Saturday, October 31, 2009

Telaga Senja (152)



http://www.youtube.com/watch?v=Q5HGeB4gs_8

When You Kiss Me
This could be it, I think I'm in love/It's love this time./It just seems to fit, I think I'm in love/This love is mine

I can see you with me when I'm older/All my lonely night are finally over/You took the weight of the world off my shoulders (the world just goes away)

[Chorus:]
Oh, when you kiss me/I know you miss me/and when you're with me/The world just goes away/The way you hold me/The way you show me that you/adore me oh, when you kiss me/Oh, yeah

You are the one, I think I'm in love/Life has begun/I can see the two of us together/ I know I'm gonna be with you forever/Love couldn't be any better

[Repeat Chorus]
[Instrumental Solo]
I can see you with me when I'm older/All my lonely nights are finally over/You took the weight of the world off my shoulders (the world just goes away)
[Repeat Chorus]
And when you kiss me/I know you miss me/Oh, the world just goes away/When you kiss me

=======================
Abang nggak mau tinggal di rumah mami?”
“ Emang aku lelaki murahan. Belum jadi sudah tinggal dirumah mertua?” balasku disambut pelukan Magda.
“ Tetapi kalau sudah nikah, mau kan tinggal di rumah mami?”
“ Lihat nantilah.”

=======================

MALAM indah dilabur kata-kata kasih terukir, terekam abadi dalam sukma. Sesekali Magda berurai airmata bahagia kala cinta tercurah menyongsong hari bahagia di ujung harap, pernikahan. “ Akhirnya kita bersatu jua iya bang,?” suaranya pelan.”
“ Kenapa Magda tidak berkata pasti?
“ Mestinya aku bilang apa bang!?”
“ Nyatakan dengan pasti, tanpa nada tanya.”
“ Ya. Akhirnya abang kembali setelah terkapar. Sudah puas!?” tawanya.

“ Jangan nakal lagi ‘yang”
“ Aku nggak pernah nakal. Abang iya. Kapan aku nakal? Aku masih bersabar meski abang telah menyiksaku. Aku harap hal itu tidak akan terulang lagi. Abang masih dengar aku?” tanyanya kala otakku sesaat mengenang isi dalam surat balasannya ketika aku” menceraikannya”.
“ Iya Magda. Aku sangat menyesal. Tetapi semuanya karena aku tak ingin cinta dinodai kepalsuan. Hhh...tetapi akhirnya aku telah menyadari kekeliruanku.”

“ Zung, kalau bahu dan pangkal lengan abang sudah pulih, kita menghadap boss ku. Abang kerja di kantor aku bekerja iya bang?"
“ Aku sudah janji ke ibu Susan mau jadi asistennya.”
Magda diam, menatapku. Kelopak matanya masih dilabur manik-manik sukacita. Aku mencoba menerka, apa yang tersirat dalam hatinya, kenapa dia diam ketika aku menyebut nama Susan.
“ Kamu nggak rela jika aku menjadi asistennya Susan? Kamu merasa kuatir atau cemburu?”
“ Kedua-duanya Zung. Lebih baik menghindar daripada nanti menjadi masalah. Aku cukup dekat dengan ibu itu. Aku tahu dia juga masih menyimpan benih cinta yang pernah abang taburkan.”
“ Tetapi itu cerita lama, dulu. Kami sudah saling memahami keberadaan dan kekeliruan yang kami lakukan, meski belum pernah melakukan pada tingkat perzinahan.”

“ Zung, apa sih bedanya aku dengan Susan soal cinta? Benih cinta yang abang tabur tidak pernah lapuk meski sangat menyakitkan? Kurang apa kejamnya abang, dulu, terhadapku? Tetapi akhirnya aku luluh juga. Ternyata disana masih ada sisa cinta yang tertabur dan bersemi seiring waktu berjalan. Zung, kalau boleh permintaaanku, calon isterimu, tidak usah ikut berenang pada telaga yang sudah tahu ada pusaran . Tokh abang telah mengakui sisi kelemahanmu. Aku yakin abang akan terseret oleh putaran air sekaligus menenggelamkan ikatan pernikahan kita, kelak.”
“ Nggak usah kuatir, aku akan berenang di pinggiran, nggak bakal keseret putaran air itu.”
Zungngng...aku serius! Abang nggak mau dengar omonganku?”
Duh..galaknya. Calon isteri saja sudah begini. Bagaimana kalau sudah nikah!?”
“ Abang baru tahu sekarang hahhh...!?” hentaknya berpura-pura galak.

“ Kenapa Magda berpikran sejauh itu?”
“ Aku tahu pasti bang! Susan masih menyimpan dan merawat cintamu dalam kesehariannya. Apalagi bang, kala dia ribut dengan suaminya. Malamnya, Susan menjemput kemudian mengajakku ke bar melampiaskan rindunya terhadap abang. Tak jarang dia menitikkan airmata mengenang hubungan kalian berdua. Suatu saat kala kami duduk di teras hingga larut malam, tempat kita merajut kasih selama lima tahun, berujar: “ Abang terlalu baik dan tangguh.”

“ Oh...iya sekarang aku baru sadar. Kamu curigai aku dan Susan mengulang affair itu, ketika dia datang ke Jakara dua minggu lalu.?”
“ Ya. Selain pengakuan abang, Laura juga telepon aku, bahwa abang menginap di hotel dengan Susan. Wajar kan bila aku marah?”
“ Ya. Kalau memang tuduhan itu benar. Tetapi bila tidak, kamu wajar minta maaf. Namun, sampai sekarang, belum ada permintaan maaf dari mulutmu. Kecuali marah-marah.”
“ Kok jadi dibalik-balik gitu bang!? Yang selalu marah siapa, aku atau abang!? tanyanya lantas tanganya menjewer kupingku.

“ Magda, Susan juga pernah menyampaikan langsung bahwa aku tangguh. Memang untuk yang satu itu, aku maha tangguh, meski puluhan kali hampir tergelincir oleh godaan nafsu kepuasaan sesaat. Tetapi untuk hal lainnya aku sangat rapuh, bahkan aku tidak sakit hati jika kamu menudingku “ pelacur”. Seperti aku katakan terdahulu, Magda terlalu memanjakan ku. Selepas darimu, aku mengembara, menjajakan cinta hingga kesudut-sudut bumi. Semua aku dapatkan kecuali ketulusan cinta. Maksudku, mereka “berguguran” dipangkuanku karena lidah dan keberadaanku yang sudah tertempa olehmu.

Jujur ‘yang, amat berbeda saat aku bersenandung tentang cinta dengan dirimu. Magda menerima sekaligus memberiku persinggahan kala aku belum mengenal lebih jauh liku-liku cinta. Benar, aku pernah jatuh cinta pada Bunga, maaf ‘yang karena aku menyebut namanya, namun aku baru mengenal cinta sisi luarnya karena, manakala bunga-bunga sedang mekar segera layu di tangan ibunya yang materialistis itu.”
***
"Zung. Aku nggak usah ikut besok malam menghadiri undangan om Felix dan Adrian itu. Aku nggak enak. Soalnya mereka sudah tahu bahwa abang pernah punya hubungan spesial dengan Laura!"
" Justru disinilah aku memerlukan kehadiranmu. Agar mereka tahu, bahwa aku adalah manusia pengembara yang sudah bertobat."
" Apa perlunya aku disana? Lam Hot juga nggak mau pergi kok!"
" Lam Hot adikku. Magda calon isteriku. Kamu malu mendampingi karena tubuhku masih "berantakan" seperti ini?" (Bersambung)

Los Angeles. October 2009


Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Thursday, October 29, 2009

Telaga Senja (151)

Three times a lady
Thanks for the times/That you’ve given me/The memories are all in my mind/And now that we’ve come/To the end of our rainbow/There’s something/I must say out loud/You’re once, twice/Three times a lady/And I love you

Yes you’re once twice/Three times a lady/And I love you/I love you

When we are together/The moments I cherish/With every beat of my heart /To touch you to hold you/To feel you to need you/There’s nothing to keep us apart

You’re once twice/Three times a lady/I love you/I love you
=========================
Sepeninggal ibu kost, aku seperti orang hukuman menunggu eksekusi ke tiang gantungan. Magda menyelimuti seluruh tubuhku karena menggigil, iya, juga karena takut menunggu peluru lanjutan dari Magda. Ah...dia terus menggantung. Aku semakin dihantui rasa gusar dan ketakutan, tak sabar menunggu “peluru” berikutnya
==========================

AKU yang selama ini menyombongkan kesempurnaan raga, khususnya dihadapan perempuan, kini telah runtuh justru di depan perempuan yang selama ini aku cintai sekaligus aku khianati dan di sakiti. Disisi tempat tidurku Magda terus berusaha menormalkan pernafasannya, membuat aku semakin tersiksa.
“ Magda, aku mau tidur,” ujarku karena di hantui rasa takut. Sungguh aku belum siap jika dia akan membuka aibku selama aku berpisah darinya.
“ Zung sudah nggak tahan barang sejenak. Kan bang baru istrahat? Ini kesempatan kita bicara bebas dan terbuka sebelum kita kembali ke Medan.”
“ Iya bicaralah. Jangan menggantung seperti itu. Sejak tadi aku tersiksa menunggu.”
Magda memiringkan wajahku ke arahnya. Aku melihat dan merasakan gelora gelisah di dalam rongga dadanya. Dia mendekatkan wajahnya kemudian menatap mataku, berucap:
“ Abang kok masih terus menyiksaku?”

