Saturday, June 27, 2009

Telaga Senja (65)


These walls keep a secret/That only we know/But how long can they keep it?/'Cause we're two lovers, we lose control

We're two shadows/Chasing rainbows/Behind closed windows/Behind closed doors
If walls could talk/Oooh... they would say I want you more/They would say
Hey...ever felt like this before?/That you'll always be the one for me


If walls had eyes/Mine...they would see the love in sight/They would see /Me...in your arms in ecstasy/And with every move they'd know I love you so/ Two people making memories/Just too good to tell/These songs are never ending (?)When we're lying where we fell / We're painting pictures/Making magic/Taking chances/Making love

[Chorus]
When I'm feeling weak/You give me wings/When the fire has no heat/You light it up again/When I hear no violins/You play my every string/Stop the press/Hold the news/The secret is safe between me and you/Can you keep a secret?


[Repeat Chorus]
I love you so/Ooooh I love you baby/Ooooh baby/Love you love you love you so honey
Love you love you love you so/In your arms in ecstasy/If they could only see you and me baby/Just you and me baby

========================
“ Mbak, selamat hari ulang tahun, panjang umur. Salam untuk Tante dan Rina,” ujarnya. Laura mengembalikan telepon. Aku tak mendengar lagi suara Magda diujung sana.
“ Magda, kami mau pergi dulu kedokter. Nanti aku telepon lagi iya.”
“ Iya bang,” jawabnya hampir tak kedengaran.
========================

AKU meninggalkan kamar dengan pikiran terganggu saat menutup telepon karena Magda tiba-tiba diam setelah Laura mengucapkan selamat hari ulangtahunnya. Sebenanya aku ingin bicara lagi dengan Magda, tetapi Laura telah menungguku diluar.

Laura mengenderai sendiri mobil ketika kami pergi ke tempat praktek dokter. Tiba disana, dia langsung menemui dokter Lou, menurutnya, dr. Lou adalah dokter keluarga mereka.
" Mas, aku mau temani ke dalam,?" tanyanya.
" Tidak usah, dokternya nggak galak kan,?" guyonku.
Aku menjelaskan kepada Laura setelah keluar dari kamar praktik dokter bahwa aku tidak sakit, hanya kelelahan. “ Dokter hanya menganjurkan istrahat yang cukup dan makan sejumlah vitamin.”

Setelah dari dokter Laura mengajakku kerumahnya. “ Kita jemput sopir dulu kemudian jemput papi dan mami , tadi aku sudah janji kita makan malam bersama,” ujarnya.
“ Tapi aku sudah janji mau telephon Magda malam ini, Laura.”
“ Nanti mas boleh telepon dari restauran,” jawabnya.
Aku tak dapat menolaknya apalagi dia telah janji dengan kedua orangtuanya, bagaimanapun aku harus mengapresiasi waktu khusus yang telah disiapkan, juga merupakan kehormatan bagi diriku sendiri.

Dirumah, papi dan mami Laura menyambutku dengan ramah. Sebentar kami bicara diruang tamu yang cukup besar, tidak jauh beda dengan ruang tamu Martha, tantenya Laura di Jakarta. Sejumlah barang pajangan tertata rapi berikut sejumlah lukisan tergantung pada dinding. Ditengah percakapanku dengan kedua orangtua Laura , mataku sempat terpaku dengan satu lukisan berukuran besar, dipojok bawah lukisan tertulis nama pelukis kesohor .

Masih dalam percakapan dengan kedua orangtuanya, Laura menjelaskan kepada papinya kenapa kami naik kereta yang semestinya, menurut papinya, naik pesawat. “ Pap, mas Tan Zung sudah sering naik pesawat, mas pingin naik kereta,” ujarnya semangat disambut tawa papi dan maminya.
“ Oh..iya? Tapi Lala , panggilan seharian Laura, mbok beli tiket di kelas,” balas maminya.
“ Tiket kelas sudah habis jauh hari mam, tiket yang itu juga aku dapat dari calo,” jelas Laura. “ Ayolah pap, nanti kemalaman, mas TanZung mau telepon ke Medan. Malam ini teman mas akan merayakan hari ulangtahunnya,” ajak dia sambil beranjak dari tempat duduknya.
***
Tampaknya pemilik dan karyawan restauran sudah sangat mengenal keluarga Laura, terlihat dari sambutan dan penyedian tempat khusus untuk kami. Laura meminta daftar menu makanan khusus untukku. “ Mas, pilih yang sesuai dengan selera, asal jangan soto,” ujarnya ketawa. " Mami tadi sudah pesan lewat telepon untuk mereka," imbuhnya.

