Sunday, June 14, 2009

Telaga Senja (54)

Chiquitita, tell me what�s wrong/You�re enchained by your own sorrow/In your eyes there is no hope for tomorrow/How I hate to see you like this/There is no way you can deny it/I can see that you�re oh so sad, so quiet

Chiquitita, tell me the truth/I�m a shoulder you can cry on/Your best friend, I�m the one you must rely on/You were always sure of yourself/Now I see you�ve broken a feather/I hope we can patch it up together

Chiquitita, you and I know/How the heartaches come and they go and the scars they�re leaving/You�ll be dancing once again and the pain will end/You will have no time for grieving/Chiquitita, you and I cry/ But the sun is still in the sky and shining above you/Let me hear you sing once more like you did before/ Sing a new song, chiquitita/Try once more like you did before Sing a new song, chiquitita .........................

===============
Lam Hot agak kaget ketika Laura menanyakan kepastian bahwa yang sakit adalah Magdalena bukan Rina.
” Iya mbak, Magda sakit sejak kemarin dulu. Tetapi menurut Rina, dia sudah agak baikan kok, “ jawab Lam Hot
===============
“ Jadi berangkat besok ke Yogya? Nanti nginap dimana?” tanya Laura.
“ Mungkin di hotel, tapi belum pasti mbak, mungkin dirumah kakeknya Rima.”
Laura permisi meninggalkan aku dan Lam Hot. Kesempatan ini aku gunakan membisikan kepada Lam Hot agar segera pulang sebelum oomnya pulang. “ Nggak usah banyak kombur lagi kau sama dia ,” ujarku
Lam Hot tertawa ngenyek; “ Abang masih takut sama oomnya?”

“ Aku nggak takut, nanti kalau oom Felix masih sempat ketemu dengan kita, manalah mungkin langsung pulang. Ayo sikat habis itu minumanmu.”
Laura kembali dari kamarnya sembari memberi kartu nama kepada Lam Hot. “ Nanti kalau sudah tiba di Yogya pergi ke alamat ini dan tunjukkan kartu ini kepada Mathias, dia manager hotel itu,” ujarnya. Laura menarik kartu itu dari tanganku ketika aku berusaha mengantonginya. “ Biar Lam Hot yang bawa, kita kan sama berangkat besok lusa!?” katanya sambil memegang tanganku lembut.

“ Mas, kita kan berangkat sama, nggak perlu aku buatkan surat. Tetapi aku sudah singgung kok, kita berangkat lusa. Setibanya kita di Yogya, aku nanti yang antar mas .”
“ Bang, jangan biasakan merampas yang bukan miliknya.!” kata adikku belagu pula, disambut ketawa Laura sementara tangannya masih menempel di pergelanganku.

Aku bingung, nggak mengerti makna pembicaraannya. Bikin surat refrensi untuk siapa? Laura mengantarku langsung? Kemana.? Malam itu, Laura menyisip misteri dalam benak, siapa sih sebenarnya perempuan ini.?
Didalam mobil , aku penasaran melihat kartu nama yang baru saja diberikan Laura kepada Lam Hot. Kenapa pula Laura harus mengambil dari tanganku.?
“ Hot coba aku lihat dulu kartu tadi.” pintaku.
Lam Hot bertingkah , dia merasa enggan memberikannya. “ Bang, kartu itu khusus untukku pribadi.”

“ Nggak mungkin kartu itu diberikannya kepada kau, kalau bukan karena aku, mengkek pula kau. Aku cuma mau tengok sebentar saja,” bentakku. Dia cengar cengir sambil merogoh kantong lantas memberikannya..
“ Jangan dikantongin bang.!”ingatnya.
Aku merasa surprise melihat kartu nama dengan logo satu hotel, dibelakang kartu itu Laura menuliskan pesan singkat; “ Mas Matias tolong sediakan satu kamar dilantai dasar kepada adik Lam Hot. Besok lusa aku menuyusul dengan kakaknya mas Tan Zung. Thank you mas. Laura hanya memberi paraf diujung tulisannya.

“ Hot, bernasiblah kau, aku berteman dengan Laura,” ujarku sembari mengembalikan kartu nama itu.
“ Kenapa? Apa hubungannya nasibku dengan kartu itu. Berjibun kartu nama bertebaran dikamarku; kartu artis hingga pejabat, tak pernahpun aku hebat-hebatin, bangga kalipun abang dengan si Laura itu.”
“ Hot, baca dulu pesannya dalam kartu itu baru ngebacot.”
“ Macam mana pula aku mau baca sambil nyetir, parah kali.!” sambutnya dengan kesal.
Adikku Lam Hot tak sabaran ingin melihat kartu nama setelah tiba dirumahku. “ Bah! Baik sekali kak Laura ini. Jadi kakak itu yang bayar kamar kita.?”

“ Kalau Lam Hot nggak punya harga diri.!”
“ Lho, kan bukan aku yang minta, dia sendiri yang menawarkan. Malah dia akan sakit hati kalau aku menolaknya. Abang nggak usah sok gengsilah.”
“ Aku tidak akan mau dibayarin perempuan, apalagi yang baru dikenal.” ucapku sengaja mengipas.
“ Iya sudah, kalau abang nggak mau, biar aku sendiri tidur dikamar itu. Bang jangan lupa telpon kak Magda.” ujarnya mengingatkan sebelum dia pulang..
***
Resah rindu tak tertahankan, ditengah ruang tamu yang hampir tanpa cahaya itu , aku segera mnelepon Magda. Suara seorang lelaki mengangkat telepon, menjawab; “ Halloo...selamat malam, kantor pemadam kebakaran, ada yang bisa kami bantu, bapak lokasinya dimana..?”

“ Maaf pak, salah sambung!” jawabku. Bah! seumur-umur baru kali itu aku salah putar nomor telepon, pemadam kerbakaran pula. Ini pertanda apa.? Aku mengulang memutar telepon dengan hati-hati, namun tak seorangpun yang mengangkat. Kali ketiga, aku berhasil terdengar suara Rina terengah mengangkat telpon, dia langsung berkicau ; “ Huh...aku sudah duga pasti elu yang gangguin orang sedang tidur. Elu janji mau telpon mbak Magda tadi sore, kenapa nggak jadi? Keasiykan dengan Laura iya?”
” Ah...kamu benar-benar sudah ketularan kebiasaan Magda, selalu ngajak ribut, mbok tanya dulu kek kenapa aku terlambat telpon. Magda masih bangun nggak, aku mau bicara, aku nggak butuh kamu,” ujarku tertawa.

Gue juga nggak butuh lelaki kayak elu, kebetulan saja gue yang masih bangun.”
“ Minta tolong Rin, ada yang perlu aku dibicarakan.”
“ Giliran elu butuh, minta tolong, dasar mas lanteung. Magda sudah tidur sejak tadi, gue ogah ngebangunin. Entar telepon lagi, kemarin sudah dibuat saluran paralel langsung ke kamarnya kok.”
Sebelum Rina menutup telpon, aku terhenyak mendengar suara kejauhan ; Rin, bilangin Magda nggak bisa diganggu, suruh telpon besok malam.” (Bersambung)

Los Angeles. June 2009
Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/