Tuesday, July 14, 2009

Telaga Senja (78)

===================
Setelah miras masuk beberapa teguk, Rio kembali menyerahkan gitar sekaligus mereka berlima “request” aku nyanyi sendiri. Aku memilih lagu yang mereka sudah nyanyikan sebelumnya, kebetulan lagu yang aku suka sejak Bunga meninggalkanku , dulu.
“ Na hinali Bakkudu”
==================

PADA bait akhir, suara hampir tak terdengar. Bayang -bayang wajah Bunga, Susan dan Magda datang silih berganti. Aku berusaha melanjutkan bait yang terputus tapi tak berakhir tuntas. Pengaruh manson juga sudah merasuk hingga keubun-ubun. Kelima teman nongkrong masih bersabar mengikuti dendang sendu yang kunyanyikan ulang, tetapi juga tak sampai diujung bait.

“ Mari bang, aku yang mainkan,” ujar Rio sambil menarik gitar dari tanganku. Aku diam, hening, larut dalam kebeningan suara mereka. Menjelang tengah malam, isi keduabelas botol bir dan manson berukuran kecil tuntas sudah. Sebelum bubaran, Rio ingin mengantarkan aku pulang ke penginapan. “ Abang tinggal di hotel mana?” tanyanya.
“ Beberapa hari ini aku menginap di hotel diujung jalan sana. Kalau boleh bantu dulu aku cari penginapan disekitar tempat ini, aku suka daerah ini nggak terlalu ramai,” pintaku. Setelah sedikit kuceritakan masalahku, kenapa pindah dari hotel itu, akhirnya dia mengajakku tidur di rumah kosnya. “ Nanti aku ceritakan selengkapnya setelah dirumah, " ujarku
***
Ditengah perjalanan, aku mengajak Rio membeli minuman lagi. “ Kita ngobrol sambil minum, sebelum kita tidur ,” ujarku.
“ Aku masih ada simpanan dirumah bang,” jawabnya ketawa. Ah..ternyata kami punya selera yang sama, pikirku. Tiba dirumah kos, Rio mengeluarkan dua botol bir dari kamarnya. Kami duduk diteras rumah.
“ Ini pertahanan terakhir bang. Jadi gimana jalan ceritanya, kenapa abang menghindar?” tanyanya lantas membuka dua botol bir. Sambil mereguk minuman, aku bertutur awal tentang persahabatanku dengan Laura hingga berlanjut liburan ke Yogya, tempat kelahirannya.

“ Bang, tunggu dulu! Laura pemilik hotel yang di jalan itu?” tanyanya dengan menyebut nama hotel.
“ Kamu kenal Laura?”
“ Iya, kami satu kampus dengannya bang, aku semester dua dia sudah mau selesai.”
“ Bagaimana kamu tahu Laura yang aku ceritakan adalah Laura yang kamu kenal,?” tanyaku penasaran.
“ Siapa nggak kenal Laura bang. Hanya dia perempuan yang nyetir sendiri ke kampus. Perempuan lain yang mempunyai mobil diantar oleh sopir. Aku yakin dia itu bang,” ujarnya yakin.

“ Mungkin namanya kebetulan sama. Laura nggak pernah cerita kalau dia punya hotel.
“ Bang, aku kenal keluarga ini, rendah hati. Kebetulan hampir setiap minggu aku ketemu dengan mereka di gereja.”
“ Kamu kenal orangtuanya?”
“ Kenal bang! Namanya Farel Suryo Harsono; selalu kami panggil om fesha. Ada foto Laura didalam dompet abang.?”
“ Nggak punya kecuali foto kakakmu Magda.”
“ Bang, nggak usah buru-buru putusin dulu, sayang.!”
“ Diputusin? Aku nggak punya hubungan khusus dengannya, dia bukan pacarku. Kebetulan saja kami satu kantor dengannya.”
“ Kalau memang abang tidak punya ikatan dengan Laura kenapa harus keluar dari hotel?”
“ Aku khawatir bila masih menginap disana, mungkin dia punya beban psikis.”
***
Menjelang siang, aku menghubungi Lam Hot lewat telepon memberitahukan kalau aku mau datang menjemput barang-barangku dari hotel. Dia merasa jengkel karena sejak pagi telah menungguiku. Juga Laura berulangkali mendatangi kamarnya menanyakan keberadaanku. Saat masih bicara dengannya, sayup kudengar suara Laura dan menanyakan siapa teman bicara Lam Hot. Segera Laura mengambil gagang telepon dari Lam Hot setelah dia mengetahui aku yang sedang berbicara dengan Lam Hot.

Aku mendengar desah suaranya sebelum memulai bicara. Laura meminta alamat dimana aku bertelepon. “ Aku dan Lam Hot mau jemput, mas di hotel mana ?” desaknya dengan suara membujuk setelah aku menolak memberi alamat rumah Rio tempatku menginap.
“ Aku nggak tahu daerah mana, aku tidur dirumah teman bukan di hotel,” jawabku. Aku mendengar suaranya mulai “nyangkut” ketika bertanya: “ Mas, kenapa pergi diam-diam. Ada apa sih mas? “tanyanya, lantas Laura menyerahkan gagang telepon kepada Lam Hot sebelum aku menjawab pertanyaannya. Aku mendengar suara Lam Hot diujung telepon: “ Kakak mau kemana,” tanyanya. Tidak ada suara jawaban kecuali seseorang membuka pintu kemudian pintu tertutup.

“ Bang, main cantiklah. Jangan terlalu ketara ego kita itu. Abang di mana? Tahu jalan pulang kan? Sebentar nanti aku juga mau check out mau pindah ke hotel lain. Kemana kulemparkan koper abang ini?” tanya Lam Hot kesal.
“Sebentar aku ke sana mau jemput barang-barangku, tolong beritahukan Laura."
" Dia sudah kembali kerumahnya. Kenapa abang nggak beritahukan tadi?”
***
Setelah makan siang, aku dan Rio menjemput koperku ke hotel. Laura, Lam Hot dan Rima sudah menungguku di lobby. Wajah Laura tidak secerah biasanya meski berusaha mengukir senyum ketika aku dan Rio masuk ke dalam lobby.
“ Benar bang. Dia itu yang aku bilang tadi malam,” bisik Rio sebelum mendekat kepada Laura. Ketiganya berdiri menyambut kedatanganku dan Rio. Masing-masing saling memperkenalkan diri ke Rio. Wajah adikku Lam Hot juga berubah binar setelah mengetahui Rio satu marga dengan kami. Laura langsung menarik tanganku menuju kamar. “ Mas, aku mau ngomong ,” ujarnya, lantas menarik tanganku seakan tak sabaran menunggu jawaban atas pertanyaannya; “kenapa aku meninggalkan hotel secara diam-diam.?” ( Bersambung)

Los Angeles, July 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/