Friday, September 18, 2009

Telaga Senja (127)



http://www.youtube.com/watch?v=pdLklXD5YYc
(music: right click on mouse then click “open in new window”)

Shania Twain : The Woman In Me

Not always strong/And sometimes i’m even wrong/But i win when i choose/And i can’t stand to lose
But i can’t always be/The rock that you see/When the nights get too long/And i just can’t go on
The woman in me/Needs you to be/The man in my arms/To hold tenderly/Cause i’m a woman in love/And it’s you i run to/Yeah the woman in me/Needs the man in you

When the world wants too much/And it feels cold and out of touch/It’s a beautiful place/When you kiss my face

The woman in me/Needs you to be/The man in my arms/To hold tenderly/Cause i’m a woman in love/And it’s you i run to/Yeah the woman in me/Needs the man in you/Yeah the woman in me/Needs the man in you
I need you baby/Yeah yeah/Oh baby...
============== =
Ya Laura, akhirnya, sejak siang, sepeninggalmu aku menjadi manusia bejat.. Maaf Laura, semuanya telah terlanjur, biarkan aku mereguk kebebasan ini tanpa direcoki oleh siapapun, faham?”
=================
ENTAH apa yang masih terselip dalam benak Laura. Dia “pergi dan datang” sementara aku sudah kehabisan akal memahami sikapnya sejak dini hari kemarin. Belakangan, nuansa kalimatnyapun agak berubah dibanding sejak aku mengenal dia, puitis.
“ Mas, aku pergi hanya sejenak, berhening. Merawat luka dalam kesendirian, setelah mas mengenyahkanku dari rangkaian persahabatan yang kita rajut berbulan-bulan. Bahkan makanpun enggan bersamaku.!?”
“ Laura, belakangan ini kamu selalu menimpakan salah atasku. Seingatku tadi siang, aku telah mengajakmu makan siang, bukan ,?” ingatku.

“ Iya mas. Setelah lebih dahulu menolak ajakanku. “
“ Laura, kembalilah ke kamarmu, nanti aku datang menyusul bila kamu masih ingin ribut.”
“ Justru aku datang mau mengakhiri silang faham antara aku dan mas.”
“ Semuanya cukup jelas kok. Tidak ada silang faham. Kita saling memahami keberadaan kita. Aku, iya aku, kamu, iya kamu, titik," tegasku. Namun, Laura seakan tak peduli dia terus membujukku kekamarnya.

“ Untuk yang terakhir mas. Kita bicara baik-baik . Aku janji tidak akan mencampuri urusan pribadi mas.”
“ Besok pagi saja. Aku mau pergi dengan Tia.”
“ Mau pergi kemana lagi sih!?” rengeknya.
Lho, katamu, nggak mau mencampuri urusanku. Kok malah tanya aku mau pergi kemana. Perlu apa kamu tahu jika aku mau pergi kemana !?” ujarku, lantas meninggalkan dia. Buru-buru Laura menarik lenganku, kuat.
“ Tidak mas, sekarang saja,” paksanya, bibirnya gemetar diikuti kelopak mata hampir mengucurkan air mata.

“ Baiklah Laura. Tetapi aku tak bisa lama-lama. Aku telah ada janji dengan Tia.” ujarku sambil mengikuti ke kamarnya. Tiba di kamar, Laura menghempasakan tubuhnya keatas tempat tidur diikuti jeritan tangis. Meski dia menutupi wajahnya dengan bantal, jeritan tangis dan suara lirih kudengar. Sayang, hatiku sudah keburu” bebal” seakan tak punya telinga hati yang mendengar seperti sediakala.

“ Laura, tadi kamu mengajakku mau bicara baik-baik, tidak untuk mendengar tangisanmu. Menurutmu, cukupkah tangisan menyelesaikan masalahmu,?” tanyaku kesal.

Laura tak menggubris teguranku, bahkan tangisannya terus berlanjut. Lagi-lagi Laura menjerit ketika aku permisi keluar kamarnya. Buru-buru dia bangkit dari tempat tidur melemparkan bantal dan berteriak; “ Mas, mau kemana ? Aku datang jauh-jauh bukan atas kemauanku. Mas memintaku datang kesini, kali kedua mas melemparkanku ke tong sampah seperti barang busuk. Aku juga punya harga diri mas!” isaknya.