“Apa lagi ini Magda.” tanyaku. Dia tidak langsung menyahut, hanya mengelenggelengkan kepalanya.
" Magda, aku kenapa? Kamu masih menyimpan marah?”
“ Zung. Setelah abang mabuk-mabukan di hotel dengan seorang perempuan, lima bulan lalu, abang sudah berjanji tidak akan mau menyiksa dirimu dengan minum alkohol.”
“ Memang aku sudah berhenti !”

“ Zung, botol apa yang tersimpan di bawah tempat tidurmu? Aku juga menemukan bungkos rokok di lemari pakian abang.” Kemudian dia beranjak dari kursi mengambilkan botol bekas minumanku minggu lalu sehari sebelum kecelakaan dan sisa bungkos rokok dari lemari.
“ Ini botol apa bang?” tanyanya sambil mengangkat ke depan wajahku. Aku di schak mat!
Iya itu botol minumanku.”
"Abang masih terus merokok?" Magda menatapku lama, sementara botol minuman masih digemgamnya. “ Kapan aku dapat mempercayamu bang?” tanyanya dengan bibir bergetar. Aku tak mampu melihat redup wajahnya. Aku memalingkan wajahku menatap langit-langit. Kembali dia memutar wajahku berpaling kearahnya, berucap,” Abang nggak kasihan kepada Magda? Abang masih mencintaiku dengan tulus?”

“ Ya, masih. Kita kan sudah merencanakan pernikahan!?”
“ Zung, malam ini aku mau jujur dan terbuka. Kalau abang masih menyiksa dirimu dengan minuman dan rokok, aku akan berpikir ulang untuk menikah. Aku khawatir jika kita sudah menikah, kebiasaan buruk ini akan semakin menggila. Aku serius bang!”

“ Magda juga yang membuat aku seperti ini. Minuman itu aku beli minggu lalu sebelum berangkat ke Bandung. Malam itu Magda marah-marah dan tak pernah menaggapiku serius. Selalu salah sangka dan menuduhku macam-macam. Padahal aku terus berusaha menghindari minuman jahanam itu. Magda, aku minum dan merokok karena terpaksa, pelarian. Tak ada sahabat mendengar curahan hati yang sedang bergelora. Bahkan terpadamkan kala aku berbicara denganmu.”

“ Kenapa sih abang selalu menyalahkan aku? Kenapa abang nggak pernah jujur? Dari mulut abang sendiri telah mengaku, kalau abang mempunyai sahabat tempat mencurahkan hati, Laura. “
“ Magda, sekarang apa maumu? “
“ Abang kesal?”
“ Ya.”
“ Kesal? Abang sudah nggak boleh dibilangin?” tanyanya dengan suara meninggi.
“ Iya aku kesal, karena selama lima tahun Magda terlalu memanjakanku. Ketika jauh, aku menjadi manusia cengeng dan binal. Mentalku rapuh. Itu sebabnya, aku bersedia kembali ke Medan. Cukup sudah aku bergelimang dusta selama enam bulan belakangan ini. Aku ingin kembali seperti Tan Zung yang Magda kenal lima tahun lalu.“

Magda mendekatkan bibirnya ke telingaku berucap pelan: “Zungngng....! Aku memanjakanmu karena aku mencintai dengan setulus hati."
" Iya, aku tahu itu 'yang. Tetapi aku telah mengkhianatimu. I loved you but I lied," balasku. Hatinya mulai pulih atas pengakuanku.
"Tetapi, abang juga memanjakanku kok,” balasnya mengembalikan hatiku yang tertekan karena terbuka tabir kemunafikan. Bibirnya menyentuh ujung bibirku lembut, penuh makna. “ Zung, nggak mau minum lagi kan? Janji bang?”
“ Ya. Aku janji demi ikan di laut dan burung di udara,” jawabku, lantas diganjar ciuman lagi. Thank you Magda, sudah enam bulan aku berkalang rindu.....”
Huhhh...abang keenakan ,” ujarnya diiringi tamparan manis di wajahku.
***
" Zung belakangan ini, setelah makam malam, mami sering bicara tentang kesehatan, juga kepada Rina yang sedang hamil.”
“ Mami pernah sekolah di fakultas kedokteran seperti om dokter Robert?”
“ Nggak. Mami dulu bekas perawat bidan. Tetapi setelah aku dan adik Jonathan sudah beranjak remaja, papi melarang mami bekerja. Dari mami aku tahu, kalau lelaki peminum sukar mendapat keturunan. Kalaupun punya akan menggangu kesehatan si baby dalam kandungan ibu dan akan mempengaruhi perkembangan kesehatan setelah lahir. Sejak saat itu, aku selalu khawatir terhadap abang. Aku tahu, abang sudah tak pernah minum lagi selama kita berhubungan, kecuali bulan-bulan terakhir sebelum abang "ceraikan" aku.”

“ Kalau sedang stress, boro-boro pikirin keturunan. Pikirin diri sendiri saja sudah nggak mampu”
“ Belajarlah menguasai diri!"
" Sudah keluar semua uneg-unegnya? Telepon Lam Hot biar kamu dijemput."
" Abang mengusir aku? Kan tadi aku sudah minta ijin ke ibu?"
" Tempat tidurku kecil. Kamu tidur dimana?"
" Aku tidur di kursi. Seandainyapun tempat tidur abang berukuran besar,akupun belum mau tidur bareng dengan abang? Emang aku Susan?" gelaknya.

" Tidur di kursi? Kalau kamu sakit, siapa lagi yang mengurus aku.?"
" Nanti aku panggilkan mamatua atau Laura," tawanya sambil mencium pipiku.
" Kamu sebut nama Laura, tetapi mencium pipiku. Kenapa? Nyindir?"
" Abang merasa iya? Kenapa sih abang bisa sampai kegaet?"
" Bukan kegaet, tetapi kepeleset. Lama-lama jadi lengket."
" Halahhh..dasar. Memang maunya abang.!"

" Magda, besok pagi tolong telepon tempat kostku yang dulu. Kalu boleh aku tinggal di kamar"perpustakaan" kita dulu."
" Abang nggak mau tinggal di rumah mami?"
" Emang aku lelaki murahan. Belum jadi sudah tinggal dirumah mertua?" balasku disambut pelukan Magda.
" Tetapi kalau sudah nikah, mau kan tinggal di rumah mami?"
" Lihat nantilah." ( Bersambung)

Los Angeles. October 2009


Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Wednesday, October 28, 2009

Telaga Senja (150)

“HOW AM I SUPPOSE TO LIVE WITHOUT YOU”
I could hardly believe it/When I heard the news today/I had to come and get it/straight from you/They said you were leavin’/Someone’s swept your heart away/From the look upon your face, I see it’s true/So tell me all about it, tell me ‘bout the /plans you’re makin’..Oh...oh/Tell me one thing more before I go

CHORUS:
Tell me how am I supposed to live without you/Now that I’ve been lovin’ you so long/How am I supposed to live without you/How am I supposed to carry on/When all that I’ve been livin’ for is gone

(I didn’t come here for cryin’) Too proud for cryin’/Didn’t come here to break down /It’s just a dream of mine is coming to an end/And how can I blame you/When I built my world around/The hope that one day we’d be so much/more than friends/And I don’t wanna know the price I’m/gonna pay for dreaming..oh...oh..../When even now it’s more than I can take
Back to CHORUS
(bridge)
And I don’t wanna know the price I’mgonna pay for dreaming...oh..oh.../Now that your dream has come true
Back to CHORUS

===========================
Aku nggak kemana-mana kok,” ujarnya sambil mendekapku diatas tempat tidur. Aku mengaduh ketika Magda memeluk tertindih bahu menambah rasa nyeri.
“Duh...abang sok mau ngajak kawin lari, kesentuh sedikit sudah mengaduh. Gimana...dong.”
“Yang nikah kan bukan bahuku...!”
============================

PIKIRAN yang terpenjara, ketakutan, Magda akan meninggalkanku sirna setelah memberi “jaminan”ulang bahwa dia tetap setia mendampingiku sebagaimana aku ada. Sesungguhnya aku dihinggapi ketakutan berlebihan, karena dibayang-bayangi rasa bersalah. Belakangan , setelah kami bertatap wajah, ucapannya sering menggoda dan menantang, berbeda ketika kami bicara lewat telepon.
***
Obat penenang yang sejak pagi aku butuhkan ternyata terikut di dalam tas Magda. “ Maaf bang, obatnya terikuit dalam tas,” ujarnya setelah kami capek mencari diseputar kamar. Dia menyorongkan kemulutku, rasa nyeri berkurang sekaligus menghantarkan aku tidur. Sebelum aku tertidur, Magda menanyakan apakah ibu kost mengijinkkan dia istrahat sejenak dikamarku.
“ Nggak apa-apa asal pintunya terbuka,” jawabku.

