Wednesday, January 27, 2010

Telaga Senja (216)

Steps: I Know Him So Well
Nothing is so good it lasts eternally, /Perfect situations must go wrong, /But this have never yet prevented me, /Wanting far to much, /For far too long,

Looking back I could have played it differently, /Won a few more moments who can tell,/But it took time to understand men, /Now at least I know, /I know him well,

Wasn't it good, /Oh so good, /Wasn't he fine, /Oh so fine, /Isn't madness he can't be mine, /But in the end he needs a little bit more than me, /More, security, /He needs fantasy and freedom, /I know him so well,

No one in your life is with you constantly, /No one is completely on your side, /And though I'd move my world to be with him, /Still the gap between us is too wide, /Looking back I could have played differently, /Won a few more moments who can tell, /(I was just a little girl)

But I was ever so much younger then, /(So much younger then) /Now at least I know, /I know him well. /Wasn't it good, /Oh so good, /Wasn't he fine, /Oh so fine, /Isn't madness he won't be mine, /Didn't I know, /How it would go, /If I knew from the start, /Why am I falling apart?

Wasn't he good, /Wasn't he fine, /Isn't it madness he won't be mine, /But in the end he needs a little bit more than me, / More, security, /He needs his fantasy and freedom, /It took time to understand men, /I know him so well.


==========================
“ Susan mengusir kami,?” candaku.
“ Ya. Aku mengusir kalian. Kakak nggak mau mencuri waktu kalian meski sedetikpun,” ujarnya. Susan menarik tanganku dan Magda,” Ayo bangkit. Pergilah, bersama, menikmat madu,” pungkasnya.

=========================

HASRAT menggapai rindu diujung sukma, mengarung cita, tertukir abadi didalam loh hati kami. Gita malam menyentuh jiwa berpadu dalam kesehatian. Hujan ketakutan itu kini hanya menyisakan gerimis bimbang; terhempas tekad juang dalam ruang kecemasan. Simpul berani menjadi acuanku dan Magda menapak langkah ke depan. Kami tak akan larut (lagi) dalam bimbang yang menyesakkan.

“ Papa, kejadian yang kita alami mengajar aku semakin dewasa. Kini mama, bukan lagi Magda yang papa kenal sebelumnya, peragu sikap. Mama telah larut dalam ketangguhan yang papa miliki, ketika berlaga merebut piala. Mama telah memenangkan dan meraih piala kemenangan itu, juga papa. Mama dan papa telah menentukan arah lintas yang akan kita telusuri. Mama yang selama ini berbeban seakan melawan kepatutan, telah terhapus dari benak. Mama dan papa telah berhasil melepas jiwa dan hati terbelengu,” tutur Magda semangat menjelang ke peraduan.

“ Magda, benar seperti kata Susan. Mama perempuan batak; Diam bukan karena ketakutan, menangis bukan karena siksaan. Diam dan tangis berakhir pada simpul keberanian. Iya, aku mengaku, mama lebih cepat dewasa dan lebih berani dariku,” balasku.
“ Papa pahlawanku sekaligus sumber inspirasi mama.”
Merdekaaaa...!” seruku mengagetkan Magda, kemudian aku mengajaknya pulang ke kebun, sementara waktu telah menunjukkan menjelang tengah malam.

“ Malam ini, papa dan mama tidak mau tidur di kamar pelarian. Mama ingin tidur bersama dengan papa di kamar perjuangan batin. Disini, di kamar ini, doa mama bersimbah airmata. Seisi rungan ini lah menjadi saksi bisu. Seandainya isi ruangan dapat berucap kata, papa akan mendengar kidung kemenangan menyambut papa.”
“ Papa telah mendegarkannya lewat bibir dan mulut perempuan tertindas,” celutukku.

“ Ah...papa tunggu dulu,” ucapnya manja. “ Papa belum mendengarkan seutuhnya. Duka dan luka mama yang papa torehkan sebelumnya, telah tertutup bukan sekedar gempita gita. Airmata duka berkalang dalam keseharianku. Kini, dengan linangan airmata mengucur dari mata yang sama menghatarkan mama dalam pelukan kasih papa. Papa, malam ini, bukan sebatas mimpi. Jangan biarkan mama sendiri menikmati impian yang telah terwujud nyata. Di kamar ini, kita berbaring diatas pualam sejuk nan bening, merangkai mimpi-mimpi baru, di dalam bahtera menyambut mentari pagi pengharapan,” ucapnya dengan gemuruh jiwa, bergelora . Malam itu bahtera berlayar menebus airmata Magda selama lima tahun lebih, kala aku"menyiksa" batinnya.
***
Pagi itu, tangisan Thian seakan protes karena sepanjang malam aku dan Magda mengabaikannya. Magda buru-buru bangkit dari tempat tidur, berlari menuju suara tangisan Thian. Aku mendengar teguran Rina diiring tawa,” Duh mbak. Ntar Thian ketakutan lihat mamatuanya aut-autan seperti itu. Magda membawa Thian kekamar, menaruh di sisiku.
" Papa, Thian kangen suara papa," ucap Magda. Tidak seperti biasanya, senyumku mengembang menyambut Thian, kapan dan dimana pun. Kali ini aku dingin menyambut kehadiran Thian di tempat tidur.

