Monday, November 30, 2009

Telaga Senja (173)

Open Arms
Lying beside you, here in the dark/Feeling your heart beat with mind/Softly you whisper, youre so sincere/How could our live be so blind/We sailed on together/We drifted apart/And here you are by my side

Chrus:
So now I come to you, with open arms/Nothing to hide, believe what I say/So here I am with open arms/Hoping youll see what your love means to me/Open arms/Living without you, living alone

This empty house seems so cold/Wanting to hold you, wanting you near/How much I wanted you home/But now that youve come back/Turned night into day/I need you to stay.
(chorus)


===============
“ Gue sih nggak apa-apa. Penghuni perut gue yang protes,” balasnya.
Magda mencubit pinggangku, kuat. “ Bang! Masya ibu hamil mau “diperkosa”,? “tawanya.
“ Mas Tan Zung kan beraninya ke mama-mama,” sela Rina, lantas kedua tangannya mencubit pipiku, gemas.
“ Hei...hei...sudah! Rina nafsu amat!?” tawa Magda.

================

HARI kedua, pagi sekitar pukul lima Magda mengetuk kamarku. Menurutnya dia dan Rina telah mengetuk kamarku sudah agak lama. Dia kesal ketika aku membukakan pintu, berucap: “ Lain kali pintunya nggak usah ditutup. Papa seperti perempuan saja.” Magda semakin kesal kala aku melanjutkan tidur. “ Hei..pap ! Kemarin sudah janji kita disana pukul enam.!” ujarnya lantas menarik paksa tanganku.

“ Begini resikonya kalau tinggal di rumah mertua. Suka-suka borunya ( putri, pen) marahin awak. Pagi-pagi saja pun sudah dapat serapan “serapah”,” sungutku sambil beranjak ke kamar mandi. Magda tertawa geli mendengar sungutanku.
“ Papa pun mengkek, pakai kunci pintu. Awak pun nggak bebas,” balasnya genit.
“ Ya takutlah. Entah Magda apa-apakan nanti awak,” ujarku sambil meninggalkannya cekikian di kamar. Kembali dari kamar mandi, Magda telah selesai berkemas, menungguku di kamar, berujar: “ Setelah dari rumah pak Ginting, kita jalan seharian iya pap, mumpung aku masih libur. Besok mama sudah mulai kerja.”

“ Ah...sakitnya tinggal dirumah mertua, apapun kata isteri harus turut. Memang Adam lah lelaki paling beruntung, isterinya Eva nggak punya mami...”
“ Maksud papa, mamiku...” potongnya serius.
“ Putrinya yang bertingkah karena ada maminya,” tawaku. Magda menatap tajam. “ Pandangan matamu membuktikan ucapanku. Terlambat bangun di omelin, bicara pun awak di pelototin.”
Halah...papa terlalu menjeng. Ayo cepatan entar kita terlambat,” balasnya lalu menyentak lenganku.
***
Meski piijatan pak Giting sedikit lebih kuat, perasaan tidak sesakit pijatan awal. Seperti hari pertama, pijatan dilakukan setelah istrahat sekitar lima belas menit, kemudian dilanjutkan hingga pijatan yang ke lima. Tengah pijatan ke tiga berlangsung, Susan datang melawatku.
“ Zung, kenapa nggak beritahu kalau kamu mengalami kecelakaan “tegurnya. Kerut wajahnya menunjukkan prihatin saat menyaksikan wajahku dan bahu yang sedang di pijat.
“ Maaf kak, aku nggak kepikir karena sibuk urus tiket dan antar jemput tante, ibunya Tan Zung,” jelas Magda.

“ Oh...iya? Magda pergi dengan calon mertua?” tanyanya semangat.
“ Susan tahu dari siapa aku kecelakaan?”
“ Sehari setelah Magda berangkat ke Jakarta. Tadinya mau ajak jalan ke Berastagi. Nanti kalau kesehatannya sudah pulih kita bertiga ke sana yuk!?”
“ Tegantung Magda,”jawabku
“ Halah abang pura-pura baik di depan kak Susan. Tadi pagi marah-marahin aku.”
“ Tan Zung jelek begini berani marahin Magda? Kenapa nggak ditinggalin saja!”

“ Jangan mau Magda. Ntar Susan juga yang tampung!” ujarku disambut jeweran Magda di telingaku, sementara Susan mencubit pipiku, gemas. Serempak, bagai penyanyi duet, berujar:
“ Abang mangkak.” Pak Ginting dan isterinya ikut tertawa meihat aku” dikerubutin” dua perempuan cantik. Menjelang akhir pemijatan, Susan minta ijin pulang.
“ Magda, ntar malam datang ke rumah dengan bang Tan Zung. Atau aku yang datang ke rumah Magda,?” tanyanya. Aku dan Magda saling berpandang. “ Ya, kami akan datang,” ujarku, diakurin oleh Magda. “Ya kak. Nanti aku bawa bang Tan Zung.”
***
Didalam mobil saat kami pulang, aku menanyakan Magda atas panggilan “kakak” terhadap Susan. “ Kok kamu tega benar panggil” kakak”, mentang-mentang kamu sudah tamat iya.”
“ Mama masih mending panggil “kakak”, papa hanya panggil nama dia. Kenapa? Karena papa pernah pacaran iya?”
" Bukan! Itu kemauan Susan. "
" Sama lah pap. Dia nggak mau lagi dipanggil "ibu". Kebetulan dia nggak punya adik, sama dengan mama nggak punya kakak. Ngomong-ngomong, papa kok semangat benar ketika di ajak ke rumah Susan. Kangen.?"

" Ya. Pertanyaanmu terbungkus curiga atau cemburu,?"
" Menurut papa.?"
" Keduanya.!"
" Bagaimana kalau hanya papa saja yang kesana, mungkin lebih bebas,"pancingnya.

" Terserah, kalau itu jalan yang terbaik menurut Magda, papa turuti. Bahkan kalau diijinkan papa tinggal disana, sementara papa mendapat tempat kos. Setuju.?"
" Kenapa harus persetujuan mama.? Papa bebas memilih kok!"
" Baiklah. Nanti tolonglah antarkan papa kesana. Atau, biarlah papa naik bus, kebetulan sudah kangen naik bus. Besok nggak usah dijemput hingga aku dapat kamar kos."
" Tetapi papa masih harus di "pegang" oleh pak Ginting."
" Nggak usah kuatir. Susan pasti mau menolong kok." (Bersambung)

Los Angeles. November 2009


Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Saturday, November 28, 2009

Telaga Senja (172)






“Amazed”
Every time our eyes meet/This feeling inside me /Is almost more than I can take Baby when you touch me /I can feel how much you love me /And it just blows me away /Ive never been this close to anyone or anything /I can hear your thoughts /I can see your dreams

I dont know how you do what you do /Im so in love with you /It just keeps getting better /I wanna spend the rest of my life /With you by my side /Forever and ever Every little thing that you do /Baby Im amazed by you

The smell of your skin /The taste of your kiss /The way you whisper in the dark Your hair all around me /Baby you surround me /You touch every place in my heart /Oh it feels like the first time every time /I wanna spend the whole night in your eyes

I dont know how you do what you do /Im so in love with you /It just keeps getting better I wanna spend the rest of my life /With you by my side /Forever and ever /Every little thing that you do /Baby Im amazed by you

Every little thing that you do /Im so in love with you /It just keeps getting better /I wanna spend the rest of my life /With you by my side /Forever and ever /Every little thing that you do /Oh, every little thing that you do /Baby Im amazed by you.

==================

Mata Magda mulai berkaca-kaca melihat penderitaanku. “ Papa mau minum?” tanyanya sendu sembari membelai rambutku.
“ Nggak. Aku nggak mau minum. Papa mau di cium,” gurauku, suaraku pelan ditengah kesakitan amat sangat.
“ Ya...ya! Nanti pap.”
“ Sekarang..!”
“ Pap, ada ibu itu!” bisiknya.

===================

SECANGKIR jamu hangat sedikit mengurangi rasa sakit. Jari tangan pak Ginting kembali “menari” diatas persendian pangkal lengan dan bahu. Hanya beberapa menit, pijatan dihentikan. Setengah jam kemudian diulang. Demikian seterusnya hingga kali kelima.
“ Tidak dapat dipaksa karena otot sudah mulai kaku,” ujar pak Ginting. Magda menanyakan berapa lama aku dalam perawatan. “ Setiap hari selama seminggu ini. Kemudian tiga hari dalam seminggu,” terangnya, lantas meninggalkan aku dan Magda.

Saat-saat “interval” Magda berusaha mengajakku ngobrol dan terus menyemangatiku. Namun, aku kurang bergairah karena tenagaku terkuras menahan pijatan. Kali kelima malam itu, pijatan agak lembut dan secangkir jamu disorongkan kemulutku.
“ Minum nak, biar kembali tenaganya,” ujarnya membangunkanku dari pembaringan. Kemudian menyuruhku istrahat untuk beberapa jam.” Nak pulang saja. Malam ini, kalau nggak keberatan biarkan nak Tan Zung tidur disini,” katanya ke Magda.
“ Biar aku tungguin pak,” jawabnya.
“ Magda pulang saja. Tiga hari belakangan mama terlalu lelah ngurusin papa.” Magda merajuk seraya mencubit pahaku.” Nggak. Mama nggak mau pulang. Nggak tega tinggalin papa sendirian.”

" Mama kuatir kala Maya datang iya?" godaku.
" Nggak juga. Papa nggak usah angekin mama lagi."
“ Nanti mami kecarian.”
“ Mami kan tahu kalau aku ikut papa ke sini.?” Pap, mama nggak mau pulang. Kalau papa nginap, mama juga mau ikut tidur disini. Tidur di lantai juga nggak apa-apa kok pap. Ntar mama minta tikar dari ibu. "

Pak Ginting keluar dari kamarnya, datang menengahi, setelah mendengar Magda bersikeras mau menginap bersamaku. “ Biarkan dulu Tan Zung istirahat untuk beberapa lama. Setelah itu, kalian boleh pulang. Tetapi, besok pagi sebelum serapan sudah harus kesini. Sanggup?” tanyanya. Magda langsung menyetujui. Magda mengangkat kursi yang terbuat dari bambu itu mendekat ke dipan tempatku berbaring.

Setelah beberapa jam tertidur pulas, pak Ginting mengijnkanku pulang. Dalam perjalanan ke rumah Magda, dia mengajakku makan malam di restauran. “ Papa mau tidur saja,” ujarku lemah sementara mataku hampir redup.
“ Jangan lemas seperti itu ah...papa takut-takutin mama.! Melihat bahwa aku bukan bercanda, Magda menghentikan mobilnya di bahu jalan. Dia bertanya diliputi rasa gelisah: “ Papa, kita pulang ke rumah atau kembali kerumah pak Ginting.?” Jawaban dengan anggukanku membuat Magda semakin bingung.
“ Pap kita ke rumah atau ke rumah pak Ginting,” gusarnya.
“ Ke rumah,” jawabku singkat.

***

“ Papa bisa jalan atau ditandu,” guraunya setelah kami tiba di gerasi. Buru-buru Magda menahan tubuhku ketika aku sempoyongan, hampir roboh, saat baru keluar dari mobil. Magda memapahku menuju ke rumah. Di ujung pekarangan, menjelang pintu rumah aku melihat sosok bayangan seseorang. “ Siapa itu mam?”

“ Mungkin mami. Malam begini Rina sudah tidur,” jawabnya serius. Segera aku mengangakat kepalaku dari atas bahunya, jalan berpura-pura tegar. Magda tertawa melihatku seperti orang ketakutan. “ Kok papa seperti ketakutan. Memang kanapa kalau mami lihat? Papa sakit benaran atau dibuat-buat?” gelaknya.
“ Kita jalan dari samping saja mam.” balasku, sembari jalan menunduk menahan sakit sisa-sisa pijatan. Magda masih ketawa dan menggodaiku. “ Mami..! tolong bantu Magda. Abang sempoyongan nih,” teriaknya. Bayangan itu mendekat, ternyata dia perempuan dengan perut buncit, Rina.

Weleh...lelaki gagah kok jadi seperti ayam sayur?” ejek Rina.
“ Rin, bantuin abang,” ajak Magda diiringi tawa.
“ Ogah! Biarin dia jalan tengkurap. Perut gue buncit begini aja masih mampu jalan, “ tawanya sambil mengikuti langkah kami menuju kamarku. Tiba di kamar, didepan Magda, aku memeluk berlagak mau mencium,” Kalau masih terus ngoceh, aku akan gigit bibir kamu.”
Gue sih nggak apa-apa. Penghuni perut gue yang protes,” balasnya.
Magda mencubit pinggangku, kuat. “ Bang! Masya ibu hamil mau “diperkosa”,? “tawanya.
“ Mas Tan Zung kan beraninya ke mama-mama,” sela Rina, lantas kedua tangannya mencubit pipiku, gemas.
Hei...hei...sudah! Rina nafsu benar!?” tawa Magda. ( Bersambung)


Los Angeles. November 2009

Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Thursday, November 26, 2009

Telaga Senja (171)




=============================
“ Mama, jangan salahkan papa, bila kelak, setelah wajahku kembali seperti semula, bahkan lebih tampan, banyak perempuan menggoda papa. Salahmu sendiri.”
“ Mama jamin. Papa nggak bakalan “laku”. Siapa sih, di pelosok Medan ini yang nggak tahu kalau papa terus mengejar mama hingga berdarah-darah.!?”