Sebelum mata terpejam, aku terenyuh melihat Magda duduk di kursi sementara kepalanya terkulai diatas meja tanpa alas. Dia nggak tega menerima bantal yang aku sodorkan. “ Nggak usah. Abang miskin amat, punya bantal hanya satu,” ejeknya dengan tawa. Aku merasa malu dan sangat menyesal ketika aku komplain dan meragukan kesetiaanya hanya karena terlambat datang. Ah...aku memang nggak tahu diri.
Jawaban yang baru saja dilontarkan terasa menghujam: ” Zung ..! Aku juga masih sangat menyayangimu. Aku kan sudah janji, aku tetap menerimamu sebagaimana adanya. Masih belum percaya, meski aku masih setia menungguimu walau aku sering dimarah. Aku meninggalkan pekerjaanku dan semua kesibukanku hanya karena abang. Belum cukupkah!?
***
Aku tejaga dari tidur ketika Magda mempersiapkan pakain pengganti malam. Magda tak mengomel ketika aku membuka pakainku sendiri.” Biarkan aku sendiri membuka sekalgus melatih bahu dan pangkal lenganku bergerak,” ujarku. Magda sesekali mengelus kepalaku ketika meringis menahan sakit. Sementara dia melap bagian atas tubuhku dengan hati-hati, dia berucap: “ Selama kita berhubungan, kali kedua abang mengalami kecelakaan serius. Kali pertama, abang kecelakaan gara-gara aku duduk bersanding dengan seorang lelaki. Aku nggak boleh menyebut nama kan bang?" tawanya. Ketika itu, lanjutnya, Mawar yang merawat abang. Kini, kali kedua, abang terkapar gara-gara Laura, tetapi aku yang merawat. Aneh iya bang!?”

“ Nggak ada yang aneh. Perjalanan hidup itu semuanya telah diatur dari atas”
“ Dari atas mana bang? Dari atas genteng!” tawanya.
“ Aku mengalami kecelakaan yang pertama karena cintaku terciderai. Mawar merawatku karena kakimu, saat itu, terpasung. Kali kedua, karena faktor kemanusian. Ingin menolong Laura, tetapi naas, niat tulusku diganjar celaka. Siapa yang menduga semuanya ini akan terjadi? Bahkan aku tidak yakin bahwa ini faktor kebetulan.”

Masih membersihkan tubuhku, tampaknya Magda ingin menyampaikan sesuatu. " Zung, masih boleh aku menanyakan sesuatu.?"
" Boleh! Tetapi jangan mengungkit masa lalu yang menyakitkan. Saat ini aku tidak siap. "
" Tadi, waktu aku mau merapikan lemari pakaian, aku menemukan tumpukan uang di dalam tas kerja abang. Lembarannya masih baru dengan nomor seri berurutan. Abang peroleh dari mana?" tanyanya. Pertanyaan yang tak pernah terduga membuat aku gagap menjawabnya, hingga Magda mengulang pertanyaannya.
" Zung, kenapa diam? Abang peroleh uang itu dari mana?"
" Aku memperolehnya ketika aku mengaudit cabang perusahaan.!"
" Abang mendapat uang sogok?"
" Kenapa Magda mempunyai kesimpulan seperti itu?"
" Iya mana mungkin abang mendapat uang sebanyak itu kalau bukan karena ada kerjasama, manipulasi data, dengan yang diperikasa. Zung, aku juga sering memeriksa pembukuan di kantor dan rekanan kerja. Kalau aku mau, lebih dari jumah yang abang dapatkan aku peroleh.!"

" Magda, terlalu panjang ceritanya kenapa aku jatuh dalam pencobaan itu, bahkan akupun hampir terjerumus kedalam dosa zinah. Ah...ternyata mentalku sangat rapuh."
" Sungguh? Abang tidak melakukannya?"
" Iya Magda. Hingga kini, aku masih seperti yang kamu kenal sejak kita di es-em-a. Aku gemetar dan ingat nasihat ibuku ketika mau melakukannya. Seperti Magda tahu, dalam pengakuan teman baikku, ketika aku masih aktif dalam salah satu organisasi ekstra mahasiswa. Aku dianggap lelaki banci karena aku satu-satunya dalam rombongan yang tak menyentuh wanita prostitusi, kala itu. Tudingan lainnya, aku dituduh manusia sok suci. Masih ingat kan?"

" Ya, iya bang. Aku ingat. John yang cerita ke aku. Tetapi, aku heran, ketika masih mahasiswa, abang jadi pelopor di kampus, melabrak rektor karena diduga melakukan manipulasi bantuan pemerintah pusat untuk pembangunan laboratorium dan perluasan pelataran parkir. Tetapi ternyata teriakan abang ketika dikampus tidak lebih dari untaian retorika. Kini, abang tak sabar dengan apa yang diperoleh dari hasil keringat?" cecarnya.

" Magda, aku kedinginan. Nanti kita lanjutkan lagi dikamar," ujarku menghentikan sentilan sambil memikirkan jawaban pembelaan diri.
Sebelum menuntunku kembali kekamar, dia menatapku gelisah, tangannya memegang kedua bahuku. " Abang, marah?" tanyanya gusar.
" Nggak! Magda benar. Aku manusia munafik."
" Aku tidak mengatakan itu bang. Aku hanya mengingatkan." ujarnya sambil memapahku masuk kamar. Sejenak kami berdiam diri, sementara dia memasang baju tidurku, kemudian dia menolongku berbaring ke tempat tidur. Magda menarik kursi kesisi tempat tidurku. Masih dengan penuh kasih sayang, dia mengajakku bicara dari hati ke hati.

" Zung, malam ini, kalau ibu kost tidak keberatan, aku mau menginap di kamar abang. Nggak apa-apa aku tidur di kursi."
" Pulanglah. Nanti kamu jatuh sakit."
" Tolonglah bang minta ijin ke ibu. Aku masih mau bicara dengan abang."

Magda memanggil ibu kost masuk kekamarku. Aku menyampaikan keinginan Magda. Ibu tidak keberatan. " Kalian sudah cukup dewasa, tahu apa yang pantas dan tidak kalian lakukan," ujarnya meninggalkan kami. Ibu kost kembali kekamar membawa selimut untuk Magda. Sepeninggal ibu kost, aku seperti orang hukuman menunggu eksekusi ke tiang gantungan. Magda menyelimuti seluruh tubuhku karena menggigil, iya, juga karena takut menunggu peluru lanjutan dari Magda. Ah...dia terus menggantung. Aku semakin dihantui rasa gusar dan ketakutan, tak sabar menunggu "peluru" berikutnya. ( Bersambung)

Los Angeles. October 2009

Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Tuesday, October 27, 2009

Telaga Senja (149)

http://www.youtube.com/watch?v=QNEuDdBvb3M

===================
Tiba-tiba Magda melemparkan bantal kearahku. “ Dasar! Bilang dong dari tadi,” ketusnya.
“ Tega amat sih kamu menyiksa orang sedang menderita?”
“ Ughhh..abang tangkang ( nakal, pen)!” ujarnya sambil membekap mulutku dengan tanganya

====================

Mengurangi rasa nyeri Magda memberi obat penenenang hingga tertidur. Aku tidak tahu persis kapan malam itu Magda kembali ke rumah Rina. Pagi hari aku butuh bantuan seseorang untuk bangkit dari tempat tidur namun tak seorangpun ada di rumah. Perlahan aku bergerak dari tempat tidur menuju kamar mandi seraya menahan rasa ngilu di bahu dan pangkal lengan. Aku telepon ke rumah Lam Hot, tak ada jawaban. Pagi itu baru aku merasakan sepinya hidup. Tidak seperti biasanya setiap pagi Laura mampir ke rumah sebelum berangkat kerja. Juga waktu akhir pekan, dia menyempatkan mampir menemani serapan. Namun pagi ini, Laura masih terbaring dirumah sakit, sementara Magda entah dimana. Masihkah dia kesal karena aku menolaknya membersihkan tubuhku tadi malam?

Beberapa kali aku gagal menyiapkan serapan pagi. Akhirnya niat serapan urung setelah piring jatuh berantakan karena tangan tidak mampu meraihnya dari rak. Serapan batal. Aku mencari obat penenang disekitar ruangan tapi tak aku temukan. Dengan nyeri menyengat, aku kembali ke tempat tidur bersama nanyian sendu di perut, lapar, hingga tertidur.

Menjelang siang, aku terjaga setelah mendengar seperti suara gaduh di luar kamar. Perlahan pintu terbuka, aku melihat Magda, ibu dan Lam Hot masuk ke kamar, sementara airmataku masih menempel di pipi karena menahan sakit. Magda kaget melihat aku terbaring lemah. Selain karena menahan sakit juga karena kelaparan. “ Kenapa bang? Zung....kenapa? Kita balik kerumah sakit iya bang!?” ujarnya seraya mengusap airmataku. Aku hanya menatapnya tanpa memberi respon. “ Zung..kita kembali kerumah sakit iya?” ulangnya. Aku tetap diam.

Boha di hilala ho amang/Bagaimana perasaanmu nak. Kita kembali ke rumah sakit iya.!?” tanya ibuku lembut.
Magda merasakan ada yang tak beres denganku setelah mendengar aku menjawab ibu, sementara pertanyaan dia ku abaikan.
“ Besok kita pulang ke Medan bu. Lebih baik aku berobat ke pak Ginting," pintaku
“ Abang nggak tahan lagi? Besok lusa Laura sudah keluar dari rumah sakit. Kita diundang oleh om Felix makan bersama,” selah Lam Hot.
“ Tulang/om juga mengundang kita besok malam. Iya kan Magda?” lanjut ibuku. Magda menjawab pelan,” ya mamatua” suaranya hampir tak kedengaran dari sudut ruanganku. Lam Hot cepat membaca situasi. Dia mengajak ibuku pulang. Sebelum meninggalkan kamarku, ibuku berucap pelan ke telingaku, “Unang sai muruk ho tu ibotom i (Jangan kamu marahin adikmu Magda, pen)”

Magda mendekatiku setelah ibu dan Lam Hot keluar dari kamar. “ Salah apa aku Zung? “ tanyanya. Aku hanya menggelengkan kepala.
“ Zung, aku nggak enak kalau kita begini terus.” keluhnya.
“ Kenapa ? Aku nggak apa-apa kok!”
“ Kenapa abang diam nggak mau jawab aku? Tadi waktu mamatua tanya, abang menjawab.!”
“ Apa Magda tidak melihat tubuhku gemetaran? Nggak lihat aku keringat dingin? Memang kamu nggak peduliin aku. Sejak pagi aku belum makan obat dan serapan. Obatku juga nggak tahu entah dimana.”

