Thursday, January 14, 2010

Telaga Senja (206)

===================
Magda berlari ke atas tempat tidur, meninggalkan Susan berdiri, setelah melihatku masuk ke kamar. Magda menutupkan wajahnya dengan bantal. “ Magda, ayo..ketawa dulu, sebelum kakak keluar,” ujar Susan seraya menyingkap bantal dari wajah Magda. Segera dia menelungkupkan wajahnya, bahagia beraduk malu. Susan meninggalkan kamar dengan senyum mengembang.
====================

MAGDA bangkit ketika aku menyiapkan serapan pagi yang baru saja dibawanya ke kamar. Dia menjewer kupingku, kuat sekali, “ Mama tadi sudah menyerah, kenapa papa membandel. Mentang-mentang di rumah pacarmu iya?”
“ Bukan pacar, mantan pacar, iya,” balasku disambut pelukan manja. “ Pap, nggak usah lagi bercanda seperti itu. Mama masih dihantui rasa takut.”
“ Sejak saat ini, mama nggak perlu merasa takut. Mama sudah menjadi milikku. Apapun akan aku lakukan jika masih ada orang mencampuri urusan rumahtangga kita,” balasku, sementara Magda mengambil alih menyiapkan serapan pagi untuk kami berdua. Tengah menikmati serapan, Magda mengingatkan rencanaku pulang kampung pada penutupan akhir tahun bersama dengan ayah, ibu dan adik-adikku. Namun, setelah tragedi penculikan Magda oleh om Robert, aku telah mengurungkan niat pulang. Bahkan Magda mau ikut bersamaku pulang kampung.

“ Pap, Nggak jadi pulang ke kampung? Kalau mau pulang, mama mau ikut.”
“Aku tidak memikirkan itu lagi setelah penculikanmu. Lebih baik kita disini berdua merayakannya. Kali pertama untuk kita berdua menyambutnya dalam kekhusukan.”
“ Kan, papa sudah janji ke papatua dan mama tua.”
“ Ini juga salah satu alasannya kenapa aku nggak bergairah untuk pulang bersamamu. Lucu, mama masih panggil papatua ke mertua. Habislah kita di ketawain orang sekampung mendengar panggilan itu,” tawaku.
“ Aku panggil apa dong, amangboru? Nggak lucu lah.!”
“ Panggil amang ke ayahku dan inang pada ibuku. Tapi, waktunya tinggal besok. Papa belum siap.”

“ Belum siap? Memang apa yang harus dipersiapkan?”
“ Belum siap menghadapi kerubutan ayah dan om, ayahnya Shinta. “
“ Papa masih takut?”
“ Tak ada manusia yang papa takutkan di dunia ini, kecuali mama.”
“ Kenapa mama di takutkan. Mama hanya seorang permpuan lemah, yang menjadi korban keperkasaan manusia sekitarku. Masihkah mama dianggap makhluk yang ditakutkan.Papaaa...takut pada mama? Kenapa..pap.?”
“ Aku takut, jika diluar sepengetahuan dan jangkuanku, manusia-manusia perkasa itu akan menculikmu lagi, kemudian menceraiberaikan cinta kasih kita yang telah menyatu.”

Sepertinya, kebahagian yang kami reguk sejak tadi malam hanya berusia sekilas, ketika Magda memperhadapkan pada realita tatanan budaya yang bersifat universal. Sungkem pada orangtua dengan segala konsekuensinya. Untuk hal itu, aku belum siap sepenuhnya, meski hatiku bergejolak.
“ Kalau papa nggak mau pulang kampung, bagaimana kalau kita menemui mami sekalian mengucapkan selamat tahun baru,” usulnya. Aku mendekap Magda, tak mampu menjawab, “ Pap, aku yakin mami tidak akan menolak kedatangan kita. “ Pap, kasihan mami sendiri. Aku juga kangen dengan Thian dan Rina,” imbuhnya.

Dengan jiwa tergoncang, aku membujuk Magda untuk melupakan rencananya, setidaknya untuk beberapa hari. “ Mam, kita lupakan dulu rencana itu. Tidak segampang yang mama pikirkan untuk menemui mami yang kini mertuaku. Sepengtahuanku, berkunjung kerumahmu harus dilandasi etika budaya, maksudku adat yang berlaku. Adat tidak mengijinkanku melangkah ke rumah mama tanpa didahului oleh keluargaku, karena aku telah membawamu tanpa seijin keluarga.”

“ Papa mengijinkan mama sendiri ke rumah mami.?”
“ Bila aku mengijinkan mama kesana sendirian, maka sempurnah lah kenistaanku dan keluarga di hadapan seluruh keluargamu. Jadilah aku manusia pengecut dan tak berbudaya di seluruh dunia. Mam, ada waktu yang tepat menemui mami dan seluruh keluarga. Bila mau ketemu Rina dan Thian, nanti papa minta tolong ke Susan agar menghubungi Rina melalui Mawar.”
“ Iyalah..terserah papa, bagaimana baiknya,” pasrahnya.

Aku dan Magda tertidur setelah lelah memikirkan rencana berikut. Susan mengetuk kamar menjelang siang. Seperti biasanya, Susan selalu nyelutuk berupa banyolan menggelitik. Pengalamannya sebagai dosen, memampukan dirinya menempatkan diri dalam pelbagai suasana. “ Selamat siang tuan dan nyonya. Mau makan atau mandi dulu,” tawanya setelah kami keluar dari kamar. Disambut tawa, Magda buru-buru ke kamar mandi sebelum “nyanyian” Susan berlanjut. “ Lho, abang kok nggak ikut? tegurnya ketika aku duduk di kursi meja makan. “Abang payah...” imbuhnya.
Keluar dari kamar mandi, Magda membawa handuk kecil yang telah dibasahi. Di hadapan Susan mengusapkannya ke wajahku. “ Papa, pura-pura malu,” ujarnya disambut tawa cekikkan Susan.
“ Tuan dan nyonya duduk disana, kakak duduk disini,” aturnya sebelum menikmati makan. ( Bersambung)

Los Angeles, January 2010


Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment