Wednesday, June 17, 2009

Telaga Senja (57)



http://www.youtube.com/watch?v=pRr9c1oR0k0

=================
Tadi abang katakan mau bercerita tentang Laura, sekarang mau cerita tentang mamatua. Abang masih ngantuk iya.?”
“ Ya, keduannya saling berkaitan.”
“Ayo cepatan bang, sebelum aku ketiduran.”
==================

“ Sebenarnya aku mau ceritakan ini kepadamu sebelum aku berangkat ke Jakarta, tetapi urung karena aku takut Magda makin menjeng," ucapku dengan tawa.
“ Kenapa Zung? “
“ Kedua orangtuaku mengingatkan agar aku jangan mencontoh abangku. Orangtuaku wanti-wanti jangan sampai aku menikah dengan orang bukan suku batak. Soalnya, abangku menikah dengan perempuan suku lain meski orangtuaku telah mengingatkan sebelum abangku berangkat ke Jakarta. Namun demikian kedua orangtuaku terpaksa menuruti keinginan abangku menikahi perempuan asal Jawa Barat.”

" Kenapa bapatua melarang nikah dengan perempuan suku lain?"
" Karena abangku adalah anak panggoaran( anak sulung, pen)"
“ Bagaimana dengan Lam Hot? Dia pacaran dengan adiknya Rina.!"
“ Orangtuaku tidak keberatan karena dia anak ketiga dan orangtuaku tahu mereka sudah lama pacaran, Makanya aku diingatkan sebelum terjadi. Saat itu, aku menanyakan kepada ayah dan Ibu, kalau aku harus menikah dengan orang batak, pilih mana, Maya atau Magdalena? tanyaku.
Ibuku menjawab: “ Kamu yang lebih tahu dengan mereka. Tetapi Magda itu itomu. Masya aku besanan dengan maminya Magda, dia itu adikku?” disambut ketawa ayah.

“ Iya sudah, nikahlah abang dengan Maya.”
“ Magda , tunggu dulu, jangan potong ceritaku.”
‘ Sudah bang, aku mau tidur.”
“ Magda, tunggu dulu aku selesaikan tuturanku. Magda, ketika itu aku sempat marah dan mengancam ibu dan ayahku.”

" Magda masih dengar nggak?" teriakku. Berulangkali memanggil namanya tidak ada sahutan, namun telepon belum ditutup. Kembali aku membujuk agar mendengar kelanjutan ceritaku. ” Magda, aku belum selesai, kamu masih dengar?”
“ Ya, masih, lanjutkanlah bang.”

" Waktu itu aku mengancam tidak akan mau menikah kalau bukan kepadamu Magda. Ayah marah mendengar ancamanku. Ibuku juga kaget; dia menatapku dengan wajah kecewa, sedih. Sebelum kekecewaannya semakin mendalam, segera aku meralat ucapakanku,” Ya bu, nanti aku akan menikah dengan orang batak, tetapi nggak apa-apa dengan Magdalena kan.?” ujarku.

" Magda, tahu nggak apa jawabanya? Akhirnya ibu mengalah dan berucap: "Terserah kaulah amang ( nak, pen )” Segera aku merangkul dan menciumi pipi ibu disaksikan ayah. Ayah juga setuju dan senang dengan keputusanku, Magda akan menjadi menantunya.

Magda, itulah kesungguhan hatiku terhadap hubungan kita. Tak mungkin aku membohongi kedua orangtuaku, juga tak akan menduakanmu meski kilauan didepan mataku. Kecuali Magda bersikukuh mengatakan tidak mau menikah denganku, akupun akan mengambilan keputusan sepertimu, tidak akan menikah untuk selamanya. Biarlah kita menjadi penonton kebahagian orang lain."

Diirngi suara sendat dia berujar: “ Zung, aku membuat keputusan untuk tidak menikah karena abang sangat mengcewakanku. Demikian lamanya kita bersahabat bahkan sudah seperti bersaudara, tetapi begitu mudahnya mengakhiri ikatan kasih yang telah menyatu dengan jiwaku. Bagaimana lagi aku harus bersikap bang? Aku menghargai keputusanmu, tetapi.........” ucap Magda tanpa melanjutkan kalimatnya.

