Wednesday, April 29, 2009

Telaga Senja (22)

(music: right click on mouse then click “open in new window”)
==================
“ Kenapa aku harus memberitahukan kepadamu.?”
“ Aku kan jadi ikut repot cariin kamu.”
“ Bagaimana Mas tahu aku ke Medan?”
“ Aku tahu dari Rihat.
=================

Sebelum kami kembali kerumah om Wiro, mampir ke tempat kosku tempo dulu, menanyakan barangkali masih ada kamar kosong. Ibu kostku, Roma, kaget melihat kedatanganku dengan perempuan yang belum pernah dikenalnya. Dia menanyakan “ Kapan datang? Isterimu lagi hamil? Kapan menikah? tanyanya ketika Rina di toilet.
“ Kok ibu tahu dia lagi hamil.?”
Ibukos tidak menjawab pertanyaanku, dia hanya tersenyum.
“Besok lusa, aku akan kembali ke Jakarta, aku mau nitip Rina sampai dia melahirkan,” ujarku.
“ Kamu tega benar. Baru anak pertama sudah ditinggal?”
“ Aku akan pulang sekali dalam tiga bulan,” jawabku sekenanya sebelum Rina kembali dari kamar mandi. Rina sedikit lega setelah ibu kost memberitahukan masih ada kamar kosong.
“ Boleh kami eh..aku masuk sekarang bu?” tanya Rina tak sabaran.
“ Nanti setelah magrib, ibu harus bersihkan dulu kamarnya,” ujarnya. Sedikit beban Rina berkurang setelah mendapat kamar, setidaknya malam ini, menurutnya, telah lepas dari manusia sok pahlawan. “ Huh...akhirnya aku lepas dari tangan-tangan manusia berlagak malaikat itu,” ucapnya lega.
***
Aku dan Rina kembali kerumah Wiro. Kami melanjutkan pembicaraan siang. Wiro berlagak tenang, meski wajahnya sedikit tegang, ketika kami duduk berdampingan menghadap seisi keluarga.
“ Mas Raharjo, papimu, telah berbicara denganku tentang hubunganmu dengan Tan Zung hingga Rina meninggalkan rumah. Agar tidak terlalu berlarut-larut, aku dan papimu telah sepakat menikahkanmu di sini. Terserah kalian berdua, kapan waktu yang paling tepat. Tapi kalau boleh, sebelum nak Tan Zung kembali ke Jakarta. Bagaimana kalau besok,” usulnya.

“ Aku masih capek, lusa saja om,” jawab Rina.
Bah! Lusa aku akan nikah!? Bagai petir disiang bolong mendengar jawaban Rina. Dia menjebakku? Seharian kami bersama, tak sedikitpun dia menyinggung niatnya. Susu aku beri, air raksa kudapat imbalan, pantaskah? tanyaku dalam hati, kesal.
“ Kapan nak Tan Zung menghubungi orangtuanya? Atau ada famili di Medan sebagai wali?” tanya Wiro.
“ Aku diwakili wali saja om, tempat orangtuaku jauh,” jawabku meski aku terpukul karena di kadalin habis.

Dengan sigap Mario si tekhab tengil itu mencatat alamat bakal waliku, juga keluarga yang akan diundang menghadiri pernikahan, alamat yang kuberi asal-asalan, entah alamat siapa itu. Kadal lawan kadal, bisikku dalam hati.
Seisi rumah diliputi rasa gembira setelah Rina dan aku setuju akan melangsungkan pernkahan besok lusa. Seketika pori-pori tubuhku mulai mengucurkan keringat segar, di wajah peluhku mengalir, dingin. Sungguh, semua ini diluar skenario. Aku benar-benar terhisap oleh permainan “busuk” Rina.
***
Wiro, Mario tekhab tengil dan semua tamu memberi selamat sebelum makan bersama. Aku melihat wajah-wajah mereka seperti wajah dracula dalam film. Berulangkali aku melirik Rina, namun tak sekalipun dia mau menatapku. “Dasar serigala,” gerutuku. Wiro dan isterinya menyilakan kami duluan mengambil makanan yang tersaji diatas meja. Rina menggandeng tanganku mesra menuju meja makan lantas menyedok makanan ke dalam piringku.
“ Cukup mas?” tanyanya.
Aku hanya mengangguk pelan, senyum kupaksakan untuk memuaskan hati para setan dan serigala liar, Rina.

Diatas kursi khusus yang telah disediakan keluarga Wiro, Rina menyuap makanan ke mulutku diiringi senyuman: “ Mas, buka mulutnya. Ayo dong mas,” bujuknya, ketika mulutku ogah menerima makanan dari tangannya. Hmmm, serigala liar mengajakku bermain api ditengah kebon liar? Siapa membakar siapa.? Okay, dalam hatiku, aku ikuti alur permainan ini, setidaknya saat makan malam yang dihadiri keluarga Wiro.

Mulutku kubuka seraya manatap tajam matanya. Tepuk tangan membahana mengiringi tangan Rina menyuap makaan kemulutku. Melengkapi babak sandiawara ini, gantian, aku menyuapkan makanan kemulutnya, dalam hatiku menyumpah serapah “ Nih serigala! Makan kaulah hasil sandiwaramu ini, setan!”. Sembari makan meski bagiku terasa pahit, bertanya kepada Rina, pelan: “ Rina, kamu Sarjana Hukum jurusan sandiawara.?”
“ Bukan! Mana ada jurusan sandiwara. Aku jurusan Pidana. Kenapa emang !?"tanyanya tanpa beban.
" Jadi kamu anggap aku terpidana!?"
' Nggak tuh. Kamu calon suamiku."

Duh.... jawabannya membuat hatiku semakin terbakar. Kalau saja tidak dihadapan orang banyak hampir saja kusemburkan makanan dari mulutku. Rasa simpatiku terhadap Rina sirna sudah, namun aku berusaha menahan diri dengan pertimbangan keselamatan bayi dalam rahimnya. Ditengah galaunya perasaanku, Rina terus memainkan peran bagai seorang calon isteri benaran, bahkan terkesan berlebihan. Tiba-tiba panggilan “mas” berubah menjadi “ pap”. Ah..aku semakin mati kutu.
“ Pap mau nambah lagi?” dayunya.

“ Nggak!” jawabku singkat sambil mendekatkan mulutku ke kupingnya, berlakon mesra, berbisik : “ Rina, aku mau muntah.”
“ Papa panggil aku mama. Papa sakit,?” desisnya.
“ Iya, serigala betina! Aku sakit hati.”
“Mas ..eh pap, tenang saja badai pasti berlalu. Jangan dimuntahin dulu. Nih buka mulutnya pap.”
" Rina, bukan hanya badai dilangit itu kau timpakan. Kamu menikamku dari belakang."
"Mas bego! Wajahmu jangan cembrut seperti itu, ayo senyum agar mereka terlena. Sebentar permainan ini kita segera akhiri, ayo mas senyum. Berlakonlah seperti bintang film!" senyumnya mengembang.
Keluarga Wiro semakin sumringah menyaksikan adegan kami saling berbisik, tampak mesra. Mereka nggak tahu isi pembicaraan kami mau saling menerkam.(Bersambung)

Los Angeles. April 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/