Thursday, June 11, 2009

Telaga Senja (53)

You with the sad eyes/ Dont be discouraged/Oh I realize/Its hard to take courage /In a world full of people/You can lose sight of it all/And the darkness inside you/ Can make you feel so small

But I see your true colors/Shining through/I see your true colors/And thats why I love you/So dont be afraid to let them show/Your true colors/True colors are beautiful,/Like a rainbow

Show me a smile then,/Dont be unhappy, cant remember/When I last saw you laughing If this world makes you crazy/And youve taken all you can bear/You call me up/Because you know Ill be there
And Ill see your true colors/Shining through/I see your true colors/And thats why I love you/So dont be afraid to let them show/Your true colors/True colors are beautiful,/Like a rainbow
be there


(when I last saw you laughing)/If this world makes you crazy/And youve taken all you can bear/You call me up/Because you know Ill
And Ill see your true colors/Shining through/I see your true colors /And thats why I love you/So dont be afraid to let them show /Your true colors/True colors/True colors/Shining through


I see your true colors/And thats why I love you/So dont be afraid to let them show
Your true colors/True colors are beautiful,/Like a rainbow
===================
“ Aku melangkah surut menemuinya ke dapur; “ Mbok, jika Laura bangun, tolong sampaikan kalau aku pulang,” ujarku seraya melangkah keluar dari ruang tamu.
===================
PEMBANTU rumah tangga tante Martha menyusulku setelah aku keluar dari rumah. Dengan sikap menunduk dan kedua telapak tangannya menyatu didepan dadanya berujar; “ Mas, jangan pulang dulu, tadi nyonya pesan, mas makan dulu sebelum pulang. Mau dibuatkan sekarang? Mari masuk mas!.”
“ Aku masih kenyang, terimakasih, lain kali saja,” jawabku.
“ Lho, jangan mas, makan dulu nanti mbok dimarah sama nyonya.”
“ Aku mau buru-buru pulang ada janji dengan adikku.”
“ Mas, jangan pulang dulu! Mbok nanti dimarah. Makan dululah mas, makan dikit saja,” ucapnya mengiba. Aku jatuh hati atas bujukan mbok. Aku tak rela dia menjadi korban karena alasan “budaya” yang kuciptakan sendiri.
“ Iyalah, tapi nggak usah makan, minum air hangat saja ya mbok,” kataku.

Mbok menyilakan masuk lebih dahulu ke rumah kemudian dia menyusul dari belakangku, tetapi tidak langsung ke dapur. Mbok menuju kamar Laura, mengetuk dan memanggil ; “ Mbak...mbak Laura...mas mau pulang...ehh..mas mau makan. Mbak mau makan juga?” tanyanya dari depan pintu kamar Laura.
“ Bah ! Si mbok, “antenanya” mungkin rusak, pikirku. Aku mengiyakan minum sekedar menghargai bujukannya, bukan mau makan.”

Tidak lama setelah mbok memanggil Laura, aku mendengar pintu kamar dibukakan. Laura keluar, wajahnya masih kuyu namun dia tersenyum, dipaksakan. “ Terimakasih mas, aku diingatkan makan obat, tadi hampir keluapaan,” ujarnya, lantas meletakkan botol obatnya diatas meja.
“ Kenapa tadi Laura tidak menjawab ketika aku mengetuk kamarmu,”
“ Aku menjawab, mas nggak dengar? Aku nggak langsung keluar karena sedang mencari obatnya, lupa taruh dimana,” jawabnya tanpa merasa bersalah.

“ Lain kali kalau pergi bilang-bilang dong. Tante Martha mengundangku kesini mau menemanimu, malah kamu meninggalkanku sendiri diruang tamu, piye tokh mbak.” tegurku. Laura hanya tersenyum mendengar teguranku; Buru-buru dia mengambil alih tugas mbok menyiapkan makanan. Tanpa bertanya, dia langung mengisi piring kosong yang telah disiapkan si mbok, kemudian mengisi piringnya. Meski masih diliputi rasa kesal aku segera menyantap makanannya sebelum oom dan tantenya keburu pulang.
Aku masih merasa enggan makan dirumah tante Martha, sekedar menjaga jarak, apalagi belakangan ini tante dan Adrian adik iparnya yang juga direktur utama kami telah menunjukkan perhatian”lebih” terhadapku.

