Tuesday, December 29, 2009

Telaga Senja (196)

========================
“ Mungkin ayah kerumah sebelah.”
“ Nggak. Barusan ayah kerumah Shinta memastikan alamat dan nomor rumah ini. Ini masih puntung rokok kami,” ujarnya yakin seraya menunjuk puntung rokoknya di depan pintu.
“ Pagi-pagi begini, ayah dan om ada urusan apa.?”tanyaku setelah kami masuk kedalam kamar
.
==========================

Ayah tidak menjawab pertanyaanku, kenapa dia dan om datang pagi-pagi menemuiku. Bahkan bertanya, “ Siapa perempuan tadi pagi amang (nak, pen).”
“ Magdalena, calon mantu ayah.”
“ Kalian berduan satu kamar hingga pagi.? Kalian diijinkan ibunya satu kamar sebelum menikah.?”
“ Apa yang salah kalau satu kamar? “
“ Nggak baiklah dipandang orang. “
“ Ayah khawatir kami melakukan perbuatan aib.?”
“ Namanya manusia amang. Ada waktunya khilaf. Bagaimana hubunganmu dengan inanguda, ibunya Magda.?”
“ Baik. Magdalena telah memberitahu ke maminya rencana pernikahan kami,” ujarku berbohong.
“ Maminya bilang apa.?”
“ Menurut Magda, setuju.”
“ Bagaimana maminya setuju. Kamu kan anak paribannya ( anak sepupu,pen),” ujarnya sambil geleng-geleng kepala.

“ Mana lah aku tahu alasan maminya menyetujui pernikahan kami,?”jawabku, kemudian mengalihkan pembicaraan sebelum kebohonganku terungkap.
“ Bagaimana khbar ibu.?”
“ Ayah tinggal ibu masih kurang sehat. Sepeninggalmu, ibu gelisah memikirkanmu. Pergi tanpa bilang-bilang. Kami kira kamu ke rumah ompung ( kakek, pen).”
“ Aku kan bukan anak kecil lagi. Tahu apa yang pantas kulakukan.”
“ Pantaskah menikahi itomu.?”
“ Ayah, kami telah berhubungan hampir enam tahun. Tahun lalu, ayah dan ibu setuju hubunganku dengan Magda. Kenapa sekarang berubah? Asal tahu saja, setuju nggak setuju, aku akan menikahi Magda.”
“ Terserah lah amang. Molo i nama ninna roham, alai hami ndang sipangantoi.( Jika itu kehendakmu, tapi kami tidak akan mencampurinya,pen)”
“ Kapan rencana kalian menikah.?”
“ Minggu depan.?”
“ Bah! Nikah macam apa kalian?”

“ Ya macam biasalah. Kalau ayah dan ibu nggak setuju, kami ke catatan sipil.”
Saat aku dan ayah bertanya jawab tentang kelangsungan hubungan dan rencana pernikahanku, dari dalam kamar aku melihat Magda datang pakain lengkap layaknya ke gereja dengan mengenderai motor. Mungkin dia curiga, kenapa aku begitu lama tak muncul di rumahnya.

Magda terperangah melihat ayahku ada dalam kamar. Tetapi dia segera menutupi kekagetannya dengan sapaan santun,” Kapan datang bapatua? Bagaimana khabar mamatua?” tanyanya seraya mengulurkan tangannya, bersalaman. Aku melihat ada perubahan wajah Magda. Menghilangkan kekakuan, aku menyuruh Magda menyediakan air minum untuk kami.” Bapatua mau minum apa? Kopi atau teh,?” tanyanya sedikit gugup. Ayahku geleng-geleng kepala sepeninggal Magda. “ Ada yang aneh?”tanyaku.

“ Anehlah. Calon isterimu panggil ayah, bapatua.?”
“ Aku sudah suruh panggil amangboru, tetapi katanya nggak sreg.”
“ Bagaimana nanti kalau orang mendengarnya. Menantu panggil bapatua atau mamatua ke mertuanya.?” tanya ayahku masih dengan goyangan kepala. Pembicaraan kami terhenti setelah Magda datang membawa minuman.
“ Bapa tua mau natalan di sini?”
“ Terserah om mu, bapaknya Shinta. Dia sekarang di rumah Shinta. Mungkin sebentar lagi datang.”

“ Bapatua dan om ada urusan penting.?” tanya Magda berani-beranian.
Ayah menjelaskan kedatangannya, mau menemui seseorang yang punya utang cukup lama. “ Kami dengar, dia sudah menjual rumahnya. Sebelum uangnya ludes dimeja judi, aku ajak tulangmu temanin ayah. Orangnya nakal dan licik,” jelasnya. Bah.! Ternyata syakwasangkaku sangat prematur. Dugaan, ayahku datang ingin membujukku untuk membatalkan pernikahan dengan Magda, meleset. Wajah Magda berubah ceria usai mendengar akhir tuturan ayahku.

“ Tadi ayah mampir mau mengajakku ikut menagih.?”
“ Bukan! Tadi ayah mau istrahat sebentar. Tetapi setelah ayah dan om mu mendengar ada suara perempuan kami kerumah Shinta. Kami kira salah alamat.”
“ Aku, perempuan itu bapatua. Tadi pagi Magda ke sini mengantarkan obat abang. Sejak kemarin abang demam,” jelas Magda. Aku deman..? Wuih....cantik nian gocekan Magda dihadapan ayahku.
“ Nanti kalau sudah sehat, Tan Zung ikut ayah pulang. Kita buka tahun dengan ibu dan adik-adikmu.”
“ Bapatua, kapan rencana pulang,” tanya Magda.
“ Segera setelah urusan kami selesai. Terserah Tan Zung pulang kapan, asal buka tahunnya dengan kami.” ujarnya.

“ Abang pulang setelah pernikahan Maya iya bapa tua,” mohon Magda.
“ Tewrserah Tan Zung," jawabnya. Kalian mau ke gereja? lanjutnya, pergilah, jangan sampai terlambat. Ayah mau istrahat dulu.
Keluar dari kamar, ibu kos berteriak memanggil Magda.” Kok nikah nggak ngundang tante?”
“ Nggak ada yang diundang bu. Kami masih nikah catatan sipil. Ntar kalau resepsi, ibu pasti kami undang,” jawabku sebelum Magda membantah rumor yang sengaja aku ciptakan itu. Diatas goncengan motor, Magda mencubitku, ” Papa tega amat sih bohongin ibu itu?”
“ Tadinya aku mau kerjain ayah dan om. Papa titip pesan ke ibu bahwa kita sedang ke luar kota berbulan madu. Tapi saat baru keluar, ayah datang. Kebohonganku berakhir di emperan kamar,” ujarku, disambut tawa geli Magda. ( Bersambung)

Los Angeles. December 2009

Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Monday, December 28, 2009

Telaga Senja (195)

============================
“ Pap, siapa mereka?” tanyanya Magda pelan dengan bibir gemetaran, ketakutan. Tiba-tiba Magda berteriak dari dalam kamarku,” Bapak siapa.?” Mendengar suara Magda, ketukan dan suara memanggilku berhenti.
============================

Aku menyuruh Magda kembali menjauh dari pintu,” Mam, pergi tidur..!” bisikku seraya menunjuk ke tempat tidur. Magda mematikan lampu kamar sehingga aku dapat melihat bayangan keduanya dari dalam kamar. Hampir saja aku mau banting pintu kalau tidak menjaga perasaan Magda. Kedua lelaki yang mengetuk pintu itu adalah, ayah dan tulangku (om,pen), ayahnya Shinta. Masih didepan pintu, aku mendengar om bertanya pada ayahku: ” Mungkin kita salah alamat? Kita tanyakan dulu alamat yang pasti ke Shinta.” Keduanya, ayah dan om beranjak dari depan pintu. Magda agak tenang setelah tahu ayah dan om meninggalkan emperan.
” Siapa mereka pap?”
“ Polisi partikelir.”
“ Polisi apa itu? tanya Magda heran.
“ Polisi spesial menikahkan pasangan yang sedang pacaran karena tertangkap tangan berduaan dikamar hingga subuh,” ujarku tertawa, diganjar cubitan Magda. “ Pap, siapa mereka. Kenapa mereka pergi?”
“ Mereka pergi karena ragu dengan alamat ini. Mereka itu ayahku, calon mertuamu dan om, ayahnya Shinta,” jelasku membuat Magda terkesima. “ Bapatua dan om, orangtua Shinta? Ngapain.?”

“ Nggak tahu. Mungkin mau menjemputku pulang.”
“ Papa mau kalau diajak pulang?
“ Mau lah. Kenapa nggak ?”
“ Jadi mama bagaimana?”
“ Mereka terlebih dahulu harus menyetujui syarat yang papa ajukan; menyetujui pernikahanku dengan Magda. dan kalau mereka tidak setuju, diam, jangan menghalangi.”
“ Kalau kedua syarat itu di tolak?”
“ Aku menolak ikut pulang. Segera aku bawa Magda kabur.”
“ Pap, sebelum mereka kembali lagi, lebih baik kita ke rumah. Kita bergereja di tempat lain saja. Nanti mama beritahu ke Rina alasannya. Ntar aku telepon Jonathan temanin mami. Papa setuju?” tanyanya. Aku menggaguk tanda setuju. Segera aku berkemas, sementara Magda keluar dari kamar menunggu becak.

Tiba dirumah, kami temui Rina sedang meninabobokan Thian. “ Mbak, Thian cengeng sejak aku antar mbak ke rumah si mas.”
“ Itu sebabnya, aku bawa Magda segera. Aku punya firasat nggak enak,” gurauku.
“ Halah...papa bilang saja ketakutan dikejar-kejar polisi,” celutuk Magda, ditanggapi serius Rina.
“ Dikejar polisi?”
“ Tan Zung mau dibawa pulang kampung oleh polisi partikelir,” ujar Magda geli seraya mengajak Rina ke kamarku. Magda menuturkan semua kejadian yang baru saja terjadi di kamarku. Kami bertiga bicara pelan, takut menggangu tidur maminya Magda.

Menghindari ayah dan om, aku merancang skneario. Selama beberapa hari aku akan menghindar dari rumahku, juga tidak di rumah Magda. “ Papa lupa, besok lusa pesta Maya.” ujar Magda mengingatkan.
“ Aku akan datang pada pestanya, kemudian menghilang lagi,” ujarku. Rina menolak skenarioku.
“ Kenapa nggak bertemu langsung dan menjelaskan apa maunya mas,” usulnya.
“ Aku tak dapat menahan emosi, apalagi om ikut-ikutan. Bisa-bisa benda seisi rumah hancur berantakan. Lebih baik menghindar daripada aku di cap anak durhaka.”
“ Tetapi persoalan nggak bakal selesai, jika terus menghindar.”
“ Persoalan akan selesai jika Magda telah siap. Aku hanya menunggu kesiapan Magda.”

“Papa gimana sih? Mama kan sudah bilang, telah siap. Tapi tunggu dulu pesta pernikahan Maya. Bagaimana kalau nanti bapatua datang pada pesta itu?” tanya Magda.
“ Kita sekak. Dengan pakaian lengkap yang masih kita kenakan, langsung minta restu.”
“ Kalau ditolak?” tanya Magda.
“ Kita restui tolakannya, lalu balik kanan. Susah amat.!”
“ Paaaa..kenapa sih nggak pernah serius diajak ngomong.”
“ Lalu mau di apakan jika ditolak? Keputusan akhir di kita berdua dan Thian,” ujarku mengurangi ketegangan Magda
“ Heh..jangan bawa-bawa nama anak gue,” tawa Rina.
***
“Rapat” kilat bertiga berakhir dengan kesepakatan, aku dan Magda pergi ke gereja pagi tetapi di luar kota. Rina akan menjelaskan ke Jonathan kenapa kami pergi keluar kota. Atas persetujuan Magda, sebelum berangkat keluar kota, aku mampir ke rumah menemui ibu kos, memberitahukan, kalau aku tidak di rumah hingga besok malam. Kepada ibu kos kutitip pesan, “ Bila ayah datang mencariku, tolong ibu katakan, beberapa hari kami pergi keluar kota berbulan madu.”
“ Tan Zung sudah menikah? Kapan?
" Kemarin bu. Kami menikah di catatan sipil."
" Menikah dengan Magda? Kenapa mas Tan Zung nggak beritahu ibu?” tanyanya serius.
“ Persoalannya panjang bu. Nantilah setelah kembali aku ceritakan,” balasku serius pula seraya mohon diri.