Magda tersentak mendengar keluhanku. “ Abang belum makan dari tadi pagi? Lho kata abang, ibu kost yang siapkan serapan”
“ Ya, tapi bukan menyuapi. Magda, tolong bersihkan dulu pecahan piring di kolong rak piring itu. Setelah itu, kita berantuk lagi.”
“ Ya bang, nanti aku bersihkan, tetapi abang makan dulu. Tadi abang kesal, pecahin piring iya?”
“ Kamu kok tega amat sih menelantarkan aku sendiri di sini? Tahu aku begini, lebih baik aku tinggal di rumah sakit.!” ujarku saat dia membawa makananku.

“ Abang sendiri yang ngomong, mau belajar mandiri. Kemarin malam mau dibantu melap tubuh abang, ditolak. Masya siapin makan sendiri nggak mampu.?”
“ Iyalah. Aku ngaku salah. Gimana nih, aku sudah kelaparan. Kok makanannya diletakkan diatas meja?”
“ Abang mau disuap? Bilang dong!”
“ Waduh..pernikahan sudah dekat, kita malah makin payah, ceng sajalah kita.?”
“ Terserah. Kalau itu yang terbaik buat abang," jawabnya serius.
" Magda, kok kamu menyiksaku seperti ini? Kita sudah nggak bisa lagi bergurau? Ada apa sih dengan kamu? Sekarang kamu menyesal setelah melihat aku tak berdaya, begitu? Belum cukupkah permohonan maafku. Aku telah menyesali semua pengkhianatanku. Tidakkah kamu melihat dan merasakan hatiku yang menjerit didera penghukuman ini.?"
" Zung, aku sudah nggak pikirkan itu. Abang saja sering mengancamku."

" Karena aku sangat ketakuatan kamu akan meninggalkanku ketika aku terkapar dalam pembaringan duka."
" Kalau aku mau, sudah sejak dulu bang. Zung ..! Aku juga masih sangat menyayangimu. Aku kan sudah janji, aku menerimamu sebagaimana adanya. Masih belum percaya, meski aku masih setia menungguimu walau aku sering dimarah. Aku meninggalkan pekerjaanku dan semua kesibukanku hanya karena abang. Belum cukupkah!?" tuturnya lantas mencium keningku.
" Ya Magda. Sudah lebih dari cukup. Terimakasih. Jangan pergi lagi, aku butuh bantuanmu."
***
"Tadi abang ajak mamatua pulang besok, abang serius?”
“ Ya, karena aku kesal. Daripada aku dibiarin sendiri, lebih baik aku pulang. Disana nanti ada Mawar yang bantuin aku,” gurauku.
“ Heh..hati-hati lho, Mawar sudah punya pacar.”
“ Kalau begitu, nggak usah pulang lagilah. Magda sendiri saja pulang.”
“ Halah.....aku tahu abang angekin aku. Aku nggak nongol beberapa jam saja, abang sudah uring-uringan.”
“ Kamu kemana tadi pagi 'yang?”
“ Aku bezoek mantan pacarmu Laura. Tadi, disana ketemu dengan om Felix. Dia mengundang kita makan malam lho bang. Bagaimana, abang sudah boleh keluar? Besok aku nggak usah ikut ke rumah tulang/om. Kalau abang ijinkan akau mau pergi ke Bandung. Kemarin tante Mem telepon, aku disuruh datang. Boleh bang?”
“ Berapa lama di Bandung?”
“ Satu hari saja. Aku sudah kangen dengan tante dan adik-adik disana.”

“ Kapan pergi kerumah namboru/bibi. “
"Kapan-kapan sajalah. Aku nggak terlalu dekat dengan mereka. Setelah papi meninggal, mereka juga nggak pernah mampir ke rumah kalau sedang pulang ke kampung.”
“ Kalau kamu ke Bandung siapa yang rawat aku? Besok ibu dipaksa harus ke rumah tulang.?”
“ Iya sudah. Aku nggak jadi pergi.”
“ Bagaimana kalau minggu depan kita kesana, sesuai rencana kita tahun lalu?”
“ Rencana apaan?”
“ Dulu, kamu ajak aku ke Bandung kawin lari.”
Zungngng....itu kan tahun lalu. Kasihan mami. Masyak nggak bilang-bilang. Lagian kita kan nggak ada lagi hambatan. Sabar iya bang. Aku nggak kemana-mana kok,” ujarnya sambil mendekapku diatas tempat tidur. Aku mengaduh ketika Magda memeluk tertindih bahu menambah rasa nyeri.
"Duh...abang sok mau ngajak kawin lari, kesentuh sedikit sudah mengaduh. Gimana...dong."
"Yang nikah kan bukan bahuku...!"( Bersambung)

Los Angeles. October 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Monday, October 26, 2009

Telaga Senja (148)

"Every Little Thing You Do"
Hello, let me know if you hear me /Hello, if you want to be near /Let me know /And I'll never let you go/ Hey love /When you ask what I feel, I say love /When you ask how I know /I say trust /And if that's not enough
[ Chorus ]
It's every little thing you do /That makes me fall in love with you /There isn't a way that I can show you /Ever since I've come to know you /It's every little thing you say /That makes me wanna feel this way /There's not a thing that I can point to /
'Cause it's every little thing you do Don't ask why /Let's just feel what we feel / 'Cause sometimes /It's the secret that keeps it alive /But if you need a reason why

Is it your smile or your /laugh or your heart? /Does it really matter why I love you? /Anywhere there's a crowd, you stand out Can't you see why they can't ignore you /If you wanna know /Why I can't let go /Let me explain to you That every little dream comes true /With every little thing you do
[ Chorus X2 ]
==================
“ Om dan tante salah apa kepada Tan Zung? Tan Zung tidak mau lagi makan masakan tante? Nggak mau lagi pijak rumah kami?” cecarnya.
“ Iya om, kita kerumah om saja. Pingin makan masakan tante ,” balasku mengobati kekecewaanya.
“ Halah..bang. Bilang saja kelaparan,” sambung Magda disambut tawa riuh seisi mobil.
====================
SAMBUTAN orangtua Rina sangat luarbiasa ketika kami tiba dari rumah sakit. Ibu Rina memeluk dan menciumi ku setiba dirumahnya. Kesempatan, sepulang dari rumahsakit, oleh orangtua Rina dipergunakan untuk menyampaikan ucapakan terimakasih secara formal kepadaku dan Magda serta kepada ibuku.

Walau ibuku dan Magda telah tiga hari menginap disana, mereka hanya bertemu sore ketika ayah Rina pulang dari kantor, dan pada malam harinya bertemu dengan ibu Rina setelah kios dagangannya tutup. Setelah makan siang, dengan linangan airmata ibu Rina mengucap syukur karena aku lepas dari malapetaka. Kepada ibuku dia bertutur, aku telah dianggap anak kandung karena menutup aib keluarga dan menyelamatkan putrinya Rina dari keputusasaan. Tak kalah terharunya, bahkan hampir tak mampu menyelesaikan kalimatnya, saat menyampaikan ucapan terimakasih kepada Magda yang telah bersedia “menampung” dan mendampingi Rina hingga saat ini, menjelang melahirkan.

Didampingi suaminya, ibu Rina menyerahkan dua bungkusan masing-masing untuk Magda dan untukku. Ayah Rina dan kami semuanya tak dapat menahan haru ketika ibu Rina memeluk Magda dengan isakan tangis, berujar,” Magda melebihi putri yang kulahirkan dari rahimku. Kami menyerahkan sepenuhnya Rina ke tanganmu nak dan keluarga di Medan. Sampai sekarang Rina belum dapat memaafkan om dan tante,” isaknya. Memang, menurut Magda, Rina bersikeras tak mau menerima kehadrian kedua orangtuanya saat akan melahirkan.

“ Kami berdoa semoga rencana pernikahan nak Tan Zung dan putri Magda diridhoi oleh Allah. Seandainya Rina mengijinkan kami datang ke Medan, om dan tante akan menghadiri pernikahan nak Tan Zung dan putriku Magda,” ucap ibunya setelah menyerahkan bungkusan kepadaku. Tanpa sengaja, aku menoleh ke arah ibu. Di wajahnya aku melihat perubahan rona setelah mendengar restu ibu Rina perihal rencana pernikahanku dengan Magda. Entah darimana pula kedua orangtua Rina dapat bocoran rencana pernikanaku dengan Magda.
***
Menjelang malam, aku dan Magda pulang ke rumah kostku. Ibukost menyambut ramah ketika aku memperkenalkan Magda. “Ini toh Magda yang sering telepon Tan Zung. Manis iya Zung, semanis suaranya,” sanjungnya. Magda tersipu mendengar sanjungan ibu.

