Wednesday, May 6, 2009

Telaga Senja (26)

(music: right click on mouse then click “open in new window”)
I know that once in love/You don’t think of the devil who’s inside/And maybe it will come one day/When you’ll feel safe and I won’t have the time

You hear what you wanna hear/Play it once I could disappear/Some rules to the game of me/Get it right for both of us/ Just say what you wanna say/I’ve got it to give away/ We both want to make it last/ So keep your eyes on me/Your eyes on me

It’s not an illusion That you’re the one And I have fallen deep/I said it from the start When we’re apart/ You must only think of me

Temptation is all around/ Take good care of what you found/ That’s why when I turn around/ You better keep/ You better keep your eyes on me/ No matter what you think I need/No matter what you once believed/ If you’re mine

So you better say/ No matter what you think of me/No it doesn’t really matter what you once believed/I wanna be the air you breathe/ Yeah you better be everything you said you’d be

I’m gonna be your only one/We really can’t go on/ No matter what you think of me/ You better keep your eyes on me/ You say that you want me/Open up your heart/Even if it’s hard/ Say that you need me/ Then let him know/Baby don’t put on a show

You say that you need me/Tell him how you feel/Let him know it’s real/And if you love me/ Never turn your back/Gonna keep my eyes on there

...............
============
Mas hanya bengong dan marah, padahal pukulan berikut masih gigliranku. Kata mas, orang batak, banyak taktik, nyatanya, setidaknya batak sebiji ini, nul.! ujarnya lantas dia melemparkan tas tangannya kearahku.
============
PAGI aku segera menuju rumah Magdalena sebelum dia berangkat kerja. Magda menolehku tajam dengan mata sembab dan wajah marah ketika aku masuk kepekarangan rumahnya. Awalnya Magda tak mau menjawab sapaanku, segera dia menghidupkan mobilnya. Dia menepiskan tanganku ketika berusaha menahannya.

“ Magda, boleh bicara, sebentar saja sebelum aku kembali ke Jakarta. Aku mau menjelaskan hal yang sebenarnya.”
“ Aku tak butuh penjelasanmu.” ketusnya.
“ Kenapa Magda nggak mau dengar dulu. Terserah kamu percaya atau tidak. Aku hanya ingin menolong Rina dan janin dalam rahimnya.”

“ Memang kamu pantas menolongnya dan harus bertanggungjawab atas perbuatanmu.!”
“ Magda, aku bukan ..”
“ Cukup bang! Tak perlu menguliahiku,” potongnya sebelum aku mengakhiri penjelasanku.
Magda beteriak ketika aku memegang tangannya, menahan agar jangan dulu pergi.
“ Jangan sentuh aku.” teriaknya lalu meninggalkanku. Inanguda hanya geleng-geleng kepala melihat amarah Magda yang tak kunjung surut.
“ Inanguda belum ceritakan pada Magda, sejak tadi malam dia nggak mau buka kamarnya. Tadi juga dia buru-buru mau berangkat ke kantor tanpa serapan,” ujarnya.
***
Sebelum makan siang dirumah Magdalena, aku menjemput Rina atas ajakan mami Magdalena.
“ Bawalah Rina kesini, jangan biarkan dia sendiri dikamarnya, kasihan.”
Rina menolak ketika aku mengajaknya makan siang kerumah Magda. Berulangkali aku membujuk Rina, namun tetap menolak, hingga akhirnya aku mengancam bila dia terus menolak ajakanku.

“ Aku makan di warung saja mas. Nggak enak, aku belum kenal dengan keluarga pacarmu,” bujuknya.
“ Magda bukan pacarku lagi sejak enam bulan lalu, dan lagi pula yang mengundang Rina makan siang adalah maminya, buleku. Magda sedang dikantor, ayolah.!” ujarku agak memaksa.
Rina akhirnya turut bersamaku meski dengan perasaan terpaksa , wajahnya murung.
Jonathan dan mami Magda menyambut hangat kehadiran Rina. Keramahan mereka membuat Rina cepat akrab. Sesekali Jonathan melemparkan guyonan sambil menikmati makan siang. Rina tersenyum melihat arsik yang ditawarkan inanguda.

“ Rina, ini namanya ikan arsik , mau coba cicipi?” tanya mami Magda.
“ Iya tante, aku pernah makan di Jakarta, ketika mas Tan Zung ajak aku dan adiknya makan arsik di warung batak.”
“ Nak Tan Zung ini anak Batak asli, jarang anak muda mau makan arsik,” jelas inaguda, disambut tawa Rina. Setelah selesai makan, Jonathan tidak membiarkan Rina sendirian membereskan meja makan.
“ Rin, kamu tinggal dirumah ini saja. Selama ini Jonathan tidak pernah mau bantuan kakaknya beresin meja makan sebelum dan setelah makan.” ujar mami Magda diiringi tawa.
***
Setelah makan siang Jonathan memberi kunci motor, “ Bang, pakai ini untuk keperluan abang dan kak Rina. Aku mau kekantor kak Magda mau jelaskan kehadiran abang dan Rina,” ujarnya.
Mami Magda mengajak Rina ke tempat praktek dr. Robert sore harinya; dia merasa surprise ketika tahu dr. Robert adalah adik mami Magdalena. “Iya tante, aku mau,” ucapnya dengan wajah binar diiringi senyuman, lalu Rina permisi ke kamar mandi.
Aku dan inanguda menunggu Rina keluar dari kamar mandi, agak lama. Kami khawatir bila Rina jatuh kemudian pingsan. Aku berulangkali mengetuk pintu dan berteriak memanggilnya tetapi tidak ada jawaban. Akhirnya Rina membuka pintu setelah mendengar aku mencongkel pintu kamar mandi.

Aku dan mami Magdalena kaget melihat matanya memerah, sembab. “ Kenapa? Rina sakit? Ayo kita sekarang ke dokter,” ujar mami Magda.
Tiba-tiba Rina mendekap mami Magda dalam tangisan. Rina menciumi pipi mami Magda seraya terisak pilu: “ Tante, Rina dibuang oleh kedua orangtua yang melahirkanku, mereka mengusirku dari rumah. Terimakasih tante atas perhatiannya,” suaranya lirih.

Mami Magda tak mampu membendung airmatanya mendengar ratapan lirih Rina, lantas dia mendekap erat serta mengelus kepala Rina.
“ Rina tidak ada orangtua membuang anak, percayalah. Mungkin orangtua mu merasa shock mendengar berita kehamilanmu. Rin, sudahlah pikirkan kesehatanmu, kami siap membantumu kok. Kalau nggak keberatan, Rina tinggal dirumah ini saja sampai kamu melahirkan.”

Ajakan mami Magda tinggal dirumahnya membuat Rina semakin sesugukan: “ Papi, mami, maafkan Rina, aku bukan anak durhaka. Aku telah mempermalukan papi dan mami,” keluhnya dalam tangis kemudian lunglai dalam dekapan mami Magda.
Aku membantu inanguda memapah Rina ke tempat tidur Magdalena. Aku kebingungan tak tahu berbuat apa, sementara inanguda menuju dapur mengambil air hangat. Inanguda menyeka airmata Rina diatas pembaringan; “ Rina! sudahlah, aku juga ibumu. Ibu dan Magda akan membantumu,” bujuknya. (Bersambung)
Los Angeles, May 2009
Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (25)

Shania Twain - You're still the one
Ooh, yeah, yeah/Looks like we made it/Look how far, we've come my baby/We mighta took the long way/We knew, we'd get there someday/They said, "I bet, they'll never make it"/But just look at us holdin' on/We're still together, still goin' strong

You're still the one/You're still the one I run to/The one that I belong to/You're still the one I want for life/You're still the one/You're still the one that I love/The only one I dream of/You're still the one I kiss goodnight

Ain't nothin' better/We beat the odds together/I'm glad, we didn't listen/Look at what we would be missin'/They said, "I bet, they'll never make it"/But just look at us holdin' on/We're still together, still goin' strong

You're still the one/You're still the one I run to/The one that I belong to/You're still the one I want for life/You're still the one/You're still the one that I love / The only one I dream of/You're still the one I kiss goodnight/You're still the one

Yeah, you're still the one/You're still the one I run to/The one that I belong to/You're still the one I want for life, ohh/You're still the one / You're still the one that I love/The only one I dream of/You're still the one I kiss goodnight/I'm so glad, we made it/ Look how far, we've come my baby


===============
Mami Magda tak kuasa lagi menahan amarahnya, balas teriak; Magda diam mulutmu.! Kau nggak tau persoalan. Nggak ada hakmu mengusir abangmu dari rumah ini. Kalau kau nggak senang, diam kau disitu, mengerti.!?”
Ohh...kenapa jadi begini? Kali pertama mendengar mami Magda yang sehariannya lembut, sangat marah kepada Magda.!
=================

“ Mami sejak dulu selalu ngebela abang. Sudah tahu brengsek masih terus dibela,” balasnya dari dalam kamar.

Ah....aku jadi serba salah, Magda dan maminya meregang amarah. Niat mau menolong sesama, tetapi aku menerima hujat dan makian dari sahabat lamaku. Oh ya iya...Rina, seandainya kamu melihat dan mendengar yang baru saja terjadi ditengah keluarga ini, masihkah engkau tega melilit leherku dengan akal bulus untuk menikahimu? rintihku dalam hati.

“Malapetaka” yang baru saja terjadi membuatku duduk terkulai lemas diatas tempat tidur. Agaknya aku tak mampu lebih lama lagi tinggal di rumah Magda, ingin segera meninggalkan rumah ini, tetapi kakiku tak mampu untuk melangkah.

Otakku dijejali pertimbangan segera keluar dari rumah, namun inanguda dan Jonathan sangat baik dan memahami persoalanku, kenapa aku harus menambah persoalan baru? Ini juga salah satu pertimbangan membatalkan niatku keluar malam itu.