Baru beberapa langkah keluar dari rumah ibu kos, ayah turun dari beca persis di depan kamarku. Aku pun tak dapat menghindar.
“ Ayah sendiri,?” tanyaku berpura-pura.
“ Ayah datang dengan om mu. Om mu, ayah tinggal dirumah Shinta. Tadi pagi kami kesini, tetapi ayah ragu karena kami mendengar suara perempuan dari dalam.”
“ Mungkin ayah kerumah sebelah.”
“ Nggak. Barusan ayah kerumah Shinta memastikan alamat dan nomor rumah ini. Ini masih puntung rokok kami,” ujarnya yakin seraya menunjuk puntung rokoknya di depan pintu.
“ Pagi-pagi begini, ayah dan om ada urusan apa.?”tanyaku setelah kami masuk kedalam kamar. (Bersambung)

Los Angeles. December 2009


Tan Zung

"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Sunday, December 27, 2009

Telaga Senja (194)

Celine Dion : The Power Of Love
The whispers in the morning / of lovers sleeping tight/Are rolling like thunder now/As I look in your eyes/I hold on to your body/And feel each move you make/Your voice is warm and tender/A love that I could not forsake

[first chorus]
'Cause I am your lady/And you are my man/Whenever you reach for me/I'll do all that I can/Lost is how I'm feeling lying in your arms/When the world outside's too/Much to take That all ends when I'm with you

Even though there may be times/It seems I'm far away/Never wonder where I am/'Cause I am always by your side/'Cause I am your lady/And you are my man/Whenever you reach for me/I'll do all that I can

[second chorus]
We're heading for something/Somewhere I've never been/Sometimes I am frightened /But I'm ready to learn/Of the power of love
The sound of your heart beating/Made it clear/Suddenly the feeling that I can't go on / Is light years away/
'Cause I am your lady/And you are my man/Whenever you reach for me/I'll do all that I can /We're heading for something/Somewhere I've never been/Sometimes I am frightened / But I'm ready to learn/Of the power of love

=====================
“ Sok Alkitabiah, taunya karena nggak tahu ikat dasi. Mana ada dalam Alkitab, angekin tunangannya? Yang ada, tunangannya dibelai, menapak dituntun penuh rasa sukacita. Tetapi papa? menuntun tunangannya kedalam pencobaan.”
======================

Keasyikan “ribut” dikamar, tanpa kami sadari mami dan Rina telah menunggu kami di gerasi mobil. Sebelum kami keluar dariu kamar, perasaanku agak terganggu setelah tahu Magda dan maminya serta Rina telah ke pemakaman papi Magda. “ Kenapa nggak ajak papa.? Kirain aku sudah bagian dari keluarga Magda, ternyata selama ini aku hanya bermimpi,” ujarku dengan nada kecewa. Magda terhenyak mendengar keluhanku.
“ Mama telah mendatangi papa tiga kali, tetapi papa tidurnya sangat lelap. Mama nggak tega bangunin. Maaf pap.”

“ Ya, nggak apa-apa lah.” ujarku sambil melangkah keluar menuju gerasi. Aku tahu perasaannya terganggu. Bahkan mungkin dia terpukul. Selama perjalanan ke gereja, Magda diam, sepertinya dia dihantui merasa bersalah setelah merasakan perubahan sikapku. Menghilangkan rasa kaku, sambil menyetir mobil aku menggoda Thian dalam pelukan Rina. “ Thian, ke gereja, kok nggak pakai dasi?” tanyaku, disambut tawa mami Magda dan Rina sementara aku melirik Magda yang duduk disampingku, menaptap dengan mata kuyu.

“ Beliin dong om! Thia kan belum tahu toko jual dasi?” sambut Rina ketawa.
“ Tanya mamatuanya Magda lah. Aku pun tak tahu dijual di toko mana,” jawabku. Kali ini Magda tersenyum. Aman sudah, perasaan Magda telah pulih, pikirku. Aku dan Magda masuk gereja dengan perasaan tenteram. Magda menggaet tanganku mengajak ke atas balkon. “ Kita ke atas, mama-mama dibawah,” ujarnya meninggalkan mami dan Rina. Magda mengikuti khusuk seluruh acara, sementara pikiranku masih terganggu, ingat sikap kedua orangtuaku menolak rencana pernikahanku dengan Magda. Ditambah pula, Magda tak mengikutkanku ziarah ke pemakaman papinya. Sesakali tangan Magda mencubit pahaku pelan, ketika melihatku seperti orang bengong, menatap hampa ke depan.
***
Usai mengikuti ibadah, tangan Magda terus menempel di lenganku hingga ke mobil. Dia tak sungkan lagi meski di depan maminya, namun aku merasa risih. Memang belakangan ini, mami Magda seakan telah menjaga jarak denganku, meski masih tetap ramah. Sebelumnya, mami Magda yang inang udaku itu menganggapku sebagai anak.

Suasana rumah semain ramai dengan kehadiran Jonathan bersama paribannya yang juga menjadi pacarnya. Cukup lama kami bercengkrama setelah makan. Melihat gelagatku mau pulang, Magda membujukku tidur di rumahnya.
“ Papa jangan pulang. Tidur disini saja,” bisiknya.
“ Aku punya rumah,” jawabku seraya beranjak dari kursi. Magda kaget mendengar jawabanku. Dia hanya mengikutiku melangkah ke halaman rumah bersamaku menunggu becak.
“ Ada apa kok papa tiba-tiba minta pulang.? Papa sakit?”

“ Nggak. Aku capek, mau tidur.”
“ Papa mau pakai motor atau mama antar?” tanyanya. Magda semakin bingung ketika aku menolak tawarannya.
“ Mama salah apa? Mengapa papa seperti ini? Mama pikir malam ini kita akan lewati dengan sukacita," ujarnya seraya mendekapku. “ Papa, mama salah apa? Katakanlah pap. Perasaanku terganggu,” ujarnya dengan suara melemah. Saat bersamaan becak meluncur didepan kami. Aku permisi lantas meloncat ke dalam becak tanpa memberi kecupan dipipinya sebagaimana biasa aku lakukan kala akan pulang dari rumahnya.

Aku menghempaskan tubuhku diatas tempat tidur dengan pakaian masih lengkap yang aku kenakan ke gereja. Khotbah pada ibadah yang baru saja aku ikuti tak mampu mengusir kegalauan dan kekecewaan hati. Keputusasaan menghampiriku kala berbaring dalam pembaringan. Hal itu terus menjejali pikiranku hingga pukul 04:00 dini hari. Dalam kepenatan jiwa, aku mendengar sepasang langkah mendekat ke kamarku. Sementara pikiran masih meduga-duga, Magda telah membuka pitu kamarku dengan kunci kopian yang aku berikan sebelumnya. Magda mendekat ke ranjang. Dia duduk dipojok.

Papaaa..mama nggak dapat tidur,” ujarnya ketika melihatku masih terjaga.
“ Siapa yang antar Magda?”
“ Thian,” jawabnya memancing semangatku. “Thian nggak mau masuk, takut dimarah bapatuanya,”tawanya.
“ Ngapain datang pagi subuh seperti ini?”
“ Mama nggak bisa tidur, mikirin papa. Tidak seperti biasanya, papa pulang dengan wajah muram. Papa marah karena nggak ikut ziarah ? Ntar siang sepulang gereja kita mampir, mau pap?”

“ Kenapa sih mama tega pergi ziarah tanpa membangunkanku? Sepertinya aku bukan bagian dari keluarga Magda. Bahkan mungkin, mama masih mendua hati setelah mendengar ketidaksetujuan orangtuaku ,” ujarku, masih diatas tempat tidur.
Heh..pap! Apa sih maksudnya,? Ngapain mama datang kalau masih ragu-ragu. Justru mama gelisah mikirin rencana papa.”
“ Rencanaku atau rencana kita.?”
“ Ya, ya lah, papa cerewet. Salah ngomong dikit saja pun papa langsung tempramen. Kalau papa bersedia, minggu depan setelah pernikahan Maya kita ke catatan sipil. Jika papa setuju, mama akan hubungi kepala bagianku.”

“ Mama serius? Papa setuju. Tetapi sebelumnya kita minta advise ke Susan terlebihdahulu,” ujarku seraya bangkit dari tempat tidur. Magda mendekapku erat. “ Papa, mama tahu kegelisahanmu setelah pulang dari kampung. Papa saja selalu ragu pada mama,” ucapnya pelan di telingaku.
Saat hati berbunga-bunga, menyatu dalam dekapan kasih, kami mendengar ketukan pintu kamarku. Aku segera meloncat dari tempat tidur, menempelkan telingaku pada daun pintu. Diluar, terdengar percakapan dua orang lelaki, nada suara mereka agak berat. Aku dan Magda saling pandang diiringi rasa kaget ketika mendengar namaku dipanggi secara bergantian.

” Zung...Tan Zung.! “
“ Pap, siapa mereka?” tanyanya Magda pelan dengan bibir gemetaran, ketakutan. Aku berlagak tenang meski hati agak kecut.
“ Mungkin polisi! Tenang mam. Mama telah siap dibawa kekantor polisi untuk dinikahi kan?” jawabku menambah rasa takut Magda. Tiba-tiba Magda berteriak dari dalam kamarku,” Bapak siapa.?” Mendengar suara Magda, ketukan dan suara memanggilku berhenti. ( Bersambung)

Los Angeles. December 2009


Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Wednesday, December 23, 2009

Telaga Senja (193)

========================
“ Papa pulang tanpa seijin bapatua dan mamatua? Mengapa sekeji itu.?”
“ Mam, memang aku salah. Tetapi semuanya berawal dari ketidaksetujuan mereka. Aku sangat marah dan langsung meninggalkan mereka.”
“ Sekarang tergantung papa dan mama. Seperti papa telah janji. Kita akan menempuh dengan cara apapun. Mama telah siap!”
========================
Magda duduk disebelahku. Tangannya mengusap kepalaku lembut.” Papa, tadi malam mama dan Rina jadi pergi kerumah Maya. Mama beritahu kenapa papa nggak bisa ikut. Maya mengerti kok. Pap, tadi aku sudah beritahu mami kita berangkat bareng ke gereja. Rina dan Thian ikut pap.” Mendengar nama Thian, semangatku kembali pulih.
“ Kenapa nggak bawa Thian,” tanyaku, disambut tawa Magda.
“ Kenapa ketawa mam.?”
“ Tadi mama khawatir melihat papa seperti orang putus asa. Tetapi mendengar nama Thian, papa langsung bergairah. Mama perhatikan, setiap mendengar suara Thian atau menyebut namanya, semangat papa menyala, kenapa?”

“ Mama mencurigai kalau aku ayahnya?”
“ Memang nada suaraku mencurigai papa.?”
“ Mam, tolong jangan tambahin lagi persoalan baru. Aku pusing mam!”
“ Papa. Mama tidak merncurigai kok. Mama senang, melihat gairah papa setiap mendengar suara Thian. Pap, kelak, mama akan memberi yang terbaik untuk papa. Papa mau laki atau perempuan,?”tanyanya manja seraya memutar wajahku mengarah ke wajahnya. Aku mendadak sontak atas pertanyaannya, seketika aku rebahkan kepalanya diatas pangkuanku, ” Bukan mama yang menentukan anak kita kelak, laki atau perempuan,” ujarku lalu mencium keningnya.

“ Mama, nggak usah mencurigaiku. Papa sangat senang bila mendengar suara Thian. Papa memang suka anak-anak. Mungkin karena papa cukup lama merawat empat adikku ketika masih di kampung.”
Masih diatas pangkuanku Magda meraih kepalaku, ditelingaku dia berbisik,” Mama mau anak pertama, lelaki. Biar ada teman mama gebukin papa kalau nakal,” ujarnya seraya bangkit dari pangkuanku, lalu menyuruhku tidur.

“Papa tidur dulu, mama mau pergi belanja dengan mami. Nanti mama bangunkan saat akan makan siang.”
Sebelum Magda meninggalkan kamarku, aku minta ijin mau pergi ke kantor Susan,“ Boleh papa pergi ke kantor Susan.?”
“ Nggak boleh.Kalau mau pergi tunggu mama.”
“ Oalah... mama. Belum punya anak saja pun, galaknya bukan main.”
“ Papa nggak mau bilang, kesana ngapain? Ada janjian?”
“ Papa kesana mau minta advise.”
“ Bilang lah dari tadi. Tetapi, papa istrahat dulu. Ntar papa sakit, mama juga yang capek ngurusin. Sebelum papa kesana telepon dulu, mungkin ibu itu sibuk karena mahasiswa baru selesai ujian. Nanti telepon mama kalau sudah selesai bicaranya. Jangan keasyikan pap.” tawanya.
***
Sepeninggal Magda, aku merebah diatas tempat tidur. Badan terasa pegal, karena terbaring diatas karung beras, selama perjalanan dari kampung yang memakan waktu enam jam itu. Kalau saja Magda tidak memaksaku bangun, tidur akan berlanjut hingga esok harinya. Menurutnya, sudah tiga kali bolak-balik datang ke kamarku, tetapi nggak tega membangunkannya.