Kamar masih tampak tertata rapi, hasil “karya” Laura sebelum kecelakaan.
Wah...Zung, kamarnya rapi seperti kamar perempuan. Beda jauh dengan ruang”perpustakaan” di Medan,” sindirnya ketika masuk dalam kamarku.
“ Magda, nggak usah menyindir seperti itu. Aku mengaku jujur, Laura yang merapikannya. Seperti aku telah beritahukan kemarin dulu, Laura datang ketika aku sedang jatuh sakit sepulang tugas dari Bandung. Dia juga membawa makananku.”

“ Aku mengatakan sebenarnya. Aku nggak menyindir. Abang saja yang merasa.” Meski merada kesal, aku terpaksa menahan diri, sebelum hal lainnya di bongkar habis. Khawatir omelannya berlanjut, aku minta ijin istirahat.
“ Mandi dulu bang” ujarnya mengingatkanku. Aku menggaguk setuju. Magda menuntun ke kamar mandi. Wajahnya merengut ketika aku menolak membantu membuka t-shirt yang aku kenakan. Dia kesal, kemudian meninggalkanku sendirian di kamar mandi tanpa sepatah kata.

Setelah selesai melap tubuhku, tertatih-tatih aku kembali ke kamar. Aku menemukan dia duduk di ujung tempat tidur. Wajahnya masih merengut, juga tak mau menolehku. Ketika melangkah masuk kamar, tak sengaja bahuku tersentuh ke ujung pintu kamar. Aku kehilangan keseimbangan tubuh hampir terjerembab. Magda tersentak dan berteriak,” Nah kan!? abang sok. Biarin jatuh,” ujarnya. Tetapi, dengan sigap tangannya menahan tubuhku. Tanpa sengaja dia menyentuh pangkal lenganku yang masih dalam taraf pengobatan. Aku mengerang kesakitan. Ibu kostku berlari ke kamar mendengar teriakanku. Dia membantu Magda memapahku ke tempat tidur.

Agaknya Magda menyesal ketika dia berteriak kesal saat aku mau jatuh. Dia melap tubuhku sebelum mengenakan baju tidur. " Masih dalam rintihan, aku menegur Magda:
" Kenapa wajahmu murung?"
" Bangggg....! Aku kesini mau ngapain kalau bukan membantu abang?. Tadi aku mau bantu melap tubuh malah menolak."
" Magda, aku mencoba melatih diri sendiri."
" Ah...bilang saja abang nggak mau! Dulu, waktu dirumah pak Ginting, setiap hari Mawar mandiin abang. Kenapa mau?" protesnya.

"Ya, iyalah. Mandiin aku lagi, tapi matanya ditutup." gurauku setengah merintih, tetapi Magda bergeming. " Ayolah Magda, bantuin aku bangkit,"
" Bangkit sendiri saja. Atau aku panggil Laura?"
" Iyalah, kalau Magda nggak bersedia bantuin aku. Tolong panggilkan Laura."
Tiba-tiba Magda melemparkan bantal kearahku. " Dasar! Bilang dong dari tadi," ketusnya.
" Tega amat sih kamu menyiksa orang sedang menderita?"
" Ughhh..abang tangkang ( nakal, pen)!" ujarnya sambil membekap mulutku dengan tanganya. ( Bersambung)

Los Angeles. October 2009


Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Saturday, October 24, 2009

Telaga Senja (147)



http://www.youtube.com/watch?v=Mzzt1eNcSsA

You set my soul at ease/Chased darkness out of view/Left your desperate spell on me /Say you feel it to/I know you do/Ive got so much more to give/This cant die, I yearn to live/Pour yourself all over me/And Ill cherish every drop here on my knees

Chorus
I wanna love you forever/And this is all Im asking of you/10,000 lifetimes together /Is that so much for you to do? /Cuz from the moment that I saw your face/And felt the fire in your sweet embrace/I swear I knew./Im gonna love you forever

My mind fails to understand/What my heart tells me to do/And Id give up all I have just to be with you/And that would do/Ive always been taught to win/And I never thought Id fall/Be at the mercy of a man/Ive never been/Now I only want to be right where you are.
Chorus

In my life Ive learned that heaven never waits no/Lets take this now before its gone like yesterdayCuz when Im with you theres nowhere else/That I would ever wanna be no/Im breathing for the next second I can feel you/Loving me ... Im gonna love
Chorus

======================
“ Mas Tan Zung mau ikut pulang ke Medan? Tungguin aku keluar dari sini dong! Nggak lama lagi kok. Menurut dokter aku boleh rawat jalan. Aku juga mau kembali ke Yogya,” pintanya memelas.
Aku dan Magda saling pandang mendengar permintaan Laura.

======================

SEPERTI telah aku duga sebelumnya, Laura akan memintaku menemani atau menunggunya keluar dari rumah sakit. Aku mengangguk tanda setuju setelah Magda memberi isyarat melalui tatapan dan senyuman terukir di bibirnya. “ Iya Laura, aku..eh...kami akan kembali ke Medan setelah Laura dokter mengijinkanmu pulang,” ucapku disambut haru Laura. “ Terimakasih mbak Magda,” balasnya. “ Lho, aku nggak?” kataku berpura-pura protes.

“ Kapan rencana kalian menikah,” tanya mamanya Laura.
“ Setelah bahu dan pangkal lengannya sembuh total tante,” jawab Magda.
Nak Tan Zung mau menetap di Medan?”
“ Ya tan, mungkin dia mau jadi asisten dosen,” jawab Magda . Sementara Magda asyik ngobrol dengan orangtua Laura, sesekali mata Laura beradu pandang denganku tanpa sepengetahuan Magda. Lewat tatapannya, aku merasakan getaran cinta terselubung yang terajut sejak enam bulan lalu. Namun semua keindahan itu berakhir tragis ketika musibah menyapaku.

Perlahan, tangan Magda meraih pergelangan tanganku, lalu melilitkan pada pinggangnya. Berat rasanya lakon itu harus ku “pertontonkan” di hadapan Laura, mengenang, beberapa hari lalu aku dan Laura terbuai dalam rongga mimpi yang menjanjikan.

Magda melepaskan gemgamannya dari tanganku, ketika Laura minta tolong mengambilkan air minum. Walau gerakan tubuh masih lamban, aku berusaha memenuhi permintaan Laura. Meski Magda tersenyum, perasaaku sedikit terganggu ketika dia menoleh kearahku saat menyendok air minum ke mulut Laura.

“ Lagi dong. Mas capek?” tanya Laura ketika aku menyudahi sendokan air minum ke mulutnya. Khawatir akan menjadi persoalan baru dengan Magda, aku cari akal, bagaimana agar mami atau Magda yang melayani Laura.
“ Iya, aku capek. Bagaimana kalau aku tarik selang air dari kamar mandi, kamu senidri yang menyedotnya?” bisikku ke telinganya. Tiba-tiba kerongkongan Laura keselak kemudian tertawa lepas sambil menjerit, “ Zung.....” teriaknya diiringi tawa dan batuk-batuk.

Magda dan maminya Laura serempak menoleh kearah kami, sementara Laura tampak kelelahan menahan batuk dan tawanya. “ Kenapa mbak? tanya Magda seraya mengambil gelas dari tanganku. Tatapan mata Magda terhadapku diiringi rasa selidik. Magda menggantikanku melanjutkan melayani Laura.

“ Mas Tan Zung, bilang, lebih baik menarik selang air dari kamar mandi, aku tinggal sedot,” ujarnya cekikian. Aku tak mampu membalas tatapan mata Magda yang masih menyimpan rasa cemburu, saat Laura mengakhiri”laporannya”. Ah....tadipun aku sudah duga, kataku dalam hati, Magda belum siap mental mengahadapi sisa-sisa aksi cinta “terselebung” antara aku dan Laura. Perlahan aku beringsut dari sisi Laura sebelum Magda “mengusir” ku.
***
Jelang sore kami ke dokter spesialis tulang. Dokter memutuskan akan melakukan operasi pada pangkal lengan serta bahu. Sebelum menjalankan operasi, aku terlebih dahulu berunding dengan Ibu dan Magda. Mereka tidak bersedia jika dilakukan operasi. Ibu dan Magda mengusulkan lebih baik dilakukan pengobatan alternatif di Medan. Aku setuju.

Hari kelima dokter mengijinkan kami pulang kerumah. Saat akan meninggalkan rumahsakit Magda memanggil adiku Lam Hot menuju loket pembayaran. Sehari sebelumnya sudah aku minta ke Lam Hot, agar deluruh biaya rumah sakit didahulukan dulu.
“ Jangan biarkan Magda membayar pengobatanku. Nanti setelah dirumah akan kuganti,” ujarku. Lam Hot menyanggupinya.

Tak berapa lama mereka kembali, wajah Magda dan Lam Hot tampak ceria. “ Aku sudah bereskan semua biaya rumahsakit. Abang nggak usah pikirkan pengembaliannya,” ujarnya disambut tawa Magda; kemudian Magda menerangkan bahwa, seluruh pengobatanku ditanggung perusahaan. “Abang tinggal tanda tangan bukti perawatan selama lima hari ini,” terang Magda.

