Thursday, January 14, 2010

Telaga Senja (207)



Celine Dion I Surrender:
There's so much life I've left to live/And this fire is burning still/When I watch you look at me/I think I could find the will/To stand for every dream/And forsake this solid ground/And give up this fear within/Of what would happen if they ever knew/I'm in love with you

'Cause I'd surrender everything/To feel the chance to live again/I reach to you /I know you can feel it too/We'd make it through/A thousand dreams I still believe /I'd make you give them all to me/I'd hold you in my arms and never let go/I surrender

I know I can't survive/Another night away from you/You're the reason I go on/And now I need to live the truth/Right now, there's no better time/From this fear I will break free/And I'll live again with love/And no they can't take that away from me/And they will see...

I'd surrender everything/To feel the chance to live again/I reach to you/I know you can feel it too/We'd make it through/A thousand dreams I still believe/I'd make you give them all to me/I'd hold you in my arms and never let go/I surrender

Every night's getting longer/And this fire is getting stronger, baby/I'll swallow my pride and I'll be alive/Can't you hear my call/I surrender all

I'd surrender everything/To feel the chance to live again/I reach to you/I know you can feel it too/We'll make it through/A thousand dreams I still believe/I'll make you give them all to me/I'll hold you in my arms/and never let go/I surrender

Right here, right now/I give my life to live again/I'll break free, take me/My everything, I surrender all to you /Right now/I give my life to live again/I'll break free, take me/My everything, I surrender all to you
=======================
Keluar dari kamar mandi, Magda membawa handuk kecil yang telah dibasahi. Di hadapan Susan mengusapkannya ke wajahku. “ Papa, pura-pura malu,” ujarnya disambut tawa cekikkan Susan. “ Tuan dan nyonya duduk disana, kakak duduk disini,” aturnya sebelum menikmati makan.
=======================

Disela-sela pembicaraan ringan, saat makan siang, Susan memberitahukan bahwa acara penutupan tahun, akan bersama dengannya dan Hendra. Aku telah pesan tiket untuk kita berempat,”ujarnya seraya menyebut hotel yang cukup mewah kala itu. Aku dan Magda saling pandang. Mulutku berat menolak, meski aku dan Magda sudah punya rencana, berdua menyepi dalam keheningan malam, bertelut mengaku dosa sekaligus pasrah padaNya perihal semua rencana kami ke depan.

“ Bang...nggak aci pakai alasan. Harus mau,” tegasnya, mungkin setelah dilihatnya mulutku mau mengucapkan sesuatu.
“ Iyalah kak. Tadinya, kami mau menyambut tahun baru di rumah ini, berdua,” jawab Magda.
“ Masih ada hari lain dik,” balasnya.
Setelah makan siang bersama dengan “pahlawan” kami, Susan, pamit mau menjemput Hendra ke airport.
“ Boleh Magda temanin aku bang,?”
“ Terserah Magda, kalau tega,” balasku. Aku tahu Susan hanya bergurau.
“ Ngomong yang jelas, Jangan bahasa bersayap,!” tawanya. “ Kakak cuma bercanda. Aku ngerti lah. Pembantu aku bawa, agar kalian bebas jungkir balik,” lanjutnya.
“ Iya lah kak. Kami mau jungkir balik di sungai. Disini lantainya terlalu keras,” balasku.
“ Eh...jangan ke sungai. Semalam hujan deras,” ingatnya.
***
Susan dan suaminya, Hendra, datang menjelang senja. Magda menyambut Hendra bagai seorang kakak kandung. Hendra memegang wajah Magda dengan kedua tanganya seraya menepuk,” Magda, tercapai juga cita-citamu. Berhentilah mencurigai si abang,” tawanya seraya melirikku disambut pelukan Magda. “ Ya, bang,” jawabanya lirih.
“ Kakakmu Susan telah bercerita banyak tentang kalian. Aku tahu keluaga Magda tidak akan tinggal diam. Sedikit banyak tahulah abang tentang adat batak. Cepat atau lambat, posisi kalian akan mereka ketahui, sebab Mawar, Rina dan Jonathan tahu, kak Susan membawa kalian kabur. Besok lusa, hingga situasi agak reda, kalian akan abang pindahkan ke rumah sahabat dekatku di kantor. Kebetulan keluarga ini sedang liburan keluar negeri selama dua minggu. Rumah itu hanya ditinggali dua orang pembantu. Kalian boleh memakai mobilnya kemana pun mau pergi. Tetapi hati-hati jangan sampai ketahuan dengan keluarga Magda.”
***
Malam tutup buka tahun berlangsung dengan meriah, namun aku tidak menikmati penuh.Demikian halnya dengan Magda. Tepat pukul 00:00, Magda tak kuasa menahan isaknya ditengah riuh rendahnya bunyi terompet dan tabuhan drum serta alat musik lainnya. Dia mendekapku erat diiringi tangis sesugukan memanggil maminya, “ Mami..maafkan Magda..” isaknya di atas dadaku.
“ Kita pulang mam?”
“ Jangan pap. Nanti nggak enak dengan kak Susan dan Hendra. Kita pulang bareng dengan mereka,” jawabnya masih sesugukan.
" Mama menyesal?"
“ Nggak pap. Mama sedikitpun tidak menyesal. Mama bahagia...pap...” ujarnya seraya mengecupku dengan bibir gemetar. “ Papa, jangan salah sangka. Malam ini mama sangat bahagia. Kali pertama mama bersama dengan papa menyambut tahun baru, dan kali pertama juah dari mami dan adik Jontahan. Aku kangen mereka pap...?” isaknya.
“ Nggak lama lagi kita akan ketemu dengan mereka, setelah orang tuaku akan menemui keluargamu.”
“ Kemarin malam papa bilang, itu mustahil. Karena adat tidak memungkinkannya.”
“ Aku akan coba. Bila hal itu gagal, kita pindah ke Jakarta. Mungkin pikiran mereka berobah setelah kita punya anak.”