=============================

Magda mengajakku mampir ke kantor setelah dari tabib. Hampir saja terjadi “perang” karena aku menolak ikut masuk ke kantornya. “ Mam aku malu, wajahku masih berantakan,” dalihku. Magda terus ngotot, aku harus ikut. Namun, aku tetap menolak. "Api" hampir terpicu kalau saja Magda tidak mau mengalah.
“ Mama terus memaksa ikut ke kantor? Papa akan pergi sendiri ke rumah pak Ginting,” ancamku.
“ Nggak mau ketemu dengan dengan Maryam ? putri pak haji Milton. Teman sekelas kita dulu yang "kejar-kejar" papa.?"
” Mam, jangan giring aku pada pencobaan," gurauku.

“ Ya sudah. Mama mau kenalkan kepada atasanku."
" Atasan mama, perempuan atau laki.?”
“ Memang kenapa?"
“ Bila perempuan, papa takut dia akan berteriak ketakutan melihat wajahku. Bila lelaki, dia akan merasa iba melihat mama. Perempuan secantik mama, mau pacaran denganku.?”
“ Papa, kok minder seperti itu. Ayo lah temanin mama,” rengeknya.
“ Mam. Aku janji minggu depan setelah pengobatan tabib selesai, papa mau di "pamer" ke seluruh teman-teman mama.”
Halah...papa, bilang saja nggak mau,” kesalnya sambil meninggalkanku di dalam mobil.

***

Aku tertidur di dalam mobil karena merasa jenuh menunggu Magda kembali dari kantornya. Setengah jam kemudian, dia datang bersama dengan sejumlah teman sekantornya. Aku mengumpat dalam hati, sudah menghindar bertemu dengan teman-temannya, malah memboyong dan “mempertontonkan” wajahku yang masih dalam perawatan.

Dalam keadaan terpaksa, aku tetap di dalam mobil, melayani perkenalan dengan rekan sekerja Magda, meski dalam hati kecut. Rasa kesal terobat, ketika aku melihat Risma si centil, teman sekelas Bunga, mantan pacar, menarikku secara paksa keluar dari mobil.

Hei...preman ayo keluar, “ entaknya sambil menarik taganku. "Ganas benar kamu Magda. Kok bibir abang kita sampai sompel begini,” guraunya sambil memperhatikan serius wajahku.
” Ris, nanti giliranmu yang aku sompelin,” balasku.
Husss... ntar kedengaran pacarku?”
“ Memang ada lelaki yang mau ?”
" Huh....nggak tahu saja. Lelaki berjejer sampai tengkurap-tengkurap."

“ Ris, abang jangan dilayani. Ntar semakin mengkek,” seru Magda.
Halah...bilang saja Magda cemburu,” ujar Risma cekikan.
Risma mengajak paksa ikut ke kantin. “ Zung, kamu nggak mau ikut, Ris bongkar semua rahasiamu dengan Bunga dan Maryam,” lagaknya serius.
" Kenapa nggak bongkar sekalian kisah kasih cinta kita yang di pantai Cermin itu," balasku.
" Ya, nanti aku buka semuanya. Ayolah..paling juga ntar yang cemberut mbak Magda," ujarnya, ngakak. Sambil jalan menuju ke kantin, Risma terus ngoceh," Magda, kalau kamu nikah dengan preman ini aku mau jadi pendamping."

Cukup lama kami bersendagurau, melebihi jam istrahat, dengan teman sekantor Magda. Magda sangat puas dalam pertemuan itu. " Pap, terimakasih ! Tadi mama sempat kuatir, papa bicaranya ketas-ketus karena kesal ke mama," ujarnya ketika kami sudah di dalam mobil menuju ke rumah pak Ginting.
"Seandainya pun papa kesal, itu urusan kita berdua. Nggak lah. Nggak mungkin aku tunjukkin kesalku ke orang lain. Selain itu, kebetulan papa senang ketemu dengan si centil, Risma."
" Memang papa pernah punya kisah dengan dia,?" tanyanya serius.
" Mama nggak tahu.?"
" Sumpah pap, mama nggak pernah tahu.!"

" Ya nantilah papa ceritakan setelah dirumah pak Ginting."
" Kenapa harus menunggu nanti.?"
" Nggak enak cerita sambil setir mobil," jawabku. Magda mulai gelisah.
" Pap, kita mampir sebentar ke rumah. Mama ada ketinggalan," pintanya. Aku diam, aku tahu dia sedang kesal. Cerita sengaja ku gantung. Mobil terus melaju kerumah pak Ginting. Lagi, dia membujukku supaya mampir ke rumah. Aku bergeming. Magda diam, matanya lurus menatap ke depan. " Pikirin apa mam?" usilku. Dia tak menjawab.
" Okay. Papa ceritakan sejujurnya. Tak ada yang disembunyikan. Mau dengar?"
" Ya," jawbanya. Dia memiringkan badanya ke arahku. Serius.

" Mam....!" ujarku menggantung, agak lama.
" Pappp..!????" teriaknya tak sabaran mendengar lanjutan kalimatku.
" Sejujurnya....aku tak pernah sedetik pun menjalin hubungan dengan Risma. Kisah di pantai Cermin, itu hanya bumbu cerita. Mama aneh. Mana mungkin aku punya hubungan dengan dia, atau dengan perempuan mana pun. Sejak kita es-em-a, mama telah membelengu kaki dan hatiku."
" Papaaaaa jeleekkkkk!!!" teriaknya karena merasa malu.
" Masih mau mampir ke rumah?"
" Nggak!" ketusnya.
" Mama ketinggalan apa?"
"Pentungan!" tawanya seraya mencubit lenganku, gemas.

***

Tiba di rumah dukun patah, bapak dan ibu Ginting menyambut kami, hangat. Magda langsung menyampaikan maksud kedatangan kami. " Macam mananya kau nih nak. Kecelakaan terus," ucapnya sambil menyuruh membuka kaosku. Ditempat ini, sebelumnya, tiga pasang tangan perempuan pernah "merawatku" dalam waktu berbeda. Ketiganya, Mawar, Susan dan Magdalena.

Pak Ginting meminta isterinya, menyiapkan minyak urut. " Kenapa datangnya terlalu lama ?" tanyanya, sementara jarinya mulai menyentuh pelan.
" Nak, karena sudah agak lama, pijatan bapak agak lebih kuat iya."
Belum siap dia bicara, aku sudh berteriak menahan sakitnya. Pak Ginting menghentikan sejenak pijatannya.

Dia menyuruhku tiduran diatas dipan yang beberapa tahun silam pernah aku terbaring . Dia terus mengajakku ngobrol untuk mengalihkan perhatian, sementara jari tangannya terus "menari" di bahuku. " Pak, sakit !" teriakku. " Tolong berhenti sebentar." pintaku. Keringat dingin mengalir di sekujur tubuhku karena menahan sakit pijatan. Ibu Ginting menyerahkan sehelai kain ke Magda untuk melap peluh di kening dan keringat dingin tubuhku. Pak Ginting pergi kebelakang meracik jamu untuk penawar sakit. " Sebentar bapak mau kedapur mau mengambil jamu," ujarnya.

Mata Magda mulai berkaca-kaca melihat penderitaanku. " Papa mau minum?" tanyanya sendu sembari membelai rambutku.
" Nggak. Aku nggak mau minum. Papa mau di cium," gurauku, suaraku pelan ditengah kesakitan amat sangat.
" Ya...ya! Nanti pap."
" Sekarang..!"
" Pap, ada ibu itu!" bisiknya. ( Bersambung)
Los Angeles. November 2009

Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Wednesday, November 25, 2009

Telaga Senja (170)

still believe
In the beginning it was just like a dream. /I remember every word you whispered so sweet. /Your tender kisses and the love that we made. /Oh you got me on my knees I was never afraid.

You promised the world said I was your only girl baby. /( promised me the world )
You promised the world said I was your only girl baby. /(Said i was your only girl )Baby Baby


I’ve been told a million lies I’ve been left with a broken heart. /But I still believe in love. /I’ve been hurt a thousand times I’ve been crying all the tears in the dark. /But i still believe in love.

I’ve been looking for somebody whose right. /The event who will be for more than one night. /I’ve been lookin for the love of my life. /When you think you’ve found someone and live on a lie.

You promised the world said I was your only girl baby. ( promised me the world ) yes you did /You promised the world said I was your only girl baby. (Said i was your only girl ) said i was your only girl Baby Baby oooh

I’ve been told a million lies/ I’ve been left with a broken heart. /But I still believe in love. /I’ve been hurt a thousand times I’ve been crying all the tears in the dark. /But i still believe in love.

I never lost my faith in love. /I never lost my hope for a good life. /There’s gotta be someone for me. /somebody who can give me everything that i need.

baby oh oh oh why a million lies with a broken heart. /baby baby oooh.

I’ve been told a million lies I’ve been left with a broken heart. /But I still believe in love. /I’ve been hurt a thousand times I’ve been crying all the tears in the dark. /But i still believe in love. ( repeat x3)
=========================
“ Mam! Ini bukan rumah Tan Zung!”
“ Apa hubungannya, rumah papa dengan rumah mami? Mama tanya mau di bantu? Jawabannya hanya “ya” dan “tidak” jawabnya centil.
“ Terserah mama lah”
“ Tidak ada pilihan jawaban ketiga. Hanya “ya” atau “ tidak”?
=========================

“Mama nggak malu nanti kalau ketahuan mami atau Jonathan?”
“ Kenapa malu. Mama kan sedang membantu orang sakit?”
“ Orang sakit? Atau calon suami.”
“ Iya, itoku calon suamiku. Mulai sekarang mama harus semakin menujukkan kedekatanku dengan papa.”
“ Tunjukkin apa?” tanyaku iseng.
“ Pemuda idaman yang badannya sedang mama bersihkan adalah calon menantunya. Jelas pap!” tawanya sembari melanjutkan tugas”keperawatan”, melap tubuhku.

“Pertenggkaran” manis sering aku ciptakan sekedar mendulang senandung berisi lirik-lirik cinta yang telah kami rangkai selama lima lahun lebih. Disana, di dalam lubuk hatinya , semaian cinta tumbuh subur . Kini, kelopak cinta itu semakin mekar , menebar semerbak aroma menyambut mentari harapan.

“ Papa, tak perlu lagi ditutupi. Sebenarnya mereka, maksudku, mami dan Jonathan telah menyaksikan dan merasakan keseriusanku.”
“ Magda sudah cerita ke mami keseriusanmu.?”
“ Kok cuma keseriusanku? Memang papa nggak serius?”
“ Ya,iya maksudku keseriusanmu dengan pemuda idaman itu.”
“ Kok papa mengkek amat sih? Memang hanya mama saja yang serius?”
“ Ya , si pemuda idaman itu juga lah.”

“ Pap, tanpa harus Magda ceritakan pun, sebenarnya mami telah tahu kok. Apalagi ketika mami melihatku menangis semalaman setelah mendengar papa kecelakaan. Malam itu, mami menemuiku di kamar, disaksikan Rina, mengatakan, “ Pergil lah boru lihat abangmu.” Aku langsung peluk mami. Kemudian mami bilang lagi, “ Bawa lah abangmu pulang. Biar nanti berobat di Medan saja. Huh...pap.... Selesai mami ngomong, aku ciumin mami sepuasnya."
" Oh ...iya? Papa pikir rencana itu murni dari mama, ternyata..."
" Papaaa! Apa sih bedanya aku dengan mami?" entaknya. Sementara, dia pun menghentikan "tugas" melap tubuhku. Dia mematung menatap. Wajahnya gemas.
" Apanya yang beda pap..hah..?"
" Ya jelas beda lah. Ternyata calon mertuaku lebih memperhatikan daripada calon isteriku...."
" ...terus bagaimana lagi hah..?" entaknya seraya menjewer kupingku.
" Teruskan dong melap tubuhku. Aku kedinginan."

Sedang asyiknya kami "bertengkar" di kamar mandi, aku mendengar sepasang langkah mendekat kearah kamar mandi.
“ Mam, ada orang datang, tutup pintunya. !” Magda sejenak menoleh keluar pintu.
“ Siapa mam ?” tanyaku sambil beranjak mau keluar dari kamar mandi.
“ Mami! Kok papa ketakutan ?” tawanya.