Hati agak lega hingga kami selesai santap malam, oom dan tantenya belum juga pulang. Aku tidak lagi mengajak Laura bicara serius selama kami makan, hanya merespons percakapannya secara singkat, selebihnya hanya tatapannya menukik kearahku, entah apa dalam benaknya, aku belum bisa menerkanya. Dia bukan Magdalena yang bahasa tubuhnya sudah kuhafal mati bahkan bunyi sendok - garpu kala makan sudah dapat kumaknai. Dengan Laura? Nggak ada niat mempelajari bahasa tubuhnya, jenuh.

Tidak berapa lama setelah santap malam, dering telpon memecahkan ditengah kebisuan kami. Laura yang kesehatannya sudah mulai pulih mengangkat telpon. Senyumnya merekah menjawab telpon; “ Iya mas Tan Zung masih disini, ya...ya,!” jawabnya . Ah...”kontrak” menemani Laura diperpanjang, pikirku, sebelum menerima telpon dari tangan Laura, aku menduga telpon itu dari oom Felix.

Tetapi, perasaan plong ketika mendengar teman bicara adalah adikku Lam Hot. Awalnya suara Lam Hot masih pelan, namun hanya beberapa saat, gema suaranya mulai tak beraturan karena dia merasa kesal. Menurutnya, dia sudah sejak sore mencari sebelum kantorku tutup. Rasa kesalnya memuncak ketika menunggu lama di tempat kosku hingga ketiduran namun aku tak kunjung datang.

“ Macam mananya abang, katanya mau menjauhi mbak Laura malah “mengeram” berjam-jam disana.
“ Hot, aku dipanggil tantenya untuk menemani, Laura sakit!”
“ Ah..kan aku sudah kubilang, abang selalu punya alasan .”
Aku bersikap tenang menjawabnya, takut dia semakin "terbakar". Aku juga merasa nggak enak kepada Laura jika membalasnya dengan nada marah.

“ Bang, pulanglah, dari tadi kak Magda telpon. Katanya abang sudah janji mau telpon sore tadi, dia terus nungguin. Abang kami jemut iya!” nada suaranya memaksa.
“ Iya. Buruanlah, jangan lama-lama. Bagaimana penyakitnya?” tanyaku.
“ Tak tahulah aku itu, abang saja yang ngomong,”ketusnya.

“ Siapa yang sakit mas? “ tanya Laura setelah meletkkan gagang telpon.
“ Sahabat lamaku. Aku harus telpon dia sekarang, sebentar Lam Hot mau menjemputku.”
Suasana malam itu tidak tega menyebut nama Magda, tetapi Laura mencoba menebak nama teman yang sakit itu, akhirnya aku mengakui, “ Iya Magdalena, dia jatuh sakit sejak kemarin dulu.”

Titip salam kepada Magdalena semoga cepat sembuh, juga salam sama Rina,” ucapnya tanpa perubahan rona wajahnya. Tuluskah hatinya menitip salam kepada Magdalena ? Semakin aku tak mengerti sikap perempun yang satu ini, dingin. Mungkinkah Laura hanya mengingat “sodokan” Rina dulu, menyebutkan, aku pernah pacaran dengan Magda tetapi telah putus.?”

Laura menyuguhkan teh panas, kepada Lam Hot, yang telah diseduhnya sebelum dia datang menjemputku. Lam Hot agak kaget ketika Laura menanyakan kepastian bahwa yang sakit adalah Magdalena bukan Rina.
” Iya mbak, Magda sakit sejak kemarin dulu. Tetapi menurut Rina, dia sudah agak baikan kok, “ jawab Lam Hot.(Bersambung)

Los Angeles. June 2009


Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/