Tuesday, December 1, 2009

Telaga Senja (174)

Have you ever been in love/You could touch the moonlight/When your heart is shooting stars/You're holding heaven in your arms/Have you ever been in love?

Have you ever walked on air, ever/Felt like you were dreamin'/When you never thought it could/But it really feels that good/Have you ever been in love?

The time I spent waiting for something/That was heaven sent/When you find it don't let go I know/Have you ever said a prayer/And found that it was answered/All my hope has been restored/I ain't looking anymore

Have you ever been/Some place that you ain't leavin'/Somewhere you gonna stay/When you finally found the meanin'/Have you ever felt this way?/The time I spent waiting for something/That was heaven sent/When you find it don't let go/I know

Have you ever been in love/You could touch the moonlight/You can even reach the stars/ Doesn't matter near or far/Have you ever been in love?/Have you ever been in love?/So in love
======================
" Kenapa harus persetujuan mama.? Papa bebas memilih kok!"
" Baiklah. Nanti tolonglah antarkan papa kesana. Atau, biarlah papa naik bus, kebetulan sudah kangen naik bus. Besok nggak usah dijemput hingga aku dapat kamar kos."
" Tetapi papa masih harus di "pegang" oleh pak Ginting."
" Nggak usah kuatir. Susan pasti mau menolong kok."
=======================

ADA perasaan aneh atas sikap Magda, dingin. Dia tidak menolak ketika aku katakan akan pergi sendirian dan akan tinggal di rumah Susan untuk sementara. Beberapa bulan lalu ketika Susan ke Jakarta, mendengar Susan bersamaku, kami “perang besar” hingga teriak-teriak ketika bicara lewat telepon. Sejenak, aku dan Magda diam terbawa pikiran masing-masing. Kemudian Magda memecahkan kesunyian dalam mobil.

“ Pukul berapa nanti papa diantar ke rumah Susan,?’ tanyanya. Aku diam. Dia mengulang pertanyaannya, setengah teriak.
“ Kita mau kemana?” tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.
Papaaaa sayang. Jawab dulu pertanyaanku. Pukul berapa mama antar? Biar tahu mengatur waktu.”
“ Mam, tadi janji kita mau jalan setelah “ terapi”, nggak jadi.?” Magda semakin kesal karena pertanyaanya tak kunjung aku jawab.
“ Nanti mama turunin di pinggir jalan, mau?”
“ Mam, aku lapar. Kita mampir di Kp. Keling iya.?”
“ Ya...ya..ya..mama bisa gila kalau begini terus. Tak satu pun pertanyaanku papa jawab.”

“ Mama tanya apa...?” tanyaku berlagak bego habis.
“ Kapan sih sinting papa sembuh.?”
“ Nanti kita bicara di restoran saja iya mam. Aku kelaparan.” eyelku. Magda kesal, dia melemparkan tas tangan kecil ke pangkuanku.
“Boleh berhenti sebentar mam?”
“ Mau ngapain,?” kesalnya.
“ Ambil batu. Mau lempar mama.”
“ Kenapa nggak bunuh saja, biar papa puas. Papa juga bebas kemana maunya,” ujarnya sambil memarkirkan mobil setelah tiba di pelataran parkir restaurant.

Kok jadi serius? Seserius menghantarkan papa ke rumah kak Susan?”tanyaku sebelum turun dari mobil
“ Kan maunya papa?” jawabnya, lalu turun dari mobil. Menghindari keributan semakin serius, aku terus berlagak bloon, menyebalkan.
“ Boleh papa ikut?” teriakku dari mobil ketika Magda melangkah meninggalkan parkiran. " Magda menoleh kearahku dan berbalik masuk kedalam mobil; dia menutup mulutnya, berteriak,” Zungngng....! Aku nggak suka.!” kesalnya.
Kini, giliranku capek membujuk, setelah dia ngambek tidak mau keluar dari mobil. Tetapi aku tahu dia perempuan penuh pengertian meski kerap beringas.

Magda luluh ketika aku “merintih” kelaparan; dia menatapku dengan wajah iba. Tanpa sepatah kata, dia turun dari mobil, melangkah menuju restaurant. Aku mengikut dari belakang. Tiba-tiba Magda menghentikan langkahnya dan berbalik setelah tiba di depan pintu restauran. Jalannya agak cepat.
“Pap, ayo kita pulang,” ujarnya, tanpa memberitahu alasannya, lantas menarik tanganku, kuat. Penasaran. Aku melepaskan pegangannya dan melangkah ke arah resaturan. Dalam benakku, menduga, dia melihat Albert atau Hary didalam restauran. Keduanya lelaki yang gagal mempersuntung Magda. Aku pun segera berbalik langkah setelah menoleh ke dalam restauran. Dugaanku meleset. Disana ada Maya, Shinta dan suaminya.

“ Papa janjian dengan mereka ?” tanya Magda, ketika aku menarik lengannya.
“ Ayo cepatan. Tadi Shinta sempat melihatku.” kataku tanpa menjawab pertanyaannya.
Kok papa seperti orang ketakutan. Atau surprise?” tanya Magda ketika mengambil kunci dari tangannya.
“ Ya mam. Papa ketakutan kita ntar ribut.”
“ Nggak lagi. Papa ingin bicara dengan Maya? Ayo pap, mama temanin,” pancingnya.
Aku tak pedulikan pertanyaannya. Mobil melaju setelah keluar dari pelataran parkir. Magda benar, aku merasa surprise setelah enam bulan belakangan tak pernah komunikasi dengan dia. Jantung pun berdebar, seakan berpacu dengan kecepatan mobil yang aku kenderai. Magda terus memperhatikan wajahku saat menyetir mobil. Seandainya Magda tidak besertaku, ingin juga menanyakan langsung ke Maya, kenapa melarangku hadir pada pesta pernikahannya. Sementara pikiranku berkelana jauh tentang hubunganku yang terputus gara-gara om John, sibagur tano itu, sesekali Magda menatap wajahku. Wajahnya berpaling kala aku menatapnya.

“ Jangan menatap seperti itu. Aku malah gemetaran.”
“ Kenapa? Mama kan nggak bilang apa-apa?”
“ Matamu berkata banyak mam.”
” Nggak jadi makan pap?” tanyanya heran ketika melihat arah mobil menuju jalan pulang.
“ Nggak. Kita pulang saja.”
Duh...papa. Ketemu pacar, lama ditinggal, makan pun tak selera," sindirnya.
" Magda, jangan senadungkan berirama sumbang ditengah simfony sedang mengalun."
" Oalah..papaku. Mama kan hanya meramaikan instrumen simfony itu."
" Ya, tetapi mama memainkannya pada tempo yang berbeda."
" Bagaimana mama harus memainkannya?"
" Papa tak butuh instrumen lain untuk memainkan simfony yang sedang bergayut syahdu pada rembulan."
" Bukankah rembulan itu bersama dengan papa.?"
"Ya mam! Tetapi papa tidak mau ada sinar lain, kecuali rembulan milikku." ( Bersambung)

Los Angeles. December 2009


Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/