Tuesday, December 15, 2009

Telaga Senja (188)



http://www.youtube.com/watch?v=4IPcqZcKRgQ


=========================
“ Maaf mam. Papa salah mengerti. Ayo kita masuk sebelum mami keluar,” bujukku seraya mengangkat kedua lengannya. Magda berdiri. Dia merangkulku, menempelkan wajahnya disisi wajahku, sesugukan. Dari kerongkongan tersendat dia berucap lirih:” ...mama masih sayang papa. Kenapa mama dibentak?”
=========================


AKU membiarkan wajahnya terbenam diatas dadaku beberapa saat, sementara air matanya masih mengucur, hangat. “ Mama masih kesal.?”
“ Kenapa papa selalu marahin mama,? tanyanya seraya mencubit lambungku.
" Karena papa nggak mau siapapun akan membendung niatku, termasuk mama."
" Pernahkah papa melihat mama undur dari impian papa? Sejak papa mengutarakannya, mama selalu berkata"siap". Mama tak tahu kata apalagi yang mama ucapkan untuk meyakini dirimu pap. Tidakkah papa merasakan, mama telah memberikan semua yang terbaik buat papa. Bukankah hati dan jiwaku telah papa curi dan kini papa telah miliki seutuhnya? Tak seorangpun mampu merebut itu kembali dari pangkuan hatimu pap, mama juga tidak!

Apalagi yang tersisa yang akan mama persembahakan untuk papa seorang? Bahkan air mataku pun hampir kering, menangis, karena papa selalu meragukan kesedianku. Kendati papa masih meragukan kebersediaan mama, kali terakhir mama nyatakan, wujudkanlah rangkaian mimpi papa, yang telah lama mama impikan," ujarnya. Suara lembut, masih dengan tetesan airmata diujung tuturannya.

" Magda, layar telah lama berkembang mengarungi samudera luas. Sebentar akan tiba di ujung dermaga pengharapan. Impianku, kelak, disana aku dan mama membangun singgasana, diatas batu pualam, bening dan bersinar. Kemilau sinar itu akan menutupi segala luka duka yang tertoreh, selama dalam perjalanan asmara kita," balasku mengobati hatinya yang tergores luka. Aku masih menawarkan penawar lukanya: “ Magda, papa membatalkan rencana merayakan natal di kampung. Tetapi besok lusa, ijinkanlah papa mengantar ibuku pulang. Esok harinya papa akan kembali.”
“ Papa mau natalan dengan mama? Di sini, dirumah ini kan pap,?” tanyanya, seraya mengusap sisa-sisa air matanya.

“ Ya, merayakan natal bersama calon isteriku yang baru saja di"rajam” amarah.”
“ Papa nggak terlalu lelah bila kembali esok harinya?”
“ Untuk dan atas nama kasih sayang, tak ada kata lelah,” jawabku, disambut dengan kedua tangannya melingkar di leherku, berujar: “ Untuk dan atas nama cinta ....” ujar Magda menghadiahiku ciuman.

“ Besok, sebelum ibu diantar ke rumah tante, kita bawa ibu ke kamarku. Papa mau utarakan rencana kita . Mama berani nggak bicara kepada ibuku?”
“ Ya, mama mau,” ujarnya semangat. “ Tetapi, kalau papa setuju kita bicarakan malam, setelah kita pulang dari rumah Maya. Biar mamatua istrahat dulu. Ngomongnya lebih enak,” usulnya.

“ Ya, papa setuju, kita bicarakan malam. Mam, tidurlah. Besok kamu ngantor dan seharian jadi “sopir”. Papa, masih mau berangan-angan,” gurauku.
“ Papa juga tidur. Mama nggak mau tidur, kalau papa masih diluar.”
“ Takut papa pergi dengan Maya iya mam,”tanyaku iseng.
“ Ya iyalah. Ayo masuk pap, nanti papa sakit,” ajaknya seraya menarik tanganku.Malam itu, berakhir dengan sentuhan sukma, setelah seharian saling “pecut.”

***
Pagi sekitar pukul 5;00 aku dikagetkan dengan usapan tangan di wajahku. Dalam cahaya temaran mataku melihat sosok perempuan. " Ah...Magda, kamu mengagetkan papa.Mama, ngapain pagi-pagi begini datang ke kamar. Ntar mami lihat, dikirain kita sudah tidur sama,” tegurku pelan.
“ Mami yang suruh. Tadi, mami mendengar papa mengingau. Sepertinya papa demam,” ujarnya setelah menempelkan punggung telapak tangannya ke dahiku. Mungkin karena kehujanan tadi malam.”
“ Ya, kehujanan gara-gara papa ditinggal sendiri,” ucapku lirih.

“ Mama heran. Akhir-akhir ini papa semakin menjeng, seperti anak cencen yang baru pacaran. Disuruh tunggu sebentar, papa nggak sabaran. Memang mama mau lari kemana sih?” tawanya.
" Papa tidak kuatir mama akan lari. Yang papa takutkan, kalau Maya nekat membawaku kabur. Kasihan kan mama sendiri menyepi."
" Nggak juga. Masih banyak yang antri kok pap," balasnya." Pagi subuh papa sudah cari perkara. Semalam mengingau karena Maya, iya...?"
“ Bukan. Papa mengingau karena Magda selalu cerewet. Heh...mam kembali lah kekamarmu, masih lumayan ada beberapa jam lagi untuk tidur.”
“ Tidur? Bagaimana mama bisa tidur sementara papa demam?”

“ Nggak usah kuatir, entar juga demamnya sembuh sendiri. Pergilah tidur, nanti Magda ngantuk dikantor lho.”
“ Hari ini mama nggak ngantor lah iya pap? Ntar mama telepon minta ijin bawa papa ke rumah sakit atau ke rumah om dokter. Mama istrahat disini saja,” ujarnya seraya duduk di ubin pada sisi tempat tidur, lantas menaruh kepalanya dekat wajahku.
“ Kenapa nggak tidur diatas tempat tidur?” godaku
“ Papa serius? Nggak takut dilihat calon mertua?” tanyanya. Belum aku jawab, Magda langsung naik ke tempat tidurku. “ Geser dikit pap,” ujarnya, dia mendorong tubuhku, lalu merebahkan tubuhnya disampingku.

“ Magda! Kamu gila. Ntar ketahuan mami.”
“ Yang suruh papa sendiri. Papa berani ngomong harus berani bertanggungjawab.”
“ Tapi papa kan bergurau.!”
“ Papa pengecut. Sama mertua pun ketakutan,” tawanya, ketika aku hendak turun dari tempat tidur.
“ Mama tidur disini, papa saja yang tidur di kursi,” ujarku mengalah. Magda menahan tubuhku, dia tak mampu menahan rasa geli, ketika aku beringsut dari tempat tidur.

“ Jangan pap. Papa tidur disini! Mama hanya menguji keberanian papa. Memang mama gila tidur bareng dengan papa, dirumah mami lagi. Bisa-bisa mami jatuh pingsan mengetahui putri satu-satunya itu berani tidur bareng di depan matanya.?”
“ Kok mami nggak takut meyuruh mama ke kamarku.?”
“ Mami tahu putrinya mampu menguasai diri,” jawabnya, sembari Magda turun dari atas tempat tidur. Dia kembali duduk diatas ubin. (Bersambung)

Los Angeles. December 2009


Tan Zung

"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/