Tuesday, December 22, 2009

Telaga Senja (192)

=======================
“ Amang, suaranya pelan. Nggak malu didengar orang lain? Nantilah kita bicarakan di rumah. Itu sebabnya ibu ajak kamu pulang,” suaranya lemah. Aku diam, tak tega mengganggu ibu, sepertinya dia keletihan. Aku biarkan dia tertidur hingga kami tiba di kampung.
======================
Kami tiba lebih awal. Hati tak sabar lagi menunggu waktu yang tepat untuk membicarakan rencana pernikahanku. Ibu merasakan gejolak hatiku sedang menggelora. Ibu memulai pembicaraan setelah adik-adikku disuruh tidur. Penjelasan ayahku sama dan sebangun dengan pejelasan ibuku sebelumnya.
" Masalah ini sangat rumit sekali, khususnya untuk ayah dan ibumu. Karena kamu mau menikahi ito mu, ( saudara sepupumu, pen)"
" Kenapa dengan pariban, hubungan darah masih sangat dekat bisa menikah? Kenapa dengan sepupu jauh dilarang?" tantangku.
" Adat tidak melarangnya amang. Tolong lah jangan permalukan ayah. Ayah raja adat dikampung ini."

" Ya sudah, kalau nggak bisa diselesaikan secara adat, aku selesaikan dengan caraku sendiri," ujarku sangat marah. Ibuku terhenyak mendengar suaraku dengan wajah sangar.
" Apa maksudmu?" tanya ayah tak kalah garang.
" Aku akan menikahi Magda dengan caraku apapun. Selamat malam ayah dan ibu." ujarku meninggalkan mereka.
" Tunggu dulu amang. Besok kita bicara dengan tulangmu," bujuk ibuku
" Tulang? Apa urusanku dengannya. Aku bukan mau menikah dengan borunya.( putri, pen)" suaraku menggelegar ditengah malam sambil meninggalkan ayah dan ibu duduk yang terpaku mendengar suaraku. Malam itu, masih ada satu kedai tuak masih buka. Di lapo tuak itu ada sejumlah anak muda tanggung menunggu, mengisi muatan truk ke Medan. Menurut mereka, truk akan berangkat ke Medan sekitar satu jam lagi. Sambil menunggu truk, beberapa botol tuak kutenggak, membunuh rasa kecewaku.

Sekitar pukul 01:00 dini hari, truk datang. Setengah jam kemudian berangkat setelah hasil bumi telah dimuat. Sopir truk tidak keberatan aku ikut menumpang ke Medan. " Kebetulan pemilik barang ikut. Kalau mau tiduran di belakang, nggak apa-apa," kata sopirnya. Aku tidur diatas karung sejumlah hasil bumi; beras, kacang kuning, cabe dan bawang. Meski pernafasan sesak karena campur aduk bau hasil bumi terutama bawang dan cabe, terpaksa kutahankan. Setelah beberapa jam perjalanan, truk berhenti di satu tempat, pinggiran kota. Sejumlah truk nangkring disana. Kernet menyuruhku turun." Istrahat dulu bang," ujarya.

Sopir truk melayaniku dengan baik, mungkin karena punya hubungan baik dengan ayahku, kebetulan juga pedagang. " Makan sepuasmu. Pilih rokok apa yang kamu suka. Mau bir ambil saja. Tetapi jangan pergi kau kesana," ujarnya sambil menunjuk ke satu tempat remang-remang. Selang beberapa lama, aku melihat satu persatu juragan, pemilik dagangan hasil bumi keluar dari tempat reman-remang itu. Aku terkesima melihat para juragan keluar dari tempat itu. Hampir semua mereka aku kenal baik sebagai penyumbang dana untuk kegiatan sosial termasuk bantuan rumah ibadah, gereja dan masjid. Ah.. rupanya mereka ini termasuk kategori bapak-bapak lanteung, kataku dalam hati. Aku kenal pula putra-putri mereka. Sirna sudah rasa hormatku kepada para juragan peselingkuh itu. Ternyata dibelakang jidatnya tertanam kebejatan moral.

Mataku tak dapat dipejam selama perjalanan pulang ke Medan. Selain karena semerbak wangi tak sedap merebak dalam truk, pikiranku terganggu karena niatanku tak direstui oleh kedua orangtuaku. Keputusan ekstrim telah tertanam dalam benakku. Selama ini aku cukup letih dalam penantian. Namun aku tak mau terlena dalam rintangan yang barus saja kualami. Ditengah getirnya jiwa, aku harus memilih yang terbaik untukku dan Magda. Bibirku bergetar menahan sedih, mengingat sikapku terhadap kedua orangtuaku. Aku pergi meninggalkan mereka tanpa permisi. Dalam kepedihan mendalam, dalam rongga jiwa tertekan, dalam hatiku berteriak kepada Tuhan, " Durhakah aku ketika jiwaku berontak melawan ketidak pedulian sekitar termasuk orangtuaku? Maukah Tuhan membantuku. Tuntun langkahku dan calon isteriku Magda. Restuilah langkahku dan Magdalena dengan kasihMU."
***
Magda kaget mendengar ketukanku di kamarnya. " Papa..?" tanyanya. "Ya..ya..pap, tunggu sebentar," jawabanya dari kamar. Magda prihatin melihat pakaian dan rambutku aut-autan.
" Ada apa? Papa naik apa? Kenapa papa lusuh begini," cecarnya, di depan pintu.
" Mam, tolong buatkan aku air hangat. Aku lelah, kurang tidur. Nanti papa cerita setelah aku istirahat." Magda tak sabaran menunggu hasil pembicaraanku. Namun akhirnya dia simpulkan sendiri, bahwa misiku gagal.
" Sudah lah pap. Mama mengerti. Papa tidak mungkin pulang secepat ini bila semuanya berjalan dengan baik. Besok kita akan merayakan natal. Kita abaikan dulu masalah itu. Papa setuju.?" Aku mengangguk tanda setuju, seraya permisi pulang ke rumahku.

Selang beberapa saat, Magda datang menemuiku ketika aku masih duduk merenung. " Papa, tadi sudah janji. Kita akan lalukan dulu masalah apapun itu. Mama nggak mau dibebani masalah apapun."
"Tapi aku tak mampu mam. Pikiranku masih tertinggal disana. Aku pulang tanpa seijin ayah dan ibuku." Magda kaget mendengar kata-kataku.
" Papa pulang tanpa seijin bapatua dan mamatua? Mengapa sekeji itu.?"
" Mam, memang aku salah. Tetapi semuanya berawal dari ketidaksetujuan mereka. Aku sangat marah dan langsung meninggalkan mereka."
" Sekarang tergantung papa dan mama. Seperti papa telah janji. Kita akan menempuh dengan cara apapun. Mama telah siap!" ( Bersambung)

Los Angeles. December 2009


Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment