Tuesday, June 2, 2009

Telaga Senja (46)

http://www.youtube.com/watch?v=9JbHWRWSNi0

Wise men say /Only fools rush in /But I can't help /Falling in love with you /Shall I stay?
Would it be a sin? /For I can't help /Falling in love with you


Like a river flows /Surely to the sea, yeah /Darling so it goes /Somethings are meant to be, yeah

Take my hand /Take my whole life too /For I, I can't help /Falling in love with you /No I, I can't help /Falling in love with you /No I, I can't help /Falling in love with you

================
“ Kadangkala dalam alam perbedaan itu kita semakin dewasa, sepanjang kita rela dan sabar mendengar dan tidak ngotot mau benar sendiri. Juga, butuh waktu mendengar kata hati berdasarkan pertimbangan matang dengan pikiran yang tenang. ......and there are voices that want to be heard.”
“ Ah, Laura seperti memberi kuliah subuh saja,” ujarku sambil permisi pulang.
=================

MINGGU pagi sebelum pindahan Laura telah datang mendahului adikku sekaligus menjemput motor yang ditinggalkan ketika kami berkunjung kerumah tantenya. Lagi, Laura menyeduh kopi untukku tanpa kuminta. Pagi itu Laura mengambil alih tugas ibu kos menyiapkan serapanku. “ Bu, biar aku yang buatkan serapan mas Tan Zung,” mohonnya.

Ibu kos hanya senyam-senyum sambil melirik kearahku menyaksikan kesibukan Laura. Adikku Lam Hot menggelengkan kepalanya ketika melihat Laura duduk mendampingiku serapan pagi. Dengan terpaksa, wajahnya dicemerlangi ketika Laura meenyapanya, lantas menuju kamarku. Lam Hot sedikit kesal setelah keluar dari kamarku, bertanya,” Bang, majalah, koran dan buku -buku masih diatas meja, pakaiannya masih berantakan. Apa aku harus panggil kak Magda ngeberesin?”

“ Ada yang dekat, kok panggil yang jauh,” balasku, disambut senyuman Laura, dingin.
“ Mau dibantu ngeberesin dik,?” tanyanya.
“ Nggak usah mbak, biar aku sendiri,” balas addikku buru-buru, dia kembali masuk kamarku. Tak lama kemudian, adikku teriak-teriak dari kamar menanyakan dimana koper, taruh dimana buku-buku dan sepatu. “Ngurus pakaian saja nggak bisa, bagaimana mau mengurus anak orang.!?” Laura tak dapat menahan ketawa mendengar ocehan adikku dari kamar; Kemudian dia menemui adikku kekamar, “ Biar aku bantuin adik Lam Hot,” ujarnya meninggalkanku.

Hanya beberapa saat, Laura kembali dari kamarku sambil tertawa; “ Mas, pakaiannya sudah dimasukkan dalam bungkusan plastik, gabung dengan buku-buku.” ujarnya.
“ Sepatu dan pakaian kotor ditaruh dimana.?”
“ Dalam koper,” jawab Laura masih ketawa.
“ Lam Hot, kok sepatu dan pakaian kotor dimasukin dalam koper.?” tanyaku kesal
“ Halah koper jelek begitu memang cocok tempat sepatu dan pakain kotor.”

Laura semakin tak mampu menahan rasa geli, dia lari keruang makan, terduduk, mendengar “pertengkaran”ku dengan adikku Lam Hot, apalagi setelah melihat tingkah Lam Hot mengangkat bungkusan plastik seperti tukang pikul di pelabuhan Tj. Periok.

Aku dan Lam Hot berangkat dengan naik taksi, Laura pergi mengikuti ibadah minggu dekat lapangan Banteng. Didalam taksi Lam Hot melanjutkan ocehannya; rasa dongkolnya bertumpuk mulai dari pakaian dan buku yang masih berantakan juga kehadiran Laura dirumah pagi itu.

“ Abang serius nggak sih mau menjauhi Laura.?”tanyanya
“ Aku tak megundangnya, dia datang sendiri. Dia hanya mampir sebelum ke gereja.”
“ Tapi abang harus tegas.!”
“ Masya aku harus mengusirnya. Belajarlah sedikit sopan santun.”
“ Memang maunya abang, lama-lama abang kayak pemain sirkus.”
“ Jadi mau kuapakan dia,?”
“ Iya jangan diapa-apaianlah, biar dia merasa.”

“ Hot, dia itu perempuan. Nggak boleh main kayu seperti itu. Kita juga punya adik perempuan. Kok kamu sudah lebih lama dariku bergaul di Jakarta, kelakuanmu masih seperti preman terminal Sambu.”
“ Terserah abanglah, tetapi jangan ngedumel lagi mengenai Laura. Bilang saja abang suka.”
“ Suka kan belum tentu jatuh cinta.”
“ Ah... pintar-pintar abangnya itu. Nanti juga cari alasan pembenaran kenapa jatuh cinta. Nggak ada bedanya seperti kebanyakan artis, gonta ganti pacar bahkan kawin cerai. “

“ Aku telah beritahukan dia, kalau aku masiih punya teman di Medan, namanyapun kuberitahu.”
“ Iya! Tetapi jangan beri “angin”, kasihan Laura nanti. Apalagi abang sekantor dengannya.”
“ Jadi bagaimana aku bikin.?”
Halah...abang bertanya pula. Manalah mungkin banyak anak gadis “tersungkur” kalau abang nggak pintar jual koyok. Ibu dosenmu saja tumbang,” ujarnya serius.
“ Kepala kaulah, nggak taunya aku jual koyok. Itu mungkin sudah suratan tangan selalu dikerubutin banyak perempuan. Mungkin waktu aku lahir dikerumuni semut,” ujarku.
“ Ya kali, semut bercula, “ sambutnya .

“ Hot, meski punya banyak teman perempuan, aku masih menjaga kepatutan berteman. Tak satupun diantaranya termasuk ibu dosen, kuperlakukan diluar batas, karena aku masih punya harga diri. Dan, selama lima tahun berpacaran dengan Magdalena, tak sekalipun kami melakukan perbuatan naif. Itupula sebabnya, Magdalena tak pernah ragu atas diriku, kecuali setelah aku pernah menyakiti hatinya.”

“ Bang, aku yakin itu, setelah kejadian atas Rina. Sebelumnya, semua keluarganya termasuk aku menduga, abanglah yang bertanggungjawab. Selain membaca catatan harian kak Rina, penampilan abang seperti “playboy”.
“ Jadi kenapa lagi kamu meragukanku.?”
“ Kalau yang satu itu aku tak ragu. Tetapi abang selalu bermain api.” (Bersambung)

Los Angeles. June 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/