“ Lala, biarkan mas Tan Zung pilih sendiri, sotonya khas dan enak kok” tegur maminya
“ Apa mas nggak bosan makan soto? Maaf mas, buka rahasia,” ujarnya ketawa lepas.

Malam itu, sejak kami di rumah hingga ke resaturan sikap Laura sangat berbeda. Dia bukan Laura yang aku kenal sebelumnya. Dihadapan kedua orangtuanya Laura sangat manja, orangtuanya “patuh” apa kata Laura. Sikapnya juga berbeda terhadapku dibanding manakala kami hanya berdua keseharian, sikapnya biasa-biasa saja. Tetapi ketika dihadapan orangtuanya dia memberlakukanku sebagai bagian dari keluarganya, seakan sudah bersahabat bertahun-tahun lamanya. Dia tanpa canggung menatap lama dan menegurku bila aku masih enggan “bersahut-sahutan” dengan dia dihadapan orangtuanya.
“ Pap, besok pagi kami mau ke candi Borobudur. Lala pinjam dulu sopir papi, boleh nggak?” tanyanya dengan nada manja. Kemudian dia menolehku dan bertanya, “ Setelah itu kita mau kemana mas ?”

Maminya menegur Laura dengan ketawa,” Lala, makan dululah, setelah itu nanti atur rencana kalian.!”
“ Mam, aku tanya papi dan mas Tan Zung!?” protesnya. Buru-buru papinya menengahi “soal jawab” Laura dan maminya. “ Iya.... sayang, boleh. Mau pakai mobil yang mana?”
“ Terserah yang mana pap. Oh...iya kami mau bepergian dengan adik Lam Hot. Boleh kami pakai Jeep.?”
“ Oh..ya..! Jangan lupa bilang Mathias supaya diisi bensin sebelum kalian berangkat, juga persiapkan bekal kalian.” ujar papinya, lalu menambah sup kesayangan Laura ke mangkuknya.
Duh...Laura keterlaluan, dia mengambil dan menyorongkan mangkukku untuk diisi papinya. Buru-buru aku menarik mangkuk sebelum diisi. Laura malah ngomel, “ Lho , kenapa ? mas nggak suka ,” tanyanya, matanya menatapku manja.

Setelah selesai makan malam, Laura mengingatkanku untuk menelepon Magda. Namun perasaanku kurang sreg meninggalkan mereka di meja makan.
“ Nantilah aku telepon dari Hotel,” elakku. Laura menarik tanganku menuju kantor restauran, kemudian dia memutar nomor yang aku berikan.
“ Mas, nggak ada yang angkat, barangkali nggak ada orang dirumah,’ ujarnya setelah beberapa kali dia memutar nomor teleponnya.

Aku dan Laura kembali bergabung dengan orangtuanya ke meja makan. Laura menjawab pertanyaan papinya perihal diriku, padahal papinya menanyakan langsung kepadaku; berapa kami bersaudara, orangtuaku tinggal dimana dan tamat dari universitas mana. Maminya hanya tertawa melihat putrinya agak agresif. Malam itu, kepada orangtuanya, Laura bercerita banyak mengenai tanggung jawabku dikantor, juga menuturkan bila aku hampir setiap hari kerja ekstra menyelesaikan tugas yang terbengkalai karena ditinggal karyawan yang aku gantikan.
"Pap, mas Tan Zung terkadang lupa makan, nggak pikirin kesehatannya, padahal gajinya nggak beda dengan yang lain, benar nggak mas.!?" ujarnya sambil melirikku.

Setelah dia mengumbangku habis ( puja-puji, pen). dia bercerita tentang manager kantor yang mata keranjang. Sebelumnya dia belum pernah mengeluh atau bercerita kepadaku. Aku kaget mendengar tuturannya perihal manager kami itu. Menurut Laura, manager sering bersikap tidak simpatik. “ Manager itu masih sering menggangguku pap,” katanya mengagetkanku.
“ Sudah lapor kepada mas Adrian?” tanya maminya.
“ Belum mam. Aku takut om Adrian akan memecatnya. Bisa-bisa anak isterinya nggak makan,” jawabnya.
“ Oh..dia sudah berkeluarga!?” tanya ayahnya.
“ Iya sudah pap!”
“ Perlu papi telepon Adrian?”
“ Jangan dulu pap. Nanti kalau masih terus, aku akan beritahu om Adrian.”

“ Bagaimana menurut pendapat mas Tan Zung.?” tanya maminya gusar.
“ Aku sependapat dengan Lala, jangan dulu diberitahu kepada pak Adrian. Bila perlu aku cukup mengingatkannya.” ujarku mantap.
" Jangan mas! nanti dia cari gara-gara," cegah Laura.( Bersambung)
Los Angeles. June 2009


Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/