Sunday, November 8, 2009

Telaga Senja (157)


"When A Man Loves A Woman"
When a man loves a woman /Can't keep his mind on nothin' else /He'd trade the world For a good thing he's found /If she is bad, he can't see it /She can do no wrong /Turn his back on his best friend /If he puts her down

When a man loves a woman /Spend his very last dime /Trying to hold on to what he needs /He'd give up all his comforts /And sleep out in the rain /If she said that's the way /It ought to be

When a man loves a woman /I give you everything I got /Trying to hold on /To your precious love /Baby Baby please don't treat me bad

When a man loves a woman /Deep down in his soul /She can bring him such misery /If she is playing him for a fool /He's the last one to know /Loving eyes can never see

Yes when a man loves a woman /I know exactly how he feels /'Cause baby, baby /When a man loves a woman /When a man loves a woman /When a man loves a woman /When a man, when a man, when a man loves a woman

========================
Papa...nakal” ujarnya masih dalam isak kebahagian.
“ Mama, bangunlah. Nanti kita terlambat. Mama telah memberiku melebihi apa yang mama pikirkan. Mama, aku masih tangguh. Mama, aku masih melihat dan merasakan ketulusan cintamu hanya untukku seorang. Terimakasih mama!” ujarku di sisi telinganya.
“You know it’s true pap, everything I do, I do it for you papa.”

=========================
KEPASRAHAN hati dan jiwa bagai gita pagi menyonsong sinar mentari. Kata terucap pasrah. Jiwa menyatu mereguk nikmat sejati, meredam gelombang gelisah. “ Papa nakal! Papa sudah merasakan(lagi) ketulusan diriku, meski aku harus mengorbankan semuanya! Pap, kita berangkat sekarang?” tanyanya. Magda agak curiga melihat semangatku tiba-tiba menurun hampir pada titik nol. Tetapi aku malu meringis menahan sakit lenganku.
“ Papa kenapa?” ibanya.

Aku berusaha menyembunyikannya. Tiba-tiba aku ketawa seraya menahan sakit. “ Magda, aku merasakan nyeri ditanganku usai memopongmu. Aku tak menyadari kalau tanganku belum sekokoh yang ku pikirkan. “
Oalalala..papa. Kita batalkan kesana?”
“ Jangan! Untuk sementara, ambilkan kain atau handuk kecil, celupkan ke dalam air panas, kemudian tempelkan ke lenganku. Buruan ‘yang sebelum mereka menunggu kita lebih lama.”
Magda menyiapkan dengan sigap. Sedikit membantu menghilangkan rasa sakit.
“ Papa mau makan obat?”
“ Nggak., nanti ketiduran saat acara berjalan.” Dengan wajah prihatin Magda melap peluh karena menahan sakit. “ Begini akibatnya jika cinta berlebihan,” tawaku masih menahan sakit.
“ Nggak pap. Aku tidak merasa berlebihan.”
***
Laura dan seluruh keluarga menyambut kedatanganku dan Magda. Dengan kursi roda Laura meninggalkan kumpulan keluarga yang telah duduk mengitari meja bundar berukuran besar itu. “ Maaf mbak, kami terlambat. Mas, Tan Zung agak lelet,” ujarnya ketawa diiringi cipika-cipiki. Aku menghindar dari urusan itu.
“ Iya, aku tahu. Mas Tan Zung, nggak sakit juga begitu. Sabar mbak,” balasnya disambut derai tawa Magda.

Magdalena mengambil alih “kemudi” kursi roda Laura, kembali ke meja makan. Aku mendahulukan Magda berjalan di depan membalas sambutan hadirin. Magda menemui satu persatu seluruh keluarga dan tamu yang hadir malam itu, sembari meberi salam ala Jawa atau entah ala apalah itu. Jari tangan hanya menyentuh ujung jari yang di salamnya. Boss ku Adrian memelukku. “ Kenapa lagi lengannya, belum sembuh?” tanyanya ketika melihat wajahku agak meringis. Laura mengajak kami duduk bersebelahan dengannya setelah kami selesai membalas sambutan mereka.