“ Berikanlah aku kali kesempatan terakhir , percayalah aku tidak akan mengecewakanmu lagi."
" Aku tak tahu berbuat apalagi bang. Kita baru berpisah beberapa bulan tokh sudah terjadi seperti ini. Aku sadar, aku belum dapat membahagiankanmu hingga kini, apalagi kita sedang berjauhan."
" Aku cukup bahagia meski kita berjauhan. Akupun masih menjaga ketulusan dan kemurnian persahabatan kita. Meski aku berteman dengan Laura, tidak sedikitpun terlintas dalam pikiranku untuk berteman khusus dengannya, yakinlah."

" Bagaimana aku meyakininya bang."
" Bila aku mengkhianatimu sama saja dengan mengkhianati kedua orangtuaku. Bukankah aku sudah berjanji kepada mereka bahwa aku akan menikahimu kelak.?"

" Zung, bukankah dulu, abang pernah berucap janji akan menikahiku? Ketika itu aku seperti dalam khayal, tetapi abang meyakiniku lagi dengan bisikan ditelingaku, katamu, kita akan kekampung. Disanalah aku kelak menunggumu hingga abang menyelesaikan kuliah, tetapi akhirnya abang menabur duka..."
" Magda, dulu, memang aku telah berbuat ceroboh. Aku akui, saat itu, aku terlalu gegabah mengambil kesimpulan, semuanya itu karena cintaku. Magda, katakanlah, kamu masih mau menungguku? Terserah Magda, berapa lama kamu beri waktuku menunggu."

" Zung, kita bicara yang lain sajalah.!"
" Ya ! tetapi jawab dulu pertanyaanku. Magda, kamu harus jawab saat ini juga. Atau aku kembali kepada kehidupan lamaku, minum hingga teler agar kamu puas!?"
" Bangngng...! Jangan paksa aku seperti ini. Kasihanilah aku bang, belum puaskah abang selama ini menyiksaku."

" Magda, kenapa kamu berteriak dan menangis? Aku telah menumpahkan semua isi hatiku, bahkan membawa-bawa kedua orangtuaku, tetapi Magda tak pernah mau mengerti?"
" Tetapi jangan abang paksa aku menjawab saat ini. Biarlah nanti waktu akan menjawabnya," jawabnya dengan suara getar.
" Tidak! Aku tidak punya waktu menunggunya. Magda, jika kamu mengatakan tidak, aku juga tak berhak memaksamu, tetapi jangan sesali apapun yang akan terjadi atas diriku. Aku ingin saat ini Magda memberi jawaban, atau..."
" Banggg....cukup!"

Aku membiarkan Magda dalam tangis beberapa saat hingga dia memanggil namaku lirih: " Bang, kalau masih mengasihaniku, jangan paksa aku. Aku belum sanggup menjawab saat ini, maafkan aku bang."

" Baiklah Magda, aku mengerti. Kapan aku menghubungimu?"
" Nantilah, aku akan telepon abang.?"
" Atau aku harus datang menemuimu ke Medan?"
" Nggak usah bang. Kan abang mau pergi dengan Laura.?"
" Aku bisa batalkan, jika Magda menginginkanku pulang."
“ Zung, aku juga perempuan punya perasaan yang sama dengan Laura. Abang nggak boleh berlaku kasar kepada siapapun dia. Abang telah mengiyakan pergi dengannya, pergilah tidak usah pikirkan aku. Aku juga jauh.”

“ Sepertinya Magda nggak tulus.”
“ Aku harus berkata apa lagi bang.!?”
“ Magda tulus mengijinkanku pergi dengan Laura.?”
“ Ya.! Sudah bang iya.” jawabnya pelan sambil menutupkan teleponnya.

Segera aku menghubunginya, setelah dia memutuskan pembicaraan kami. Untuk beberapa saat nada panggilan terus berdering. Magda akhirnya mengangkat telepon, dengan sesugukan dia berkata; “ Bang kenapa lagi aku harus dipaksa mengatakan "Ya",kalau mau pergi, pergilah bang. Tetapi aku ingatkan, jangan ada lagi korban baru karena “belas kasih”mu itu. “
“ Apa yang kau tangisi Magda.”
“ Nggak tahu, kenapa aku harus menangis. Pergilah bang, aku tulus, hati-hati bang.” ( Bersambung)

Los Angeles. June 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/