“ Bagaimana dengan pekerjaanku pap.?”
“ Kita didkusikan dengan Susan. Mungkin dia bisa membantu lewat atasanmu, sahabat Susan, bagaimana caranya agar Magda dapat cuti diluar tanggungan negara.”
“ Mama belum setahun jadi pegawai. Nggak mungkin itu pap.”
“ Apa yang nggak mungkin di negari ini,”ujarku, lalu mengajak Magda kembali ketempat duduk.

Susan Hendra menikmati malam hingga larut dengan sejumlah minuman. Sebelumnya, Magda telah melarangku secara keras untuk minum alkohol meski hanya sedikit. “ Papa sudah janji, tidak akan menyentuh sedikitpun alkohol kalau sudah bersama mama. Pilih salah satu, alkohol atau mama?” ancamnya ketika tiba di bar hotel.
" Pilih keduanya mam."
" Pilihan hanya satu. Papa jangan serakah," ucapnya serius.
***
Pagi hari, kami pindahan ke rumah sahabat Hendra di kawasan perumahan badan usaha negara, ukurannya lumayan luas. Namun, baru tiga hari berdiam disana, agaknya keberadaan kami sudah tercium oleh keluarga Magda. Sejumlah kenderaan dan orang bergantian lalulalang di sekitar komplek. Pembantu yang sudah lima tahun tinggal di kawasan itu, tidak mengenal satupun diantara mereka. Seharian aku dan Magda tak berani keluar rumah. “ Jangan keluar, sebelum aku tiba,” pesan Hendra saat aku melaporkan situasi di ligkungan perumahan.

Menjelang malam, Hendra tiba diikuti dua mobil dinas, satu diantaranya berplat polisi. Hendra menjemputku dan Magda dari rumah, sementara mobil polisi siaga menunggu di seberang jalan. Mobil polisi berpenumpang tiga orang itu mengikuti kami dari belakang hingga tiba di suatu tempat yang tidak kami kenal sebelumnya. Perjalanan menuju rumah itu, menurut perkiraanku sekitar dua puluh menit ke arah timur pusat kota.

“ Zung, malam ini kalian nginap disini. Besok abang jemput,” ujar Hendra sebelum meninggalkan kami di satu ruangan, mirip barak. Di dalam ruangan itu berisi rangsel. Di dinding tergantung foto seseorang anak muda mirip wajah Hendra, sedang mengikuti latihan ala militer di atas seutas tali menyeberangi sungai. Untuk beberapa saat, Magda masih kelihatan nervous.
“ Papa.. lebih baik kita segera pindah ke Jakarta. Mama nggak merasa aman jika masih di Medan. Aku setuju rencana papa tadi. Besok kita minta tolong kak Susan mengurus ijin cutiku.” (Bersambung)

Los Angeles, January 2010


Tan Zung

"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (206)

===================
Magda berlari ke atas tempat tidur, meninggalkan Susan berdiri, setelah melihatku masuk ke kamar. Magda menutupkan wajahnya dengan bantal. “ Magda, ayo..ketawa dulu, sebelum kakak keluar,” ujar Susan seraya menyingkap bantal dari wajah Magda. Segera dia menelungkupkan wajahnya, bahagia beraduk malu. Susan meninggalkan kamar dengan senyum mengembang.
====================

MAGDA bangkit ketika aku menyiapkan serapan pagi yang baru saja dibawanya ke kamar. Dia menjewer kupingku, kuat sekali, “ Mama tadi sudah menyerah, kenapa papa membandel. Mentang-mentang di rumah pacarmu iya?”
“ Bukan pacar, mantan pacar, iya,” balasku disambut pelukan manja. “ Pap, nggak usah lagi bercanda seperti itu. Mama masih dihantui rasa takut.”
“ Sejak saat ini, mama nggak perlu merasa takut. Mama sudah menjadi milikku. Apapun akan aku lakukan jika masih ada orang mencampuri urusan rumahtangga kita,” balasku, sementara Magda mengambil alih menyiapkan serapan pagi untuk kami berdua. Tengah menikmati serapan, Magda mengingatkan rencanaku pulang kampung pada penutupan akhir tahun bersama dengan ayah, ibu dan adik-adikku. Namun, setelah tragedi penculikan Magda oleh om Robert, aku telah mengurungkan niat pulang. Bahkan Magda mau ikut bersamaku pulang kampung.