“ Ya. Aku akui itu. Tetapi kamu terlalu banyak maunya. Aku tak sanggup melayanimu Laura. Aku lelah. ...”
“ Lelah? tetapi mas masih mau pergi dengan perempuan lain!?”
“ Aku katakan, lelah menghadapi tingkahmu. Bukan dengan perempuan lain, tahu!?”
“ Mas, kejam...!” teriaknya seraya melangkah kearah pintu kamar.
“ Iya..kejam dan bejat..dan apalagi yang mau kamu sebut..hah....!?” balasku teriak sambil berbalik meninggalkan kamar, tetapi Laura menghalangiku ketika mau keluar .

“ Tidak mas! Mas nggak boleh pergi,” cegahnya dengan rintihan. Walau hati kesal, hatiku mulai luluh medengar rintihan dan melihat liris-liris yang terukir diatas dahinya serta wajahnya mengharap bujuk. Bujuk mendulang bujuk. Dengan nada suara pelan aku memohon:” Untuk kali ini Laura, ijinkan aku pergi. Aku sudah terlanjut buat janji dengan Tia. “
“ Mas, mau pergi kemana,?”
“ Mau pergi hanya sebentar. Nanti aku segera balik, kesini. Laura mau ditemani tidur,?” tanyaku serius.

“ Nggak mas. Aku hanya butuh bicara,” jawabnya, seraya menggelengkan kepalanya.
“ Katakanlah sekarang juga. Kenapa harus menunggu nanti.!?”
“ Ayo kita duduk mas!” ajaknya, lantas menarik tanganku kearah kursi.
“ Laura, maaf, aku tak bisa. Malam ini aku harus pergi dengan Tia,” tolakku kemudian meninggalkannya. Laura mengikutiku hingga ke pintu kamarku.

" Kok tega amat sih mas!? Aku mau bicara hanya sebentar, tentang pekerjaan kita. Aku tak mau lagi mencampuri urusan pribadi mas," jelasnya didepaan pintu kamarku.

" Iya sudah kita bicarakan di night club saja. Mau ikut? Aku sudah janjian dengan Tia."
" Bagaimana mas bisa berpergian dengan Tia. Kan pekerjaaannya yang kita periksa?"
" Aku tahu itu. Semuanya ini gara-gara ulahmu. Kalau saja Laura nggak banyak tingkah, ini nggak bakal terjadi. Dimatamu, semua yang aku lakukan salah. Dan, aku paling sakit hati atas tuduhanmu tanpa dasar itu, kecuali karena cemburu."
" Kan, aku sudah minta maaf dan mas telah memaafkan aku. Kenapa sekarang hal itu dipermasalahkan lagi. ?"

" Aku hanya mengingatkanmu. Itu sebabnya selalu menjauh darimu , takut terulang lagi.!"
" Tadi aku sudah janji, tidak akan mencampuri urusan pribadimu. Aku tahu diri mas!" balasnya dengan suara tersendat.
" Laura, katakanlah sekarang. Tentang pekerjaan? Ada yang salah?"
" Ada. Masalahnya sangat serius mas!"
" Mana lebih serius dengan masalah kita.?"
" Nggak ada masalah dengan aku. Aku hanya kasihan dengan mas, terbawa permainan Tia dan Cecep."
" Kamu mengasihani setelah menyiksaku."
" Aku tak pernah menyiksa mas. Tetapi aku sangat membenci perubahan sikap yang begitu tiba-tiba setelah bertemu dengan Tia dan Ririn."
" Nantilah aku jelaskan lagi, mengapa itu terjadi,okey!?" Aku segera menutupkan pintu, ketika melihat Tia beranjak menemuiku keluar.

“ Teman dari Jakarta,” jawabku ketika Tia menanyakan siapa perempuan itu. Selanjutnya aku tak tahu Laura pergi entah kemana.
“ Bukannya kemarin calon isterinya datang dari Jakarta.?”
“ Baru saja kami “cerai” ujarku disambut tawa Tia. ( Bersambung)

Los Angeles. September 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/