“Sesi” pertama saaat perkenalan, aku merasa sangat puas menyaksikan Magda membahasakan dirinya, anggun dan santun ketika dia membalas sambutan hadirin. Magda berhasil membangun pesona sebagai calon isteriku. Aku kagum. Keceriaan pada rona wajah serta percaya diri tampak ditengah ranumnya cinta malam itu.

Adrian memberi kata pengantar singkat sebelum kami memulai jamuan malam. “ Saat ini, malam pengucapan syukur atas keselamatan mas Tan Zung dan Laura. Sebagaimana kita tahu, seminggu lalu Laura dan mas Tan Zung mengalami musibah kecelakaan. Malam ini juga , saya mewakili kantor pusat dan cabang perusahaan di seluruh Indonesia mengucapkan selamat kepada mbak Magda dan Tan Zung yang tidak lama lagi akan melangsungkan pernikahan, di Medan.

Secara khusus kepada mas Tan Zung! Terimakasih atas pengabdiannya selama ini, meski relatif singkat, tetapi saya bangga dengan hasil kerjamu.” ujarnya mengakhiri sambutannya. Tepuk tangan membahana menyambut ucapan Adrian, tak terkecuali Laura dan Neneng yang turut hadir pada malam itu. Setelah Adrian mengakhiri kata sambutannya, Neneng memberi satu bungkusan kepada Adrian kemudian menyerahkan ketangan Magda. Kembali tepuk tangan menyambut pemberian kado yang terbangkus rapi itu.

Felix, om Magda, kakak kandung Adrian mendahulukan Laura, aku dan Magda mengambil sajian makanan dari meja yang telah terhidang. Aku mengambil alih posisi”sopir” kursi roda Laura sementara Magda berjalan persis di sisinya. Magda menjadi ”pelayan” untuk Laura malam itu. Laura kikuk, tetapi tak dapat berbuat banyak. Aku melirik Laura, sesekali mencuri pandang pada wajah Magda, kagum. Hampir semua pasangan mata mengarah kepada kami bertiga, saat gelak kami meningkahi lagu lama mengalun lembut, mengiringi santap malam itu.

DI akhir pertemuan, Laura meraih tanganku dan Magda, berucap, “ Jangan lupa beritahu tanggal pernikahan. Laura pasti datang.” Magdalena membalasnya dengan senyuman kemudian memalingkan wajahnya ke arahku. “ Ya. Aku akan kirmkan lewat kantor. Sekalian undangan untuk teman-teman.”
“ Jangan bang. Kita akan kirim khusus untuk Laura,” koreksi Magda. “ Kami kirim ke Yogya atau ke tempat Laura sekarang?” tanya Magda.
***
Adrian dan keluarga Laura mengantarkan aku dan Magda pulang usai acara syukuran malam itu. Sepanjang perjalanan pulang, aku merencanakan acara lanjutan, pergi ke suatu tempat. Terlalu singkat, kemolekan Magda hanya ku “nikmati” beberapa jam saja. Beberapa pilihan tempat, terlintas dalam pikiran. Aku putuskan, menelusuri malam ini di klub malam.

Aku menolak ketika Adrian akan mengantarkan ke tempat kostku. Laura protes Adrian,” Om gimana sih? seperti nggak pernah anak muda saja. Mbak Magda dan mas Tan Zung masih mau menikmati malam ini,” candanya. Magda mencium kening Laura diatas kursi rodanya penuh makna, sebelum meninggalkan aku dan Magda. Setelah turun dari mobil, Mata kami menghantarkan mereka hingga ke ujung jalan. Magda menarik tanganku masuk kedalam rumah. Dia heran ketika aku menahan tangannya saat dia mau masuk kamar

“ Kenapa pap. Mau ikut masuk ke kamar?” guraunya.
“ Nggak. Sebelum kita pulang ke Medan, aku mau mengajakmu ke klub malam. Hanya untuk malam ini.”
Magda mentapku heran. ” Aku nggak menolak. Tetapi papa kan masih sakit.?”
“ Hanya sebentar mam. Aku kangen!”
“ Papa kangen kepada siapa lagi?" tanyanya nelangsa. ( Bersambung)

Los Angeles. November 2009

Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/