Wednesday, October 7, 2009

Telaga Senja (136)

==========================
“ Lho, aku bekerja rangkap untuk persiapan pernikahan kita.!?” ujarku dengan mimik serius.
“ Nggak lucu mas!”
“ Laura, aku tidak sedang melucu!” seriusku lagi
“ Iya..mas sedang bermimpi,” ujarnya, lantas menarik tanganku, pulang.
==========================


SELAMA dalam perjalanan pulang Laura kehilangan gairah untuk bicara. Bahkan ketika tiba di tempat kostku dia langsung meninggalkanku. Tidak seperti bisanya selalu mampir dan masuk ke kamar. Selama bersahabat dengannya, dia selalu mebereskan isi kamar yang selalu berantakan. Kadang kala membawa sejumlah pasang pakaianku ke rumahnya untuk disetrika. Mungkin Laura merasa terpukul setelah aku seirus mundur dari perusahaan tempat aku dan dia bekerja selama enam bulan ini dan tempat kami saling menenun kasih.

Mata tak dapat dipejam, aku berusaha menghubungi lewat telepon, namun, menurut ibu kost, dia tak bersedia menerima teleponku. Jarum arloji telah menujukkan pada angka dua dinihari, mata tak jua dapat dipejam. Meski cuaca mendung, sesekali ditingkahi kilatan halilintar, aku bergegas menemuinya. Aku yakin Laura juga tidak dapat tidur.

Dipertigaan jalan kerumahnya aku mampir di warung kaki lima membeli setengah bungkus rokok kretek yang telah bertahun-tahun aku tinggalkan. Takut menggangu ibu kost, aku mengetuk pintu jendela kamar Laura. Tak ada sahutan. Aku mengetuk berulangkali tetap hening sementara gerimis mulai turun diiringi hembusan angin menusuk tajam.

Perlahan aku merenggangkan nako kaca kamarnya kemudian menehembuskan asap rokok kedalam. Asap terus mengebul hingga dua batang rokok, namun Laura bergeming.
Tak tahan menahan asap rokok, Laura bangun dan membuka pintu kamarnya. Segera aku lari ke teras rumah. Hingga limabelas menit aku menunggu diteras namun Laura tak muncul. Teror asap ku lanjutkan walau angin semakin kencang bercampur gerimis.

Teror berhasil, Laura menyalakan lampu kamar sambil menahan batuk karena asap rokok. Dia menyibak gorden kamar, menilik keluar lewat kaca nako penutup jendela.
Laura keluar menemuiku di teras, pakaiannya masih seperti yang dikenakannya ketika kami menemui Sony. Wajahnya sembab, kelopak matanya agak membengkak, memerah. Dia memandangku dengan rasa iba setelah melihat jaketku basah tersiram gerimis dan tubuh menggigil menahan dingin.

“ Ngapain lagi sih mas?” sambutnya dengan suara serak sambil menyuruh membukakan jaketku yang kehujanan;" Buka jaketnya, nanti mas sakit."
“ Aku hanya mau bicara sebentar.”
“ Apa lagi yang mau dibicarakan mas,” balasnya sambil menyilakan aku masuk kedalam kamarnya. Aku kaget melihat sejumlah kardus tersusun rapi di dalam kamar. Foto-foto serta buku-buku yang diatas rak kosong melompong, Lemari pakaian yang masih terbuka, terlihat hampir kosong, sementara koper agak besar sudah terisi pakaian.

“ Duduk mas,” ujarnya, lantas membuka kedua jendela kamar yang dipenuhi asap rokok, kemudian mengibaskan dengan selimut sambil menutup hidungnya, tetapi tanpa protes. Laura menolakku menggantikan mengibas asap rokok dari dalam kamarnya.

“ Laura mau pindahan? Kok nggak beritahu?” tanyaku. Laura tak menjawab. Tangannya terus mengibas asap rokok. Aku mengulang pertanyaan yang sama namun dia tetap bungkam.
“ Laura, boleh aku minta air hangat, aku kedinginan.” Dia tidak menjawab, hanya memandangku lalu keluar dari kamar. Sejenak kemudian dia membawa secangkir air hangat lalu meletakkanya diatas meja belajarnya. Perilakunya dini hari itu diluar kebiasaan. Laura selalu menyorongkan ke mulutku bila aku minta minum.

“ Yang haus dan kedinginan itu aku, bukan meja,” tegurku. Laura terhenyak mendengar teguranku, dia berbalik mengambil cangkir beirisi air hangat itu. “ Maaf mas,” ujarnya sambil menyodorkan ketanganku.
“ Tanganku kaku Laura.” ujarku tanpa menyentuh cangkirnya. Laura menyorongkan kemulutku, wajahnya tanpa ekspresi. Laura kaget, menghidar dan menjauhiku ketika aku menolak pemberiaannya sambil bangkit dari kursi. Mulutku gemetar menahan marah,” Ada apa sih dengan kamu? Sejak tadi aku sabar mengikuti tingkahmu. Kamu diam dan diam tanpa menghargai kehadiranku? Huh..aku capek Laura.!”

“ Iya aku tahu mas, makanya aku besok mau pulang.” Bah! kok jadi serius begini, kesalku dalam hati.
“ Pulang ke mana? Ke Yogya?”
“ Ya, pulang ke rumah mama. Aku juga sudah capek mas “ ujarnya sambil berjalan menuju lemari pakaian.

” Nggak Laura. Kamu nggak boleh pulang. Kemarin kamu katakan nggak tega keluar dari pekerjaan. Kenapa pikiraanmu tiba-tiba berubah seperti ini?”
“ Karena pikiran mas juga sering berubah. Minggu lalu mas janji nggak mau keluar dari pekerjaan, tetapi besok lusa mas sudah bekerja di tempat lain.”
“ Karena terpaksa Laura. Aku sangat malu terhadap diriku dan kepada dirimu karena telah mengkhianati profesi dan kepercayaan yang pak Adrian berikan kepadaku. Mestinya kamu mengerti perasaanku.”

“ Tetapi mas juga tak pernah mengerti perasaanku...”
“ Tetapi..kita...” potongku.
“ Ya aku tahu. Bukankah mas janji kita akan tetap bersahabat? Tetapi, mas mengingkari apa yang telah terucap.” ( Bersambung)

Los Angeles. October 2009


Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/