“ Sialan!”umpatku setelah melihat Rina medekat ke pintu kamar mandi. “ Hei Jawa, ngapain kamu kesini. Berdua sedang pacaran. Sudah mamak-mamak juga mau tahu urusan anak muda ,”bentakku pelan.
“ Batak norak! Pacaran kok di kamar mandi !” balasnya tak kalah galak.
“ Kapan sih berdua bisa akuran? Ketemu berantam terus. Nggak lihat nyariin,” celutuk Magda.
Duh...mas segede begini nggak bisa mandi sendiri?” ejeknya
“ Rin, bantuan keringkan badan abang,” sela Magda.
“ Ogah. Disuruh nyiram gue mau.”
“ Dasar parbada..!” seru Magda

***
PAGI sebelum ke rumah pak Ginting “dokter spesialis" tulang, Magda mengajaku jalan ke bilangan Kesawan. Sebelum tiba di tempat yang dituju, Magda memberitahu, kami menuju ruang praktek tabib, khusus “penata” wajah. “ Tabib Tinghoa ini terkenal pap. Ntar hidung dan bibir bekas kecelakaan itu bisa cepat pulih,” ujarnya. Aku hanya menurut kebaikan hati Magda. Sebelumnya aku pura-pura protes: “ Kok mama nggak bilang-bilang.?”

Seorang lelaki usia separuh baya dengan langkah gemulai menyongsong kami ke depan pintu . Dia hanya menyapa kami dengan “hallo”, sementara gerak tangannya mempersilahkan kami masuk dan menunjuk ruangan tunggu. Tak lama kemudian setelah aku dan Magda duduk, seorang wanita menemui kami. Dia memperkenalkan dirinya serta tugasnya sebagai penerjemah. “ Om ini warga negara Hongkong, dia tinggal disini hanya beberapa bulan kemudian akan kembali ke Hongkong . Maaf beliau tidak dapat berbahsda Indonesia. Apa yang bisa kami bantu?” tanyanya.

Semangatku hilang seketika melihat gemulainya tabib berwajah kelimis ini. Gerak gemulainya mengingatkanku biduan di kapal laut, beberapa tahun lalu, yang hampir memperkosaku. Sampai saat itu, aku masih diliputi trauma bila melihat orang berperilaku aneh, pria bukan, wanita nggak. Tak jarang mau muntah bila ketemu manusia aneh seperti itu, otakku langsung ingat “tragedi” di kapal laut.

Magda bersikeras menahanku: ” Pap, jangan lihat orangnya. Yang penting papa sembuh,” bujuknya, ketika aku mengajak Magda pulang. Selain itu, aku juga merasa risih karena semua kostumernya perempuan. Magda terus membujukku setengah paksa. “ Pap, ayolah. Kok susah amat sih? Mama kan bermaksud baik!?” ketusnya. Aku mengalah.

Tidak sampai satu jam, dengan alat sederhana, wajahku selesai di “vermaak”. Dia memijat bekas luka di hidung dan bibir setelah mengoleskan cairan beraroma kecut. Selain itu, jerawat pun di babat habis. Aku tak merasakan sakit meski bekas jerawat yang di bedah itu berdarah. Hampir selama pemolesan berlangsung, aku menutup mata kala tabib menata wajahku. Takut muntah benaran. Sesekali aku melirik Magda. Dia merasa geli melihat tingkahku, tetapi dia berpura-pura memalingkan wajahnya ketika bertatapan. Mungkin dia takut tawanya meledak.

Setelah proses pemolesan usai, tabib memberi dua jenis ramuan Tionghoa. Satu bungkus besar berupa daun-daunan untuk diminum selama seminggu. Lainnya, sejenis serbuk untuk di oleskan selama lima hari.
" Mama, jangan salahkan papa, bila kelak, setelah wajahku kembali seperti semula, bahkan lebih tampan, banyak perempuan menggoda papa. Salahmu sendiri."
" Mama jamin. Papa nggak bakalan "laku". Siapa sih, di pelosok Medan ini yang nggak tahu kalau papa terus mengejar mama hingga berdarah-darah.!?" ( Bersambung)

Los Angeles. November 2009


Tan Zung

"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Tuesday, November 24, 2009

Telaga Senja (169)

(music: right click on mouse then click “open in new window”)

Mariah Carey - We Belong Together
(Ooh, ooh, sweet love, yeah) I didn’t mean it when I said I didn’t love you so /I should’ve held on tight, I never should’ve let you go /I didn’t know nothing, I was stupid, I was foolish /I was lying to myself

I could not fathom I would ever be without your love /Never imagined I’d be sitting/here beside myself /‘Cause I didn’t know you, ‘cause I didn’t know me /But I thought I knew everything /I never felt

The feeling that I’m feeling now that I don’t hear your voice /Or have your touch and kiss your lips ‘cause I don’t have a choice /Oh, what I wouldn’t give to have you lying by my side /Right here, ‘cause baby (We belong together)

When you left I lost a part of me (Together)/It’s still so hard to believe/(Come back, come back) /Come back baby, please /(Come back, come back)/‘Cause we belong together

***) Who else am I gon’ lean on when times get rough (Ooooooh yeah)/Who’s gonna talk to me on the phone till the sun comes up (Oooooh yeah)/Who’s gonna take your place, there ain’t nobody better (Oooooooh yeah)/Oh, baby baby, we belong together

I can’t sleep at night when you are on my mind /Bobby Womack’s on the radio saying to me:/“If you think you’re lonely now” /Wait a minute this is too deep (too deep) /I gotta change the station so I turn the dial /Trying to catch a break and then I hear Babyface /I only think of you and it’s breaking my heart /I’m trying to keep it together but I’m falling apart

I’m feeling all out of my element /I’m throwing things, crying /Trying to figure out where the hell I went wrong /The pain inflicted in this song ain’t even half of what I’m feeling inside /I need you, need you back in my life, baby /(We belong together)

When you left I lost a part of me (Together)/It’s still so hard to believe(Come back, come back) /Come back baby, please (Come back, come back)/‘Cause we belong together

Back ***)
When you left I lost a part of me (Together)(Oooooooh yeah)/It’s still so hard to believe(Come back, come back) /Come back baby, please (Oooooooh yeah)
(Come back, come back)/‘Cause we belong together

Back ***)
Ooooooh yeah/Ooooooh yeahOoooooh yeah/We belong together
================
Pramugari tersenyum penuh arti ketika menyaksikan tanganku, sesekali menggerai rambut Magda diikuti ciuman di pipinya. Kelembutan wajahnya mengingatkan ucapannya, ketika aku dan dia ribut gara-gara kepala Shinta tertidur dipangkuanku sepulang dari kampung.
“ Pap, aku cemburu karena aku sangat mencintaimu.”
=================

LEWAT pengeras suara di dalam pesawat diberitahukan bahwa pesawat dalam waktu dekat akan mendarat. Seorang pramugari mendekat dan mengingatkan kami untuk memakai seat belt. Aku membangunkan Magda dengan gurauan: ” Mam, pramugari tanya, apakah mama bersedia hidup bersama Tan Zung,?”
“Ya, iyalah,” jawabnya sambil mencubit daguku, gemas.
“ Lucu, kok jawaban mama seperti itu.?”
“ Yang tanya kan pramugari? Kalau pak pendeta yang tanya mama akan jawab,”Yes I do.” jawabnya tersenyum seraya bangkit dari pangkuanku.

Pramugari yang sejak awal sesekali mencuri pandang , tersenyum. Tampaknya dia “menikmati” adegan mesra singkat itu. Tetapi Magda tersipu malu setelah aku beritahu pramugari sedang memperhatikan kami. Magda masih tampak lesu . Dia menyandarkan kepalanya di sisi bahuku.
“ Pap, punggung mama pegal. Tolong pijat dong,” pintanya.
“ Mama sengaja bawa aku dari Jakarta hanya untuk pijat? Duh..sedih nian nasipnya seorang sarjana pengangguran.”

“ Yang dipijat juga kan sarjana, perempuan dari bukut suci?” balasnya genit.
“ Tadi, mama mimpi menyebut nama seseorang, tapi papa nggak mendengar secara jelas nama itu,” usilku, sambil tanganku memijat punggungnya.
“ Nama siapa pap? Hary..? Ketemu juga belum. Albert? Ngomong juga nggak pernah. Bistok kali iya pap,” ujarnya ketawa. Bistok, teman sekelas kami ketika di es-em-a, tetapi sudah menikah. Nama Bistok selalu aku sebut untuk sebalin Magda.
***
Jonathan adik Magda dan pacarnya serta Rina menjemput kami di airport. Keluar dari terminal Rina dengan perut buncitnya menyongsong di pintu keluar, berteriak,” Hei...mas lanteung selamat datang kembali ke pangkuan ibu pertiwi,” serunya lantas memelukku. Kemudian mencium Magda: ” Berhasil juga mbak “menyita” mas Tan Zung dari peredaran,” ujarnya disambut tawa Magda dan Jonathan.

Sebelum masuk ke dalam mobil aku meminta ke Magda agar mampir dulu ke rumahnya: “ Mau ketemu ibu mertua,” ucapku pelan takut kedengaran Jonathan. Mata Magda binar mendengar ucapanku “mertua” untuk maminya, lalu ia mengganguk “ Ya...iya pap,” sahutnya. Kali pertama aku menyebut mertua. Selama ini aku menyebut inang uda ( bu le/tante, pen)

Tiba di rumah Magda, maminya, calon mertuaku menyambutku, hangat. “ Sudah baikan amang ?” tanyanya sambil memperhatikan hidung dan bibir bekas kecelakaan.
“ Mami, bahu abang masih sering kambuh,” sela Magda. Sejenak kami berbicara dengan mami Magda dan Jonathan tentang rencanaku selanjutnya. Mereka bertanya apakah aku akan kembali ke Jakarta setelah bahuku sembuh.

“ Nggak mami. Abang nggak mau kembali lagi ke Jakarta. Abang mau cari kerja di sini.” jawab Magda mendahuluiku. Sementara kami mengobrol, Rina telah selesai menyiapkan makan malam. Rina memanggil kami sambil melucu “ Bapak-Ibu, saudara-saudari yang lapar silahkan mendekat, makanan telah tersedia,” kocaknya.
“ Rina, kelakuanmu kamu berubah banyak."
“ Bawaan dari dalam mas. anak Batak Jawa,” ketawanya.
“ Atau terlalu sering ke stasion Sambu dengar tukang koyok?” balasku.

" Mami, rasa arsiknya kok beda?" tanya Magda
" Bagaimana menurut kamu Zung?" tanya maminya.
" Menurut abang, arsiknya masakan siapa, mami atau Rina?” tanya Magda.
“ Yang pasti bukan masakan inang uda. Rina , pasti bukan. Terlalu hebat lah Rina tahu masakan arsik.”
“ Kenapa abang tahu pasti bukan mami yang masak?”
“ Kan, sudah sering cicipin masakan inang uda? Arsiknya kurang asin,” jawabku disambut tawa maminya Magda.
“ Lidah Tan Zung, lidah ompung-ompung,” celutuk mami Magda.
Inang uda kurang sehat amang. Tadi Rina belikan dari lapo (warung, pen).
***
Setelah makan malam, mami Magda mencegah kami pergi ke rumah pak Ginting. “ Lebih baik besok pagi amang. Biar itomu Magda yang mengantar. Dia masih punya cuti hingga besok lusa.”
“ Ya mas, malam ini tidur disini dulu. Rina sudah rapikan kamarnya,” sambung Rina. Wajah Magda tampak cerah, ketika aku setuju usulan maminya. Jonathan dan pacarnya serta Rina meninggalkan meja makan, tinggal aku dan Magda. Mami menyusul kemudian, setelah kami bertiga bincang-bincang berbagai hal.

“ Badannya di lap dulu sebelum tidur iya pap,?” tanyanya pelan saat aku menuju kamar tidur. Magda tidak merasa canggung, meski di rumahnya. Dia mempersiapkan pakain malamku. Juga dia mengikuti ke kamar mandi.
“ Papa nggak usah mandi. Sudah terlalu malam, ntar papa sakit. Biar mama yang melap badannya iya pap!” ucapnya serius.
“ Mam! Ini bukan rumah Tan Zung!”
“ Apa hubungannya, rumah papa dengan rumah mami? Mama tanya mau di bantu? Jawabannya hanya “ya” dan “tidak” jawabnya centil.
“ Terserah mama lah”
" Tidak ada pilihan jawaban ketiga. Hanya "ya" atau " tidak"? ( Bersambung)

Los Angeles. November 2009

Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Saturday, November 21, 2009

Telaga Senja (168)

==================
“ Mbak Maya dipaksa nikah dengan Parlin, teman seangkatan kak Tan Zung.”
“ Apa lagi,?” desakku
“ Rima hanya ingat itu saja. Maafkan Rima kak,” ibanya karena merasa bersalah.
“ Oh..nggak apa-apa” ujarku sambil memeluk punggungnya.
“ Bang, Antan!” ( Bang! Kira-kira dong) seru Lam Hot.
=================

MUNGKIN Magda merasa plong setelah mengetahui bahwa surat Maya belum pernah aku sentuh. Aku menemuinya di kamar. Dia tampak lelah terbaring di tempat tidur. “ Mam, siap-siap lah. Nanti mama ketinggalan pesawat. Koper mama sudah dimasukkan ke mobil,” ucapku pelan dekat telinganya. Magda terjaga. Dia meloncat dari tempat tidur setelah melhat arlojinya. Buru-buru lari ke kamar mandi. Sementara Magda bersiap-siap, ibu menyiapkan makanan.

