Sunday, June 7, 2009

Telaga Senja (49)



http://www.youtube.com/watch?v=JHLMGBwAbhA

Smile an everlasting smile,/A smile could bring you near to me/Don’t ever let me find you gone/‘Cause that would bring a tear to me

This world has lost it’s glory,/Let’s start a brand new story now, my love/Right now there’ll be no other time/ And I can show you how, my love

Talk in everlasting words/And dedicate them all to me/And I will give you all my life/ I’m here if you should call to me

You think that I don’t even mean/A single word I say/It’s only words, and words are all I have/ To take your heart away
==================
“ Rin, sudah ah, penyakit Magda menular ke kamu, ngajak ribut terus. Panggilkan Magda, aku sudah siap diajak ribut ronde kedua,” ujarku disambut tawa Rina.
“ Mas lanteung...ehh... maaf , aku kangen panggil nama kesayanganmu itu, tunggu sebentar mas aku bangunin dia.”
===================

MESKI malam itu Magdalena tidak bersedia berbicara denganku, hati sedikit lega, ternyata penyakitnya tidak seserius yang diduga Lam Hot. Menurut Rina, malam itu dia terserang flu dan suara serak, pesannya melalui Rian agar mengubungi besok atau lusa.”

“ Sampaikan kepada Magda, jangan lupa tinggalkan pesan tertulis atau wasiat, siapa tahu “angin puting beliung” datang tiba-tiba ujarku bercanda. Rina menyambut guyonanku dengan rasa kesal; “ Mas, nggak lucu. Orang sakit kok di doain yang nggak-nggak,” jawabnya mengakhiri percakapan kami.

Badan terasa letih, aku menumpang tidur dirumah Lam Hot. Pagi sebelum kekantor aku menelepon Laura untuk menjemputku dari rumah Lam Hot. Tiur teman kosnya memberitahu bahwa Laura sedang sakit sejak tadi malam. “ Tadi aku mau telpon, dia pesan supaya abang datang menjemput kunci brankas. Hari ini dia nggak bisa masuk kantor,” ujarnya.

Pagi itu Laura masih terbaring dikamarnya ketika aku berkunjung kerumahnya sekaligus menjemput kunci brankas. Laura memaksakan diri bangkit dari tempat tidur setelah mendengar kedatanganku. Wajahnya masih tampak pucat, bibirnya kering, suaranya agak bergetar menahan rasa sakit. Aku mencoba menggairahkan semangatnya yang tampak “ layu”; “ Kamu sakit apa lagi ? Wong aku nggak kemana-mana kok.!”
Laura menyambut ucapanku dengan tawa; “ Ya, aku tahu mas. Sejak tadi malam tiba-tiba aku merasa pusing, perut mual.”

“ Lho, jangan-jangan kamu seperti Rina.!?” ujarku keceplosan. Laura diam sejenak dengan tatapan dingin, kemudian berujar; “ Mas, lelaki juga bisa merasa mual, apakah dia hamil?”
“ Bukan! Maksudku perubahan cuaca sedikit saja langsung jatuh sakit,” balasku.
“ Nggak tahulah mas, memang badanku kurang kuat setiap perubahan cuaca.”
“ Apa perlu aku temani ke dokter?” tanyaku menawarkan diri sekaligus mengobati kekesalannya.

“ Sebentar tante mau menjemputku untuk pergi ke dokter. Mas boleh mampir nanti sore setelah dari kantor,?” tanyanya. “ Atau telpon dulu sebelum datang kesini, mungkin tante bawa aku ke rumahnya,” lanjutnya. Hati sedikit lega, ketika Laura hanya tertegun sejenak mendengar pertanyaan yang dianggapnya aneh dan nakal itu. Dia tidak lagi menggubris pertanyaan nakalku sebelumnya. Beda dengan Magda, dulu, ketika hal itu pernah ditanyakan padanya karena jatuh sakit dan mual, langsung marah dan berteriak kesal disertai tamparan telak mendarat dipipiku. Akupun butuh berhari-hari memadamkan amarahnya diiringi permohonan maaf berulang kali, akh ...nyata benar bedanya, gumamku.
***
Siang menjelang istrahat, aku permisi kepada atasanku Neneng, sahabat Laura, untuk menggunakan telpon ke Medan dengan alasan mau telpon pacarku yang sedang jatuh sakit. "Magdalena sedang pergi kedokter dengan tante. Mbak Magdalena nungguin telpon mas tadi pagi. Dia pesan, telepon nanti sore atau malam," sahut Rina diujung telpon.

