, " Tadi mas bilang apa hah..!" sentaknya.
" Aku hanya jawab, iya nyonya.!?
" Emang aku sudah nyonya..hah..!?" ujarnya sambil memelukku. Kali ini dia beringas.
" Heh..beraninya kamu ditempat sepi. Tadi ditempat ramai malu-malu kucing. Sudah ah..." kataku belagu.

Kami melanjutkan perjalanan, tanpa pertengakaran meski aku pancing ribut soal " uang sampah"itu. Dia selalu mengalihkan pembicaraan. Dalam perjalanan Laura kembali manarik simpatiku, ketika bertanya," Mas jadi telepon ibu ke Medan.?"

"Oh...iya aku sampai kelupaan. Itulah gara-gara kamu, semuanya jadi berantakan."
" Kenapa sih mas selalu menyalahkanku.?"
" Karena kamu selalu melakukan kesalahan. Kalau saja kamu tidak terlalu cemburu dan emosi aku tidak tersiksa seperti ini. Telepon ibuku pun sampai kelupaan."
" Mas ! Siapa nggak marah kalau sahabatnya melakukan perzinahan. Dan itu mas lakukan dengan sengaja berulangkali meski aku telah ingatkan."

" Laura, kalau masih percaya denganku, sesungguhnya, tak sekalipun aku melakukan perzinahan. Nyaris iya. Aku bukan manusia sampah seperti yang Laura tuduhkan. Ririn dan Tia hanya numpang tidur dikamarku. Walau aku manusia bejat seperti tuduhanmu, aku tidak setega kamu membiarkan tamu tidur di kamar mandi.!"
" Mas masih marah iya.!?" tanyanya memelas.

" Menurut Laura bagaimana.?"
" Mas masih memendam marah.!"
" Laura salah. Aku masih memendam rindu setelah dua hari kita ribut gara-gara cemburu buta."
" Nggak juga mas. Aku kesal dan marah setelah melihatmu dan Tia keluar dari toko perhiasan. Malamnya aku melihat mas telah memakai arloji baru dan cincin. Mereka telah "membeli" mas bulat-bulat."
" Ini juga penyebabnya aku sangat marah. Laura sembarangan menuduh. Aku membeli arloji dan cinciku itu dengan uang yang Susan berikan. Nah, uang yang ada dalam envelope itu, sama sekali tanpa sepengetahuanku. Aku juga bingung mau diapain itu uang. Dibuang sayang, dipakai takut kualat." ( Bersambung)

Los Angeles. October 2009


Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/