“ Kenapa kamu belum siap-siap?” tanya ibu heran karena tidak melihatku tidak siap berangkat. Magda pun heran melihatku setelah keluar dari kama mandi. Magda memanggilku dari kamar setelah dia siap berpakaian.
“ Zung..! Kesini sebentar bang,” teriaknya.
“ Kau dipanggil itomu,” tegur ibu karena aku belum beranjak dari tempat dudukku. Magda kembali memanggilku. Kali ini suaranya lebih kuat.
Bangng..kesini sebentar. Tolong pasangin ini...” teriaknya. Sebelum teriakannya makin kencang, aku segera menemuinya ke kamar.
“ Susah amat sih dipanggil?” kesalnya saat aku dikamar. “ Tolong cantelin kancingnya” suruhnya sambil menyerahkan kalung pemberianku ( Susan) untuk dikenakan di lehernya.

“ Kenapa papa belum berkemas?”tanyanya.
“ Papa nggak usah ikut mengantar ke airport. Aku ngantuk, “ jawabku. Magda memutar tubuhnya menghadapku
“ Apalagi nih pap!? Mama datang hanya mau menjemput papa. Kalau hanya mama yang pulang, nggak butuh diantar. Mama bisa pergi sendiri,” ujarnya. Matanya melotot.
“ Papa bingung. Tadi pagi mama bilang, aku nggak usah ikut pulang; Dituruti, malah mama marah.”
Magda cemberut. Dia terduduk di ujung tempat tidur: “ Papaaa, aku capek...” rengeknya
“ Mama capek. Aku bingung harus bagaimana. Dituruti salah, ditolak kita ribut,” jawabku.

“ Maaf pap. Mama mengaku salah, Mama curiga dan terlalu cemburu,” ujarnya, lantas memelukku. “ Papaaa..mau maafkan mama?” lanjutnya.
“ Ya, tetapi lain kali jangan marah-marah didepan ibuku dong. Dia sudah capek melahirkanku, enak saja mama bentak-bentak.”
Pappp..maafkan mama. Nanti mama akan minta maaf ke mama tua. Papa siap-siap lah. Nanti kita terlambat," bujuknya.

" Papa takut, “ eyelku.
“ Takut kenapa pap?”
“ Di depan ibuku pun Magda berani marah. Apalagi kalau papa sendirian? Mama saja lah pulang sendiri,” lagakku seperti orang ketakutan. Sadar di angekin, Magda melepaskan pelukannya dan meninggalkanku sendirian di kamarnya. Ketawaku hampir meledak melihat tingkah Magda masuk ke kamar Lam Hot. Dia membuka koperku dan memilih kaos yang akan ku kenakan. “ Nih pap. Ganti kaosnya. Masya naik pesawat pakai kaos kusut. Papa nggak usah mandi, sudah nggak keburu, ” celotehnya.

“Papa ngantuk. Biar Lam Hot yang ngantar iya.!” jawabku, dibalas teriakan,” Zungngng...mengkek kali pun.“
Ibu menemui kami ke kamar setelah mendengar teriakan Magda.
“ Ada apa lagi inang?” tanyanya.
“ Masya abang pulang pakai kaos lusuh. Malu-maluin,” kelitnya.
“ Baru tahu kalau abangmu itu selalu berpakaian sesukanya. Sabar kamu inang. Sejak kecil abangmu tak pernah peduli dengan pakaiannya, “ tawa ibuku, lantas meninggalkan kami berdua di kamar Lam Hot. Sepeninggal ibu, kembali, aku ingatkan dia supaya lain kali jangan terlalu sensitif. " Mendengar nama saja pun Magda langsung meledak."
" Halah..sama saja pap. Dengar nama Albert pun papa langsung darah tinggi," ingatnya membuat aku terhenyak.

" Beda mam..."
" Ya....memang beda," sambarnya. " Maya pernah mempunyai hubungan khusus dengan papa. Mama tak pernah sekali pun berhubungan dengan Albert, bicara pun belum."
" Iya sudah lah, " suaraku surut
" Nah...kan? Papa langsung cemberut!" ujarnya sambil mendekapku. " Ayo pap, berkemas lah. Nanti kita terlambat."
***
Rencana mampir ke kantorku batal karena waktu tersita gara-gara tersebut nama Maya. Juga, dengan Laura kami tidak sempat bertemu. Aku berusaha menghubunginya dari airport, namun tak ada seorang pun yang mengangkat telepon.

" Telepon ke siapa pap?" tanya Magda .
" Telepon Laura. Mestinya kita harus telepon sebelum berangkat. Semua urusan berantakan gara-gara mama."
" Ya..ya. Mama mengaku salah. Nanti lah pap, kita telepon dari Medan."
Magda mencegah ketika mengangkat koper kecil milikku ke dalam pesawat " Biarkan mama yang bawa. Nanti penyakit papa kambuh lagi," cegahnya.

Di dalam pesawat, aku terus godain tentang pesan Maya, tetapi dia sudah nggak tanggapin lagi, kecuali mengukir senyum. " Ya pap teruskan. Mama sudah nggak mau ribut lagi. Papa mau pergi atau nggak ke pesta pernikahan Maya, itu urusan papa," jawabnya ketika aku tanyakan :
" Mama nanti pergi ?"
" Lihat nanti," suaranya lemah.

Sejak kemarin hingga kami berangkat ke airport, Magda hanya istirahat sejenak. Tampak wajahnya sangat letih. Aku mengajak Magda pindah ke belakang setelah minta ijin dari pramugari. Dibelakang ada sejumlah deretan kursi kosong. Disana, kepalanya terkulai lemah diatas pangkuanku. Dia terlelap. Aku menatap wajahnya, teduh nan sejuk, merangkai sejuta kebanggaan yang aku miliki dalam persahabatan dengan Magda.

Pramugari tersenyum penuh arti ketika menyaksikan tanganku, sesekali menggerai rambut Magda diikuti ciuman di pipinya. Kelembutan wajahnya mengingatkan ucapannya, ketika aku dan dia ribut gara-gara kepala Shinta tertidur dipangkuanku sepulang dari kampung.
" Pap, aku cemburu karena aku sangat mencintaimu." ( Bersambung)

Los Angeles. November 2009

Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (167)

Sarah McLachlan : I Love You Lyrics
I have a smile/stretched from ear to ear/to see you walking down the road /We meet at the lights/I stare for a while/the world around us disappears / it`s Just you and me/on my island of hope/a breath between us could be miles

Let me surround you/my sea to your shore/let me be the calm you seek / Oh but every time /I'm close to you/there's too much I can't say/and you just walk away

And I forgot/to tell you/I love you/and the night's/too long and cold here without you/I grieve in my condition/for I cannot find the words to say I need you so

Oh but every time I'm close to you/there's too much I can't say/and you just walk away

And I forgot/to tell you/I love you/and the night's too long/and cold here without you/I grieve in my condition /for i cannot find the words to say i need you so

======================
“ Hanya gara-gara itu, Magda marah dan menangis ? Emang aku orang gila?” entakku.
“ Kan, mamatua! Abang terus marahin Magda. Aku hanya beritahu, apa yang dikatakan Shinta!? “ adunya , disambut tawa ibuku.
“ Ehe..tahe boru ni paribankon, ( eh...putri adikku ini,pen) katanya sambil merangkul Magda

========================

IBU membujuk Magda supaya istrahat sebelum berangkat ke Medan. “ Nanti kalau Magda sakit, siapa yang menolong abangmu?
“ Abang nggak usah ikut. Biar tinggal disini," tukasnya.
“ Magda serius, aku nggak ikut pulang,?” tanyaku. Magda diam.
Ibu terus membujuk Magda untuk istrahat seraya menasehati : “ Jangan terlalu percaya pada mulut orang. Shinta juga tahu bahwa Magda masih berteman dengan abangmu.”
“ Mama tua, seminggu sebelum kita ke berangkat, Maya masih tanyain nomor telepon abang. Untuk apa?”

“ Mungkin dia mau memberitahu pernikahannya,” celutukku.
“ Abang diam dulu ! Aku tanya mamatua,” balasnya.
“ Mamatua nggak tahu. Mamatua juga sudah lama nggak ketemu dengan Maya,” jawab ibu.
“ Abang nggak pernah terbuka. Selama ini Maya terus kirim surat ke abang. Baru tadi malam ketahuan kalau abang masih terus berhubungan dengan abang.”
“ Katahuan apa? Lam Hot menyampakan pesan Rina perihal pernikahan Maya ke Magda, kemudian menyampaikan ke aku. Aku hanya bertanya, apa pesannya? Magda langsung uring-uringan. Supaya tidak berlarut-larut, lebih baik kita telepon Rina, sekarang,” kesalku. Ibu setuju usulanku.

Iya lah inang, teleponlah Rina supaya jelas apa pesan Maya.”
“ Biar abang saja yang telepon. Maya mau menyampaikan pesan ke abang, bukan ke aku,” balasnya kesal. Pagi itu, aku segera aku mengubungi Rina. Tanpa ucapan selamat pagi, aku langsung menanyakan apa pesan Maya yang disampaikan ke Lam Hot.
“ Mas, ada apa? Pagi-pagi kok sudah marah-marah? Lagi ribut dengan mbak Magda iya?”

“ Ya. Apa pesan Maya? Magda sewot gara-gara pesan itu. Maya bicara langsung dengan kamu ? ."
“ Nggak mas. Dia pesan melalui Shinta. Pesannya supaya mas jangan datang menghadiri pernikahannya.”
“ Yang bilang aku datang siapa? Aku sendiri pun tak tahu kapan dia akan menikah.! "
“ Mas ribut dengan mbak Magda gara-gara Maya.?"
“ Ya. Gara-gara pesan maut itu. Nih bicara sendiri dengan Magda!” ujarku lantas menyerahkan gagang telepon ke Magda.

Takut Magda semakin senewen, aku meninggalkannya dan ibu di kamar. Kepalaku pusing. Aku merebah di kamar Lam Hot. Sebelum Lam Hot keluar dari kamarnya, aku minta tolong supaya barang-barangku diangkat dari rumah kos. Meski otak sedikit tulalit karena ribut dengan Magda, kelopak mata tak mampu lagi berkedap-kedip, langsung terpejam. Ditengah rangkaian mimpi buruk, seseorang mencubit lenganku. Aku pikir itu dalam mimpi pula. Aku biarkan. Cubitan lain berpindah ke paha, berlanjut ke perut, sakit. Karena merasa perih, aku terbangun. Ah...Magda lagi. Aku membelakanginya. Dia menjerit.

“ Bang..! Apa ini hahhhh!? Dia melemparkan sejumlah amplop masih utuh ke tubuhku. Aku bangun dan memungut surat-surat itu. Pengirim surat tertulis, Maya S.
“ Magda dapat dari mana? Aku belum pernah lihat,” tanyaku serius.
“ Papa bilang, nggak pernah komunikasi. Itu surat apa hah..!?
Magda buru-buru mengunci kamar, ketika aku bangkit dari tempat tidur mau menanyakan Lam Hot atau Rima.

“ Papa mau kemana? Malu ketangkap basah iya?”
“ Mau tanyakan Rima atau Lam Hot. Kenapa surat penting sepeti ini di tumpuk!” jawabku.
Magda berbalik ke arah pintu setelah mendorongkanku ke tempat tidur. Dia kesal mendengar kalimatku, “surat penting”. Aku sengaja agar kompor semakin menyala. Dengan sekuat tenaga, aku menarik tangannya kemudian mendekap.

“ Magda nggak boleh keluar. Hanya kita yang dapat menyelesaikan ini,” ujarku. Magda terus meronta berusaha melepaskan pelukanku.
“ Mama dapat dari mana surat ini? Kenapa mama simpan surat penting seperti ini? Ayo kita baca bersama. Miliku kan milikmu jua,” ujarku menirukan lirik lagu, sambil melepaskan pelukanku. Pikiran agak lega, setelah tahu akar masalah. Aku mengajaknya duduk di sisi tempat tidur. Magda merampas surat-surat dari tanganku ketika aku mulai membuka amplopnya.

“ Nah, sekarang mama tahu kan, kalau surat itu masih utuh. Mama dapat dimana sih surat-surat itu?” tanyaku. Magda tak menjawab, dia bangkit dan meninggalkanku.
“ Mam, jangan lupa masukkan surat-surat penting itu kedalam koporku,” ujarku angekin dia.

Tak berapa lama, Lam Hot masuk kamar. Aku “interogasi” dia mengenani surat Maya. Kenapa ke lima surat Maya yang tertangkap oleh Magda itu tak disampaikan ke aku.
“ Surat Maya ? Nggak pernah lihat! Nanti aku tanyakan Rima. Suratnya dimana bang.?”
“ Magda telah sita. Nggak tahu, dia taruh dimana. Mungkin sudah dibuang.”
“ Kenapa kak Magda tahu?” tanyanya penasaran. Sebentar bang, aku tanyakan Rima mumpung dia masih di garasi," ujarnya. Aku mengikuti Lam Hot. Rima kaget mendengar pertanyaan Lam Hot perihal surat itu.

“ Mbak Magda tahu? tadinya aku mau kasih langsung ke kakak Tan Zung setelah tadi malam aku keluarkan dari lemari. Yahhh.. Allah, kok aku sampai kelupaan? Surat-surat itu Rima taruh di atas meja belajarku. Surat itu diambil mbak Magda iya.?” gusarnya.
“ Kenapa Rima menyimpan surat itu?” tanyaku.
“ Rima nggak tega setelah membaca isinya.”
Lho, kenapa Rima baca surat orang,?” kesal Lam Hot.
“ Kebetulan amplopnya terbuka mas. Aku tadinya hanya mau baca iseng.”
“ Apa isi suratnya?” tanyaku penasaran.

“ Mbak Maya mau datang menemui kakak Tan Zung, minta pertolongan. Pada hal kan Kak Tan Zung sudah punya teman akrab, Laura.”
“ Itu bukan urusanmu. Mau punya teman sepuluh atau seribu kek apa perdulimu. Emang si abang play boy !” kesal Lam Hot.
“ Mbak Magda marah iya?” tanya Rima.
“ Ya. Dia sebal. Apa lagi isi suratnya,?” tanyaku.
“ Mbak Maya dipaksa nikah dengan Parlin, teman seangkatan kak Tan Zung.”
“ Apa lagi,?” desakku.
“ Rima hanya ingat itu saja. Maafkan Rima kak,” ibanya karena merasa bersalah.
“ Oh..nggak apa-apa,” ujarku sambil memeluk punggungnya.”
Hoi..Antan. Anggi boru itu!” ( Hoi kira-kira dong. Adik ipar itu, pen) seru Lam Hot ( Bersambung)

Los Angeles. November 2009

Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Thursday, November 19, 2009

Telaga Senja (166)


=======================
" Eh...mam, sudah pukul tiga, tidurlah. Papa tidur di sofa ini saja.”
“ Mama ikut papa, tidur disni,” ujarnya sambil merebahkan tubuhnya di sisiku
“ Ntar ketahuan orang tua Rina dan ibu, nggak enak.” ujarku
“ Ibu papa kan calon mertuaku. Kenapa harus malu?”
========================
" Halah...Magda ... tadi menangis karena papa ajak tidur di kamar papa, merengek minta pulang. Sekarang mama nantangin. "
Nantangin apaan? Mama bilang, mau tidur disini bersama dengan papa. Ada yang salah?”
“ Mama serius? papa panggil taksi iya. Kita tidur di kamarku.!”
“ Selamat malam pap, “ ujarnya menghindar lalu melangkah ke kamarnya. “ Pap, mama lupa beritahu, Rina telepon Lam Hot. Katanya, Maya ada pesan untuk papa,” ingatnya sebelum masuk kamar.
“ Tunggu dulu! Pesan apa?”
Duh papa, semangatnya mendengar nama Maya. Apa lagi yang papa harap dari dia. Minggu depan sudah mau menikah.”

“ Apa pesannya mam?”tanyaku ulang.
“ Tanya langsung ke Lam Hot. Nggak baik pesan disampaikan pakai perantara.”
“ Mama selalu begitu. Menggantung perasaan papa.”
Hah..? Menggantung perasaan? Perasaan apa pap? Papa masih..."
"Mama...sudah. Nggak usah diperpanjang. Mama tidurlah. Mama terlalu capek. Yang menyinggung nama Maya kan mama. Kenapa mama sewot?”

" Sewot? Apa makusd papa, menggantung perasaan..hah!?" entaknya, lantas Magda langsung meninggalkanku diruangan tamu sendirian, tanpa pamit. Aku membiarkannya pergi. Aku yakin, dia tidak akan bisa tidur. Dia akan kembali menemuiku. Aku sangat yakin, karena aku tidak melakukan kesalahan apapun. Magda terlalu sensitif jika mendengar nama Maya, padahal dia sendiri yang memulai. Sikapnya jauh beda, jika kami bercerita tentang affairku dengan Laura. Tetapi dengan Maya?...Huh....ketakutannnya berlebihan !

Hingga saat itu, aku tak tahu jelas kenapa dia sangat benci bila mendengar nama Maya. Barangkali saja, karena aku dan Maya teman satu kampung? Dan tahu pula dia, mungkin dari paribanku Shinta, bahwa hampir seluruh keluarga kedua belah pihak sangat setuju atas hubunganku dengan Maya. Tetapi itu dulu, ketika aku dan Magda sedang ” bersengketa” dalam cinta. Bahkan ompung Napitpit ( panggilan untuk nenek br Napitupulu) sudah bersedia menyumbangkan sapi satu-satunya miliknya. Kalau saja bukan karena om Maya, John sibagur tano itu, patentang patenteng, pastilah aku dan Maya telah menjadi pasangan suami isteri. Sayang memang, sapi ompungku pun belum “jodoh” untuk disaksang.( di cincang, pen)
***
Aku tak habis pikir, kenapa Rina masih mau menyebut nama Maya dalam pesan teleponnya. Padahal dia sendiri pernah mengingatkanku, lewat telepon, jangan menyingung nama Maya bila bicara atau bercengkrama dengan Magda. Adakah pesan sangat penting untukku sehingga Rina sendiri terpaksa mengingkari peringatannya.?

Pikiranku , mengembara jauh ke kampung mengenang kesan pada pertemuanku dengan Maya saat pernikahan paribanku Shinta. Kenanganku berlanjut ketika merajut awal asmara di kebun, dibawah pohon besar nan rimbun, persis di belakang gereja. Kesan lain yang sukar aku lupakan, ketika aku dan Maya diberangkatkan oleh keluargaku dan keluarganya kala kami akan kembali ke Medan.

Meski selama perjalanan, aku dan dia tidak banyak terucap kata bernuansa asmara, namun, gerak tubuh kami berbuah ranum, beraroma cinta. Silih berganti, pangkuan kami menjadi tumpuan kepala selama perjalanan yang memakan waktu enam jam itu. Tatapan berucap banyak, kala tembang bernuansa cinta terdengar dalam bus yang kami tumpangi. Sopir tahu, kebetulan teman sekampung, bahwa diantara penumpang dalam bus itu ada sepasang” merpati” sedang dimabuk asmara, aku dan Maya.
***
Hingga akhir buaian kenangan dengan Maya berakhir, Magda belum juga muncul menemuiku ke ruang tamu. Aku mencoba telusur pada memoriku seri berikut, dengan Maya, namun tak berhasil. Pikiranku kini kembali ke Magda, setelah dia tak keluar dari kamar. Ingin menemuinya ke kamar, tetapi disana ada ibuku. Aku pun terlelap di atas sofa hingga pagi. Ibu membangunkanku dan menyuruh tidur ke kamar Lam Hot. Sebelum masuk kamar, ibu bertanya pelan: “ Kenapa lagi kau dengan itomu ? tanyanya. “ Sepertinya dia menangis? “

“ Mungkin dia kangen dengan maminya. Dia nggak pernah jauh dari orangtuanya,” jawabku menutupi keributan kami karena Maya. Ibu tak percaya menangis karena rindu terhadap maminya. Aku berbalik arah, masuk ke kamar Magda. Sebelum masuk kekamar, ibu mengingatkanku,” Unang muruk ho tu ibotomi” ( Jangan marahin itomu itu, pen)

“Magda, ada apa? Kenapa menangis? Mama yang mendahului menyebut nama Maya? Nggak malu lihat ibu, kamu cengeng!?”
“Ya, mama cengeng “ ketusnya.
“ Mama yang memberitahuku, bahwa Maya punya pesan untukku. Kenapa kok mama jadi kesal kepada papa,?” Magda diam. Mukanya masih ditutup bantal. Aku membujuknya, supaya menjelaskan kenapa sangat marah bila mendengar nama Maya.”

“ Papa, berpura-pura. Besok, papa nggak usah ikut pulang.”
“ Kenapa?” tanyaku kaget.
“ Tanyakan saja Lam Hot.” balasnya. Tak sabaran, aku membangunkan Lam Hot.
“ Hot, apa pesan Rina.” tanyaku ketika Lam Hot ku tarik ke kamar Magda.
“ Pesannya, abang nggak usah datang pada pesta pernikahan Maya.”
“ Yang bilang aku datang ke pestanya siapa?”
“ Manalah aku tahu bang. Tanya Rina lah!” ketusnya, lalu meninggalkan kami.

Tahu Lam Hot keluar, Magda melemparkan bantalnya ke arahku. “ Papa terus berpura-pura. Ketika mama datang, minggu lalu, papa juga sudah menanyakan pesta pernkahannya!”
“ Lalu apa hubungannya dengan tangisanmu sekarang? “
“ Apa urusannya lagi, Maya mengubungi papa?”
“ Manalah papa tahu. Iya tanyakan Maya. Pertemuanku terakhir dengan Maya, di airport enam bulan lampau. Magda juga tahu itu. Setelah itu kami nggak pernah komunikasi.”

Sementara aku dan Magda bersoal jawab, ibuku masuk. ” Apa yang kalian ributkan?” tanya ibu
“ Gara-gara Maya,”jawabku kesal. Ibuku tertawa mendengarnya, lantas duduk diatas tempat tidur, dekat dengan Magda.
“ Magda, kenapa kamu inang. Minggu depan Maya sudah mau nikah.”
“ Ya. Tetapi mamatua juga senang dengan Maya kan?”
“ Iya. Itu dulu, ketika abangmu pacaran dengan ibu dosen yang sudah punya suami. Daripada abangmu menikah dengan ibu itu, mamatua setuju abangmu pacaran dengan Maya. Kebetulan kami satu kampung dengan orangtua Maya. Memang, ibunya senang jika abangmu jadi menantunya.”

“ Iya sudah, nikah saja denngan Maya," celetuknya.
“ Mana mungkin lagi inang ( panggilan sayang kepada putri, ponakan perempuan atau menantu, pen). Minggu depan Maya sudah menikah dengan pilihan amang borunya ( suami bibi, pen) yang dosen itu.
“ Tapi kan Maya masih mengharapkan abang.?”
“ Tahu dari mana kamu inang,” tanya ibu.
“ Dari Shinta. Katanya Maya tidak suka dengan calon suaminya. Dia dipaksa menikah dengan anak abang om John itu. Maunya Maya nikah dengan abang. Sejak abang berangkat ke Jakarta, Maya terus cari alamat abang."

“ Hanya gara-gara itu, Magda marah dan menangis ? Emang aku orang gila?” entakku.
Kan, mamatua! Abang terus marahin Magda. Aku hanya beritahu, apa yang dikatakan Shinta!? “ adunya , disambut tawa ibuku.
Ehe..tahe boru ni paribankon, ( eh...putri adikku ini,pen) katanya sambil merangkul Magda.( Bersambung)

Los Angeles. November 2009


Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Wednesday, November 18, 2009

Telaga Senja (165)

"Nothing's Gonna Change My Love For You"
If I had to live my life without you near me/The days would all be empty/The nights would seem so long
With you I see forever oh so clearly/I might have been in love before/ But it never felt this strong/Our dreams are young and we both know/They'll take us where we want to go/ Hold me now, touch me now/I don't want to live without you
CHORUS:
Nothing's gonna change my love for you/You ought to know by now /how much I love you One thing you can be sure of/I'll never ask for more than your love
Nothing's gonna change my love for you/You ought to know by now how much I love you/The world maychange my whole life through/But nothing's gonna change my love for you

If the road ahead is not so easy/Our love will lead a way for us/Like a guiding star /I'll be there for you if you should need me/You don't have to change a thing /I love you just the way you are
So come with me and share the view/I'll help you see forever too/Hold me now, touch me now/I don't want to live without you
Back to Chorus
=======================
Aku dan Magda kaget ketika sopir menegurku dari kursi depan,” Hoi,.. Zung! Unang sai paksa. Sabar ho. Paima jo satongkin na i” ( Hoi, Zung ! Jangan main paksa. Sabar lah. Tunggu dulu sebentar, pen). Aku terpelongo, Magda pun segera mengangkat kepalanya.
=======================
Tanpa dikomando, aku dan Magda menjerit memanggil : " Poltaaakkk..! setelah dia menyingkap topinya. Ciri khasnya, kepala bagian depan agak botak. Kurang lebih tiga tahun lamanya tak bertemu dengannya. Poltak langsung berangkat ke Jakarta setelah selesai sarjamuda. Dia teman kami ketika dalam kelompok belajar. Orangnya cerdas tapi agak reseh sedikit ”bandit”. Dia terpaksa di "skors” dari group, setelah satu semester, karena matanya terlalu liar dan nakal. Melihat perempuan berwajah cantik, keseimbangannya langsung hilang. Parahnya, dia tak dapat membedakan teman perempuan dalam satu group dan perempuan luar. Kelompok belajar sepakat memberi “vonnis” keluar dari group.