“ Papa tidurnya seperti orang mati. Dicubitin juga nggak merasa. Papa mimpi apa sih? Mimpiin mama iya?”
” Ya nggak lah. Masya diri sendiri dimimpikan. Papa mimpi Susan dan Maya.” gurauku
“ Laura nggak pap?” sambungnya
“ Terlalu jauh. Papa hanya mimpi orang disekitar kita,” tawaku. Magda tak menanggapi serius, meski menyebut nama-nama mantan pacarku.
“ Buruan pap, mami nungguin kita. Mami nggak suka terlambat. Apalagi malam seperti ini pada muncul orang-orang yang jarang ke gereja, ntar kita nggak kebagian tempat duduk.”
Kembali dari kamar mandi, Magda ngomel,” Mana pakaian papa yang lain? Nggak ada pun yang pantas dipakai ke gereja,”kesalnya.

“ Kan jas belum selesai di jahit? Apa papa pakai kain sarung?”
“ Papa jangan bercanda melulu. Nanti mami kelamaan nungguin kita,” teriaknya.
“ Duh...katanya damai dibumi damai di surga. Nyatanya, dikamar ini pun tak ada damainya. Pada hal malam ini perayaan menyambut kelahiran sang Raja Damai.”
“ Ya..ya.. nanti lah khotbahnya pap.” ujarnya lantas menyeretku keluar dari kamarku.
Tiba dirumah Magda, dia buru-buru lari ke kamar tempat koper kusimpan. Dia memilih pakainku yang masih tertinggal di rumahnya. “Pap, buruan pakaian sebelum mami keluar dari kamar.”

“ Magda keluar dulu. Genit amat sih. Masya aku gantian pakaian didepanmu.” Sedang ribut dengan Magda, Rina masuk ke kamarku. “ Iyakh...ini lagi, mama-mama masuk kamar. Kapan aku ganti pakaian?” protesku disambut tawa Magda seraya menarik tangan Rina keluar dari kamarku.

Selesai menegenakan pakain, aku keluar dari kamar. Magda menyambutku dengan muka masem. “ Papa kenapa nggak pakai dasi?” tanyanya, menyeretku lagi masuk kedalam kamar. “ Mam, kenapa harus pakai dasi? Dimana ditulis dalam Alkitab harus pakai dasi?”. Magda bosan mendengar ocehanku, dia langsung meninggalkanku di kamar dengan rasa kesal, muak dia. Aku kejar dia persis di mulut pintu.

“ Mam, ajarin papa bagaimana cara mengikatnya,”bujukku. Magda berbalik kearahku antara percaya dan tidak, kalau aku nggak tahu mengikat dasi. “ Papa serius nggak tahu?” tanyanya lantas mengikatnya dileherku sembari ngomel. “ Sok Alkitabiah, taunya karena nggak tahu ngikat dasi. Mana ada dalam Alkitab, angekin tunangannya? Yang ada, tunangannya dibelai, dituntun penuh rasa sukacita. Tetapi papa? menuntun tunangannya kedalam pencobaan,” ngenyeknya.( Bersambung)

Los Angeles. December 2009


Tan Zung

"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Tuesday, December 22, 2009

Telaga Senja (192)

=======================
“ Amang, suaranya pelan. Nggak malu didengar orang lain? Nantilah kita bicarakan di rumah. Itu sebabnya ibu ajak kamu pulang,” suaranya lemah. Aku diam, tak tega mengganggu ibu, sepertinya dia keletihan. Aku biarkan dia tertidur hingga kami tiba di kampung.
======================
Kami tiba lebih awal. Hati tak sabar lagi menunggu waktu yang tepat untuk membicarakan rencana pernikahanku. Ibu merasakan gejolak hatiku sedang menggelora. Ibu memulai pembicaraan setelah adik-adikku disuruh tidur. Penjelasan ayahku sama dan sebangun dengan pejelasan ibuku sebelumnya.
" Masalah ini sangat rumit sekali, khususnya untuk ayah dan ibumu. Karena kamu mau menikahi ito mu, ( saudara sepupumu, pen)"
" Kenapa dengan pariban, hubungan darah masih sangat dekat bisa menikah? Kenapa dengan sepupu jauh dilarang?" tantangku.
" Adat tidak melarangnya amang. Tolong lah jangan permalukan ayah. Ayah raja adat dikampung ini."

" Ya sudah, kalau nggak bisa diselesaikan secara adat, aku selesaikan dengan caraku sendiri," ujarku sangat marah. Ibuku terhenyak mendengar suaraku dengan wajah sangar.
" Apa maksudmu?" tanya ayah tak kalah garang.
" Aku akan menikahi Magda dengan caraku apapun. Selamat malam ayah dan ibu." ujarku meninggalkan mereka.
" Tunggu dulu amang. Besok kita bicara dengan tulangmu," bujuk ibuku
" Tulang? Apa urusanku dengannya. Aku bukan mau menikah dengan borunya.( putri, pen)" suaraku menggelegar ditengah malam sambil meninggalkan ayah dan ibu duduk yang terpaku mendengar suaraku. Malam itu, masih ada satu kedai tuak masih buka. Di lapo tuak itu ada sejumlah anak muda tanggung menunggu, mengisi muatan truk ke Medan. Menurut mereka, truk akan berangkat ke Medan sekitar satu jam lagi. Sambil menunggu truk, beberapa botol tuak kutenggak, membunuh rasa kecewaku.

Sekitar pukul 01:00 dini hari, truk datang. Setengah jam kemudian berangkat setelah hasil bumi telah dimuat. Sopir truk tidak keberatan aku ikut menumpang ke Medan. " Kebetulan pemilik barang ikut. Kalau mau tiduran di belakang, nggak apa-apa," kata sopirnya. Aku tidur diatas karung sejumlah hasil bumi; beras, kacang kuning, cabe dan bawang. Meski pernafasan sesak karena campur aduk bau hasil bumi terutama bawang dan cabe, terpaksa kutahankan. Setelah beberapa jam perjalanan, truk berhenti di satu tempat, pinggiran kota. Sejumlah truk nangkring disana. Kernet menyuruhku turun." Istrahat dulu bang," ujarya.

Sopir truk melayaniku dengan baik, mungkin karena punya hubungan baik dengan ayahku, kebetulan juga pedagang. " Makan sepuasmu. Pilih rokok apa yang kamu suka. Mau bir ambil saja. Tetapi jangan pergi kau kesana," ujarnya sambil menunjuk ke satu tempat remang-remang. Selang beberapa lama, aku melihat satu persatu juragan, pemilik dagangan hasil bumi keluar dari tempat reman-remang itu. Aku terkesima melihat para juragan keluar dari tempat itu. Hampir semua mereka aku kenal baik sebagai penyumbang dana untuk kegiatan sosial termasuk bantuan rumah ibadah, gereja dan masjid. Ah.. rupanya mereka ini termasuk kategori bapak-bapak lanteung, kataku dalam hati. Aku kenal pula putra-putri mereka. Sirna sudah rasa hormatku kepada para juragan peselingkuh itu. Ternyata dibelakang jidatnya tertanam kebejatan moral.

Mataku tak dapat dipejam selama perjalanan pulang ke Medan. Selain karena semerbak wangi tak sedap merebak dalam truk, pikiranku terganggu karena niatanku tak direstui oleh kedua orangtuaku. Keputusan ekstrim telah tertanam dalam benakku. Selama ini aku cukup letih dalam penantian. Namun aku tak mau terlena dalam rintangan yang barus saja kualami. Ditengah getirnya jiwa, aku harus memilih yang terbaik untukku dan Magda. Bibirku bergetar menahan sedih, mengingat sikapku terhadap kedua orangtuaku. Aku pergi meninggalkan mereka tanpa permisi. Dalam kepedihan mendalam, dalam rongga jiwa tertekan, dalam hatiku berteriak kepada Tuhan, " Durhakah aku ketika jiwaku berontak melawan ketidak pedulian sekitar termasuk orangtuaku? Maukah Tuhan membantuku. Tuntun langkahku dan calon isteriku Magda. Restuilah langkahku dan Magdalena dengan kasihMU."
***
Magda kaget mendengar ketukanku di kamarnya. " Papa..?" tanyanya. "Ya..ya..pap, tunggu sebentar," jawabanya dari kamar. Magda prihatin melihat pakaian dan rambutku aut-autan.
" Ada apa? Papa naik apa? Kenapa papa lusuh begini," cecarnya, di depan pintu.
" Mam, tolong buatkan aku air hangat. Aku lelah, kurang tidur. Nanti papa cerita setelah aku istirahat." Magda tak sabaran menunggu hasil pembicaraanku. Namun akhirnya dia simpulkan sendiri, bahwa misiku gagal.
" Sudah lah pap. Mama mengerti. Papa tidak mungkin pulang secepat ini bila semuanya berjalan dengan baik. Besok kita akan merayakan natal. Kita abaikan dulu masalah itu. Papa setuju.?" Aku mengangguk tanda setuju, seraya permisi pulang ke rumahku.

Selang beberapa saat, Magda datang menemuiku ketika aku masih duduk merenung. " Papa, tadi sudah janji. Kita akan lalukan dulu masalah apapun itu. Mama nggak mau dibebani masalah apapun."
"Tapi aku tak mampu mam. Pikiranku masih tertinggal disana. Aku pulang tanpa seijin ayah dan ibuku." Magda kaget mendengar kata-kataku.
" Papa pulang tanpa seijin bapatua dan mamatua? Mengapa sekeji itu.?"
" Mam, memang aku salah. Tetapi semuanya berawal dari ketidaksetujuan mereka. Aku sangat marah dan langsung meninggalkan mereka."
" Sekarang tergantung papa dan mama. Seperti papa telah janji. Kita akan menempuh dengan cara apapun. Mama telah siap!" ( Bersambung)

Los Angeles. December 2009


Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (191)

===================
Sebelum Magda meninggalkanku, aku berpesan,” Bila nanti malam tidak datang ke rumah, berarti papa ikut ibu. Nggak usah khawatir, apapun hasil pembicaraanku dengan ayah, papa pasti kembali esok harinya. Honey, don’t surrender ‘cause we can win. In this thing called love.” ujarku meyakini dirinya
===================
KERIKIL tajam terasa mengganjal pada awal telusur langkah. Sinyal kelabu terbesit di balik wajah ibuku. Sinyal itu menggetarkan rongga jiwa Magda calon isteriku. Sinyal kelabu itu tak akan kubiarkan merenggut gita cinta kami yang telah berlangsung dalam bentangan waktu yang cukup lama.
" Mam, duri tajam telah kita lalui dalam lorong gelap dan menyesakkan. Tidak kata lain kecuali, Magda adalah belahan jiwaku. Benih-benih cinta yang tertanam telah menghapus duka luka kita. Aku tak mau terulang lagi, mama tertoreh luka baru oleh karena alasan apapun dan oleh siapapun. Magda memahaminya.?"
“ Ya pap,” ujarnya, suaranya redup. Tidak saja nada suaranya lemah tetapi sinar matanya kehilangan gairah. Mataku menghantar Magda yang sedang menyetir mobilnya hingga diujung jalan. Ibu menyambutku dengan tawa renyah saat kembali ke kamar.

“ Bukan ibu yang memutuskan rencana kalian,” ujarnya seakan tahu persis apa yang akan aku sampaikan.
“ Kok ibu tahu apa yang akan aku mau bicarakan?”tanyaku, disambut tawa renyah.
“ Iya tahulah, dari bola matamu. Tali pusarmu amang, terasa masih melilit didalam jantung ibu. Kesini lah amang, duduk dekat ibu.” Kemudian ibu mencium pipiku setelah duduk disisinya.
“ Bagaimana rencana kalian dengan itomu,?” tanya ibuku.
“ Bu, sebut saja nama Magda, jangan ito. Aku risih mendengarnya.”
“ Memang Magda itu itomu amang. Ompung kami kakak adik kandung.”
“ Jadi maksud ibu, aku nggak bisa menikahinya.?”
“ Ibu sudah menjelaskan. Rimangi ma dibagsan roham ( pikirkanlah dalam hati, pen).”
“ Dulu, ketika aku berteman dengan dosenku, ibu dan ayah sangat murka.”
“ Ibu tidak keberatan berpacaran karena dia dosenmu. Kami keberatan karena ibu dosenmu masih punya suami.”