Saat berkemas meninggalkan ruang rawat, seorang ibu menemui Magda di depan pintu ruangan. Dalam pembicaraan mereka, sepertinya ibu itu agak kesal karena Magda tidak pernah mengubunginya sejak tiba di Jakarta. Magda memperkenakannya kepada ibu, Lam Hot, terakhir ke aku. “ Ini yang aku bilang itu namboru ( bibi, pen) ujarnya seraya mengelus kepalaku.

Bibinya mengajak Magda menginap dirumah, tetapi Magda menolak. “ Nantilah aku datang setelah abang Tan Zung pulih. Nggak ada yang bantuin abang Tan Zung, kasihan,” ujarnya menolak. Bahkan Magda menolak tawaran bibinya untuk mengantarkan kami pulang. “ Kami naik mobil adik Lam Hot kok namboru,” tolaknya, padahal dia tahu Lam Hot tidak bawa mobil.

***
Ibu, Lam Hot dan Magda tak memberitahukan, kalau sehari sebelumnya terjadi tarik menarik diantara mereka perihal kepulanganku. Apakah aku pulang ke rumah kostku, kerumah Lam Hot atau ke rumah tulang/paman( saudara sepupu ibu).
Lam Hot menolak pulang ke tempat tulang karena tidak merasa dekat dan belum sekalipun datang bezoek. Kerumah Lam Hot, sudah tidak punya kamar kosong, karena Magda dan ibu menginap disana. Ke kamarku? hanya satu kamar. Akhirnya, ibu dan Lam Hot mengalah setelah Magda bersikeras akan merawat di rumah kostku, sebelum pulang ke Medan.

Meski telah di sepakati aku akan pulang ke tempat kostku, ibu masih berusaha membujuk agar bersedia ke rumah tulang/ paman. “ Nanti tulangmu akan memberi boras sipir ni tondi ( sejumput beras ditaruh diatas kepala; bermakna, ucapan selamat setelah lepas dari marabahaya; pen). Aku tetap menolak bujukan ibu, berucap: “ Kenapa nggak ibu sendiri yang melakukannya.?” Sementara kami menunggu taksi, orangtua Rina datang menjemput.

Didalam mobil, orangtua Rina kesal mendengar aku akan langsung pulang kerumah kostku. “ Om dan tante salah apa kepada Tan Zung? Tan Zung tidak mau lagi makan masakan tante? Nggak mau lagi pijak rumah kami?” cecarnya.
“ Iya om, kita kerumah om saja. Pingin makan masakan tante ,” balasku mengobati kekecewaanya.
Halah..bang. Bilang saja kelaparan,” sambung Magda disambut tawa riuh seisi mobil.(Bersambung)

Los Angeles. October 2009


Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Wednesday, October 21, 2009

Telaga Senja (146)


http://www.youtube.com/watch?v=3rbw8gP2bAs

Michael Bolton - I promise you
I will promise you, yes I promise to/Love you for all your life/Love you every day and night/I will always be there for you/I'll be in your arms, you'll be in my heart

CHORUS:
I'll love you forever, I promise you/We'll be together, our whole life through/There's nothin' that i, I wouldn't do/With all of my heart, I promise you

I will take your hand, and I'll understand/Share all your hopes and dreams / Show you what love can mean/Whenever life just gets too much for you/I'll be on your side, to dry the tears you cry

REPEAT CHORUS
Oh I will always be in your arms/And you will always be the flame/Within my heart
REPEAT CHORUS

========================
Ketika ibu agak berjarak dari kami, aku berbisik ke Magda; “ Magda, nggak usah cerita lagi mengenai mami. Tadi ibu sudah ingatkan, mamimu itu adiknya. Jadi kita mar ito ( sepupu, pen). Payah juga kamu. Entar gimana dong kita mau nikah? Masya menikah na mar ito ?”
==========================

Magda terdiam sejenak setelah mendengar tuturan ibu. Kemudian dia membalas bisikanku,” Aku nggak peduli. Ito iya ito, rencana pernikahan jalan terus. Kita kan nggak semarga!?” ketusnya. " Zung! Bukankah abang telah bertutur tulus kepada burung di udara tentang cinta yang membara? Dan ia telah menyampaikan itu dengan sempurna kepada diriku. Kenapa abang khawatir, menatap pada ranting tempat ia bertutur? Bagaimana sikap abang?” tanya dia gusar.

“ Aku tak berubah. Sekali layar berkembang pantang biduk surut berpulang”
“ Kalau kelak seluruh keluarga kita nggak setuju pernikahan kita?”
“ Menurut Magda bagaimana?”
“ Aku kan tanya abang!?”
“ Kita nikah catatan sipil saja.”
“Abang nggak menyesal, tanpa acara pesta penikahan? Padahal teman-teman kita semua meyelenggarakan pesta adat dan resepsi khusus ?”

“ Magda perlu pesta atau pernikahannya? Nanti setelah nikah baru kita selenggarakan pesta, mau?”
“ Iyalah. Apa kata abang, aku ikut.” Pembicaraan kami akhiri setelah ibu mendekat ke tempat tidurku.
“ Apa yang kalian bicarakan dengan berbisik-bisik?” tanya ibuku sambil menyuapiku.
“ Rencana pulang ke Medan. “ jawabku.
“ Mamatua, biar aku saja yang suapin” ujar Magda, lantas menarik piring dari tangan ibu. Wajah Magda sumringah setelah ibu menjauh dari kami. ”Payah mamatua. Selalu ingin tahu pembicaraan anak muda. Nggak bebas awak.” ujarnya dengan tawa.

“ Memang Magda mau ngapain?”
Halah...abang pura-pura. Iya entah ngapainlah. Ehh... dari tadi mata abang binar. Ada apa sih bang?”
“ Antingmu cantik, aku suka.”
Kan abang yang beli? Duh, aku jadi kelupaan, bilang terimakasih. Gara-gara cerita bohong Lam Hot, kita jadi heboh. Aku nggak menduga abang pintar memilih jenis anting kesukaanku. Titipan kalung berikut liontin telah aku terima dari ibu Susan sehari setelah pulang dari Jakarta. Terimakasih bang “ ujarnya seraya mencium pipiku. Malamnya, lanjut Magda, setelah ibu Susan memberi titipan abang, aku langsung telepon abang mau mengucapkan terimakasih. Tetapi abang lagi uring-uringan dengan Laura, marahnya ke aku. Besoknya juga aku telepon, kata ibu kost nggak boleh diganggu. Huh...seperti orang penting saja.“

Sementara Magda bicara, pikiranku mengembara, tentu saja ke Susan. Aku terharu atas kebaikan hatinya, tulus. Dia berusaha agar hubunganku dengan Magda terus berlangsung hingga ke jenjang pernikahan. Di airport, ketika aku menghantarkannya, dia berjanji akan memberikan kalungnya sebagai pengganti kalung yang pernah aku janjikan kepada Magda tapi belum kunjung ku berikan. Ternyata bukan hanya kalung yang dikenakannya saat itu diberikan kepada Magda, juga liontin dan sepasang anting bermata berlian.

Hehhh ...bang, kenapa bengong seperti itu, dengar nggak aku ngomong? Abang pasti ingat seseorang!”
“ Nggak. Arsiknya enak sekali,” jawabku mengalihkan pembicaraan serta pikiranku, liar.
“ Enak dinikmati dong. Bukan bengong seperti itu,” cecarnya. “ Ayo bang, ingat siapa. Ingat Susan?”
“ Iya, Susan itu sangat baik kepadaku dan kepadamu juga. Tetapi entah kenapa malam itu, kamu bringasan karena mendengar aku tidur bersama dengan dia.”
“ Kan abang yang ngaku sendiri?”
“ Iya sudahlah ‘yang. Nggak usah diungkit lagi. Tetapi yang pasti, aku tidak pernah tidur sekamar dengan Susan selama di Jakarta. “
“ Maaf bang. Mungkin malam itu aku terlalu was-was karena, dulu, abang sering tidur sekamar dengan dia.”

“ Itu kan cerita lama. Lagian, aku tidur dirumahnya hanya untuk menemani dia karena suaminya sedang berada di London. Kami tidak pernah melakukan yang tidak patut. Bulan lalu kan aku sudah janji, tidak akan menodai kesucian itu, meski kadangkala tergoda."
“ Kan, bengal abang keluar, dasar! "
“ Magda beritahu ke Susan bahwa aku mengalami kecelakaan?”
“ Nggak bang. Aku takut dia ikut datang bezoek abang!
“ Kenapa Magda takut.?”
“ Aku tidak siap jika Susan menciumi dan memelukmu didepan mataku, meski itu hanya ekpresi persaudaraan, karena sebelumnya abang dan dia....”
“ Sudah...sudah, lupakan dia, nggak usah diteruskan lagi.” potongku sebelum dia mengakhiri ucapannya.
" Tetapi aku mengakui kebaikannya kok. Kini, aku dianggapnya seperti adik sendiri. Kebetulan dia putri satu-satunya. Sepeninggal abang, hampir setiap akhir pekan, dia selalu meneleponku. Jika suaminya sedang tugas ke luar kota, kadangkala aku diajak ke bar tempat abang dan Susan selebor, dulu." tawanya.
***
Sebelum berangkat menuju ke ruang rawat Laura, aku tanyakan Magda, apakah siap mental bila ketemu Laura. “ Siap bang!” jawabnya.
Kami tidak menemukan Laura di ruangan ICU, menurut perawat yang menanganinya, dia sudah pindah ke ruangan recovery. Baru saja kami tiba di depan pintu ruangannya, dia memanggil namaku,” Mas...! Mas Tan Zung! Mas sudah bisa jalan?” teriaknya. Seperti aku telah duga sebelumnya, Laura langsung mendekapku erat setelah mendekat. Kemudian dia menebak, “ Yang ini pasti mbak Magda, benarkah mas!? Aku mengangguk. "Mbak......akhirnya ketemu juga.” Magda membalas pelukan Laura. Mereka berpelukan cukup lama.