Sebelumnya, aku telah berusaha membela sebelum “vonnis” dijatuhkan. ” Kita harus maklum. Dia baru datang dari kampung," belaku. Tetapi semua teman perempuan , kecuali Magda, serempak protes: “ Biar juga baru datang dari kampung tetapi harus tahu sopan lah. Merokok pun di sembarangan tempat.”

Magda sepakat denganku, “ Poltak tidak boleh dipecat langsung dari keanggotaan. Dia butuh “tuntunan”. Mereka setuju usulanku. Semua mendaulatku menjadi ”counselor” karena aku juga berasal dari kampung. Perbedaanyaku dengan Poltak, mata, tangan dan mulut selama ini, tetap terjaga santun.

Sebelum menjalankan tugas “ counselor”, terlebih dahulu mengadakan pendekatan. Makan bersama di restauran Kp. Keling, tempat tongkrongan pasangan berpacaran. Disana aku sampaikan keluhan teman belajar, khususnya perempuan.
“ Sementara ini kamu belajar sendiri dulu di rumah. Meski kita sudah lulus pelonco dikampus, tetapi untuk mata kayaknya kau belum lulus,” guyonku. Tiga kali hari Sabtu, Poltak bersamaku. “ Aku mau mengajakmu berkunjung ke beberapa tempat,” ujarku. Aku memberi jadual tiga tempat kunjungan. Ketiganya adalah tempat “mencuci mata, Poltak setuju.

Poltak menurut ketika aku ajak nongkrong di satu warung kecil, depan bioskop, sambil minum kopi. “ Pandang sepuasmu perempuan cantik-cantik itu. Tetapi jangan terlalu mencolok. nanti di pas-pas ( disikat,pen) kau,” ujarku.

Akhir pekan berikutnya, sebelum wajib kunjung ke rumah Magda, Poltak ku bawa ke kolam renang. “ Bawa buku Matematika dan Pengantar Akuntansi, biar pengunjung disana tahu kalau kita mahasiwa sedang stress. Disana kita duduk, melirik sambil belajar. Sesekali bolehlah kau pelototin. Tetapi jangan terlalu ketara. Ketika aku dan dia ke sana, di kolam renang, malah dia belajar serius.

” Belajar serius bukan disini tempatnya,”tegurku.
“ Banyak pekerjaaan rumah Zung,” jawabnya.
“ Kelompok belajar kita sedang belajar serius, matamu jelalatan. Dibawa ke parkiran, tempat mata jelalatan, kau belajar serius pula.”
“ Samanya semua ku tengkok,” balasnya.
Ah...kau hampir lulus, tawaku dalam hati. ” Omong-omong berapa kalian bersaudara?”
“ Lima orang,” jawabnya.
“ Berapa perempuan?”
“ Oh...nggak ada,” jawabnya. Ah..pantaslah kawan ini seperti kijang kehausan, pikirku.

Akhir “ pembinaan”, aku mengajaknya ke kebun binatang. “ Disana banyak “binatang” sedang berahi,” kataku. Awalnya dia menolak.
“ Ah..kejam kali lah lae ( bung, pen) Secantik apapun binatang tetap saja binatang,” kesalnya.
“ Poltak ! Ini akhir perpeloncoan untuk kau sebelum diterima kembali ke group. Ini yang paling menentukan Atau terserah kau lah. Aku terpaksa melaporkan kepada kawan-kawan, kalau kau menolak pelonco akhir.”
Iya lah lae.” ujarnya terpaksa.
“ Jangan lupa bawa rokok. Dua batang saja, bagianku sebatang.”

Akhir "pembinaan", ketika kami ke kebun binatang, Poltak mulai curiga ketika aku membawanya ke tempat agak gelap, dibawah pohon besar dan rimbun.
” Zung, ngapain kita ke tempat semak seperti ini?” tanyanya.
Hanya beberapa langkah setelah bertanya, dia melihat ada sepasang manusia sedang asyik bergelut diatas rerumputan. Melangkah ke tempat lainnya, kami melihat adegan lebih ganas.
Cammana? Sudah puas kau? Isap rokoknya, biar jangan gemetaran kau,” gurauku.
“ Ah...jijik pun aku lihatnya," balasnya.
“ Poltak! Kau lulus. Kalau kau tadi ikut syuur, berarti sama lah kau dengan mereka. Membuang hajat disembarangan tempat. Iya kayak makhluk dalam kandang itu. ”
*** ***
Poltak, awalnya menolak ketika kami mengajak dia makan. Tetapi karena kami nggak mau turun dari taksinya, akhirnya dia mengalah. Poltak membawa kami ke warung pojok dipelataran parkiran itu.” Disini lebih nyaman,“ ujarnya sambil memarkirkan taksinya. Poltak bertutur, kenapa dia menjadi sopir taksi. Menurutnya, dia baru saja dipecat karena menggelapkan sejumlah uang “setoran”. Sebenarnya, uang itu hasil setoran, tak resmi,” tuturnya. Dia bekerja di direktorat bea dan cukai, pelabuhan Tanjung Priok. “ Semua uangnya habis di meja judi, casino. Uang setan di makan jin,” senyumnya, kecut. “ Belum lagi, isteri menggerogoti.”

“ Lho, kok isterinya sendiri dibilang menggerogoti? “ tanya Magda keheranan.
Iya itu yang ke dua.”
“ Boh! Isterimu dua? Beruntung lah kau? Isterimu tahu kalau punya simpanan? tanyaku.
“ Tahu setelah aku ceraikan.”
“ Memang sejak dulu pun aku sudah melihat kau punya bakat,” ejekku.

“ Kapan kalian menikah? tanya Poltak mengalihkan ejekan lanjutan
“ Dua minggu lalu. Kami sedang honey moon. Besok kami kembali ke Medan.” ujarku. “ Jangan lupa mampir ke rumah kalau pulang ke Medan,” lanjutku sambil menyebut alamat rumah.
“ Oh..kalian masih tinggal di rumah ito Magda ?”
Ya. sementara kami menumpang di rumah mertua,” ujarku.

***
Tiba di rumah, Magda langsung mencocorku. “ Papa kok tega amat sih bohongin teman?”
“ Dia itu raja tega mam. Papa sengaja bilang kita sudah nikah. Aku takut kalau papa ngaku masih pacaran, dia hembuskan pula ilmunya ke mama. Mama bisa tergila-gila. Papa kan ikut jadi korban!?”
“ Nggak ada ilmu mempan ke aku. Mama sudah bilang, segudang lelaki antri menunggu jawabanku. Tak satu pun mama layani.”
“ Poltak beda. Dia nggak perlu antri. Modalnya cuma sebatang rokok. Tiup ke wajah perempuan, langsung “menggelepar”.

Emang ayam ! Sudah ah...papa makin ngaco. “ Bagaimana kalau dalam waktu dekat, kebetulan dia datang ke Medan dan mampir ke rumah?”
“ Kalau dia mampir, bilangin aku sedang mancing."
" Mancing keributan iya pap," tawanya.

" Eh...mam, sudah pukul tiga, tidurlah. Papa tidur di sofa ini saja.”
“ Mama ikut papa, tidur disni,” ujarnya sambil merebahkan tubuhnya di sisiku
“ Ntar ketahuan orang tua Rina dan ibu, nggak enak.” ujarku
“ Ibu papa kan calon mertuaku. Kenapa harus malu?” balasnya.( Bersambung)

Los Angeles. November 2009 http://tanzung.blogspot.com/

Tuesday, November 17, 2009

Telaga Senja (164)

======================
“ Jadi siapa nama menantu Naomi? pancing Magda.
“ Aku juga nggak tahu kak. Abang saja sudah belajar setahun nggak tahu. Lagi, aku kan belum lahir waktu itu!”
“ Abang adik sama bangornya,” tawa Magda.
=====================

MALAM sebelum kami berangkat ke Medan, atas saran Magda, aku tidur di kamar Lam Hot. Sebelumnya Magda kesal ketika aku menolak tidur disana. “ Nanti kalau sakit papa kambuh siapa yang bantu? Kok papa susah benar di bilangin?”
“ Papa jamin nggak bakalan kambuh.”
” Mama bilang, sekarang juga, papa harus keluar dari kamar ini. Barangkali juga mama tua ada pesan sebelum kita berangkat ke Medan.”
“ Kalau papa nggak mau?”
“ Mama tinggal! Papa mau nggak !?” ancamnya, lantas meletakkan t-shirt, yang akan aku kenakan, diatas ranjang.
“ Sejak tadi pagi, mama marah terus...”
“ ....papa! mama capek. Sejak tadi malam kurang istrahat gara-gara papa bandel.”

Iya lah. Aku mau ikut. Tetapi pulangnya minggu depan iya mam...” eyelku. Mungkin karena sudah bosan mendegar rengekanku agar pulang minggu depan, dia tertawa sambil merangkulku hingga terjerembab diatas ranjang.
Papaaa sayang....mama sih mau. Tetapi masa cutiku tinggal dua hari lagi. Mumpung masih ada cuti, nanti mama akan merawat papa full time
“ Kenapa nggak bilang dari kemarin? Aku nggak capek ngerayu mama.”

“ Mama semakin yakin, seperti di ucapkan perawat minggu lalu. Pasien itu cengeng dan cerewet. Iya ini kayak papa. Duh...kalau bukan...” ujarnya tanpa mengakhiri kalimatnya.
“ Kalau bukan...apa, ayo teruskan.”
" Kalau bukan calon suamiku. Papa payah! Katanya pintar membaca hati orang. Ngomong doang.”
Kan papa lagi sakit ? Kamampuanku menembus relung renung lemah."
" Batereinya soak iya pap," ujarnya sambil meninggalkanku di kamar. Magda minta ijin ke ibu kos dan meberitahu, barang-barangku akan dijemput besok pagi.
***
Sebelum tidur, ibu, Lam Hot, Magda dan kedua orangtua Rina sempat ngobrol hingga larut malam. Kedua orangtua Rina selalu bersedih bila menyinggung keberadaan Rina serta kekerasan hati Rina karena tak mau menerima kehadiran mereka saat akan melahirkan. Malam itu Magda kembali mendapat pelukan haru dari ibu Rina setelah dia memberi “jaminan” bahwa Rina akan menerima kedua orangtuanya.
Temu keluarga malam itu berakhir menjelang tengah malam. Meski seluruh badan terasa lemah, mata sukar terpejam, sementara Lam Hot langsung pulas. Aku gelisah, nggak jelas kenapa. Aku keluar dari kamar, berbaring diatas sofa ruang tamu. Tak berapa lama, Magda menemuiku.

“ Kenapa tidur diluar pap?”
“ Papa nggak bisa tidur, entah kenapa. Kita jalan iya?”
“ Dinihari begini? Jalan kemana ? Ntar papa sakit lagi.”
“ Kalau sakit kan ada perawat. Ayolah, malam terakhir papa di Jakarta.”
“ Ya. Sebentar, mama ganti pakaian.”

Sementara Magda mengganti pakaian, aku keluar menunggu taksi. Sesaat keluar dari pintu, taksi melintas di depan rumah. Sembari menunggu Magda datang, kepada sopir taksi, aku telah memberitahu tempat yang dituju dan memberi petunjuk jalan yang harus dilalui.

Di dalam taksi, Magda kaget ketika aku menjawab pertanyaannya, kami mau kemana.
“ Kita tidur di kamarku. Aku kangen mam.”
“ Jangan...! Pap...kan kemarin dan kemarin dulu mama sudah tidur disana?” tolaknya.
“ Selama dua hari itu, aku sedang dalam perawatan. Tubuhku masih rapuh.“
Papppp...mama nggak enak ke mamatua. Ntar aku diangap perempuan apa. Pap, ayo kita pulang,” ibanya.
“ Yang mengajakmu papa, bukan ibuku. Mamatuamu kan ibuku sendiri. Ngapain mama malu. Memang sudah mau jadi suami isteri kok.”