Aku merebah diatas tempat tidur, hati masih bergetar menahan makian Magdalena. Bantal yang dibungkus sulaman khusus “MH” itupun kusisihkan, terasa panas memantik kepalaku. Mata tak dapat dipejam, rasanya waktu berjalan lambat.

Aku ingin segera menjemput Rina sesuai dengan janji pukul 03.00 dinihari, menghantarkannya ke rumah kostku tempo dulu. Persoalan yang tertindih dibahuku terasa maha berat, aku berencana, esok siang akan kembali ke Jakarta, dua hari lebih cepat dari rencana semula.
***
SEBELUM pukul tiga dinihari, aku bangun berangkat menjemput Rina sesuai dengan kesepakatan dengannya. Dari kejauhan aku melihat sosok perempuan berdiri dipertigaan jalan. Ternyata Rina telah menungguku disana dengan koper kecilnya.
Aku segera melompat dari beca, “ Gila kamu Rina. Kamu nggak takut sendirian menunggu disini.?“

“ Aku nggak dapat tidur mas.”
“ Iya, tetapi Rina nggak tahu daerah ini banyak anak brandal. Aku datang lebih awal justru mau menunggumu.!”
“ Kami menyisir sisi jalan tanah, setelah menunggu beca tak kunjung muncul. Tidak lama kemudian aku mengangkat tanganku tinggi-tinggi dan berteriak memanggil beca melintas di seberang jalan.

Didalam beca Rina memegang tubuhku erat sambil ketawa geli. “ Ada yang lucu Rin?”
“ Nggak mas, aku takut sepeda eh..becanya terbang.!”
“ Belum pernah naik beca bermesin dik,” sapa abang beca.
“ Baru pertama kali bang.” jawabnya cengengesan.

Tiba di tempat kost baru sadar kalau aku tidak membawa kunci rumah Magda. Timbul masalah baru; kemana aku harus pergi sementara waktu masih menunjukkan pukul 04.00 pagi?. Tinggal di kamar bersama dengan Rina? Aku yakin akan menambah persoalan. Apalagi nanti komentar Magda dan keluarganya?. Aku putuskan pergi mencari kedai kopi langgananku tempo dulu si “ tengku”, asal Aceh itu. Namun Rina menghalangiku pergi, alasannya dia takut ditinggal sendirian, karena belum begitu tahu situasi rumah.

“ Jangan pulang dulu mas. Aku takut, tungguin aku tidur!” ibanya.
“ Lho, tadi kamu berani sendirian menungguku di jalanan. Kok di dikamar ketakutan?”
“ Itu kan karena kepepet mas.?”

“ Rina, sekarang kita berduaan, kenapa kamu nggak panggil papa?”
“ Halah mas lanteung! Tadi malam kan aku bilang biar mereka senang. Ehhh...tadi ketemu dengan mbak Magda?”
“ Nggak. Seperti aku bilang dia itu cemburuan. Dia mendapat berita yang salah, jadinya semua berantakan, dia memakiku habis-habisan. Tetapi adik dan maminya sangat baik. Mereka janji akan menjelaskan kepada Magda masalah yang sebenarnya.”
***
“ Mas lanteung, katamu hobbi main biliar.!”
“ Rina, jangan panggil aku lanteung. Panggil saja namaku. Lanteung itu bermakna jelek.”
“ Lho, salah sendiri. Mas sendiri yang bilang artinya “sayang”
“ Iya, kamu tanya ketika aku sedang marah.”

“ Oh, jadi ketika marah artinya sayang, tetapi jika hati dingin berarti jelek. Aku baru tahu dalam bahasa batak, kalimat punya pengertian yang berbeda dalam situasi berlainan,” ujarnya geli.

“ Rina, kenapa dengan biliar,?”
“ Iya mas lanteung, ehh Tan Zung, aku juga suka main biliar setelah diajarkan sama mas Paian. Aku pikir mas memang pintar, ternyata mas jauh kelas dibawahku.”
“ Sok tahu.! Bagaimana kamu tahu aku dibawah kelasmu, main saja belum pernah.”

“ Sudah mas!. Tadi sore dirumah om Wiro. Mas membiarkanku sendiri menghadapi bola liar pukulan om Wiro dan adiknya si tekhab itu. Sebenarnya aku mau lemparkan bola itu ke wajah mereka, tetapi menyadari bila itu aku lakukan, suasana semakin runyam. Mas juga jadi korban.

Aku layani permainan mereka. Aku pukul bola putih menghajar semua bola sekitarnya, meski liar tetapi masuk bukan ? Tahu mas berapa jumlah angka yang aku raih. Nggak tahu bukan!? Mas hanya bengong dan marah, padahal pukulan berikut masih gigliranku. Sekarang, mas telah menikmati hasil permainanku bukan? Mas telah bebas dari unsur pemaksaan manusia tengil itu.

Kata mas, orang batak, banyak taktik, nyatanya, setidaknya batak sebiji ini, nul.! ujarnya lantas dia melemparkan tas tangannya kearahku.
Los Angeles. May 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/