“Baik lah ibu, aku batalkan rencana pernikahanku dengan ito Magda. Aku akan menikah dengan ibu dosenku. Dia bersedia menceraikan suaminya kalau aku mau menikahinya,” ancamku.
Ooo amang, unang, tongka,( jangan, pantang itu, red) jangan emosi amang! Ibu nggak punya hak untuk mengijinkan atau melarangmu menikah dengan itomu...eh..Magda. Tetapi yang pasti tulang/ om mu yang di Jakarta, nggak setuju. Juga tulangmu bapaknya Shinta. Kalau mau, ikut lah kamu pulang. Nanti kita bicarkan dengan tulang dan ayahmu.

“ Boleh aku bawa Magda.?” pancingku. Ibuku tidak menjawab, hanya tertawa. Aku megulangi pertanyaan yang sama.
“ Nanti tulangmu marah.”
“ Kenapa tulang keberatan kalau aku bawa itoku kerumah? Kan Magda itoku. Kenapa dia nggak boleh mengunjungi rumah mamatuanya,?” kataku kesal.
“ Kenapa marah ke ibu,?” tanyanya seraya mengelus kepalaku. “ Ikut lah kamu pulang, nanti kita bicarakan baik-baik dengan ayah.”
“ Nanti ibu mau bantu aku kalau bicara dengan ayah?”
“ Yang menjadi masalah adalah tulangmu, bapaknya Shinta dan tulangmu yang di Jakarta.”

“ Ayah dan ibu nggak keberatan kan.?” tanyaku meyakinkan. Ibuku hanya menjawab dengan tawa kecut. Sementara aku dan ibu sedang asyik ngomongin rencana pernikahan, Magda muncul dengan membawa makanan. Ibuku menyongsong Magda ke pintu; dia menyambutnya dengan rangkulan.
“ Magda marah ke mamatua ?” tanya ibuku dalam pelukannya.
“ Nggak mamatua. Magda nggak marah,” jawabnya seraya membalas pelukan ibuku. ”Magda pulang, supaya mamatua istrahat dulu,” lanjut Magda. Ah...main cantik calon isteriku, kataku dalam hati, setelah mendengar jawaban Magda.
Burju do inang na naeng parmaen mi ( Baiknya dia calon mantumu itu, pen) ujarku. Wajah Magda memerah ketika ibu kutembak langsung. Ibuku tertawa menyambut ucapakanku. “ Oh..tahe anakhon ( Oalah.. anakku , pen)

"Magda jangan salahkan mamatua. Nanti mamatua akan bicara dengan bapatua dan tulangmu bapaknya Shinta. Tetapi Tan Zung, boleh ikut mamatua.?"
" Bagaimana abang Tan Zung, mamatua."
" Tan Zung tergantung kamu inang. Kalau Magda ijinkan, nanti sore kami pulang. Magda mau merayakan natal dengan abangmu?" tanya ibuku. Magda tak mampu menutupi keterharuannya. Dia memeluk ibu, berujar, " Ya, terimakasih mamatua," sambut Magda.
***
Terasa bintang bersinar kembali mendengar ucapan ibu ketika kami di kamarku sebelum pulang kampung. Magda mengantarkan aku dan ibu ke terminal bus. "Papa, pulang besok iya. Bicara lah baik -baik dengan bapatua dan mamatua," ujarnya. Magda meninggalkan kami setelah bus siap-siap akan berangkat. Aku merasakan detak jiwanya yang masih terguncang. Namun aku meyakini dirinya, dengan untaian kata optimis.

Dalam bus aku menanyakan ibu, kalimat apa yang terbaik akan kusampaikan kepada ayah. " Nggak ada persoalan dengan ayahmu. Tulangmu yang paling bersikeras menolak."
" Bagaimana sikap ibu? Apa urusannya tulang meributkan hubunganku dengan Magda."
" Tadi ibu sudah jelaskan, Magda itu itomu."
" Jadi ibu juga keberatan aku menikah dengan Magda? Tadi kenapa ibu nggak bilang? ngapain aku ikut pulang kalau ibu juga nggak mau membantuku.?"
" Jangan emosi dulu. Dengar baik-baik ibu bicara. Ibu nggak punya hak, menyetujui dan melarang."
" Ibu punya hak. Karena aku adalah darah dagingmu."
" Amang, suaranya pelan. Nggak malu didengar orang lain? Nantilah kita bicarakan di rumah. Itu sebabnya ibu ajak kamu pulang," suaranya lemah. Aku diam, tak tega mengganggu ibu, sepertinya dia keletihan. Aku biarkan dia tertidur hingga kami tiba di kampung. (Bersambung)

Los Angeles. December 2009


Tan Zung

"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (190)



http://www.youtube.com/watch?v=sLSWJtxvaUY

That’s The Way It Is lyrics
I can read your mind and I know your story /I see what you’re going through /It’s an uphill climb, and I’m feeling sorry /But I know it will come to you /Don’t surrender ‘cause you can win /In this thing called love

When you want it the most there’s no easy way out /When you’re ready to go and your heart’s left in doubt /Don’t give up on your faith /Love comes to those who believe it /And that’s the way it is

When you question me for a simple answer /I don’t know what to say, no /But it’s plain to see, if you stick together /You’re gonna find a way, yeah / So don’t surrender ‘cause you can win /In this thing called love

When you want it the most there’s no easy way out /When you’re ready to go and your heart’s left in doubt /Don’t give up on your faith /Love comes to those who believe it /And that’s the way it is ............

============================
Magda menyerah setelah aku desak,” Papa lah yang pilih. Tetapi jangan yang mahal,” pintanya
“Mau yang murah ? Beli di pasar loak,” ujarku seraya mataku mencari cincin yang mirip dengan yang aku miliki.
“ Terlalu mahal itu pap,” bisiknya ketika aku menunjuk pada satu cincin.
“ Papa tanya, bukan soal harga. Mama suka nggak?”
===============================

Mendengar suaraku agak meninggi, Magda menempelkan tubuhnya dan berbisik: “Ya pap, aku suka yang papa pilih. Pap, suaranya jangan kuat-kuat, Ini toko, bukan rumah kita,”tegurnya pelan di telingaku.
Perempuan penjaga toko senyam-senyum melihat tingkahku dan Magda. “ Ngga sekalian cincin kawin?” tanyanya.
“ Kami sudah nikah dua minggu lalu bu,” jawabku. Ibu penjaga toko tersipu, “Oh..maaf, kirain masih pacaran.” Magda tak terpengaruh dengan jawabanku terhadap penjaga toko. Dia sudah terbiasa mendengar celutukan yang kadang kala nakal.

Aku merasakan perbedaan sikap Magda sejak mendepositkan uang dan saat kami di toko perhiasan, manja. Sepertinya kami baru pacaran. Sebelum kami pergi ke airport menjemput ibuku, Magda mengajak ke restoran, tempat kami dulu rendezvous. Dia bergayut manja pada lenganku saat kami keluar dari mobil. “Mama nggak malu dilihat orang-orang,?” tanyaku seraya menyusur jalan ke restoran.
“ Kenapa malu? Mama kan jalan dengan lelaki yang telah menikahiku dua minggu lalu,” jawabnya tanpa perubahan rona wajah. Magda “menggiringku” ke sudut ruangan. Duduk berdampingan, tidak seperti biasanya duduk berhadapan. Kali ini, Magda langsung memesan makanan tanpa menanyakan jenis makanan yang aku mau, sebagaimana selalu dilakukannya. Sebelum pesanan kami datang, Magda terus menempelkan tubuhnya, tangannya memegang erat jemariku.

“ Magda tersinggung atas ucapanku tadi kepada penjaga toko itu.?”
“ Nggak. Tapi papa salah. Kita telah “menikah” setelah tiga tahun papa mencuri hatiku. Dulu, di ruang “perpustakaan” biru merengkuh jiwaku, papa berbisik:” Mama adalah belahan jiwa papa. Kala itu mama bersimbah airmata sukacita. Papa memeluk dan mencium kelopak mataku yang berurai tetesan bening, sebening hatiku. Papa masih ingat ketika berucap janji setia? Papa juga berujar, papa melihat kebeningan hati mama lewat bening mataku. Papa masih ingat,?” tanyanya seraya merebahkan kepalanya disisi lenganku.

“ Magda, ada apa kok sepertinya larut dalam kenangan.”
“ Ya. Belakangan ini , papa terus telah menggelitik sudut kalbu yang selama ini hampir tertutup ragu. Hari demi hari menjelang akhir penantian, hati mama semakin cemas menanti datangnya keluarga papa meminangku. Nanti papa ikut dengan mereka,?” tanyanya diiringi airmata.
“ Karena mama merasa bahagia pap,” jawabnya ketika aku tanyakan kenapa berurai airmata. Aku mengambil cincin yang baru saja aku beli dari tas tangannya kemudian menyematkan ke jari tangannya, berujar: “ Bingkisan kecil Natal untuk mama.”

Magda menatapku dengan wajah haru,“ Papa, terimakasih,” ucapnyanya kemudian mencium tanganku. Meski pengunjung restoran agak ramai, Magda tak sungkan, sesekali, menyuap makanan ke mulutku.
“ Papa malu?” tanyanya seusai menyuapiku.
***
Selama perjalan ke airport Magda bertutur nostalgia pada masa kami masih kuliah. Disela tuturan sesekali dia mencubit pahaku,” Papa masih ingat , kala tertangkap tangan di kamar, papa mengisap daun dan minuman setan itu.?”
“ Ingat! Ketika itu mama menangis histeris dan menyiramkan sisa minuman itu ke wajahku. Tetapi mama menyesal setelah melihatku menggigil menahan dingin. Kemudian mama membujukku mengganti t-shirtku yang basah kuyup,” kenangku.

Tak terasa, kami tiba di airport ditengah tuturan nostalgia. Magda berlari kecil menyongsong ibu ke ruang tunggu; dia merangkul dan mencium pipi ibuku, akrab bagai ibunya sendiri. Dalam perjalanan ke rumahku, aku dan Magda kaget ketika ibuku meminta mengantarkan langsung ke terminal bus.
”Ibu mau langsung pulang,” ujarnya. Pulang? Rencanaku dan Magda membicarakan waktu pernikahanku, tertunda. Aku dan Magda saling pandang. “ Mamatua terlalu capek. Berangkat besok saja iya mamatua,” bujuk Magda.

“ Baru pisah dua minggu dengan pacar, rindunya setengah mati,” celutukku disambut tawa lepas ibu dan Magda. Sebelum tiba di rumah, aku terus membujuk ibu agar menunda rencana kepulangannya. “ Ada yang pelu kubicarakan,” ujarku pelan.
“ Bicara tentang apa,?”tanyanya.
“ Nantilah kusampaikan setelah tiba di rumah.”
“ Bilang saja sekarang. Memang ada yang rahasia? Kan nggak apa-apa didengar itomu,” tawanya. Mendengar kata”ito” seketika hatiku ciut, juga tampak wajah Magda berubah, kuyu. Tidak lama setelah kami tiba di rumah kosku, Magda minta ijin pulang.

“ Kenapa Magda pulang? Kemarin malam bilang, mau ikut papa membicarakan ke ibu rencana pernikahan kita.” ujarku setelah dia keluar dari kamarku.
“ Papa sendiri dulu lah yang bicara dengan mamatua,” ujarnya, suaranya pelan.
“ Bagaimana kalau ibu bersikeras pulang nanti sore? Papa boleh ikut?”
“ Terserah papa,” ujarnya dengan nafas sengal, seraya melangkah menuju mobil.
“ Mama nggak boleh langsung menyerah. Ibu benar, kamu itoku. Tetapi keputusannya bukan di tangan mereka. Bukankah kita sudah sepakat, jika keluargaku dan keluargamu tidak setuju, kita tetap akan melangsungkan pernikahan. Apa pun bentuknya, papa tak perduli. Persetan dengan ketabuan karena hubungan kekerabatan. Beras tak mungkin lagi menjadi padi. Mam, layar telah terkembang. Ayolah temanin papa bicara dengan ibu,” bujukku.

