Tuesday, December 22, 2009

Telaga Senja (190)



http://www.youtube.com/watch?v=sLSWJtxvaUY

That’s The Way It Is lyrics
I can read your mind and I know your story /I see what you’re going through /It’s an uphill climb, and I’m feeling sorry /But I know it will come to you /Don’t surrender ‘cause you can win /In this thing called love

When you want it the most there’s no easy way out /When you’re ready to go and your heart’s left in doubt /Don’t give up on your faith /Love comes to those who believe it /And that’s the way it is

When you question me for a simple answer /I don’t know what to say, no /But it’s plain to see, if you stick together /You’re gonna find a way, yeah / So don’t surrender ‘cause you can win /In this thing called love

When you want it the most there’s no easy way out /When you’re ready to go and your heart’s left in doubt /Don’t give up on your faith /Love comes to those who believe it /And that’s the way it is ............

============================
Magda menyerah setelah aku desak,” Papa lah yang pilih. Tetapi jangan yang mahal,” pintanya
“Mau yang murah ? Beli di pasar loak,” ujarku seraya mataku mencari cincin yang mirip dengan yang aku miliki.
“ Terlalu mahal itu pap,” bisiknya ketika aku menunjuk pada satu cincin.
“ Papa tanya, bukan soal harga. Mama suka nggak?”
===============================

Mendengar suaraku agak meninggi, Magda menempelkan tubuhnya dan berbisik: “Ya pap, aku suka yang papa pilih. Pap, suaranya jangan kuat-kuat, Ini toko, bukan rumah kita,”tegurnya pelan di telingaku.
Perempuan penjaga toko senyam-senyum melihat tingkahku dan Magda. “ Ngga sekalian cincin kawin?” tanyanya.
“ Kami sudah nikah dua minggu lalu bu,” jawabku. Ibu penjaga toko tersipu, “Oh..maaf, kirain masih pacaran.” Magda tak terpengaruh dengan jawabanku terhadap penjaga toko. Dia sudah terbiasa mendengar celutukan yang kadang kala nakal.

Aku merasakan perbedaan sikap Magda sejak mendepositkan uang dan saat kami di toko perhiasan, manja. Sepertinya kami baru pacaran. Sebelum kami pergi ke airport menjemput ibuku, Magda mengajak ke restoran, tempat kami dulu rendezvous. Dia bergayut manja pada lenganku saat kami keluar dari mobil. “Mama nggak malu dilihat orang-orang,?” tanyaku seraya menyusur jalan ke restoran.
“ Kenapa malu? Mama kan jalan dengan lelaki yang telah menikahiku dua minggu lalu,” jawabnya tanpa perubahan rona wajah. Magda “menggiringku” ke sudut ruangan. Duduk berdampingan, tidak seperti biasanya duduk berhadapan. Kali ini, Magda langsung memesan makanan tanpa menanyakan jenis makanan yang aku mau, sebagaimana selalu dilakukannya. Sebelum pesanan kami datang, Magda terus menempelkan tubuhnya, tangannya memegang erat jemariku.

“ Magda tersinggung atas ucapanku tadi kepada penjaga toko itu.?”
“ Nggak. Tapi papa salah. Kita telah “menikah” setelah tiga tahun papa mencuri hatiku. Dulu, di ruang “perpustakaan” biru merengkuh jiwaku, papa berbisik:” Mama adalah belahan jiwa papa. Kala itu mama bersimbah airmata sukacita. Papa memeluk dan mencium kelopak mataku yang berurai tetesan bening, sebening hatiku. Papa masih ingat ketika berucap janji setia? Papa juga berujar, papa melihat kebeningan hati mama lewat bening mataku. Papa masih ingat,?” tanyanya seraya merebahkan kepalanya disisi lenganku.

“ Magda, ada apa kok sepertinya larut dalam kenangan.”
“ Ya. Belakangan ini , papa terus telah menggelitik sudut kalbu yang selama ini hampir tertutup ragu. Hari demi hari menjelang akhir penantian, hati mama semakin cemas menanti datangnya keluarga papa meminangku. Nanti papa ikut dengan mereka,?” tanyanya diiringi airmata.
“ Karena mama merasa bahagia pap,” jawabnya ketika aku tanyakan kenapa berurai airmata. Aku mengambil cincin yang baru saja aku beli dari tas tangannya kemudian menyematkan ke jari tangannya, berujar: “ Bingkisan kecil Natal untuk mama.”