“ Tetapi kan belum! Papa kenapa nggak sabaran sih?”
“ Benar mama nggak mau? Ayo kita pulang. Pak sopir, tolong ....”
Tiba-tiba tangan Magda menutup mulutku. Raut wajahnya sendu.” Pap...kenapa sih nggak mau terbuka. Tadi papa nggak bilang kalau kita mau ke rumah papa.”
“ Apa bedanya, dibilang sekarang atau tadi. Mama mau nggak!?”
Magda tak menjawab. Kepalanya tersandar lemah disisi lenganku. “Mam, jawab dulu. mau nggak?” desakku. Tetap saja dia bergeming. Aku merasakan cairan hangat di lenganku. Magda menangis.
“ Lho, kok menangis? Bahagia atau kesal?” tanyaku. Magda mengangkat wajahnya menatapku sendu.
“ Pap, ayo kita pulang,” bujuknya setelah mendekat ke rumah kosku.

Wajahnya berpaling ke luar, ke sisi jalan. Bebeberapa saat dia tetap menoleh keluar.
“ Papaaa... kita pulang,” ibanya. Aku diam seakan kesal atas sikapnya. Tak lama kemudian, Magda mulai sadar bahwa aku kerjain, setelah tahu taksi telah melewati rumah kos ku. Magda mencubit lenganku sangat kuat setelah tahu taksi melintas di Jl. Thamrin menuju ke Jl. Sudirman.

Tak puas mencubit, dia memukul-mukul pahaku, kemudian merebah diatasnya. Aku mengggerai rambutnya lantas mencium pipinya.
"Papa jahat. Tak habis-habisnya papa menguji mama,” ucapnya sambil mencubit betisku sementara taksi terus melaju menuju blok M. Tiba di palataran parkir yang setiap malam berubah menjadi “restauran tenda“itu, aku mengajak Magda turun. Dia masih enggan turun dari taksi. Kepalanya masih merebah diatas pahaku.
“ Magda, kita sudah sampai. Papa kelaparan nih. Jika mama tidak mau turun, papa tinggalin," bisikku di telinganya.
***
Aku dan Magda kaget ketika sopir menegurku dari kursi depan,” Hoi,.. Zung! Unang sai paksa. Sabar ho. Paima jo satongkin na i” ( Hoi, Zung ! Jangan main paksa. Sabar lah. Tunggu dulu sebentar, pen). Aku terpelongo, Magda pun segera mengangkat kepalanya. ( Bersambung)

Los Angeles. November 2009


Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Monday, November 16, 2009

Telaga Senja (163)


Bed Of Roses
Sitting here wasted and wounded at this old piano /Trying hard to capture the moment this morning I don't know /'Cause a bottle of vodka is still lodged in my head /And some blond gave me nightmares, think that she's still in my bed /As I dream about movies /They won't make of me when I'm dead

With an ironclad fist I wake up and french kiss the morning /While some marching band keeps it's own beat in my head /While we're talking /About all of the things that I long to believe /About love, the truth, what you mean to me and the truth is /Baby you're all that I need

I wanna lay you down in a bed of roses //For tonight I'll sleep on a bed of nails /I wanna be just as close as your Holy Ghost is /And lay you down on a bed of roses

Well I'm so far away the step that I take's on my way home /A king's ransom in dimes I'd give each night /To see through this pay phone /Still I run out of time or it's hard to get through /Till the bird on the wire flies me back to /You I'll just close my eyes, whisper baby blind love is true

I wanna lay you down in a bed of roses /For tonight I'll sleep on a bed of nails /I wanna be just as close as your Holy Ghost is /And lay you down on a bed of roses

Well this hotel bar's hangover whiskey's gone dry /The barkeeper's wig's crooked /And she's giving me the eye /Well I might have said yeah /But I laughed so hard I think I died /Ooh yeah

Now as you close your eyes /Know I'll be thinking about you /While my mistress she calls me to stand in her spotlight again /Tonight I won't be alone /But you know that don't mean I'm not lonely /I've got nothing to prove for it's you that I'd die to defend

I wanna lay you down in a bed of roses /For tonight I'll sleep on a bed of nails /I wanna be just as close as your Holy Ghost is /And lay you down

I wanna lay you down in a bed of roses /For tonight I'll sleep on a bed of nails /I wanna be just as close as your Holy Ghost is /And lay you down on a bed of roses


======================
“Oalah..jadi kita berdua sudah pernah “ janda” dan “duda?”
“Ya. Tetapi mama baru sekali menjanda. Papa entah sudah kali keberapa menjadi duda.”
“ Papa termasuk yang baik hati dong. Mau menikahi seorang janda”
“ Kan dengan jandanya papa juga ?”

=====================
AKU harus akui, Magda lah satu-satunya , diantara sejumlah perempuan sahabat , mampu mengikuti alur pikiranku serta cepat dan tepat mengambil keputusan tat kala aku terjerat dalam keragu-raguan. Kecuali, dalam alur asmara, apalagi setelah kami “bercerai” , Magda kadangkala harus melalui jalan panjang dan berliku. Tetapi semuanya bermuara pada wujud cinta kasihnya.

Sejak kehadirannya di Jakarta, perhatian Magda melebihi dari apa yang aku pirikan. Kini, Magda memberlakukanku seolah telah menjadi suaminya. Ditengah ketidakberdayaan tubuh, aku mengikuti jalan pikiran dan keputusannya. Keputusan mendadak pulang ke Medan aku setujui meski terus berupaya membujuknya, denga segala dalih, agar dia mau menunda beberapa hari lagi.
***
Kami pulang lebih awal beberapa jam dari waktu yang dokter tentukan. “ Pap, kita lebih baik pulang ke rumah. Disini juga papa hanya istrahat. Sambil menunggu mamatua datang, mama akan mengepak barang-barang papa. Siapa yang bicara dengan ibu kost. Papa atau nmama?” tanyanya.
“ Semua urusan, aku serahkan ke mama. Aku tinggal terima bersih."
“ Memang papa selalu begitu. Tidak pernah mau berjuang bersama dengan mama ...”balasnya ketawa
“ Belum cukupkah lima tahun lebih berjuang hanya untuk Magda seorang? Mama carilah diseluruh dunia ini, berapa orang yang mampu merawat cintanya selama itu hanya kepada satu orang? Putih bersih mam.!”

“ Mama tidak membantah itu. Yang mama mau katakan, ketika mama hampir diterkam serigala, papa malah pergi meninggalkanku bahkan ikut mencambukku dengan cemeti mematikan,” ujarnya sambil menolongku turun dari ranjang.
“ Ya. Badai itu datangnya begitu tiba-tiba. Ditengah kesehatanku diambang kematian, mama membiarkan papa berjalan di lorong nan gelap. Disana papa mendengar lolongan malam serigala itu. Sangat menakutkan. Meski dengan susah payah, papa berhasil keluar dari lorong gelap, tetapi papa menemukan mama sedang...”

“ ....pap, sudah, ” potongnya. “Sejak dari dulu mama sudah katakan, itu bukan kemauanku. Papa saja mengambil keputusan emosional. Sudah papa. Nggak usah di ungkit lagi. Mama sih nggak apa-apa. Tetapi papa, kalau sudah menyinggung “putihnya salju” selalu larinya kesana. Papa menggagap hanya salju milik papa yang maha putih. Milik orang lain berwarna kelabu. Papa nggak fair juga lah."
“ Ya, mam. Papa janji, mau belajar (lagi) sabar dari mama. Maka itu, sekarang, papa turut apa yang mama katakan. Tetapi kalau boleh.....”
“ Tetapi.... apalagi...hah?” tanyanya sambil mencubit lambungku.
“ Kalau boleh, kita pulang minggu depan.”
” Atau mama pindah ke sini?” balasnya. Magda tahu jika aku sengaja angekin dia.

Tiba dirumah, Magda menemui ibu kost sekaligus memberitahukan rencana pulang ke Medan. Setelah bicara dengan ibu kost, perempuan batak ini, dengan sigap membereskan kamarku. Dia mengentakku ketika mau membantu dia.
“ Pap, jangan cari perkara lagi. Papa duduk saja, sambil menunggu mamatua dan Lam Hot datang.
***
Magda kembali “unjuk gigi” dalam pertemuan kami berempat; ibu, aku, Lam Hot dan Magda . Magda menolak usulan ibuku agar kami bicara di rumah Rina, tempat adikku kos. Tetapi dia bersikukuh membicarakan yang berkaitan denganku harus di tempaku tinggal.
“ Mama tua, Magda mau, kita bicara di kamar abang. Disinilah tempatnya abang, bukan di rumah Rima. Ibu mengalah. Dalam pembicaraan di kamarku, Magda tetap bersikeras harus pulang besok pada penerbangan terakhir.
“ Mamatua, Magda nggak tega melihat abang terus menderita seperti ini. Mamatua tinggal dulu dengan Lam Hot hingga rindu mamatua telah puas.”
Ibuku meminta ikut pulang bersamaku. Lam Hot tidak mengijinkannya.

“ Nanti ayahmu marah. Dikira ibu nggak pedulikan abangmu,” kata ibu ke Lam Hot.
“ Mama tua, nanti Magda yang bicara dengan papa tua. Mama tua nggak usah kuatir.”
“ Kak, ibu bukan takut pada ayah. Takut pada abang. Abang ini kan terlalu dimanjakan oleh ibu.” ujar Lam Hot disambut tawa cerah ibuku sambil membantah.
“ Hot, ibu selalu bersikap sama kepada kalian semua anak-anakku. Nggak ada yang dibedakan.”
Suasana tegang agak mencair setelah Lam Hot mengeluarkan jurus reseh. Dipancing pula oleh Magda.

“ Lam Hot cemburu iya?” pancing Magda.
“ Ya iyalah. Waktu masa kecil kami, kalau Lam Hot sedikit saja salah, langsung ibu main cubit. Tetapi bila abang? biar salah sebesar apa pun pura-pura nggak tahu. Pernah abang mau dilibas oleh ayah, tetapi nggak jadi karena dibelain ibu. Waktu itu, ujian sidi. Masya abang jawab mantunya Naomi, Maria? Ketawalah semua seisi gereja. Ayah langsung pulang, karena malu.” tuturnya, disambut tawa lepas ibu dan Magdalena.
“ Apa hubungannya Naomi dengan Maria?” tanya Magda

“ Abang pikir, vorganger ( Ketua majelis gereja, pen) tanyakan siapa menantu namboru ( bibi, pen) Naomi. Memang, namboru punya menantu, namanya Maria. Gara-gara abang sok pintar itu, akhirnya belajar sidinya diulang setahun lagi.”
“ Jadi siapa nama menantu Naomi? pancing Magda.
“ Aku juga nggak tahu kak. Abang saja sudah belajar setahun nggak tahu. Lagi, aku kan belum lahir waktu itu!”
“ Abang adik sama bangornya,” tawa Magda. ( Bersambung)

Los Angeles. November 2009


Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Saturday, November 14, 2009

Telaga Senja (162)






http://www.youtube.com/watch?v=SZGUloq93SA


========================
Buru-buru aku menelannya. “ Papa jangan! Papa mau bunuh diri?” cegahnya.
“ Nyerinya luar biasa mam . Aku tak tahan lagi,” rintihku. Dia mengajakku malam itu kerumah sakit, tetapi aku menolak. Tidak lama berselang setelah menelan obat yang kedua, aku terkapar diatas tempat tidur.
=========================

Bangun pagi, kaget setelah menyadari aku berada di ruang rawat, rumah sakit . Magda, Lam Hot duduk di sisi ranjang. Kelopak mata Magda agak bengkak sementara wajah Lam Hot tampak kuyu.
“ Kenapa aku ada disini?” tanyaku. Magda mendekat kewajahku, berujar: ” Papa makan obat over dosis.”
“ Daripada tersiksa terus, lebih baik dioperasi saja bang,” usul Lam Hot.
“ Pap, tadi malam, aku terpaksa minta tolong Lam Hot membawa papa kesini setelah melihat wajah papa biru dan badan kejang. Memang berapa obat yang papa makan ?”

“ Nggak ingat. Tadinya mau makan satu. Tetapi tiba-tiba mama teriak, tanpa sengaja papa makan semua obat yang ada ditangan.”
“ Makan obat seperti makan kacang. Untung abang masih dapat diselamatkan,” celutuk Lam Hot. “ Makan jengkol pun jika over dosis bisa semaput,” imbuhnya cengengesan.

Magda menyuruh Lam Hot pulang istrahat . “ Hot pulang duluan, kamu terlalu capek. Jangan lupa jemput mama tua dari rumah tulang. Apa kakak perlu telepon Lam Hot, entar ketiduran ? Bilangin mama tua, kakak dan abang pulang besok, penerbangan terakhir.”
“ Kita pulang besok? Kenapa buru-buru.?”
“ Mama pusing dan capek urusin papa disini.”
“ Nggak jadi naik kapal laut?” tanya Lam Hot.
‘ Kapal laut? Memang siapa yang bilang pulang naik kapal laut?”
“ Papa yang bilang,” sahutku.

