Thursday, July 23, 2009

Telaga Senja (86)



Love hurts, love scars,/Love wounds, and marks,/Any heart, not tough,/Or strong, enough/To take a lot of pain,/Take a lot of pain/Love is like a cloud/Holds a lot of rain/Love hurts, ooh ooh love hurts

Im young, I know,/But even so/I know a thing, or two/I learned, from you/I really learned a lot,/Really learned a lot/Love is like a flame/It burns you when its hot/Love hurts, ooh ooh love hurts

Some fools think of happiness/Blissfulness, togetherness/Some fools fool themselves I guess/Theyre not foolin me

I know it isnt true,/I know it isnt true/Love is just a lie,/Made to make you blue /Love hurts, ooh,ooh love hurts/Ooh,ooh love hurts

I know it isnt true,/I know it isnt true/Love is just a lie,/Made to make you blue /Love hurts, ooh ooh love hurts/Ooh ooh love hurts/Ooh ooh...
===================
Hentikan ocehanmu atau Laura aku antar pulang,” ujarku sambil menutup kembali pintu kamar. Laura terdiam mendengar hentakanku.
“ Mas.....katamu ikut merasakan deritaku. Kenapa engkau enyahkan aku tanpa belas kasih. Inikah arti persahabatan yang mas janjikan.?”
==================

Sebagai sahabat aku akan mengatakan kesalahan dan kebodohan yang kamu lakukan, meski aku tidak sempurna Laura! Aku tadi telah katakan, akan membantu semampuku, dan membuka hati saat Laura dalam kesulitan. Tak terbesit sedikupun dalam hati untuk mengenyahkanmu. Aku tidak setolol itu Laura,” ujarku sambil membuka pintu kamar. Laura berlari dan menghempaskan tubuhnya diatas ranjang.
“ Iya mas, aku perempuan bodoh,’ ucapnya lantas membekap mulutnya dengan bantal menutup suara isak tangisnya yang tak terbendung. Untuk sesaat aku membiarkan dia menangisi dirinya dengan hati yang masih terluka.

“Laura tangisan tidak menyelesaikan masalahmu. Bila kamu masih menggangapku sebagai sahabat, hentikan isak tangisanmu, tuturkan apa yang mengganjal hatimu,” bujukku.
“ Tak ada lagi yang perlu Laura tuturkan. Semuanya telah dirampas oleh egois mamiku.”
“ Siapa yang egois, Laura atau mami.?” tanyaku. Laura segera mengangat bantal dari wajahnya; “ Mas menyebutku egois meski kebebasanku telah terampas!?”
“ Apa mungkin mami mau merampas kebebasanmu, apalagi kamu dalah seorang putri tunggal? Kemungkinan mami hanya menginginkan Laura bersahabat dengan seseorang yang tepat dan layak. Gunawanlah orang yang tepat untuk kriteria itu.!” ujarku mendekatinya ketempat tidur.

“ Yang mau nikah aku atau mami? Orangtua apaan tuh.!”
“ Heh...Laura! Boleh kamu kesal tetapi tidak harus menghujat orang tuamu.”
“ Mas, nggak usah menasehatiku.”
“ Iya sudah. Kalau Laura ngga dapat lagi diajak bicara,” ujarku. Laura menarik lenganku ketika mau beranjak keluar dari kamar.
“ Tunggu dulu. Mas hanya mendengar akhir ceritanya. Kenapa langsung punya kesimpulan aku yang egois.?”

“ Benar, aku hanya mendengar akhir ceritamu. Bukankah sejak tadi aku telah meminta agar kamu menuturkannya, apa dan mengapa Laura dirundung duka. Untuk hal ini juga kamu egois. Laura hanya memaksaku mendengar tangisanmu.”
“ Seandainya mas mau memahami betapa tersiksanya hatiku ini, mungkin aku akan terobat, meski hanya sedikit.”
“ Aku tak tau siapa menyiksa dirimu? Mami atau Gunawan atau barangkali aku.?”
“ Iya. Selain mami, mas juga turut menyiksaku, karena selalu menyalahkan Laura.”
“ Okey Laura, ada kesalahpahman diantara kita. Jujur, aku merasa tersiksa juga melihat sikapmu dua hari terakhir ini. Kamu bukan lagi Laura yang saya kenal sebelumnya, periang, bersahaja dan santun. Kini kamu bukan dirimu lagi. Laura seperti layang-layang putus, raib di telan badai.”