Magda menatapku dengan wajah haru,“ Papa, terimakasih,” ucapnyanya kemudian mencium tanganku. Meski pengunjung restoran agak ramai, Magda tak sungkan, sesekali, menyuap makanan ke mulutku.
“ Papa malu?” tanyanya seusai menyuapiku.
***
Selama perjalan ke airport Magda bertutur nostalgia pada masa kami masih kuliah. Disela tuturan sesekali dia mencubit pahaku,” Papa masih ingat , kala tertangkap tangan di kamar, papa mengisap daun dan minuman setan itu.?”
“ Ingat! Ketika itu mama menangis histeris dan menyiramkan sisa minuman itu ke wajahku. Tetapi mama menyesal setelah melihatku menggigil menahan dingin. Kemudian mama membujukku mengganti t-shirtku yang basah kuyup,” kenangku.

Tak terasa, kami tiba di airport ditengah tuturan nostalgia. Magda berlari kecil menyongsong ibu ke ruang tunggu; dia merangkul dan mencium pipi ibuku, akrab bagai ibunya sendiri. Dalam perjalanan ke rumahku, aku dan Magda kaget ketika ibuku meminta mengantarkan langsung ke terminal bus.
”Ibu mau langsung pulang,” ujarnya. Pulang? Rencanaku dan Magda membicarakan waktu pernikahanku, tertunda. Aku dan Magda saling pandang. “ Mamatua terlalu capek. Berangkat besok saja iya mamatua,” bujuk Magda.

“ Baru pisah dua minggu dengan pacar, rindunya setengah mati,” celutukku disambut tawa lepas ibu dan Magda. Sebelum tiba di rumah, aku terus membujuk ibu agar menunda rencana kepulangannya. “ Ada yang pelu kubicarakan,” ujarku pelan.
“ Bicara tentang apa,?”tanyanya.
“ Nantilah kusampaikan setelah tiba di rumah.”
“ Bilang saja sekarang. Memang ada yang rahasia? Kan nggak apa-apa didengar itomu,” tawanya. Mendengar kata”ito” seketika hatiku ciut, juga tampak wajah Magda berubah, kuyu. Tidak lama setelah kami tiba di rumah kosku, Magda minta ijin pulang.

“ Kenapa Magda pulang? Kemarin malam bilang, mau ikut papa membicarakan ke ibu rencana pernikahan kita.” ujarku setelah dia keluar dari kamarku.
“ Papa sendiri dulu lah yang bicara dengan mamatua,” ujarnya, suaranya pelan.
“ Bagaimana kalau ibu bersikeras pulang nanti sore? Papa boleh ikut?”
“ Terserah papa,” ujarnya dengan nafas sengal, seraya melangkah menuju mobil.
“ Mama nggak boleh langsung menyerah. Ibu benar, kamu itoku. Tetapi keputusannya bukan di tangan mereka. Bukankah kita sudah sepakat, jika keluargaku dan keluargamu tidak setuju, kita tetap akan melangsungkan pernikahan. Apa pun bentuknya, papa tak perduli. Persetan dengan ketabuan karena hubungan kekerabatan. Beras tak mungkin lagi menjadi padi. Mam, layar telah terkembang. Ayolah temanin papa bicara dengan ibu,” bujukku.

Magda bersikukuh pulang. Meski agak kesal, aku dapat memahami perasaannya, karena diliputi keraguan rencana pernikahan kami tidak akan semulus yang dia pikirkan sebelumnya. Satu-satunya yang dapat meyakinkan dirinya, hanya keteguhan hatiku. Sebelum Magda meninggalkanku, aku berpesan,” Bila nanti malam tidak datang ke rumah, berarti papa ikut ibu. Nggak usah khawatir, apapun hasil pembicaraanku dengan ayah, papa pasti kembali esok harinya. Honey, don’t surrender ‘cause we can win. In this thing called love,” ujarku meyakini dirinya.( Bersambung)

Los Angeles. December 2009

Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment