Wednesday, November 11, 2009

Telaga Senja (160)

=======================
“ Magda menang selangkah,” gurauku disambut kecupannya.
“ Papa juga.” Sebelum kami kembali ketempat duduk, Magda mengusulkan untuk memberi kenangan khusus untuk Susan. “ Kalau papa setuju, kita berikan sesuatu untuk ibu itu saat pesta pernikahan.”

=====================
Malam itu kelopak merekah disiram curahan hati yang tersimpan dalam sudut-sudut hati.
“ Tampaknya papa lelah. Papa sudah puas?” tanyanya setelah dia merasakan langkahku semakin surut, lamban. Magda menuntunku kembali ketempat duduk.
" Sonya tanyain kakak, katanya, mau ketemu," ujar Rima saat kami kembali ke tempat duduk.
" Siapa Sonya pap?" tanya Magda.
" Dia itu perempuan yang dulu ngaku operater, ketika papa mabuk. Dia bekerja disini sebagai pramuria."
" Papa kangen dengan dia?" tanyanya.
" Nggak juga. Sonya sahabat Rina, kebetulan mereka satu r/t. Nanti setelah kita pulang papa tunjukin."

" Mama nggak butuh. Ayo kita pulang pap." ajaknya. Sesaat kami beranjak dari kursi, Sonya buru-buru menemui kami, berteriak girang: " Hei..bang. Kemana saja?" tanyanya sambil melirik Magda. Sonya mengulurkan tangannya ke Magda, " Sonya" sebutnya mengenalkan dirinya.
" Oh...ini toh kak Magda. Dari Medan iya kak? Bagaimana khabar Rina? Aku dulu yang ngaku operator ketika bang Tan Zung teler berat. Duh..kak, sejak dari bar, abang memanggil-manggil nama kakak. Aku dengar dari Rima , bang Tan Zung mau nikah? Kapan?" tanyanya.
" Bulan depan," jawab Magda sambil menggeserkan pahanya ke pahaku, mungkin sinyal untukku; " tenang pap."
" Iya. Kalau tidak ada halangan bulan depan minggu ke empat," timpalku tak peduli sinyal.

Sejenak, Sonya "riuh" denganku, Lam Hot dan Rima. Sementara kepala Magda terus lengket di sisi lenganku, manja; Dia tak sedikit pun bergairah nimbrung dalam cengkerama kami berempat. Sesekali tangannya mencubit pahaku, ketika kalimatku bersinggungan dengan kalimat romantis. Aku sudah mulai merasakan kegelisahan Magda, saat dia menyela pembicaraan kami," Pap, mama ngantuk!" ujarnya seraya menggeser posisi lenganku, lantas dia membenamkan wajahnya disana. Sonya mafhum. Dia mohon diri.

" Kak, Sonya mau kerja lagi. Besok aku mampir ke rumah iya? Boleh nggak?" Magda mengangguk. " Daagg..abang," ujarnya sambil mencium pipiku. Ah...centilnyna kau Sonya, kesalku dalam hati. Mudah-mudahan cemburu Magda tidak terpicu dengan obral ciuman itu.

"Oh..begitu iya perempuan Jakarta. Beri ciuman sebelum berpisah, meski bukan pacar?"
" Mama, itu strategi bisnis. Maksudku, dia harus bersikap ramah. Mungkin dia sedang diperhatikan managernya. Tadi juga, papa sudah duga, mama akan terusik dengan ciuman hambar itu."
" Hambar...hhmmm...?"

***
Sebelum kami pulang ke rumah, aku mengajak Magda masuk ke dalam casino, mengharap, Ria ada disana. Mataku liar mencari disekitar meja bacarat dan black jack namun tak menemukannya. Nafsu main judi menggeliat setelah kurang lebih lima bulan terhenti karena kesibukan kantor. Magda menolak ketika aku mengajak duduk di meja bacarat. Juga dia menolak ketika aku mau menukar uang tunai ke chips.

“ Pap, masih mau mendengar mama? Papa nggak malu dilihat adik Lam Hot dan Rima?”
“ Oh..iya lah. Sebentar aku suruh mereka pulang duluan. Nanti kita pulang naik taksi,” jawabku.
“ Papa senang jika mama menangis disini? ” rengeknya.
Sebenarnya, aku hanya ingin menambah semerbak wangi kelopak yang baru saja merekah lewat rengek dan bujukannya. Apalagi setelah kehadiran Sonya.
“ Pap, ayo pulang. Mama ngantuk,“ bujuknya.
“ Mam, hanya sebentar saja. Besok kita boleh istrahat seharian. Lagi, minggu depan kita sudah pulang.”

" Papa gimana sih? Kok diundur-undur terus. Kemarin, papa bilang, kita pulang besok lusa. Aku sudah beritahu mami.!"
" Ya.... ya. Hanya sejam saja. Menguji nasip mam."
" Menguji nasip diatas meja judi? Pap! pulang kataku." entaknya lagi.
Kembali aku membujuknya, meski aku tahu dia akan menolak. Aku ingin melihat marahnya meledak setelah seminggu ini terus mendayu-dayu.

Magda tak menggubris permintaanku. Dia mengajak Lam Hot dan Rima pulang.” Hot, kita pulang. Biarin abangnya pulang sendiri.” ketusnya, lantas melepaskan pegangannya meninggalkanku. Wajahnya cemberut. Sambil melangkah, ujung tumit Lam Hot melesat ke kakiku, pertanda kesal sekaligus mengajak pulang. Belum puas, di tengah pelataran parkir, aku mainkan lagi jurus baru, meringis, untuk mengundang rasa kasihan. Berhasil.

Kedua tangan Magda bercagak di pinggang,“ Nah..kan!? Rasain. Emang papa tangkang (nakal, pen)” entaknya. “ Sudah badan papa rapuh, sok mau begadang, main judi lagi, huh....! Atau papa mau ketemu dengan Sonya?"
Lho, kok mama nggak mau mengikuti nasihat Susan? Disini kan banyak tulang rusuk berserakan?” pancingku .
“ Maksud papa, mama juga mau ikutan main judi? Hajab lah kita.! Papa mau ikut pulang atau tinggal?”
“ Ikut mbak lah.”
“ Mbak ma ho,” balasnya.
Dia heran ketika aku minta kunci mobil. “ Lho, katanya sakit. Biar adik Lam Hot yang setir. “ tolaknya. Magda menarik tanganku duduk di kursi belakang.” Rima temani LamHot di depan,” ujarnya.

Didalam mobil, Magda ngomel. " Didepan mataku saja papa berani macam-macam dengan perempuan lain. Pakai ciuman lagi."
" Papa kan nggak balas. Mama, itu sebuah resiko."
" Resiko apaan?"
" Resiko pemuda idaman!" (Bersambung)

Los Angeles. November 2009


Tan Zung

"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/