Monday, November 30, 2009

Telaga Senja (173)

Open Arms
Lying beside you, here in the dark/Feeling your heart beat with mind/Softly you whisper, youre so sincere/How could our live be so blind/We sailed on together/We drifted apart/And here you are by my side

Chrus:
So now I come to you, with open arms/Nothing to hide, believe what I say/So here I am with open arms/Hoping youll see what your love means to me/Open arms/Living without you, living alone

This empty house seems so cold/Wanting to hold you, wanting you near/How much I wanted you home/But now that youve come back/Turned night into day/I need you to stay.
(chorus)


===============
“ Gue sih nggak apa-apa. Penghuni perut gue yang protes,” balasnya.
Magda mencubit pinggangku, kuat. “ Bang! Masya ibu hamil mau “diperkosa”,? “tawanya.
“ Mas Tan Zung kan beraninya ke mama-mama,” sela Rina, lantas kedua tangannya mencubit pipiku, gemas.
“ Hei...hei...sudah! Rina nafsu amat!?” tawa Magda.

================

HARI kedua, pagi sekitar pukul lima Magda mengetuk kamarku. Menurutnya dia dan Rina telah mengetuk kamarku sudah agak lama. Dia kesal ketika aku membukakan pintu, berucap: “ Lain kali pintunya nggak usah ditutup. Papa seperti perempuan saja.” Magda semakin kesal kala aku melanjutkan tidur. “ Hei..pap ! Kemarin sudah janji kita disana pukul enam.!” ujarnya lantas menarik paksa tanganku.

“ Begini resikonya kalau tinggal di rumah mertua. Suka-suka borunya ( putri, pen) marahin awak. Pagi-pagi saja pun sudah dapat serapan “serapah”,” sungutku sambil beranjak ke kamar mandi. Magda tertawa geli mendengar sungutanku.
“ Papa pun mengkek, pakai kunci pintu. Awak pun nggak bebas,” balasnya genit.
“ Ya takutlah. Entah Magda apa-apakan nanti awak,” ujarku sambil meninggalkannya cekikian di kamar. Kembali dari kamar mandi, Magda telah selesai berkemas, menungguku di kamar, berujar: “ Setelah dari rumah pak Ginting, kita jalan seharian iya pap, mumpung aku masih libur. Besok mama sudah mulai kerja.”

“ Ah...sakitnya tinggal dirumah mertua, apapun kata isteri harus turut. Memang Adam lah lelaki paling beruntung, isterinya Eva nggak punya mami...”
“ Maksud papa, mamiku...” potongnya serius.
“ Putrinya yang bertingkah karena ada maminya,” tawaku. Magda menatap tajam. “ Pandangan matamu membuktikan ucapanku. Terlambat bangun di omelin, bicara pun awak di pelototin.”
Halah...papa terlalu menjeng. Ayo cepatan entar kita terlambat,” balasnya lalu menyentak lenganku.
***
Meski piijatan pak Giting sedikit lebih kuat, perasaan tidak sesakit pijatan awal. Seperti hari pertama, pijatan dilakukan setelah istrahat sekitar lima belas menit, kemudian dilanjutkan hingga pijatan yang ke lima. Tengah pijatan ke tiga berlangsung, Susan datang melawatku.
“ Zung, kenapa nggak beritahu kalau kamu mengalami kecelakaan “tegurnya. Kerut wajahnya menunjukkan prihatin saat menyaksikan wajahku dan bahu yang sedang di pijat.
“ Maaf kak, aku nggak kepikir karena sibuk urus tiket dan antar jemput tante, ibunya Tan Zung,” jelas Magda.

“ Oh...iya? Magda pergi dengan calon mertua?” tanyanya semangat.
“ Susan tahu dari siapa aku kecelakaan?”
“ Sehari setelah Magda berangkat ke Jakarta. Tadinya mau ajak jalan ke Berastagi. Nanti kalau kesehatannya sudah pulih kita bertiga ke sana yuk!?”
“ Tegantung Magda,”jawabku
“ Halah abang pura-pura baik di depan kak Susan. Tadi pagi marah-marahin aku.”
“ Tan Zung jelek begini berani marahin Magda? Kenapa nggak ditinggalin saja!”

“ Jangan mau Magda. Ntar Susan juga yang tampung!” ujarku disambut jeweran Magda di telingaku, sementara Susan mencubit pipiku, gemas. Serempak, bagai penyanyi duet, berujar:
“ Abang mangkak.” Pak Ginting dan isterinya ikut tertawa meihat aku” dikerubutin” dua perempuan cantik. Menjelang akhir pemijatan, Susan minta ijin pulang.
“ Magda, ntar malam datang ke rumah dengan bang Tan Zung. Atau aku yang datang ke rumah Magda,?” tanyanya. Aku dan Magda saling berpandang. “ Ya, kami akan datang,” ujarku, diakurin oleh Magda. “Ya kak. Nanti aku bawa bang Tan Zung.”
***
Didalam mobil saat kami pulang, aku menanyakan Magda atas panggilan “kakak” terhadap Susan. “ Kok kamu tega benar panggil” kakak”, mentang-mentang kamu sudah tamat iya.”
“ Mama masih mending panggil “kakak”, papa hanya panggil nama dia. Kenapa? Karena papa pernah pacaran iya?”
" Bukan! Itu kemauan Susan. "
" Sama lah pap. Dia nggak mau lagi dipanggil "ibu". Kebetulan dia nggak punya adik, sama dengan mama nggak punya kakak. Ngomong-ngomong, papa kok semangat benar ketika di ajak ke rumah Susan. Kangen.?"

" Ya. Pertanyaanmu terbungkus curiga atau cemburu,?"
" Menurut papa.?"
" Keduanya.!"
" Bagaimana kalau hanya papa saja yang kesana, mungkin lebih bebas,"pancingnya.

" Terserah, kalau itu jalan yang terbaik menurut Magda, papa turuti. Bahkan kalau diijinkan papa tinggal disana, sementara papa mendapat tempat kos. Setuju.?"
" Kenapa harus persetujuan mama.? Papa bebas memilih kok!"
" Baiklah. Nanti tolonglah antarkan papa kesana. Atau, biarlah papa naik bus, kebetulan sudah kangen naik bus. Besok nggak usah dijemput hingga aku dapat kamar kos."
" Tetapi papa masih harus di "pegang" oleh pak Ginting."
" Nggak usah kuatir. Susan pasti mau menolong kok." (Bersambung)

Los Angeles. November 2009


Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/