“ Mam, belum waktunya kita repot seperti ini. Kenapa sih papa ditinggal kala tidurku teduh di sisimu,?”protesku
“ Maaf pap, mama tak sengaja. Tapi, papa, kita harus mulai belajar.”
“ Mam. Ada saatnya, belum sekarang,"
“ Papa marah,?” tanyanya seraya mengangkat Thian dari sisiku, lalu keluar mengantarkan Thian ke Rina. Magda kembali ke kamar seperti orang ketakutan kemudian duduk diujung ranjang. Perlahan, dia merebahkan tubuhnya dan mencium pipiku ketika aku diam tak menjawab sapaannya. Tak mampu menahan geli, aku tertawa lepas kemudian memeluknya. Magda melepaskan pelukanku, ”beringasan” menghajarku dengan pukulan bertubi-tubi. Kemudian dia keluar dari kamar. Magda kembali lagi dengan sebuah gayung seakan-akan tangan Thian memegang, lantas memukulkan ke kepalaku. “ Papatua nakal.” ujar Magda.
***
Aku sengaja memilih berangkat sore pulang ke kampung, agar tiba pada malam hari, dengan pertimbangan, tetangga sudah pada tidur. Sehingga, seandainya kedua orangtua menolak kehadiranku, Magda tidak terlalu terpukul karena malu. Awalnya, Magda tidak setuju berangkat sore karena alasan yang aku kemukakan.

“ Diusir? Jika itu memang terjadi, kenapa harus malu? Tetapi mama nggak sedikitpun berprasangka seperti papa. Mama kenal mamatua..eh..inang. Paling juga kalau mereka, maksudku amang dan inang, nggak setuju, akan terlihat dari gerak tubuh mereka. Tetapi terserah papa lah. Kan papa lebih tahu siapa amang dan inang,” ucapnya serius. Malu dinyanyiin seperti itu, aku mengalihkan ke alasan lain, disambut ketawa ngenyek: “ Bilang saja papa malu dibilang penakut.”

Dengan perbekalan sederhana, pakaian secukupnya, Rina dan Thian menghantarkan kami hingga ujung pekarangan rumah. " Tetap semangat mbak!" seru Rina saat kami mobil bergerak meninggalkannya dan Thian. Aku dan Magda gantian menyetir mobil hingga tiba dikampung. Selama dalam perjalanan aku telah siapkan skenario dengan dua kemungkinan akan terjadi. Diterima atau diusir. “ Mama siap.!” sentak Magda berlagak militer.

Setengah jam sebelum tiba di kampung, kami istrahat di dalam mobil, menahan dinginnya udara malam. “ Kita istrahat dulu, agar ada tenaga, jika ayahku mengusir, kita langsung pulang,” ujarku. Magda tak terusik ragu, karena dia masih dengan keyakinannya.
“ Mama mau istrahat, tetapi bukan karena alasan seperti papa katakan,” ujarnya lantas pindah jok belakang, rebahan. Baru beberapa menit, Magda telah mengajakku berangkat.

“ Ayo lah pap. Kok temuin orangtua seperti menghadapi musuh. Perasaan mama nggak enak nih. Ayo pap,” bujuknya.
“ Tiba disana, mama yang duluan ketuk pintu. Mau?”
“ Mau. Mama nggak takut! Tetapi papa yang menanggung malu bila mama dibilang menantu lancang, tak tahu adat.!” tegasnya.

Mendekati rumah, aku sengaja memarkirkan mobil beberapa meter berjarak dari rumah, agar mobil dan Magda tidak terlihat oleh orangtuaku. Dengan senter kecil yang telah aku siapkan sebelumnya, melangkah menuju pintu rumah. Ketukan demi ketukan memecahkan kesunyian malam itu. Sejenak kemudian aku mendengar sepasang kaki melangkah menuju pintu, kemudian membuka engselnya seraya berteriak dari dalam. “Siapa.?” Aku menjawab lantang dari luar.

Hah...kau itu Zung?” tanyanya seakan meyakinkan dirinya.
“ Ya ayah.” jawabku. Hatiku sedikit lega ketika ayah tidak menujukkan suara marah saat tahu kehadiranku. Namun kelegaan itu segera sirna kala mendengar derap langkah menjauh dari pintu. Ayah tak kunjung membuka pintu, bahkan aku mendengar langkahnya semakin redup dari pendengaranku. Magda turun dari mobil dan berlari menemuiku ketika aku berdiri lemah, bagai kehabisan tenaga, bersandar di depan pintu rumah. ( Bersambung)

Los Angeles. January , 2010

Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/