Magda bersikukuh pulang. Meski agak kesal, aku dapat memahami perasaannya, karena diliputi keraguan rencana pernikahan kami tidak akan semulus yang dia pikirkan sebelumnya. Satu-satunya yang dapat meyakinkan dirinya, hanya keteguhan hatiku. Sebelum Magda meninggalkanku, aku berpesan,” Bila nanti malam tidak datang ke rumah, berarti papa ikut ibu. Nggak usah khawatir, apapun hasil pembicaraanku dengan ayah, papa pasti kembali esok harinya. Honey, don’t surrender ‘cause we can win. In this thing called love,” ujarku meyakini dirinya.( Bersambung)

Los Angeles. December 2009

Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Monday, December 21, 2009

Telaga Senja (189)


http://www.youtube.com/watch?v=i8B1ai25lUo

Sarah Mclachlan: "Answer"
I will be the answer/At the end of the line/I will be there for you Why take the time/In the burning of uncertainty/I will be your solid ground I will hold the balance/If you can't look down

If it takes my whole life/I won't break, I won't bend/It will all be worth it Worth it in the end/Because I can only tell you that I know That I need you in my life/When the stars have all gone out You'll still be burning so bright

Cast me gently/Into morning/For the night has been unkind/Take me to a Place so holy/That I can wash this from my mind/And break choosing not to fight

If it takes my whole life/I won't break, I won't bend/It will all be worth it Worth it in the end/Because I can only tell you that I know That I need you in my life/When the stars have all gone out/You'll still be burning so bright / Cast me gently/Into morning/For the night has been unkind

=============================
Memang mama gila tidur bareng dengan papa, dirumah mami lagi. Bisa-bisa mami jatuh pingsan mengetahui putri satu-satunya itu berani tidur bareng di depan matanya.?”
“ Kok mami nggak takut meyuruh mama ke kamarku.?”
“ Mami tahu putrinya mampu menguasai diri,” jawabnya, sembari Magda turun dari atas tempat tidur. Dia kembali duduk diatas ubin.
============================

“ Magda datang kesini mau gangguin tidur atau kangen? Orang demam itu diberi obat, bukan hanya ditungguin.”
“ Mama malas cari obatnya. ”
“ Tadi papa bilangin, mama pergi tidur. Tetapi Magda sok prihatin.”
Ya...ya..papa cerewet. Sebentar mama cari obatnya,” tawanya.
Tidak lama setelah Magda keluar dari kamarku, aku mendengar mami menanyakan Magda:

” Sudah dikasih obat abangmu?” tanyanya. Maminya ngedumel mendengar jawaban Magda, belum.
“ Ngapain kamu dari tadi inang.?”
“ Magda sudah cari di kotak obat tetapi nggak tahu yang mana,?“ jawab Magda. Aku tertawa, geli mendengar jawaban Magda. Segera aku menutupi wajahku dengan selimut ketika Magda masuk kamarku. Magda menyingkap selimutku ketika mendengar tawaku.

“ Kok ketawa? Ada yang lucu?” tanyanya.
“ Ada! Magda membohongi calon mertuaku. Kapan mama cari obatnya,?” tanyaku. Magda tersipu malu langsung mendekapku di atas tempat tidur; Dia menempelken wajahnya ke wajahku, ketawa kami menyatu.
“ Mama tertangkap basah bohong iya pap. Bangun pap, makan dulu obatnya,” ujarnya seraya menyodorkan sebutir obat demam. Magda menegurku karena obat belum ku telan.
“ Aku menunggu mertua mengantarkan air minum." Magda sadar, segera ke dapur mengambil air minum. “ Nih, papa menjeng. Obat sekecil itu pun nggak bisa ditelan tanpa air.”

***
OBAT yang baru saja ditelan mengantarkan tidur, lelap. Aku terbangun setelah pengaruh obat telah habis. Rumah sepi. Magda tak membangunkanku ketika mau menjemput Rina ke klinik. Aku kembali melanjutkan tidur seraya menunggu mereka pulang dari klinik menjemput Rina dan Thian. Tengah mereguk nikmatnya tidur lanjutan, aku terjaga mendengar suara tangisan bayi di kamarku. Aku melihat bayi Thian dalam pangkuan Magda, Rina berdiri disampingnya. Segera meloncat dari tempat tidur, mencium Thian di pangkuan Magda. Diiringi tawa Rina menegurku saat mau mencium Thian: “ Heh...Zung, nafsu benar. Mau cium Thian atau mamatuanya?”

“ Bah! Mamatua? Magda mamatuanya Thian? Aku dipanggil apa?”
“ Sekarang panggil om. Nanti setelah nikah Thian panggil bapatua,” jawab Rina ketawa.
“ Thian panggil tulang ( om, pen) saja.”
“ Jadi gue panggil eda ke mbak Magda? Ogah!”
“ Rina sudah tahu pertalian kekerabatan? Siapa yang ngajarin.?”
“ Mamatua Thian lah.” ujarnya disambut tawa Magda. Rina dan Magda berteriak serempak, jangan!” ketika aku mau meraih Thian dari pangkuan Magda.
” Thian belum bisa mas gendong, masih orok. Emang boneka,” tawa Rina.

“ Mau di cium nggak boleh, digendong pun nggak dikasih. Masya aku cuma ngeliatin doang? Keluarlah kalian dari kamar ini. Aku mau tidur!”
Waduh papa... kasihan. Kesini, cium keningnya saja pap,” ujar Magda seraya mendekatkan Thian ke wajahku. Magda dan Rina meninggalkan kamar setelah mengijinkan mencium Thian. Tidak lama berselang, Magda menemuiku kekamar dengan satu empelop ukuran sedang, berisi sejumlah uang.

“ Uang untuk siapa?”tanyaku
“ Untuk papa. Uang panjar yang papa bayarkan untuk biaya pesalinan Rina.”
Aku menolak menerimanya kembali, meski jumlah agak lumayan, aku telah ikhlas menyerahkannya. Namun, akhirnya menerima setelah tahu pengembalian uang itu dari mami Magda. “ Papa marah karena uangnya dikembalikan!? Marahin saja mami, calon mertua papa,” tawanya.
***
Aku megajak Magda ke bank untuk mendepostikan uang yang aku bawa dari Jakarta termasuk uang “ sogokan” saat mengaudit perusahaan cabang tempatku bekerja serta sisa uang pemberian Susan ketika berkunjung ke Jakarta. Dalam perjalanan ke bank, aku tergelitik ketika melewati toko pehiasan. Ingat janjiku beberapa bulan lalu ingin memberinya cincin bermata blue safir atau sejenisnya seperti yang aku miliki. Uang pengembalian pembayaran persalinan Rina, aku sisihkan dari jumlah uang yang aku depositkan.

Kali kedua, setelah di Jakarta, bank menolak saat membuka rekening atas namaku sendiri. Alasannya, karena aku tidak mempunyai kartu tanda penduduk, Medan. Nama Magda terpaksa aku masukkan sebagai deposan utama. Kejadian yang sama aku alami ketika di Jakarta ketika membuka rekening, nama Ria menjadi deposan utama, karena aku tak mempunyai identitas Jakarta. Ria adalah perempuan yang aku kenal di meja judi, kemudian menjadi akrab. Nilai uang yang kami simpan jumlahnya cukup besar. Namun kini, itu hanya kenangan karena Ria raib bagai ditelan bumi.

Sekembali dari bank, aku mengajak Magda mampir di toko perhiasan, namun dia merasa enggan masuk ke toko perhiasan.
“ Papa masih utang,” ujarku. Magda berusaha menahanku masuk ke toko, meski akhirnya dia ikut ketika melihat wajahku sedikit kesal. “ Pemberian papa sebelumnya melebeihi dari cukup. Kenapa nggak pikirkan dulu biaya pernikahan nanti,?” dalihnya.
“ Ini juga bagian dari pernikahan,” balasku. Lagi, Magda menolak ketika aku memintanya memilih cincin yang dia sukai. Tetapi Magda menyerah setelah aku desak,” Papa lah yang pilih. Tetapi jangan yang mahal,” pintanya.
“ Mau yang murah ? Beli di pasar loak,” ujarku seraya mataku mencari cincin yang mirip dengan yang aku miliki.
“ Terlalu mahal itu pap,” bisiknya ketika aku menunjuk pada satu cincin.
“ Papa tanya, bukan soal harga. Mama suka nggak!?” ( Bersambung)

Los Angeles. December 2009


Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Tuesday, December 15, 2009

Telaga Senja (188)



http://www.youtube.com/watch?v=4IPcqZcKRgQ


=========================
“ Maaf mam. Papa salah mengerti. Ayo kita masuk sebelum mami keluar,” bujukku seraya mengangkat kedua lengannya. Magda berdiri. Dia merangkulku, menempelkan wajahnya disisi wajahku, sesugukan. Dari kerongkongan tersendat dia berucap lirih:” ...mama masih sayang papa. Kenapa mama dibentak?”
=========================


AKU membiarkan wajahnya terbenam diatas dadaku beberapa saat, sementara air matanya masih mengucur, hangat. “ Mama masih kesal.?”
“ Kenapa papa selalu marahin mama,? tanyanya seraya mencubit lambungku.
" Karena papa nggak mau siapapun akan membendung niatku, termasuk mama."
" Pernahkah papa melihat mama undur dari impian papa? Sejak papa mengutarakannya, mama selalu berkata"siap". Mama tak tahu kata apalagi yang mama ucapkan untuk meyakini dirimu pap. Tidakkah papa merasakan, mama telah memberikan semua yang terbaik buat papa. Bukankah hati dan jiwaku telah papa curi dan kini papa telah miliki seutuhnya? Tak seorangpun mampu merebut itu kembali dari pangkuan hatimu pap, mama juga tidak!

Apalagi yang tersisa yang akan mama persembahakan untuk papa seorang? Bahkan air mataku pun hampir kering, menangis, karena papa selalu meragukan kesedianku. Kendati papa masih meragukan kebersediaan mama, kali terakhir mama nyatakan, wujudkanlah rangkaian mimpi papa, yang telah lama mama impikan," ujarnya. Suara lembut, masih dengan tetesan airmata diujung tuturannya.

" Magda, layar telah lama berkembang mengarungi samudera luas. Sebentar akan tiba di ujung dermaga pengharapan. Impianku, kelak, disana aku dan mama membangun singgasana, diatas batu pualam, bening dan bersinar. Kemilau sinar itu akan menutupi segala luka duka yang tertoreh, selama dalam perjalanan asmara kita," balasku mengobati hatinya yang tergores luka. Aku masih menawarkan penawar lukanya: “ Magda, papa membatalkan rencana merayakan natal di kampung. Tetapi besok lusa, ijinkanlah papa mengantar ibuku pulang. Esok harinya papa akan kembali.”
“ Papa mau natalan dengan mama? Di sini, dirumah ini kan pap,?” tanyanya, seraya mengusap sisa-sisa air matanya.

“ Ya, merayakan natal bersama calon isteriku yang baru saja di"rajam” amarah.”
“ Papa nggak terlalu lelah bila kembali esok harinya?”
“ Untuk dan atas nama kasih sayang, tak ada kata lelah,” jawabku, disambut dengan kedua tangannya melingkar di leherku, berujar: “ Untuk dan atas nama cinta ....” ujar Magda menghadiahiku ciuman.

“ Besok, sebelum ibu diantar ke rumah tante, kita bawa ibu ke kamarku. Papa mau utarakan rencana kita . Mama berani nggak bicara kepada ibuku?”
“ Ya, mama mau,” ujarnya semangat. “ Tetapi, kalau papa setuju kita bicarakan malam, setelah kita pulang dari rumah Maya. Biar mamatua istrahat dulu. Ngomongnya lebih enak,” usulnya.

“ Ya, papa setuju, kita bicarakan malam. Mam, tidurlah. Besok kamu ngantor dan seharian jadi “sopir”. Papa, masih mau berangan-angan,” gurauku.
“ Papa juga tidur. Mama nggak mau tidur, kalau papa masih diluar.”
“ Takut papa pergi dengan Maya iya mam,”tanyaku iseng.
“ Ya iyalah. Ayo masuk pap, nanti papa sakit,” ajaknya seraya menarik tanganku.Malam itu, berakhir dengan sentuhan sukma, setelah seharian saling “pecut.”

***
Pagi sekitar pukul 5;00 aku dikagetkan dengan usapan tangan di wajahku. Dalam cahaya temaran mataku melihat sosok perempuan. " Ah...Magda, kamu mengagetkan papa.Mama, ngapain pagi-pagi begini datang ke kamar. Ntar mami lihat, dikirain kita sudah tidur sama,” tegurku pelan.
“ Mami yang suruh. Tadi, mami mendengar papa mengingau. Sepertinya papa demam,” ujarnya setelah menempelkan punggung telapak tangannya ke dahiku. Mungkin karena kehujanan tadi malam.”
“ Ya, kehujanan gara-gara papa ditinggal sendiri,” ucapku lirih.

“ Mama heran. Akhir-akhir ini papa semakin menjeng, seperti anak cencen yang baru pacaran. Disuruh tunggu sebentar, papa nggak sabaran. Memang mama mau lari kemana sih?” tawanya.
" Papa tidak kuatir mama akan lari. Yang papa takutkan, kalau Maya nekat membawaku kabur. Kasihan kan mama sendiri menyepi."
" Nggak juga. Masih banyak yang antri kok pap," balasnya." Pagi subuh papa sudah cari perkara. Semalam mengingau karena Maya, iya...?"
“ Bukan. Papa mengingau karena Magda selalu cerewet. Heh...mam kembali lah kekamarmu, masih lumayan ada beberapa jam lagi untuk tidur.”
“ Tidur? Bagaimana mama bisa tidur sementara papa demam?”

“ Nggak usah kuatir, entar juga demamnya sembuh sendiri. Pergilah tidur, nanti Magda ngantuk dikantor lho.”
“ Hari ini mama nggak ngantor lah iya pap? Ntar mama telepon minta ijin bawa papa ke rumah sakit atau ke rumah om dokter. Mama istrahat disini saja,” ujarnya seraya duduk di ubin pada sisi tempat tidur, lantas menaruh kepalanya dekat wajahku.
“ Kenapa nggak tidur diatas tempat tidur?” godaku
“ Papa serius? Nggak takut dilihat calon mertua?” tanyanya. Belum aku jawab, Magda langsung naik ke tempat tidurku. “ Geser dikit pap,” ujarnya, dia mendorong tubuhku, lalu merebahkan tubuhnya disampingku.

“ Magda! Kamu gila. Ntar ketahuan mami.”
“ Yang suruh papa sendiri. Papa berani ngomong harus berani bertanggungjawab.”
“ Tapi papa kan bergurau.!”
“ Papa pengecut. Sama mertua pun ketakutan,” tawanya, ketika aku hendak turun dari tempat tidur.
“ Mama tidur disini, papa saja yang tidur di kursi,” ujarku mengalah. Magda menahan tubuhku, dia tak mampu menahan rasa geli, ketika aku beringsut dari tempat tidur.

“ Jangan pap. Papa tidur disini! Mama hanya menguji keberanian papa. Memang mama gila tidur bareng dengan papa, dirumah mami lagi. Bisa-bisa mami jatuh pingsan mengetahui putri satu-satunya itu berani tidur bareng di depan matanya.?”
“ Kok mami nggak takut meyuruh mama ke kamarku.?”
“ Mami tahu putrinya mampu menguasai diri,” jawabnya, sembari Magda turun dari atas tempat tidur. Dia kembali duduk diatas ubin. (Bersambung)

Los Angeles. December 2009


Tan Zung

"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Monday, December 14, 2009

Telaga Senja (187)

=================
“ Besok sebelum kerumah Maya, kita mampir ke tukang jahit mama. Papa juga harus jahitkan pasangan jas untuk papa, sekalian untuk persiapan pernikahan kita. Nanti mama minta tolong ke tukang jahit, supaya dikerjakan ekspress. Nggak apa-apa, ntar mama bayar ekstra.” ujarnya semangat.
==================
Sebelum kami keperaduan, Magda memberitahu kedatangan ibuku dari Jakarta. " Besok mama akan minta ijin pulang sekitar pukul 10:00, karena mama akan temanin mami jemput Rina dan Thian dari klinik bersalin. Pap, tadi sebelum Maya datang, adik Lam Hot memberitahukan, mama tua besok siang berangkat dari Jakarta pukul 11:00 pagi. Mungkin tiba di airport sekitar pukul 1:00 siang. Nanti mama usahakan jemput papa ke rumah pak Ginting sebelum ke airport.”
“ Mama kuatir, kalau Maya jemput papa iya.?”
“ Nggak. Papa saja yang merasa. Ketika tadi mama mencegah Maya menjemput, wajah papa langsung cemberut,” tawanya.

“ Mam, jujur, seharian ini mama memberlakukanku seperti orang terhukum. Papa harus menuruti semua kemauan mama. Bertemu dengan Maya pun mama batasi. Papa tidak mengerti kenapa Magda begitu kuatir dengan papa. Apa mungkin papa dan Maya mengarung jeram yang penuh bebatuan itu dalam waktu singkat.? Ketika mama masih ragu, karena hubunganku dengan Laura, papa dapat memakluminya. Tetapi tidak dengan Maya. Papa merasa, kekuatiran mama terhadapku sangat berlebihan.”

“ Mama tidak merasakan memberlakukan papa seperti orang terhukum, sungguh!”
“ Papa yang merasakannya. Mam, cemburu berlebihan, sadar atau tidak, akan melahirkan ego yang berlebihan. Meski mata melihat daun berwarna hijau, mulut berkata berwarna kelabu.”
“ Sejauh itukah papa menilai mama?”
“ Hari ini iya! Papa hanya mau mengingatkan. Perjalanan kita masih panjang. Mama tersinggung,?” tanyaku ketika melihat wajahnya agak redup.
“ Tidak pap, mama tidak tersinggung. Terimakasih mama telah diingatkan. Maafkan mama, kalau papa merasakan egoku berlebihan. Pap, itu mungkin karena kegelisahanku akibat cinta berlebihan,” akunya jujur. " Papa bisa memahami kegelisahan mama, bukan,?" tanyanya. Rasa jengkel yang menggelayut dalam hati beberapa jam terakhir, sirna atas pengakuan jujur dan seiring keteduhan wajahnya.
***
“ Boleh papa ikut jemput ibu ke airport? Bila perlu, besok papa nggak usah ke rumah pak Ginting
“ Iya pap, kita akan jemput bareng. Tetapi terapi yang tarakhir, jangan dibatalkan. Papa tunggu disana, nanti mama jemput sebelum ke airport," ingatnya.
“ Mam, setelah pesta pernikahan Maya, papa akan pulang dengan ibu, sekalian merayakan natal di sana.”
“ Papa pulang!? Jadi mama ditinggal? Bagaimana sih papa, kok tega tinggalin mama? Ntar mama diambil orang lho pap,” guraunya.
“ Tahun terakhir papa,sendiri, akan merayakan natal dengan keluarga.”
“ Pap, tahun ini kita merayakan natal dengan mami, Jonathan serta dan Thian. Mama sih mau ikut papa ke kampung. Tetapi kasihan mami kesepian.”
“ Papa mau ikut ibu pulang, karena mau membicarakan tentang pernihakan kita. Kapan waktu yang tepat buat mereka. Bagi papa, lebih cepat lebih baik.”

“ Jangan terlalu dipaksakan pap!” ujarnya. Aku terkesima mendengar ucapannya "jangan terlalu dipaksakan". Seketika tensi darahku naik. “ Maksudmu apa sih!? Papa tidak pernah memaksakan. Jadi, Magda belum bersedia? Katakan dengan jujur!" suaraku menahan teriak.
Papaaa..jangan berteriak seperti itu. Ntar mami bangun. Kenapa sih papa marah?. Maksud mama, kasihan mamatua masih capek, kan baru datang dari Jakarta?”

“ Tetapi papa, sungguh tidak mengerti. Apa maksudmu, dipaksakan? Minggu lalu, sepeulang dari night club, mama katakan telah siap. Ketika kita masih di Jakarta juga mengatakan hal yang sama. Kenapa sekarang mama katakan, jangan terlalu dipaksakan.? Maunya Magda kapan lagi? Atau kita batalkan,?” entakku sambil berdiri.

Magda menahanku. “ Papa mau kemana? Pap tenang dulu. Papa masih meragukan kesediaan mama? Minggu depan kalau papa mau, terserah bawa kemana, mama bersedia! Papa...pap..lihat mama,” bujuknya setelah aku duduk dan menyandarkan kepalaku di ujung sandaran kursi menghadap langit-langit teras. Nafasku sengal.
“ Lihat mama dulu. Pap, kenapa mama dimarah? Mama ketakutan.!”
“ Magda mau menghindar iya.?”
“ Papa...percayalah pada mama. Maksud mama jangan dipaksakan, kasihan mamatua baru pulang dari Jakarta; Dia masih letih. Biarkan dulu mamatua istrahat,” jelasnya.

Penjelasan yang keluar dari mulut Magda, secercah jawab, menghapus butir-butir kekuatiranku. Saat itu aku langsung minta maaf. “ Mam, maafkan papa terlalu sensitif,“ sesalku. Ternyata dia bermaksud merenggang waktu sejenak, menunggu tenaga ibuku pulih sepulang dari Jakarta.

Masih diteras, Magda menunduk lalu meletakkan kepalanya diatas kedua tangannya yang saling menindih diatas meja. Aku mendengar dia sesugukan menahan isak.
“ Maaf mam. Papa salah mengerti. Ayo kita masuk sebelum mami keluar,” bujukku seraya mengangkat kedua lengannya. Magda berdiri. Dia merangkulku, menempelkan wajahnya disisi wajahku, sesugukan. Dari kerongkongan tersendat dia berucap lirih:” ...mama masih sayang papa. Kenapa mama dibentak?” ( Bersambung)

Los Angeles. December 2009


Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (186)

Savage Garden Truly Madly Deeply
I’ll be your dream, I’ll be your wish/I’ll be your fantasy/I’ll be your hope, I’ll be your love/Be everything that you need/I’ll love you more with every breath/Truly, madly, deeply do / I will be strong, I will be faithful/’Cause I’m counting on/A new beginnin’ / A reason for livin’/A deeper meanin’, yea

And I want to stand with you on a mountain/I want to bathe with you in the sea/I want to lay like this forever/Until the sky falls down on me / And when my stars are shinin’ brightly in the velvet sky/I’ll make a wish to send it to Heaven/Then make you want to cry

The tears of joy for all the pleasure in the certainty/That we’re surrounded by the comfort and protection of/The highest powers in lonely hours/(Lonely hours)/The tears devour you / And I want to stand with you on a mountain/I want to bathe with you in the sea/I want to lay like this forever/Until the sky falls down on me

Oh can’t you see it baby?/You don’t have to close your eyes/’Cause it’s standin’ right before you/All that you need will surely come/Uhh hu yea

I’ll be your dream, I’ll be your wish/I’ll be your fantasy/I’ll be your hope, I’ll be your love/Be everything that you need/I’ll love you more with every breath/Truly, madly, deeply do/(I love you)/Huh huh

I want to stand with you on a mountain/I want to bathe with you in the sea/I want to lay like this forever/Until the sky falls down on me / And I want to stand with you on a mountain/I want to bathe with you in the sea / Well I want to live like this forever/Until the sky falls down on me /
Huh huh uhh/Yea uhh huh/La la la duh duh huh/La la la duh duh huh/Uhh hu

==================
Diakhir rangkaian kenangan itu, aku menyesali sikap Magda. Seandainya dia tidak membiarkan aku sendiri di kamar, kenanganku dengan Maya tak akan terlintas. Aku berusaha membujuk mataku redup namun tetap “nyala” seiring gejolak rindu, meski hanya sekedar melihat wajah Maya yang terakhir.
===================
Ditengah kegelisahan malam, aku bergegas bangkit dari tempat tidur, ingin menemui Maya di rumah Magda. Sementara berkemas, otakku merancang, bagaimana caranya agar Magda tidak merasa kesal jika aku datang menemuinya, saat hujan bagai ditumpahkan dari langit. Satu-satu cara adalah mendramatisir suasana. Aku menunggu becak dipingggir jalan, menutupi kepalaku dengan plastik bekas tentengan Magda. Beca yang aku tunggu baru melintas setelah hampir seluruh pakaianku basah kuyup. Dengan badan menggigil, aku mengetuk pintu samping, setelah lebih dulu menilik ke ruang tamu lewat kaca nako. Maya dan Shinta masih ada disana.

Sebelumnya, mengharap Magda membuka pintu dan akan melihatku menggigil kedinginan. Tetapi, yang membuka pintu, justru mami Magda. Perkiraanku meleset. Maminya berteriak memanggil Magda, memberitahukan kedatanganku. Magda berlari menemuiku ke depan pintu. Maminya menegur Magda karena hanya memplototiku meski dengan wajah iba.
“ Kenapa hanya berdiri boru ( putri, pen). Kasihkan dulu handuk inang, abangmu kedinginan itu,”suruhnya, kemudian meninggalkanku dan Magda.

“ Kenapa bisa basah seperti ini. Papa jalan kaki? Tadi mama sudah bilang, akan menjemput papa.!” ujar Magda pelan ketika menyerahkan handuk ketanganku.
“ Iya. Papa kesepian di kamar. Mami kapan datang,?” tanyanku.
“ Barusan. Papa ganti pakaian dulu. Tungguin mama dikamar, nanti mama menyusul setelah Maya pulang.” ujarnya. Bah! Kejam nian calon isteriku. Bertatap wajah dengan Maya pun tak diperkenankannya, kesalku dalam hati. Selang setengah jam, Magda menemuiku ke kamar; Dia membangunkanku ketika Maya dan Shinta hendak mau pulang. Aku paksakan bangkit dari tempat tidur, meski badan masih mengigigil kedinginan.
“ Papa bicara seperlunya saja. Mereka masih punya banyak urusan,” ucapnya mengingatkanku. Kalau saja maminya nggak ada dirumah, sudah pasti kutingalkan Magda tanpa menemui Maya, karena merasa jengkel atas peringatannya.