Sementara telpon ke Medan, Neneng rupanya sengaja menungguiku dikamarnya. Dia mengajkaku makan siang, tempatnya agak jauh dari kantor. Sebelum meninggalkan kantor dia telah minta ijin kepada dirut bahwa kami kembali agak terlambat. Kejadian langka ini, pikiranku menyimpulkan, Neneng akan berbicara berkaitan dengan Laura. Perkiraanku tidak meleset, sembari menikmati makanan, Neneng menanyakan keseriusanku berteman dengan Laura,” Masih terus dengan Laura?” tanyanya.

“ Terus? Terus ngapain!?” tanyaku belagak bloon.
“ Hati-hati lho mas. Jangan menggantung perasaan orang,” ingatnya tanpa mengindahkan pertanyaanku balik.
“ Menggantung ? Kami tidak pernah bicara soal hati. Laura juga tahu kalau aku masih punya pacar di Medan. Memang selama ini orang yang melihat kebersamaan kami seperti sedang kasmaran, termasuk juga adikku. Tetapi sesungguhnya, aku dan dia hanya sebatas teman, kebetulan sekantor.”

“Mas, aku ini perempuan punya perasaan yang sama. Aku juga sudah lebih dulu mengalaminya sebelum menikah beberapa tahun silam. “
“ Pengalaman mbak tidak selalu sama dengan pengalaman orang lain tokh? Juga masing-masing punya lintasan serta nuansa yang berbeda.”
“ Zung, meski mulut tidak atau belum berkata apa, namun sikap kesehariannnya manakala berteman dengan mas, telah “menujukkan hati” sesungguhnya. Atau mas saja yang acuh-acuh butuh.”

“ Acuh-acuh butuh? Aku tak mengenal ungkapan itu dan tak akan ingin memilikinya. Jika aku mau, mau saja, kalau nggak.. iya nggak saja. Tak seorangpun dapat mengekang kebebasanku. Bersahabat keseharian dengan seseorang dengan segala irama tubuh mengiringinya tidak sertamerta diterjemahkan dengan jatuh hati. Aku akui, senang berteman dengan Laura; Dia jujur, rendah hati dan bersahaja, tetapi senang tidak harus selalu jatuh cinta, bukan?”

“ Maaf, kalau aku terlalu jauh mencampuri pribadi mas, sekarang bagiku cukup jelas. Selama ini teman-teman dikantor berprasangka kalau mas dan Laura bukan lagi berhubungan sebatas teman biasa. Bahkan dirut kitapun mengngangap hubungan kalian sudah ketingkat berpacaran.”

“ Neneng, aku jujur; “ Aku senang dengan kepribadiannya. Tetapi aku tidak tega menghianati hubunganku dengan Magdalena meski hingga sekarang belum tahu pasti bagaimana kelanjutannya. “
“ Lho, aku semakin tak mengerti mas, sungguh! Bagaimana mas mengharap yang tidak pasti, mana tempatnya jauh lagi, sementara yang pasti ada didepan mata diabaikan, aneh!”
“ Neng, dalam dunia percintaaan itu, aneh, lucu dan hal-hal yang impossible pun kadang kala seiring sejalan.”
Hah...!. Zung, kalau tadinya aku belum punya suami mungkin akupun jatuh hati,” ucapnya renyah.
“ Memang kenapa?”
“ Tak perlu aku beritahu kenapa agar mas tidak semakin besar kepala,” katanya ketawa.
“ Mungkin Laura setipe dengan mbak Neneng, hanya dengan irama tubuhpun langsung jatuh hati.”
“ Mas, sudah waktunya kita pulang,” ujarnya seraya beranjak dari kursinya. ( Bersambung)

Los Angeles. June 2009
Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/