Monday, January 4, 2010

Telaga Senja (198)

==========================
“ Pap! Minggu depan kita sudah mau menikah, masya sih mama masih nggak percaya dengan papa?”
“ Okey mam. Orang banyak pada ngeliatin kita. Mam, senyum. Ayo mam senyum. Tuh mami dan Rina ngeliatin kita.”

===========================

Perlahan kami beranjak ke ruangan VIP, tempat undangan khusus keluarga kedua belah pihak. Ketika masuk keruangan , aku berpapasan dengan John, omnya Maya sipecundang itu. “ Kok, papa nggak sapa om sibagurtano itu?” ujar Magda cekikian ketika berpapasan dengan om John tanpa tegur sapa. Sebelum kami duduk seseorang mencubit pinggaku dari belakang. Ah..Mawar yang sejak minggu lalu kami tunggu di rumah akhirnya bertemu di acara pernikahan Maya.

“ Bang, aku jadi pendamping utama pada pernikahan kalian. Aku serius bang. “ ujarnya ketika aku tertawa dan mendekapnya. “ Kenapa kamu Mawar,” tanyaku setelah meiihat kelopak matanya mulai memerah.
“ Mawar senang, akhirnya abang dan Magda dapat mewujudkan cinta kasih yang penuh dengan liku-liku itu ke jenjang akhir, pernikahan.”
Heh...dari siapa Mawar tahu kami akan menikah.?”
“ Dari siapa lagi kalau bukan dari calon isteri abang,?” jawabnya sambil melirik Magda.
“ Magda? Apa-apan kamu mengumandangkan berita pernikan kita, sebelum ada persetujuan orangtua.?”

“ Mawar, abang kita nggak pernah mau berubah, lagu lama, berlagak tanya. Padahal maunya abang, kalau boleh sekarang kami menikah, ” balasnya disambut tawa Mawar.
“ Mana pacarmu? Kapan rencana Mawar menikah,?” tanyaku. Tangan Magda mencubit pahaku, seakan memberi isyarat, jangan melanjutkan pembicaraan menyangkut pribadi Mawar.
“ Menikah dengan siapa? Pacar juga nggak punya bang!” jawabnya. Aku mengalihkan pembicaraan setelah Magda memberi isyarat lewat cubitan di pahaku. Aku menanyakan lowongan pekerjaan di kantornya. Namun, kami kaget ketika Mawar memberitahukan, dia akan keluar dari kantornya dan pindah ke Jakarta. Mawar tidak memberitahu secara detail kenapa keluar dari kantornya. Magda menyegarkan pembicaraan setelah melihat suasana "mega mendung".

“ Mawar, kemarin dulu, pagi-pagi, abang ketakutan dikejar-kejar polisi, karena sedang berduaan dengan seorang perempuan di dalam satu kamar.?”
“ Ya bang? Abang berduaan dengan perempuan mana lagi? Dimana?”
“ Ya. Di kamarku. Berduaan dengan Magda. Tertangkap basah oleh ayahku.”
“ Ah..sialan lu berdua. Sama saja kelakuan suami dan isteri, kerjain orang ! Terus ayah bilang apa?”tanyanya ngakak.
“ Kami disuruh menikah segera. Dikiranya kami telah melakukan hubungan seperti suami isteri.”
“ Memang sudah lah bang,” potong Magda.

Heh..Magda. Ntar dikirain kamu serius,” hentakku.
“ Papa gimana sih? Kenapa harus takut mengaku,?” ujarnya serius. Sementara wajah Mawar mulai tegang menunggu terusan pengakuan Magda.
“ Magda, candamu keterlaluan.”
“ Apalagi yang kurang kita lakukan sebagai suami isteri? Marah....ketawa, mama suapin papa dan sebaliknya. Papa sakit, mama rawat. Papa terbaring di rumah sakit karena kecelakaan, mama yang rawat. Bahkan mama membawamu pulang dari Jakarta. Apakah itu bukan perlakuan sebagai seorang isteri.?”
“ Ya, tetapi kan kita belum pernah melakukan.....”

“Oh...iyah lah. Nggak mungkin itu pap. Tapi itu kan bagian kecil dalam pernikahan. Ibu Susan sudah menikah bertahun- tahun pun sampai sekarang belum pernah melakukan itu. Tapi tokh mereka suami isteri,” jawabnya berlagak serius.
“ Magda benar-benar ngaco,” ujarku disambut tawa Mawar.
“ Memang abang dan Magda pasangan ideal sebagai suami isteri. Ideal berantam dan ideal berpura-pura serius,” celutuk Mawar.