“ Iya mas. Tetapi ketika aku mengatakan, kini Laura diujung kematian abadi, kenapa mas murka.”
“ Karena aku sangat kecewa. Bukankah selama ini Laura telah menunjukkan bahwa dirimu orang religius, setidaknya itu aku perhatikan keseharian, Laura selalu hening sejenak melayangkan doa kala mau makan dan sebelum kita jalan.”

“ Benar. Hanya itulah yang membebaskan keprihatinanku. Tetapi , sejak kedatangan Gunawan, sepertinya Tuhan menjauhiku. DIA tak pernah lagi mendengar doa-doaku. Mas, air mataku hampir kering menangis dalam doa, tetapi prahara hidupku tak kunjung meredam,” keluhnya dengan suara tersendat kemudian menutupkan wajahnya dengan selimut. Tubuhnya kembali terguncang menahan luka sukmanya.
Ditengah isak tangisnya, aku menyingkap selimut dari wajahnya, kemudian memiringkan tubuhnya. Perlahan Aku memijit punggungnya , seperti pernah aku lakukan kepada Magda dan Susan tatkala mengalami duka yang dalam. Laura tidak melanjutkan tuturannya kecuali sesugukan yang aku dengar.

Laura akhirnya bersedia menuturkan lanjutan siksa yang menderanya, setelah aku mengancam tidur di rumah Rio. Sebelumnya aku mengingatkannya karena jarum arlojiku telah menunjukkan ke angka 11:30 malam. “ Sekarang sudah menjelang tengah malam. Bagaimana kalau kamu tuturkan besok. Aku khawatir mami dan papi mencarimu.”
“ Iya mas. Mungkin papi akan kecarian, tetapi tidak dengan mami.”
“ Apa bedanya mamimu dengan papi.?”
“ Mami sudah nggak perduli lagi dengan Laura.”ujarnya sendu.
“ Selama ini yang aku tahu dan menurut ceritamu, mami sangat dekat denganmu. Sejak kapan kalian bermusuhan.”

“ Ketika orang tua Gunawan mengutarakan keinginannya untuk meminangku menjadi isteri Gunawan. Dan sejak saat itu papi dan mami selalu ribut. Mami, tanpa berbicara denganku menyetujui permintaan orangtua Gunawan, tetapi papi menolak keras. Itulah awal keributan dirumah. Beberapa hari ini papi sudah jarang dirumah, datang dan pergi. Papi tak tahan melihatku murung dan tak mau bicara dengan siapapun, juga dengan om Laurance. “
“ Jadi papi tidak setuju dengan keputusan mami.?”

“ Iya. Mas, aku salah duga. Tadinya Laura menduga kalau papi setuju dengan keputusan mami. Kemarin sebelum aku kembali ke hotel, papi terus menerus mengetuk kamarku. Aku tak mampu mendengar bujukan papi, akhirnya aku membukakan pintu kamar. Papi langsung memelukku, berujar: “ Laura, papi mendukung sikapmu. Papi juga nggak setuju dengan mami. Jangan marah dengan papi, sayang! Papi hanya sendiri,“ tangis papiku. Mas! Aku dan papi menangis berdua dikamar. Sepertinya aku dan papi kalah dalam perang,” desahnya.

“ Kalian masih ada hubungan famili dengan Gunawan.?”
“Iya mas. Mami punya hubungan kekerabatan dengan keluarga Gunawan, Itu sebabnya Gunawan dikirim sekolah ke Perancis karena om Laurance ada disana.”
“ Maaf Laura, mungkin aku terlalu jauh masuk dalam urusan pribadimu.”
“ Nggak mas. Aku mengucap terimakasih karena masih mau mendengar tutur pahitku.”
“ Laura , mengapa papi mengatakan, “papi hanya sendiri “ ?”

Laura terdiam. Lama menatapku, pandangannya kosong. Agaknya ada sesuatu yang mau disampaikan tetapi isak tangis mendahuluinya. “ Iya papi hanya sendiri menghadapi kekerasan hati mamiku, om dan tante yang di Solo sama keras hatinya dengan mami. Tiba-tiba Laura memelukku sangat erat, terucap kata sangat menyentuh hati; Mas, Papi kandungku telah pergi ketika aku berusia dua tahun.” ( Bersambung)

Los Angeles, July 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/