Laura dan Magda saling menitikkan air mata. “ Mbak, sudah mulai baikan? sapa Magda, sambil mengusap airmatanya. Laura kembali memeluk Magda dan dia membisikkan sesuatu kepada Magda. Magda menggangukkan kepalanya kemudian mencium pipi Laura diakhir bisikan Laura. “ Mas Tan Zung, kesini!" panggilnya. Secara bergantian, Laura mencium pipiku dan pipi Magda.
“ Selamat berbahagia” ucapnya dengan suara serak. “ Mbak, aku nanti pasti datang pada pernikahannya meski masih pakai kursi roda.”
***
Aku memperkenalkan kedua orangtua Laura kepada Magda. “ Mam, mbak Magda sengaja datang dari Medan mau bezoek mas Tan Zung. Nggak lama lagi mereka akan menikah,” ucap Laura. Kedua orangtua Laura memelukku, hangat; ” Syukurlah, kesehatan mas Tan Zung sudah mulai pulih. Kapan rencana keluar dari rumahsakit?” tanya mami Laura.
" Mungkin lusa bu.”

“ Mbak Magda, kapan kembali ke Medan? selah Laura.
“ Setelah dokter mengijinkan abang Tan Zung boleh naik pesawat.”
“ Mas Tan Zung mau ikut pulang ke Medan? Tungguin aku keluar dari sini dong! Nggak lama lagi kok. Menurut dokter aku boleh rawat jalan. Aku juga mau kembali ke Yogya,” pintanya memelas.
Aku dan Magda saling pandang mendengar permintaan Laura. ( Bersambung)

Los Angeles. October 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (145)




Beautiful Girl
Beautiful girl, wherever you are/I knew when I saw you,/ you had opened the door/I knew that I'd love again / after a long, long while/I'd love again.

You said "hello" and I turned to go/But something in your eyes/ left my heart beating so/I just knew that I'd love again /after a long, long while/I'd love again.

Refrain :
It was destiny's game/For when love finally came on/I rushed in line only to find /That you were gone.

Whenever you are,/ I fear that I might/Have lost you forever/ like a song in the night/Now that I've loved again / after a long, long while /I've loved again.

*Repeat Refrain
Beautiful girl,/ I'll search on for you/'Til all of your loveliness /in my arms come true/You've made me love again/ after a long, long while/In love again/ And I'm glad that it's you/ Hmm, beautiful girl.

=================
“ Bang sudah dapat melihatku?
“ Ya! Magda cantik sekali ! Kok kamu seperti mau ke pesta!?”
“ Iyalah bang, aku sengaja. Kan pandangan pertama, setelah mata abang celik, aku harus terlihat cantik. Tapi aku nggak pakai lipstik lho bang.”
“ Kenapa..?”
“ Nanti pada nempel dimana-mana,”ujarnya genit, sementara hidungnya masih beradu dengan hidungku. “ Zung....kita pulang ke Medan iya...!?”

==================


“ Aku masih cantik iya bang? Cantikan siapa, aku atau Laura?”
“ Keduanya cantik....”
“ Zung..!? Abang sudah bosan melihat aku?”
“ Magda! kamu nggak malu, menjeng, ada Lam Hot dan mamatua?”
“ Nggak. Kenapa malu? Aku kan menjeng ke calon suamiku!? Abang belum jawab pertanyaanku, abang sudah bosan dengan aku?”

“ Magda, kecantikanmu melebihi kecantikan siapapun terutama hatimu. Aku nggak butuh kecantikan rupa tanpa ketulusan hati. Magda memiliki keduanya. You are so beautiful
“ Abang jujur bukan karena terbujur kan?” ujarnya mengernyih.
“ Magda, siapapun orang yang sedang jatuh dalam pencobaan, seperti aku misalnya, tak akan mampu berkata dari dua sudut mulut. Kenapa sih, kamu masih terus mengujiku!? Entah kapan aku dapat lulus tanpa bumbu rasa curiga,” keluhku. " Belum cukupkah senandung burung camar di telaga senja nan sunyi itu, bertutur tentang penderitaanku?"

“ Aku mendengar dan merasakan getaran senandung itu bang, tapi aku sukar memahaminya. Entahlah karena sudah terlalu banyak senandung duka yang masih mendera. Zung, bukankah semuanya ini disebabkan oleh abang sendiri? Enam bulan lalu, aku tulus melepaskan abang “merantau” ke Jakarta, tetapi hasilnya seperti ini?”

“ Magda menggagap musibah ini sebagai ganjaran atas ketidaksetiaanku terhadapmu?”
Magda menatapku dengan mata bening dilabur kejujuran sukma. Pelan dia berbisik ; “ Zung, jangan tanyakan itu pada diriku. Jujurlah abang terhadap diri sendiri. Tanyakanlah padaku, apakah aku masih setia kepada abang? maka aku akan menjawab sejujurnya, “ya”. Tetapi manakala riuh rinduku bergema di padang belantara luas nan ganas itu, abang tak mendengar, karena terlena dengan simponi baru berlirik tentang cinta. Zung! Jangan salahkan aku, bila terus menguji ketulusan hatimu. Mampukan abang menghempang semilir angin malam hanya dengan dua telapak tangan?”

“ Aku telah berusaha dengan seluruh keberadaanku. Lalu kapan aku dapat lulus?”
“ Setelah abang pulang bersamaku, abang akan dinyatakan lulus.”
“ Lulus murni?”
“ Belum. Lulus dengan percobaan.”
“ Berapa lama?”
“ Hingga aku dan abang duduk bersanding di pelaminan.”
“ Sekaranglah!” godaku.
“ Boleh. Lam Hot, tolong panggilkan pendeta!” teriaknya.

“ Untuk apa pendeta? celutuk ibuku
“ Mau berdoa mengucup syukur mamatua.” jawabnya geli
“ Nantilah dirumah,” jawab ibuku polos.
“ Di Medan saja iya mamatua?”
“ Terserah kalianlah,” jawab ibuku diiringi tawa.
“ Enam bulan ditinggal, kamu semakin nakal!”
“ Kan, abang yang ajarin,” balasnya dengan tawa renyah.
***
“ Magda, siapa yang masak ini ? tanya ibu sambil membuka rantang berisi arsik.
“ Aku yang masak mamatua.”
“ Kapan kamu masaknya?”
“ Tadi mamatua. Itu makanya aku datang terlambat. Sebelum aku berangkat, mami sudah siapkan bumbunya, aku hanya masak ikannya. Tadi waktu Lam Hot mau jemput aku, ikannya belum matang," jelasnya disambut tawa ibuku.

Magda heran melihat ibuku tertawa lepas setelah mendengar tuturannya.
“ Mamatua, kenapa ketawa?”
“ Adikmu Lam Hot kurang ajar. Tadi dia bilang, Magda nggak mau datang karena tadi malam kalian ribut dengan abangmu. Tadi, mamatua marahin abangmu,” ujarnya dengan tawa terpingkal-pingkal menahan rasa geli, karena Lam Hot berhasil mengecoh aku dan ibu. Magda juga tak dapat menahan geli, tertawa lepas. Sementara Lam Hot beringsut meninggalkan ruangan sambil ketawa.

“ Pasti tadi abang percaya dan kesal ke aku mendengar cerita bohong Lam Hot”
“ Iya, tadinya abangmu nggak percaya. Tetapi karena Lam Hot bicaranya serius, abangmu kesal dan marah.” jawab ibuku masih terguncang menahan tawa.

“ Kok tahu abangmu suka arsik?” tanya ibu.
“ Kalau abang datang kerumah, selalu minta dimasakin arsik. Kemarin dulu, sebelum berangkat, mami sudah siapkan bumbunya. Mami pesan, supaya aku masak arsik untuk abang. Mamatua, abang ini sangat manja kalau dirumah, apalagi kalau ada mami. Huhhh...kayak raja. Nggak boleh disuruh biar juga nyimpan piring bekas dipakai. Kalau aku lagi kesal ke abang, pasti mami omelin aku.” tutur Magda disambut tawa ceria ibuku.
“ Mamimu kan pariban (adik sepupu, pen). Jadi abangmu dianggap anaknya,” balas ibu sambil mempersiapkan makanan untukku.

Ketika ibu agak berjarak dari kami, aku berbisik ke Magda; “ Magda, nggak usah cerita lagi mengenai mami. Tadi ibu sudah ingatkan, mamimu itu adiknya. Jadi kita mar ito ( sepupu, pen). Payah juga kamu. Entar gimana dong kita mau nikah? Masya menikah na mar ito ?” ( Bersambung)

Los Angeles. October 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Tuesday, October 20, 2009

Telaga Senja (144)

Il Divo : The Man You Love Lyrics
Si me ves hallaras en mis ojos el amor/eres tunla mitad que a mi vida completo/Lo que soy te darensin miedo a algun error/creo en ti y dejarnen tus manos mi ilusion./Quiero estar dentro de tu corazon,/Poder lograr que me ames como yo.