“ Kenapa nggak bilang ke mama? Hot, batalkan itu. Besok, dari airport, kakak akan bawa abang langsung ke rumah pak Ginting.”
“ Barang-barangku belum di kepak. Juga, belum bicara dengan ibu kost. Kita pulang minggu depan iya mam?” bujukku.
“ Nanti siang kita bicara dengan ibu itu. Nanti, mama dan Lam Hot akan mengepak barang-barang papa.”
“ Bagaimana ibu? Ikut pulang?” tanya Lam Hot
“ Nggak usah. Biarkan mamatua puas dulu dengan Lam Hot. Terserah mamatua pulang kapan. Nanti kakak belikan tiketnya open date.”

Sepeninggal Lam Hot, Magda semakin”ganas” ketika aku membujuk menunda pulang untuk beberapa hari lagi. “ Mam, aku masih lemah. Kita pulang minggu depan iya?” bujukku.
“ Tidak! Papa mau kesal, mau marah, terserah. Kali ini papa turut apa kata mama. Besok kita pulang!” tegasnya.
“ Papa belum sempat kekantor mohon diri dengan rekan sekerjaku."
“ Besok kita kesana. Apalagi alasannya? Belum ketemu dengan Laura. Iya... pap? Sebentar lagi mama akan telepon dia. Ada lagi dalihnya,?” tanyanya, lalu mencium keningku.
Iya terserah lah. “ jawabku pasrah. Meski hati berontak, aku terpaksa menurut. Selama ini, memang, Magda masih bersedia mengulur waktu, pulang ke Medan. Selain itu, Magda terus memberikan perhatian penuh atas kesehatanku. Kali ini aku harus mengalah.

“ Papa kesal?”
“ Ya, iya lah. Rencana kok begitu mendadak. Di Medan, aku tinggal dimana?”
“ Papa nggak mau tinggal sementara di rumah mami? Sebentar lagi kan jadi mertua,?" guraunya. " Kalau papa nggak mau, sementara tinggal di rumah pak Ginting,” imbuhnya.
“ Kenapa sih harus dipaksakan besok?”
“ Mama nggak tega melihat penderitaan papa. Tadi malam semua pada kuatir melihat kondisi kesehatan papa. Ibu kost juga sampai menangis. Lam Hot teman papa selalu tengkar itu pun tak mampu menahan rasa sedihnya. “
Lho, waktu itu mama dimana?”
Papaaaa... Nggak lihat mataku bengkak seperti ini. Papa, toleh ke sini!” entaknya kesal sambil memiringkan wajahku menghadap wajahnya. “ Tahu nggak papa, mama...?
“Tahu mengenai apa..?” potongku.
“ Papa diam dulu! Dengar dulu mama ngomong sampai selesai !”

“ Ya...ya... Awak sakit pun di bentak-bentak,” ujarku seakan membatin. Magda menyambut keluhanku dengan menjeng.
Papaaaa sayang, aku tidak membentak. Maka itu, jangan langsung dipotong sebelum mama selesai bicara. Dengarkan pap. Ketika wajah papa biru dan badan kejang-kejang, mama berteriak memanggil ibu kost. Mama kebingungan tidak tahu berbuat apa. Mama kira, malam tadi, akhir pertemuanku dengan papa setelah memanggil-manggil papa namun tetap diam, bibir papa gemetar, keringat mengucur terus di wajah papa. Mama pun terduduk lemas di sisi ranjang papa. Untung ibu kost mendengar teriakanku sebelumnya. Ibu itu memberiku air. Seandainya papa pergi untuk selamanya, entahlah mama dijulukin apa. Janda bukan !?”
“Kenapa sih pikiranmu sejauh itu. Seperti orang yang sudah pernah mengalami kematian suami.”

“ Ya. Sudah kan pap?” jawabnya manja.
“ Kapan? Jadi mama sudah pernah menjanda?”
“ Papa...papa. Bukankah papa, dulu, telah menceraikan mama. Bahkan mama merasa papa telah tiada. Tanda kematian telah mama pancangkan di atas “pusara” setelah papa dentangkan lonceng kematian itu. Disana , diatas tanda itu, mama tuliskan:" Manusia ini telah meninggal bersama dengan keangkuhannya."
“ Sadis amat sih Magda?"

" Mana lebih sadis dengan "pembunuh"? Tetapi, pembunuh itu telah hidup kembali kok, meski dalam penderitaan," ujarnya diiringi tawa seraya membenamkan wajahnya diatas dadaku.
".....dan manusia angkuh itu pun kini bersama dengan seorang" janda" yang baik hati," balasku.
" Bukan pap. Mestinya, duda itu pun kini kembali dengan "jandanya"
"Oalah..jadi kita berdua sudah pernah “ janda” dan “duda?”
“Ya. Tetapi mama baru sekali menjanda. Papa entah sudah kali keberapa menjadi duda.”
“ Papa termasuk yang baik hati dong. Mau menikahi seorang janda”
Kan dengan jandanya papa juga ?” (Bersambung)

Los Angeles. November 2009

Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Thursday, November 12, 2009

Telaga Senja (161)

Luther Vandross- Mariah Carey" Endless Love"
[LV:]
My love/There's only you in my life/The only thing that's right/Oh yeah
[Mariah:]
My first love (yeah)You're every breath that I take/You're every step I make
[both:](Oh)
And I
(And I)

I want to share/All my love with you, hey yeah/No-one else will do (mh)/And your eyes (your eyes, your eyes)/They tell me how much you care/Oh, yes/You will always be/My endless love/Oh yeah

Two hearts/Two hearts that beat as one/Our lives have just begun/And forever (forever)/I'll hold you close in my arms/I can't resist your charms/No no no no (no no no)
And I
And I)

I'd be a fool/For you, I'm sure/You know I don't mind (no, you know I don't mind)/'Cause baby you (baby, baby, baby, baby)/You mean the world to me, yeah /I know I've found in you/My endless love
[instrumetal break]
Yeah (yeah)/Do do, do dooo, do do do .......Whooooa
And I/I'd play the fool/For you, (for you baby) I'm sure/You know I don't mind (you know I don't mind)/Oh, yes
You'd be the only one/'Cause no-one can't deny/This love I have inside/And I'll give it all to you/My love (my love, my love)/My my my/My endless love
Mmh.......My love

=========================
Didalam mobil, Magda ngomel. " Didepan mataku saja papa berani macam-macam dengan perempuan lain. Pakai ciuman lagi."
" Papa kan nggak balas. Mama, itu sebuah resiko."
" Resiko apaan?"
" Resiko pemuda idaman!"
=======================
“ Pap, kesombongan mula kehancuran. Kelak bukan cuma bibir dan hidung papa jadi korban, seperti sekarang ini.” ingatnya.
“ Kenapa jadi serius mam? Kadangkala, tanpa kita sadari, ilalang tumbuh ditengah bunga yang sedang mekar.”
“ Kenapa perlu dilpelihara kalau sudah tahu itu ilalang pap?”
“ Anggap saja sebagai peringatan. Agar jangan terlalu yakin bahwa hanya kembang bertumbuh disana. Barangkali saja ada tumbuhan mekar liar mirip kembang yang mama semai itu.”
“ ...dan papa memelihara ilalang itu tumbuh subur?” sergahnya

“ Tidak! Tetapi mama juga harus ikut memelihara semaian yang mama taburkan agar jangan sampai ada ilalang dan tumbuhan lain mekar bersama.”
Halah. Jika nanti ada tumbuhan liar disana, papa akan meyalahkan mama juga. Begitu kan?”
“ Ya. Mama harus ikut bertanggung jawab. Seperti papa telah perlihatkan selama ini.”
“ Papa perlihatkan apa? Kecuali marah-marah, mabuk, main judi dan selingkuh” cecarnya. Agak serius. Magda mulai bergeser, mebuat jarak duduk denganku. Dia menarik tangannya dari peganganku. Tubuhnya sedikit miring mengarah keluar jendela. Mendengar “pertarungan” agak memanas, Lam Hot mengganti gelombang radio dari musik lembut ke musik hingar bingar dan menambah volume radio. Magda menepiskan tanganku ketika menyentuh lengannya. Sejenak aku biarkan dia “berlayar” dengan pikiran aneka ragam diantaranya, curiga dibungkus cemburu. Ku ulang lagi. Berbalas. Dia memutar tubuhnya, memandangku tajam. “ Apaan?” ketusnya.

“ Selain marah-marah, mabuk dan berselingkuh, papa tetap mememelihara semain yang papa tabur. Papa tidak membiarkan ilalang tumbuh disana. Juga tidak akan ada kembang lain yang mirip, mekar bersama. Papa tahu , seperti pengakuan mama minggu lalu, Hary dan Rony ingin mempersuntingmu. Tapi akhirnya bagaimana? Satu persatu mereka mundur teratur setelah mereka tahu bahwa, papa masih merawat kembang yang papa semai itu.”
“ Memang apa yang papa lakukan?”
“ Tanyakan lah kepada mereka.!”
“ Papa egois.!”
“ Itu demi cintaku yang tulus!”
“ Tulus? Tetapi masih menuai di tempat lain.”
“ Sekedar cadangan mam.” ujarku.

“ Papa!” teriaknya. “ Papa sengaja membuat cadangan? Ayo pap! Katakan lagi.... !“ gemasnya seraya menarik telingaku..
“ Ya. Kelak, jika ada semaian yang layu, disini, aku tinggal memindahkan.” Magda mulai sadar, bahwa aku sengaja gocekin dia.

“ Malam ini tidur di kamarku?”
“ Nggak. Mama capek.”
“ Siapa yang siapkan serapan dan obatku besok pagi ?”
“ Panggil saja Laura atau ilalang lain!”
“ Mama nggak menyesal?” lagakku serius. Tangannya menampar pelan pipi bekas ciuman Sonya.
“ Papa sok.”

“ Mam, boleh aku pinjam selampenya?” godaku. Magda diam. Dia hanya menatapku. Ternyata “antena” Lam Hot menangkap suaraku ditengah berisiknya suara radio. Tiba-tiba dia melemparkan kain lap mobil kebelakang, jatuh pas di depanku. Ulah Lam Hot menggelitik Magda. Dia ketawa lepas. Suasana kembali cair.
“ Masya kain kotor melap yang kotor? Kapan bersihnya?” ketawaku tak kalah seru. Magda mengambil kain lap dari depanku, menaruh ke bawah jok mobil. Kini, dia membiarkan tangannya ku usapkan di pipiku bekas ciuman Sonya.
“ Masih merasakan ada bibir lain disana?” tanyaku?
“ Masih.!” tawanya.

***
Tiba dirumah Rima, Magda belum mau melepaskanku pulang. Kebetulan pula lengan dan bahu mulai menggigit nyeri seperti disayat. Aku terus menahankan rasa nyeri itu tanpa merintih. Namun, peluh yang mulai mengucur di keningku terlihat oleh Magda ketika keluar dari kamar mengganti pakaiannya. Segera dia berbalik ke kamar mengambil obatku dari tas tangannya. Semua prihatin, tak terkecuali adikku si reseh, Lam Hot. Dia berlari ke dapur mengambilkan air minum.

Magda membaringkanku di kursi seraya melap peluhku menunggu air minum pendorong obat penenang. Magda mengangkat kepalaku keatas pangkuannya setelah memberiku tablet "pain killer" sekaligus obat penenang. Berulang dia memanggilku, lembut: "papa..papa...papa.." namun mulut agak berat menyahutinya, obat mulai meresap. Lam Hot dan Magda sepakat membawaku pulang setelah aku menolak tidur di kamar Lam Hot. Magda segera berkemas menggantikan daster yang dikenakannya. Ketika menuju ke mobil, dia tak membiarkan Lam Hot memapahku.
" Biar kakak yang tuntun," ujarnya.

Tiba di tempat kostku, Magda tidak tega meninggalkanku sendirian. Dia menyuruh adikku pulang. " Besok, jemput kakak, agak siangan iya dik. Kita lebih baik bawa ke dokter. Kasihan si abang," ujarnya. Obat yang baru saja aku telan, belum terasa membantu mengurangi rasa nyeri.
Meski dokter melarang makan obat penenang dalam waktu berdekatan, diam-diam aku mengambil obat itu dari tas Magda. Aku tertanggkap basah. Magda berteriak ketika melihatku mengambil obat penenang dari tasnya. Buru-buru aku menelannya. " Papa jangan! Papa mau bunuh diri?" cegahnya.
" Nyerinya luar biasa mam . Aku tak tahan lagi," rintihku. Dia mengajakku malam itu kerumah sakit, tetapi aku menolak. Tidak lama berselang setelah menelan obat yang kedua, aku terkapar diatas tempat tidur. ( Bersambung)

Los Angeles. November 2009


Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/