Wednesday, July 22, 2009

Telaga Senja (85)


Thanks for the times that you've given me/The memories are all in my mind/And now that we've come to the end of our rainbow/There's something I must say out loud

You're once, twice, three times a lady/And I love you/Yes, you're once, twice, three times a lady/And I love you/I love you

You've shared my dreams, my joys, my pains/You've made my life worth living for/And if I had to live my life over again/I'd spend each and every moment with you

You're once, twice, three times a lady/And I love you/Yes, you're once, twice, three times a lady/And I love you/I love you

When we are together, the moments I cherish/With every beat of my heart/To touch you, to hold you, to feel you, to need you/There's nothing to keep us apart

You're once, twice, three times a lady/And I love you/You're once, twice, three times a lady/And I love you

Yes, you're once, twice, three times a lady/I love you/I love you


========================
“ Aku juga nggak enak dengan Gunawan,?” pancingku.
“ Massss..! Sekalian bunuh aku, biar puas! Tadi Laura bilang, jangan sebut nama itu lagi,” suaranya gemas menahan marah, takut kedengaran pasangan sekitar.
“Okey... Laura, kita pulang. Kehotel atau kerumahmu.?”
===========================
LAURA masih menghentikan gerakan kami namun tak menjawab pertanyaanku, pulang kehotel atau aku antar kerumah?. Desah suaranya mengiringi isak tangis disisi wajahku. “ Mas, Laura tak punya pijakan lagi setelah mami terus memaksaku kepada Gunawan. Mami bukan lagi teman nyaman mencurahkan hati seperti sebelumnya. Cinta kasih telah terampas oleh rasa ego. Entahlah aku harus berbuat apa. Mas Tan Zung yang tadinya sahabat berbagi rasa, tak dapat mendengar apalagi memahami irama hatiku yang sedang gundah. Mas, ayolah kita pulang,” bujuknya diakhir sendandung lagu berirama lembut itu, selembut hati Laura.

Laurance dan Gunawan berdiri melepaskan kepergian kami mendahului mereka. Tangan Laura terus menempel pada lenganku hingga keparkiran mobil. Laura tiba-tiba mendekapku sebelum masuk kedalam mobil. Aku membiarkan Laura membenamkan wajahnya diatas pundakku. Agaknya ada gejolak siksa yang tak tertahankan. Aku juga sangat menyesal menambah beban siksanya lewat ucapan nakal dan iseng yang seharusnya tidak perlu terjadi.

Aku membiarkan wajahnya disi wajahku dengan air mata masih terus tertumpah; “ Laura, sudahlah. Aku belum mengerti sepenuhnya apa yang kamu tangisi.”
Tubuh Laura semakin bergetar menahan tangis, dia berkata lirih; “ Mas, aku telah kehilangan semuanya; kehilangan sahabat mencurahkan hati, kehilangan sahabat berbagi rasa. Mas, tak da lagi yang aku miliki, semuanya telah pergi. Mas, Laura tidak punya adik dan kakak untuk berbagi suka dan duka. Mas yang selama ini kuharap dapat membantu unutk melepaskan derita yang melilit diriku, juga akan pergi,” ujarnya.

Hatiku luluh mendengar jeritan hati dari seorang perempuan yang selama ini kuanggap hidup sempurna.
“ Maaf, aku tidak mengira ada luka yang kamu simpan. Laura, aku masih sahabatmu berbagi rasa. Aku tidak akan meninggalkanmu sendiri hingga kamu merasa nyaman.”
“ Terimakasih mas,” ujarnya lirih.
“ Laura! Kamu masih percaya denganku bukan.?”
“ Entahlah mas,” jawabnya singkat. Laura melepaskan dekapannya, melangkah masuk kedalam mobil.
“ Laura, kita ke hotel dulu atau langsung kerumah.”
“ Terserah mas, mau bawa kemana,” ujarnya sambil merebahkan kepalanya diujung jok kursi.

Aku putuskan pulang ke hotel sebelum mengantarnya ke rumah. Aku masih ingin mendengar tuntas jeritan hatinya yang didera siksa, menurutku, maha berat. Tidak jauh beda derita siksa Magdalena, dulu, ketika dia harus memilih antara aku dan Albert. Kini aku diperhadapkan pada situasi yang hampir sama; Laura menolak pilihan maminya namun dia belum mempunyai pilihan siapa lelaki yang dicintainya. Yang pasti pemuda batak yang bernama Tan Zung, kini, bukan salah satu pilihan. Aku meyakininya, ketika baru saja dia menyebut nama Magdalena disertai ciuman atas namanya. Ini salah satu alasanku membawa Laura ke hotel sebelum mengantarkannya pulang. Aku menduga, belakangan ini Laura terus berkomunikasi dengan Rina.

Tiba di hotel, Laura enggan turun dari mobil ketika aku mengajaknya ke lobby hotel. “ Mas, aku mau tidur di mobil saja,” ucapnya lirih tanpa menolehku.
“ Baik Laura, aku akan telepon Rio. Aku mau tidur dirumahnya. Laura masih bisa nyetir?”
“ Mas, jangan tinggalkan aku...!” balasnya lantas meemegang tanganku. Wajahnya memelas.

“ Aku juga nggak tega melihatmu seperti ini.
“ Tetapi mas tega meninggalkanku sendiri.?”
“ Laura! Aku tak tahu apalagi yang aku perbuat. Aku mau mengajakmu bicara baik-baik, tetapi kamu menolak.”
“ Laura tidak menolak mas, tetapi jangan di lobby itu.”
“ Baik, kita bicara di kamarku, mau!?” Laura turun dari mobil tanpa menjawabku. Laura melangkah lebih dahulu menuju kamarku.

“ Laura, tunggu dulu. Kenapa malah kamu meninggalkanku,” pancingku untuk mencairkan suasana. Laura bergeming, dia terus melangkah, sementara aku memperlambat langkah, barangkali dia mau menungguku, pikirku. Laura terus melangkah tanpa menolehku.

Aku menahan tawa, ketika Laura hampir membuka kamar adikku Lam Hot. “ Laura, kamu belum puas curhat denganku. Kamu masih butuh orang lain?” Laura berbalik kearahku.
“ Belum cukupkah aku.?” tanyaku ulang sambil membukakan pintu kamar. Laura diam. Dengan tubuh “rapuh” dia memelukku didepan pintu.

" Mas, jangan ikut menertawaiku. Akupun sudah tak sanggup menertawaiku, kecuali menyesali kenapa aku dilahirkan sebatang kara."
" Laura ! Aku sangat kecewa mendengar keluhanmu, seakan kamu mengutuki dirimu sendiri bagai orang tak mempunyai iman."
" Mas! Maaf. Laura kini diujung kematian abadi."
" Hentikan ocehanmu atau Laura aku antar pulang," ujarku sambil menutup kembali pintu kamar. Laura terdiam mendengar hentakanku.
" Mas.....katamu ikut merasakan deritaku. Kenapa engkau enyahkan aku tanpa belas kasih. Inikah arti persahabatan yang mas janjikan.?" ( Bersambung)

Los Angeles, July 2009
Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/