Tengah asyik bercengkarama diselingi nostalgia ketika masih sama-sama belajar di rumah Magda, Susan nongol dan nimbrung dengan kami. Suasana riuh tak terhindarkan. Kami terpaksa pindah ke pojok ruangan menghindari teguran tamu lainnya. Susan yang sebelumnya dosen kami itu larut, berlaku seperti anak muda. Matanya menatapku dan Magda seilih berganti.
” Segeralah Zung. Jangan lama-lama lagi,” ujarnya serius.
“ Maksud Susan menikah? Kami, baru saja menikah,” ujarku.
“ Zung , aku serius,” balasnya.
“ Susan tahu nggak?. Hari ini dalam waktu bersamaan, ada dua pasangan nikah. Satu resmi yang satu lagi dompleng.”
“ Maksudmu..?” tanya Susan serius.

“ Aku dan Magda menjawab , dalam hati, semua pertanyaaan pendeta yang ditujukan kepada Maya dan suaminya. Jadi, sebenarnya kami telah resmi mejadi suami isteri, hanya belum boleh serumah,” jelasku disambut tawa lepas Mawar dan Magda, sementara Susan mencubitku kuat, berujar, “ Dasar...tanjung katung...” kesalnya. Tawa kami belum selesai, putri om dokter Robert, pacarnya Jonathan, menemui kami. Sejenak ikut nimbrung. Kemudian dia mengajak Magda menemui mami dan om Robert. Magda bertingkah habis sebelum meninggalkanku, Mawar dan Susan. “ Pap, sebentar, mama mau temui queen, calon mertua papa. Atau papa mau ikut,?” tanyanya seraya menempelkan pipinya di pipiku. " Pergilah sendiri," jawabku .

Meski aku, Mawar dan Susan terus mengobrol, pikiranku terganggu, setelah beberapa menit Magda belum kembali. Aku minta ijin ke Susan dan Mawar. “ Zung, gelisah amat sih?” tegur Susan
“ Baru pisah lima menit, terasa lima hari iya bang,” timpal Mawar. Aku tak peduli teguran mereka. Hatiku masih menyimpan trauma persitiwa silam ketika Magda di”rebut paksa” dari sisiku, kemudian disandingkan duduk dengan Albert, lelaki pilihan orangtuanya.

Aku lega, setelah melihat Magda menggendong Thian, duduk satu meja bersama dengan om dan maminya. Susan dan Mawar ketawa, ketika aku balik bergabung dengan mereka. Selang setengah jam, Magda belum kembali. Mawar meninggalkanku dan Susan. “ Sebentar aku yang lihat. Mungkin mereka bicara serius tentang pernikahan kalian, “ guyon Mawar. Mawar kembali setengah berlari menemuiku, “ Bang, Magda sudah nggak ada. Maminya dan om Robert serta Rina juga sudah tidak ada disana,” lapornya dengan wajah serius. Aku tahu Mawar, bukan tipe orang yang suka bercanda. Tampak dia serius.

Segera aku beranjak dari kursiku, berjalan cepat menuju ruangan resepsi disebelah. Susan dan Mawar mengikutiku. Aku memutar sekitar gedung, tak menemui mereka. Dalam kegelisahan, pikiranku terguncang. Mataku menatap hampa sekeliling gedung resepsi. Tatapanku tak senagaja ke Maya. Dia memanggilku lewat gerakan jari tangannya. Ditengah sibuknya tamu memberi tumpak ( money tree/kado berupa uang) ke dalam baskom, Maya berbisik ketelingaku, “ Zung mereka sudah keluar sejak lima belas menit yang lalu. Mungkin mereka pulang.”

“ Siapa saja mereka,?” tanyaku dengan bibir gemetar menahan marah.
“ Om Robert, maminya Magda, Rina dan Magda,” jawab Maya. Aku beringsut lemas setelah pemberitahuan Maya. Sepertinya aku mau berteriak dengan sekuat tenaga memanggil Magdalena. Langkahku tertatih keluar gedung. Susan dan Mawar menemuiku di trotoar jalan dengan perasaan duka. “ Zung, ayo kita temui dia kerumahnya,” ujar Mawar dan Susan serempak. Aku menolak ajakan mereka, tetapi Susan memaksaku ikut dengannya. ( Bersambung)

Los Angeles, January 2010

Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/