“ Pap, Nggak jadi pulang ke kampung? Kalau mau pulang, mama mau ikut.”
“Aku tidak memikirkan itu lagi setelah penculikanmu. Lebih baik kita disini berdua merayakannya. Kali pertama untuk kita berdua menyambutnya dalam kekhusukan.”
“ Kan, papa sudah janji ke papatua dan mama tua.”
“ Ini juga salah satu alasannya kenapa aku nggak bergairah untuk pulang bersamamu. Lucu, mama masih panggil papatua ke mertua. Habislah kita di ketawain orang sekampung mendengar panggilan itu,” tawaku.
“ Aku panggil apa dong, amangboru? Nggak lucu lah.!”
“ Panggil amang ke ayahku dan inang pada ibuku. Tapi, waktunya tinggal besok. Papa belum siap.”

“ Belum siap? Memang apa yang harus dipersiapkan?”
“ Belum siap menghadapi kerubutan ayah dan om, ayahnya Shinta. “
“ Papa masih takut?”
“ Tak ada manusia yang papa takutkan di dunia ini, kecuali mama.”
“ Kenapa mama di takutkan. Mama hanya seorang permpuan lemah, yang menjadi korban keperkasaan manusia sekitarku. Masihkah mama dianggap makhluk yang ditakutkan.Papaaa...takut pada mama? Kenapa..pap.?”
“ Aku takut, jika diluar sepengetahuan dan jangkuanku, manusia-manusia perkasa itu akan menculikmu lagi, kemudian menceraiberaikan cinta kasih kita yang telah menyatu.”

Sepertinya, kebahagian yang kami reguk sejak tadi malam hanya berusia sekilas, ketika Magda memperhadapkan pada realita tatanan budaya yang bersifat universal. Sungkem pada orangtua dengan segala konsekuensinya. Untuk hal itu, aku belum siap sepenuhnya, meski hatiku bergejolak.
“ Kalau papa nggak mau pulang kampung, bagaimana kalau kita menemui mami sekalian mengucapkan selamat tahun baru,” usulnya. Aku mendekap Magda, tak mampu menjawab, “ Pap, aku yakin mami tidak akan menolak kedatangan kita. “ Pap, kasihan mami sendiri. Aku juga kangen dengan Thian dan Rina,” imbuhnya.

Dengan jiwa tergoncang, aku membujuk Magda untuk melupakan rencananya, setidaknya untuk beberapa hari. “ Mam, kita lupakan dulu rencana itu. Tidak segampang yang mama pikirkan untuk menemui mami yang kini mertuaku. Sepengtahuanku, berkunjung kerumahmu harus dilandasi etika budaya, maksudku adat yang berlaku. Adat tidak mengijinkanku melangkah ke rumah mama tanpa didahului oleh keluargaku, karena aku telah membawamu tanpa seijin keluarga.”

“ Papa mengijinkan mama sendiri ke rumah mami.?”
“ Bila aku mengijinkan mama kesana sendirian, maka sempurnah lah kenistaanku dan keluarga di hadapan seluruh keluargamu. Jadilah aku manusia pengecut dan tak berbudaya di seluruh dunia. Mam, ada waktu yang tepat menemui mami dan seluruh keluarga. Bila mau ketemu Rina dan Thian, nanti papa minta tolong ke Susan agar menghubungi Rina melalui Mawar.”
“ Iyalah..terserah papa, bagaimana baiknya,” pasrahnya.

Aku dan Magda tertidur setelah lelah memikirkan rencana berikut. Susan mengetuk kamar menjelang siang. Seperti biasanya, Susan selalu nyelutuk berupa banyolan menggelitik. Pengalamannya sebagai dosen, memampukan dirinya menempatkan diri dalam pelbagai suasana. “ Selamat siang tuan dan nyonya. Mau makan atau mandi dulu,” tawanya setelah kami keluar dari kamar. Disambut tawa, Magda buru-buru ke kamar mandi sebelum “nyanyian” Susan berlanjut. “ Lho, abang kok nggak ikut? tegurnya ketika aku duduk di kursi meja makan. “Abang payah...” imbuhnya.
Keluar dari kamar mandi, Magda membawa handuk kecil yang telah dibasahi. Di hadapan Susan mengusapkannya ke wajahku. “ Papa, pura-pura malu,” ujarnya disambut tawa cekikkan Susan.
“ Tuan dan nyonya duduk disana, kakak duduk disini,” aturnya sebelum menikmati makan. ( Bersambung)

Los Angeles, January 2010


Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/