Maya menatap dingin saat aku menemuinya di ruang tamu. Magda over acting. Aku jengah ketika Magda duduk mepet di sampingku, persis dihadapan Maya. Shinta tidak seperti biasanya “riuh” bila bertemu denganku. Sejenak suasana terasa kaku, hening sesaat, sebelum Maya memecahkan kesunyian, bertanya: “ Zung, besok punya waktu datang ke rumah?”
Mendengar pertanyaan Maya didepan Magda, aku sedikit gugup, tak tahu menjawab apa. Magda segera menimbrung: “Mau temanin mama kerumah Maya setelah pulang kantor. Tetapi papa besok hari terakhir terapi kan pap? Papa, naik bus saja pulangnya.” ujarnya, mengalihkan pembicaraan. Namun, langsung disambar oleh Maya: “ Biar aku saja yang jemput bang Tan Zung.”
“ Maya, nggak usah. Pestamu tinggal beberapa hari lagi. Maya harus banyak istrahat,” cegah Magda.

“ Memang besok malam ada acara apa,?” tanyaku ke Maya.
“ Nanti mama beritahu. Maya dan Shinta mau pergi, mereka masih banyak urusan,” sela Magda disambut senyum Maya dan Shinta. Magda tidak membiarkanku sendiri menghantar Maya dan Shinta ke depan rumah. Sepeninggal Maya, aku menahan Magda diluar. Hati tak sabar mendengar akhir pembicaraan mereka. Tetapi Magda menggantung, membuatku penasaran.
“ Besok saja pap. Mama ngantuk,” jawabnya seraya menarik lenganku. Aku menolak masuk kerumah sebelum memberitahu isi pembicaraan mereka. Magda mengalah.

“ Kita pacaran diteras saja pap,” ujarnya genit. Nanti, lanjutnya, pada pernikahan Maya, mama jadi pendamping utama Maya. Tapi papa pendamping kedua, pria.
“ Kenapa mama berubah sikap? Bahkan menjadi pendamping utama Maya,?” tanyaku heran, hampir tak percaya mengingat “tragedi “kamar mandi siang hari.
“ Mama terenyuh mendengar cerita Maya ."
“ Memang ada masalah apa.?”
“ Nantilah usai pesta mereka, mama jelaskan,” elaknya.
“ Apa bedanya sekarang dan nanti,?” desakku penasaran.

“ Papa paling susah dibilangin. Harus dimauin apa maunya, huh..! Menurut Maya, pendamping perempuan dan lelaki mengundurkan diri. Mereka tersinggung dengan sikap om John, sok mau ngatur. Masya sih, pakaian mereka om itu yang atur?”
“ Nah, nanti kalau dia juga mau ngatur kita?”
“ Mama tinggal !” tawanya sinis.
“ Kenapa mama putuskan kesediaanku, tanpa mama tanyakan papa lebih dulu.?”
“ Papa, tadi mama katakan, mama mau karena terenyuh mendengar tuturannya dan mama menaruh empati. Tetapi kalau papa nggak setuju, besok mama batalkan.”
“ Jangan mam, kasihan Maya. Okey, papa ikut keputusan mama,” jawabku buru-buru.

“ Besok sebelum kerumah Maya, kita mampir ke tukang jahit mama. Papa juga harus jahitkan pasangan jas untuk papa, sekalian untuk persiapan pernikahan kita. Nanti mama minta tolong ke tukang jahit, supaya dikerjakan ekspress. Nggak apa-apa, ntar mama bayar ekstra.” ujarnya semangat. (Bersambung)

Los Angeles. December 2009

Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (185)



http://www.youtube.com/watch?v=8cBtijic5Fk


Savage garden - "I knew I loved you"
Maybe it's intuition/But some things you just don't question/Like in your eyes/I see my future in an instant And there it goes/I think I've found my best friend/I know that it might sound more than a little crazy/But I believe

I knew I loved you before I met you/I think I dreamed you into life/I knew I loved you before I met you/I have been waiting all my life

There's just no rhyme or reason/Only this sense of completion/And in your eyes/I see the missing pieces /I'm searching for/I think I've found my way home/I know that it might sound more than a little crazy/But I believe

I knew I loved you before I met you/I think I dreamed you into life/I knew I loved you before I met you I have been waiting all my life/(add the whos here) /A thousand angels dance around you/I am complete now that I've found you/(and the whos here)

I knew I loved you before I met you/I think I dreamed you into life/I knew I loved you before I met you I have been waiting all my life/(and the whos here)
Repeat chorus 3x with chorus

==========================
“ Jika alasannya adalah kemungkinan yang pertama, papa bersedia mendampinginya.”
“ Papa bagaimana sih. Kalau memang papa mau putuskan sendiri, kenapa berpura-pura menanyakan pendapatku?” kesalnya, sembari beranjak dari kursinya.

===========================

SEBELUM menjadi persoalan baru, buru-buru aku mendekapnya. Mam, tunggu dulu ! Papa bilang, kalau kemungkinan yang pertama benar, aku bersedia. Karena papa juga mau balas dendam ke om Jhon. Tetapi itupun, kalau dilarang, papa tidak akan memaksakan diri.”

“ Halah... tadi sudah memastikan mau jadi pendamping. Papa tidak usah berkelit.”
“ Mama marah ecek-ecek kan? Putusan papa juga hanya ecek-ecek kok. Apapun alasannya, papa tidak akan mau menikahi Maya," ucapku sengaja pelesetin."Bagi papa, Magdalena Elisabeth si ratu cerewet, putri menjeng itu sudah lebih dari cukup.”
Mata Magda melotot. Dia kembali duduk ke kursi. Tanganya merambah ke pahaku seraya mencubit sekuatnya, berucap kesal: “ Papa selalu membuat mama jengkel.”

“ Jika nanti malam Maya datang bertemu dengan mama, papa boleh ikut mendampingimu.?”
“ Jangan sebut lagi nama itu. Mama muak mendengarnya!” serunya. Sesaat kemudian, tangannya melingkar dileherku diiringi tawa lepas. “ Ya, ‘yang, papa harus ikut mendampingi mama jika Maya datang menemuiku. Tetapi papa jangan kaget bila mama menolak permintaannya.”
“ Bagaiamana kalau Magda hubungi dia sebelum datang ke rumah mama. Lebih baik, kita bicara disini, lebih santai,” usulku.
“ Papa genit! Maya mau menemui mama, bukan papa. Masih belum cukup pertemuan di kamar mandi itu, hah...?”

“ Ya..sudah, ayo mam, bayi Thian menunggu kita, ” ajakku, lantas menarik tangannya menuju ke klinik mengunjungi Rina. Sebelumnya, aku dan Magda telah besuk, tetapi pergi sendiri-sendiri, karena "tragedi" kamar mandi itu. Tiba di klinik, Rina berteriak haru dan mengangkat kedua tangannya menyambut kedatangan kami. Magda membalas. Rina memeluknya di atas tempat tidur berucap haru: “Begitu dong, jangan berantam melulu. Mas jelek, kesini!” teriak Rina usai berpelukan dengan Magda. Dia menarik lenganku, ketika aku mendekat ke ranjangnya, kemudian mencium pipiku: “Jangan nakal lagi mas,” ujarnya, kerongkongannya serak haru.

“ Mbak, kalau mas Tan Zung masih belagu, kita suruh Thian menghajarnya,” ujarnya disambut tawa Magda. Ruangan riuh dengan sendagurau kami bertiga. Ditengah keceriaan, Magda memberitahukan Rina perihal rencana kun jungan Maya ke rumah.
“ Sebentar malam Maya mau datang menemuiku.”
“ Maya mau kerumah ? Mau minta maaf?” tanya Rina.
“ Bukan! Maya mau minta ijin ke aku; dia mau mengajak bang Tan Zung menjadi pendamping calon suaminya.”

“ Jangan mau mbak. Mas Tan Zung sih maunya,” balas Rina.
“ Begini jadinya, bila berdua terlalu lama satu atap, sama-sama otak kotor,” gurauku seraya mengajak Magda pulang.
" Heh..mas Tan Zung, titip salamku untuk mbak Maya," teriak Rina saat kami meninggalkannya.
" Rin, jangan cari perkara. Titipkan salammu melalui Magda. Menyebut namanyapun aku nggak boleh, " balasku, disambut renyah Magda.
***
Dalam perjalan pulang dari klinik, di mobil, Magda berubah pikiran. Dia secara jujur mengakui, ketidaksiapannya bila aku ikut mendampingi, saat Maya akan datang kerumahnya. “ Papa, nggak usah ikut, sekarang mama antar papa pulang. Biar mama saja yang ngomong dengan Maya. Ntar mama datang jemput papa setelah kami selesai bicara.”

Lho, tadi, katanya mama mau ditemani. Memang kenapa kalau papa ikut.?”
“ Mama belum mampu melupakan kejadian tadi siang. Mama harap, papa dapat mengerti.”
“ Magda, masih menyimpan marah? Atau cemburu?”
“ Keduanya pap!”
“ Hujan deras begini disuruh tidur tanpa selimut? Tega amat sih menyiksa papa gara-gara Maya.?”

" Mama suruh tunggu, bukan tidur! Papaaaa... kali ini tolonglah mengerti perasaan mama. Mama belum dapat melupakannya,” ujarnya seraya menghentikan mobil di depan rumah kosku. Aku langsung berlari ke kamar tanpa menunggu payung yang akan disiapkan Magda. Aku tidak menyadari kalau Magda menyusulku ke kamar. Dia berlari menembus hujan tanpa payung, setelah aku tak perdulikan teriakannya memanggilku. Hampir saja pintu menghantam wajahnya ketika aku menutupkan dengan kuat.

“ Papa marah?” tanyanya seraya memutar wajahku menghadap wajahnya. “ Papa jawab mama. Papa marah!?”
“ Nggak! Pulanglah, mungkin Maya dan Shinta sudah di rumah. Telepon aku jika kalian sudah selesai bicara. Nanti papa tidur disana,” ucapku lembut, kuatir dia merajuk, membatalkan pertemuannya dengan Maya. Magda mendekapku hangat sesaat aku selesai ngomong. “ Papa nakut-nakutin mama. Kirain, papa sedang marah,” ujarnya, lalu pergi.

Sepeninggalnya, aku berencana tidak akan menemui Magda malam itu. Aku membuka bed cover tempat tidurku, pengganti selimut. Sedikit membantu kehangatan tubuhku, tetapi tidak dengan jiwaku yang sedang mengembara, jauh. Kabut redup seakan menutupi langit-langit kamarku. Dalam kesendirian, lagi-lagi pikiranku merangkai kenangan dengan Maya saat liburan di kampung dan kala menghadiri pernikahan Shinta. Diakhir rangkaian kenangan itu, aku menyesali sikap Magda. Seandainya dia tidak membiarkan aku sendiri di kamar, kenanganku dengan Maya tak akan terlintas. Aku berusaha membujuk mataku redup namun tetap “nyala” seiring gejolak rindu, meski hanya sekedar melihat wajah Maya yang terakhir. (Bersambung)

Los Angeles. December 2009

Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Sunday, December 13, 2009

Telaga Senja (184)


Celine Dion & Il Divo I Believe In You
Lonely the path you have chosen/A restless road no turning back/ One day you will/ find you light again/Don't you know/Don't let go the chance

English chorus:
Follow your heart/Let your love lead through the darkness/Back to a place you once knew/I believe, i believe,i believe in you/Follow your dreams/Be yourself an angel of kindness/There's nothing that you cannot do/I believe,i believe,i believe in you

Tout seul tu t'en iras tout seul/Couer ouvert à l'univèrs/Poursuis ta quête/Sans regarder derrière/N'attends pas/Que le jour se léve/Suis ton etòile/Va jusqu'oì ton revê t`emporte/Un jour tu le toucheras/Si tu crois,si tu crois,si tu crois en toi/Suis ta lumière/N'étint pas la flamme que tu portes/Au fond de toi souviens toi/Que je crois,que je crois,que je crois en toi

Someday i'll find you/Someday you'll find me too/And when i hold you close/I know that it's true
Repeat english chorus

==========================
Bukannya tadi papa marah-marah karena kelaparan? Kenapa tiba-tiba suara papa lembut? Papa sudah kenyang,?” sindirnya. “Dinyanyiin” begitu, aku pun melangkah gontai menuju kamarku.
“ Heh...papa yang bawa makanannya! Mama bawa bantal papa, “ suruhnya tegar. Aku berbalik , melangkah lemah ke mobil bagai serdadu kembali dari medan tempur setelah kalah perang.
===========================

MAGDA belum puas mengecohku, dia lanjutkan dengan sindiran. “ Papa kelihatan ada perubahan setelah bertemu dengan Maya. Boleh mama tahu kenapa.?” tanyanya setelah kami di kamarku. “ Papa, bangunlah ! Bantuin mama. Tadi pagi, katanya, setelah terapi, mau masak untuk mama. Ketemu Maya malah kelupaan,” ujarnya seraya menyiapkan makanan. Sesekali menolehku yang tergolek tak bergairah di atas ranjang.

“ Magda sudah pintar kerjain orang iya? “
“ Papa sendiri yang melatih. Selama hampir enam tahun papa telah melatih berolah kata, berlagak serius dan menguji kesetiaanku. Malah mama sukar mebedakan ecek-ecek atau serius. Papa selalu berhasil mengecohku. Mama kali pertama berhasil, tetapi papa langsung seperti orang putus asa,” tawanya.
Magda kembali menghardik ketika aku masih rebahan di ranjang : “ Papa mau makan nggak !”
“ Yang ini bukan marah ecek-ecek kan mam,?” tanyaku sambil beringsut dari tempat tidur seperti bocah ketakutan dengan ibu cerewet.
“ Maunya papa, berantam dulu baru kita makan? Atau papa perlu di suapin.?”

Sebelum tensinya naik, buru-buru aku ke dapur mengambil air minum. Kembali dari dapur, aku heran meihat sajian makanan hanya disiapkan dalam satu piring. Magda mengangkat kursi duduk dekatku. “ Mama, duduk dekat papa. Biar cepat nyubit kalau papa nakal,” ucapnya genit.
“ Kenapa disiapkan hanya satu piring.?”
“ Kita sepiring berdua pap. Mama sengaja siapkan satu piring, agar papa tidak capek nyuci. Ngak apa-apa kan pap.”

“ Magda, bersedia kalau kita bicara serius sambil makan,?” tanyaku, saat dia menyorongkan sesendok makanan ke mulutku.
“ Mama nggak keberatan. Tetapi tunggu dulu, papa mau bicara apa.?”
“ Tentang ” tragedi” kamar mandi berujung dengan cemburu mama.”
“ Papa, janji kalau kita bicara apapun nggak pakai marah! Menurut papa, mama cemburu!? Ya, mama tidak hanya cemburu juga sangat marah. Tetapi entah kenapa, mama dapat menahan diri, tidak reaktif seperti papa. Dulu, mama hanya duduk sebentar dengan Albert...”

“ Magda, sejak dulu sudah katakan, papa muak mendengar nama itu,”potongku.
“ Papa, diam dulu!“ Mama tahu, hanya mendengar nama Albert pun papa seperti kerasukan. Tetapi, kala Maya bersama papa dikamar mandi , itu sesuatu hal yang pantas, begitu? Papa sendiri yang “memproklamirkan” ke seluruh penjuru semesta, Magda, perempuan bodoh ini, akan menjadi permaisuri papa. Papa juga tahu, kalau Maya akan segera menikah dengan lelaki lain, bukan? Papa seakan mempertontonkan kehebatan papa di hadapan bapak dan ibu Ginting, bahwa papa mempunyai koleksi perempuan segudang? Masihkah papa punya rasa malu?” cecarnya, seraya meletakkan sendok diatas piring.

“ Itu yang mau papa jelaskan. Maka tadi papa tanya, boleh nggak kita bicara. Maksudku bicara baik-baik.”
“ Penjelasan atau pembelaan? Kenapa dulu, papa tidak pernah memberi mama kesempatan menjelaskan tentang keberadaan Albert? Melihat wajahnya saja pun, papa sudah seperti orang gila. Lalu, papa melarikan diri, meninggalkan mama menahan siksa kemudian “membunuh” semua semaian yang tinggal menuai itu. Papa, bahkan, merajamku hingga terkapar tanpa pernah mendengar penjelasanku.”

“ Lalu kapan masalahnya akan selesai jika mama tidak mau mendengar penjelasanku.? Mama masih percaya dengan papa? Kalau kepercayaan itu telah hilang, tak ada gunanya kita melanjutkan rencana selanjutnya, “ kataku pelan. Magda mencegah, ketika aku meraih sendok dari piring. Lagi, dia menyendok makanan ke mulutku.
“ Percaya? Bukankah mama yang paling pantas menanyakan itu kepada papa? Setelah , di Jakarta, papa janji tidak akan mengulang lagi mengkhianati ketulusanku.”

“ Papa tidak akan pernah mengkhianati mama. Kejadian tadi siang itu hanya kebetulan, tanpa direncanakan. Untuk lebih jelasnya, tanyakan kebenarnanya dengan bapak atau ibu Ginting. Sebagai orang tua, mereka tidak akan berbohong; mereka akan mengatakan yang sebenarnya. Tanyakan, kenapa Maya membatu membersihkan tubuhku. Tanyakan juga, apa yang kami lakukan di kamar mandi. Mama juga boleh menghubungi Shinta, apa yang kami bicarakan dengan Maya di kampus. Sebelum mama pergi ke rumah pak Ginting, mama mau mendengar penjelasanku kan?”

Meski Magda tak menjawab pertannyaanku, tetapi sikapnya mulai berubah, lembut. Dia mendengar dengan seksama tuturanku sejak awal hingga Maya ngotot ikut ke kamar mandi membersihkan tubuhku.” Sebenarnya, lanjutku, mama patut mengucapkan terimakasih pada Maya karena dia bersedia menggantikan mama saa itu.
“ Halah...memang maunya papa.”

Setelah selesai makan, aku coba memberanikan diri mengutarakan keinginan Maya agar aku menjadi pendamping calon suaminya saat acara pernikahan. “ Mungkin nanti malam Maya dan Shinta mau datang menjumpai mama.”
“ Menjumpaiku? Keperluan apa.? “
“ Maya minta tolong, papa jadi pendamping pengantin pria. Mama setuju.?”
“ Aneh! Maya yang minta atau kemauan papa.?” tanyanya.
“ Bukan kemauanku! Papa juga merasa aneh. Sebelumnya, Maya melarangku menghadiri acara pernikahannya, sekarang malah Maya sendiri yang memintaku ikut terlibat dalam acaranya . Tetapi papa masih pikir-pikir, seandainya pun mama mengijinkan.”

“ Mama nggak setuju papa jadi pendamping calon suaminya.”
“ Ada alasan spesifik kenapa mama melarangku.”
“ Mungkin Maya ingin membalas kekecewaannya kepada om John, karena sebelumnya melarang papa berhubungan dengan Maya. Mungkin juga, dia mau memuaskan batin atas cinta yang tak kesampaian pada papa.”
“ Jika alasannya adalah kemungkinan yang pertama, papa bersedia mendampinginya.”
“ Papa bagaimana sih? Kalau memang papa mau putuskan sendiri, kenapa berpura-pura menanyakan pendapatku?” kesalnya, sembari beranjak dari kursinya.( Bersambung)

Los Angeles. December 2009

Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Wednesday, December 9, 2009

Telaga Senja (183)

=====================
Sebelum dia meninggalkan kamar, aku menyelipkan sejumlah uang ke kantongya setara pendapatannnya seharian menarik becak pada akhir pekan. Tak lagi merasa sungkan, dia menyalam Magda saat berpapasan di didepan kamarku.
====================
Kehadiran Magda, serasa menghidupkan lentera cinta yang nyaris redup. Skenario “catur” yang telah kurancang buyar setelah melihat keteduhan wajahnya. Aku songsong dia ke depan pintu dan melakoni seperti aku lakukan di rumahnya kala dia mendorongku nyaris terjengkang.
“ Magda ngapain? Belum cukupkah Rina memaki dan menghujatku.?" Aku tetap berdiri didepan pintu tanpa menyilakannya masuk. Magda cuek. Dia masuk dengan cara memiringkan tubuhnya lalu duduk di sudut ranjang. Magda meletakkan tas tentengan yang dibawanya di sisi tempat tidurku.

“ Pap, terimakasih telah mengantar Rina ke rumah sakit,” ujarnya.
“ Magda! Kamu belum menjawab pertanyaanku. Untuk apa kamu datang kesini?” Magda tetap tak mau menjawab. Bahkan berdiri membenahi tempat tidurku. Dia mengambil sarung bantal dan bed cover dari tas tentengannya. Sepasang cangkir dan sejumlah sendok, garpu serta piring ditaruh diatas meja kecil setelah menutup dengan taplak yang telah disiapkannya.
“ Magda, tahu dari siapa aku ada kesini?”
“ Dari belahan jiwaku. Bukankah tadi pagi telah memberitahu, kalau papa punya rencana ke tempat ini.? Papa lupa karena bertemu dengan Maya,?" tanyanya agak sinis. Tiba-tiba Magda mengalihkan pembicaraan.
" Tadi mama sudah mampir di klinik, besuk Rina. Thian montok iya pap,” ujarnya tanpa menolehku. Ya, sudahlah, mungkin Magda telah menyadari kekeliruannya, pikirku. Aku pun beranjak dari tempat duduk, membantunya membenahi kamarku.

“ Magda, terimakasih telah membawa semua perlengkapanku.” ujarku sembari menyususun buku-buku ke atas meja belajar di pojok kamar. Sementara Magda merapikan lipatan pakaian, aku mengambil air minum ke rumah induk. Aku menyorongkan air dingin itu ke ujung bibirnya.
” Kok cuma satu gelas pap.?”
“ Segelas berdua,” ujarku, disambut dengan mata binar. Wajahnya bersinar, dipadu elok bibir tipis merekah. Kedua telapak tangannya menopang tanganku yang sedang memegang gelas berisi air di ujung bibirnya, lantas meneguk.
“ Papa juga, minum, ” ujarnya seraya mendekatkan gelas ke mulutku.
“ Magda, kenapa seharian ini marah pada papa?”

“ Maya dimana pap.?”
“ Mana papa tahu! Mama belum jawab pertanyaanku. Mama masih marah karena melihat duduk berdampingan dengan Maya di mobil angkutan umum tadi siang!?” tanyaku seraya meletakkan gelas ke atas meja.
“ Papa sudah memaafkan mama? Atau masih marah?” tanyanya serius sambil memegang kedua pergelangan tanganku
“ Mama merasa bersalah? Apa yang salah? Magda, jawab dulu pertanyaanku, papa salah apa, hingga Rina ikut-ikutan menghujatku.? “ tanyaku pelan persis didepan wajahnya, hidung hampir bersentuhan.

“ Papa lapar?”
“ Ya...ya. Aku lapar, lalu kenapa!? Papa juga lapar jawaban mama! Kok sejak tadi nggak mau menjawab pertanyaanku!” ucapku kesal. Magda kaget mendengar suaraku agak meninggi; Dia diam, menatapku sebentar lalu melepaskan pegangannya. Magda mengambil kunci mobil dari atas meja lantas keluar dari kamar.
“ Mama mau kemana!?“ teriakku. Magda bergeming, menolehpun tidak. Dia terus melangkah ke mobilnya.

Kenapa Magda begitu sensitif? Seingatku, tempo dulu, hanya sekali dia meninggalkanku dikamar dengan tangisan, saat aku merokok “daun setan” ( daun ganja, pen ). Sebelumnya, memang, dia telah berulangkali mengingatkan agar tidak mengulangi kebiasaan itu. Selebihnya, paling dia menjerit dalam isak tangis bila aku ketahuan mengulangi kebiasaan buruk itu. Tetapi, kali ini dia meninggalkanku, diam, namun tanpa air mata. Menurutku, kekesalanku yang baru saja terjadi, belum seberapa dibandingkan amarahku pada waktu yang lalu-lalu.

Aku mengejarnya hingga ke pintu mobil. Tensiku turun secara terpaksa, takut kena damprat lagi. “ Mama, mau kemana? Nanti kita pergi sama melihat bayi Thian. Ayo lah kita bicara di kamarku, sebentar mam,“ bujukku lembut seraya mengambil kunci mobil dari tangannya.
Papaaaaa...., mama nggak pergi kemana-mana. Mama hanya mau mengambil makanan,” ujarnya dengan wajah kemenangan.

“ Magda! kerjain papa,? suaraku lemah. Akupun tersandar di sisi mobilnya. Langkah "catur" yang dimainkannya lebih jitu dari skenario yang telah aku susun. Sekali melangkah dia langsung ke jantung pertahananku. Mengharap remis, ternyata aku" knock out". Malu.
“ Bukannya tadi papa marah-marah karena kelaparan? Kenapa tiba-tiba suara papa lembut? Papa sudah kenyang,?” sindirnya. "Dinyanyiin" begitu, aku pun melangkah gontai menuju kamarku.
" Heh...papa yang bawa makanannya! Mama bawa bantal papa, " suruhnya tegar. Aku berbalik , melangkah lemah ke mobil bagai serdadu kembali dari medan tempur setelah kalah perang.( Bersambung)

Los Angeles. December 2009

Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/