I only wanna be the man/to give you everything I can/every day and every night/love you for all my life./I don’t wanna change the world/as long as you’re my girl/it’s more than enough,/just to be the man you love.

Quiero ser el lugar donde puedas refugiar/el temor y calmar en mis brazos tu ansiedad/Desde hoy voy a ser todo para ti/Hasta ayer te soñe y ahora estas/ aqui Quiero oir tus secretos, lo que sueñes descubrir,/quiero amarte asin

I only wanna be the man/to give you everything I can/every day and every night / love you for all my life./I don’t wanna change the world/as long as you’re my girl/it’s more than enough,/just to be the man you love.

I only wanna be the man/to give you everything I can/every day and every night/love you for all my life./I don’t wanna change the world/as long as you’re my girl/it’s more than enough,/just to be the man you love./Just to be the man you love
================
“Nggak sayang. Aku nggak marah. Namamu masih menyatu dalam hati dan jiwaku. Cintaku semakin bergelora diatas kegusaran hatimu. Meski aku terbujur dengan kelopak mata terluka, namun indera lain melihat cerah hatimu. Mendekatlah kesini Magda, aku ingin membisikkan sesuatu sebagai tanda apresiasiku malam ini; You were wonderful tonight. Magda, You know how much I love you.
===============
Jendela hatinya terbuka tulus sepanjang waktu. Luka yang mendera tubuhku seakan ikut dia rasakan. Tangannya mengelus wajahku ketika mengerang sakit manakala pengaruh obat penenang purna guna. Kening bersimbah peluh, sepanjang malam, diusap penuh kasih sayang. Bisikan kata-katanya di telinga membangkitkan gairah hidupku. “ Zung, ada apa ? Aku masih ada disini. Bang...! Kenapa...?“ tanyanya, ketika aku merintih menahan sakit pada pangkal lenganku, terasa disayat sembilu beraduk linu, lantas dia menempelkan wajahnya disisi wajahku.

“ Zung, seandainya rasa sakitmu dapat dipindah ke aku. Aku siap bang! Sebentar ‘yang, aku panggilkankan perawat,” desahnya prihatin. Tidak lama berselang, Magda menyuruh membuka mulutku sembari memasukkan sebutir obat penenang; “ Bang, malam ini aku jadi perawat khusus,” bisiknya. Pengaruh obat yang baru saja diberikan menghilangkan rasa sakit sekaligus menghantarkan tidurku menjelang dini hari.
***
Magda tidur lelap dikursi disisi tempat tidur. Kepalanya terkulai diatas tempat tidur, disisi wajahku, hingga pagi. Perlahan aku menaruh telapak tanganku ke atas pipinya. Dia terjaga dari tidur, jari tangannya meremas telapak tanganku yang masih menempel di pipinya.

“ Pagi Zung,” sambutnya, sementara wajahnya masih menempel diatas tempat tidurku. Walau aku belum dapat melihat, tetapi aku merasakan betapa lelahnya Magda. Sejak kedatangannya hingga pagi ini, dia terus mendampingku di ruang rawat. Lembut ku berujar : " Magda pulanglah. Lebih baik kamu istrahat di rumah. Pagi ini aku akan periksa ke dokter mata. Menurut dokter, mataku akan dapat melihat seperti sediakala setelah membuka balutan dan membersihkan luka kelopak mata. Aku tak sabaran lagi melihat wajahmu nan cantik sebentar siang. Ntar, jangan lupa pakai lipstik.”
“ Abang getek (genit, pen)” balasnya.
“ Nanti siang kita bezoek Laura, mau? Setelah itu kita ke dokter spesialis tulang.”
“ Mau.... mau bang. Aku mau kenal pesaingku. Gimana sih cantiknya Laura hingga abang menggelepar,” ujarnya ketawa sambil menciumku sebelum keluar dari kamar.
***
Pagi sepeninggal Magda, Lam Hot dan ibu menemaniku ke dokter spesialis mata. Ibu berurai airmata setelah melihatku keluar dari ruang periksa dokter. Aku telah dapat melihat meski belum sempurna. Menurut dokter, aku dapat melihat dengan sempurna beberapa jam kedepan. Ibu menciumiku,” Mauliate ma Tuhan. Nungga boi be anakhi marnida/ Terimakasih Tuhan, anakku telah dapat melihat kembali.”

Seperti biasanya, Lam Hot selalu berulah. Dia mengipa-ngipas lembaran uang di depan mataku.
” Coba terka bang, lembaran berapa ini,” tanyanya. Dia ngakak setelah aku menyebutkan nilai nominal uang itu. “ Dasar mata elang. Wajahku dan ibu belum tampak jelas, kok lembaran sekecil ini abang melihat cukup jelas!?"
“ Iya, tetapi kok aku melihat wajahmu seperti beruang,” balasku. Ibuku hanya tertawa, ceria mendengar candaku dengan Lam Hot yang sengaja mengambil cuti khusus, dua minggu, untuk menemani ibu dan Magda.

“ Siap mental bang, bila mau lihat wajah di cermin. Hidung berantakan, bibir sompel,” ujarnya. Ibu menegur Lam Hot; ” Unang songoni margait/Bercanda , jangan begitu.”
Meski adikku bercanda, tetapi perasaan agak terganggu. Sebelumnya, ada niat pergi ke toilet melihat bentuk wajahku pada cermin. Niat itu ku urungkan setelah mendengar gurauan Lam Hot. Aku setuju, harus siap mental melihat perubahan bentuk hidung yang dihajar bajaj dan bibir sompel akibat beradu dengan jalan berlapis aspal.
***
Tak sabaran ingin melihat wajah Magda, aku menyuruh Lam Hot menjemputnya. Satu jam kemudian, Lam Hot kembali ke rumahsakit tanpa Magda. “ Abang ribut dengan kak Magda tadi malam? Kakak nggak mau datang.” ujarnya dengan mimik serius.
“ Apa yang kalian ributkan amang?” tanya ibuku.
“ Aku nggak ribut. Aku menyuruh dia pulang dengan baik-baik kok. Bahkan Magda sudah janji, petang nanti, temanin aku melihat Laura dan ke dokter spesial tulang. Nggak mungkin dia ngambek. Pasti kamu kerjain aku. Ayo Hot, bilang yang sebenarnya. Kemana kak Magda?”

“ Ada dirumah, tiduran. Dia bilang malas mau datang kesini, katanya, abang banyak maunya,” ujarnya masih dengan mimik serius. Lagi, ibu bertanya: “ Kenapa kalian ribut? Kurang apa lagi baiknya Magda nak!?” sesal ibu.
Aku nggak habis pikir, ada apa masalah dengan Magda. Apakah tadi malam aku mimipi dan menyebut nama Laura tanpa aku sadari ? tanyaku dalam hati. Tetapi kenapa dia nggak bilang? Malah dia menciumku sebelum keluar dari ruang rawat. Dengan suara agak meninggi, aku suruh Lam Hot menjemput Magda. “ Sekarang juga,” tegasku setelah Lam Hot mengulur waktu dengan gurauan.
“ Jangan berteriak amang. Nanti ikut aku yang jemput,” bujuk ibu.

Tidak beberapa lama berselang, sebelum Lam Hot dan Ibu pergi menjemput, aku melihat Magda datang dengan membawa rantang berisi makanan. Rantangan yang dibawanya hampir jatuh ketika menyerahkan kepada ibu. Dia berlari menemuiku diatas tempat tidur, berteriak seperti orang histeris;” Heiiii...Zung....abang sudah dapat melihat...!?”. Magda memelukku dan meniciumi kelopak mata bekas luka.
“ Bang sudah dapat melihatku?
“ Ya. Magda cantik sekali ! Kok Magda seperti mau kepesta!?”
“ Iyalah bang, aku sengaja. Kan pandangan pertama, setelah mata abang celik, aku harus terlihat cantik. Tapi aku nggak pakai lisptik lho bang.”
" Kenapa..?"
" Nanti pada nempel dimana-mana,"ujarnya genit, sementara hidungnya masih beradu dengan hidungku. " Zung....kita pulang ke Medan iya...!?" ( Bersambung)

Los Angeles. October 2009


Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Saturday, October 17, 2009

Telaga Senja (143)



http://www.youtube.com/watch?v=ZctjBM16dAc

Wonderful Tonight
(by eric clapton)
Its late in the evening/Shes wondering what clothes to wear /She puts on her make up / And brushes her long blonde hair/And then she asks me/Do I look alright/And I say yes, you look wonderful tonight

We go a party/And everyone turns to see/This beautiful lady/Thats walking around with me/And then she asks me/Do you feel alright/And I say yes, I feel wonderful tonight

I feel wonderful/Because I see the love light in your eyes/And the wonder of it all / Is that you just dont realize/How much I love you

Its time to go home now/And Ive got an aching head/So I give her the car keys/She helps me to bed/And then I tell her/As I turn out the light/I say my darling, you were wonderful tonight/Oh my darling, you were wonderful tonight

===================
“ Tadi sudah kubilang, abang selalu berpura-pura. Abang lupa , dulu, ketika mabuk di ruang ”perpustakaan” aku mebersihkan tubuhmu, bahkan muntah abangpun aku bersihkan. Huh...kalau aku ingat itu, aku sangat marah terhadap diriku sendiri. Entah apalagi yang kuharap dari seorang pemabuk dan “don juan”( sama dan sebangun dengan play boy, pen -:)
“ Ada Magda. Cinta!”
====================


“ Mengharap cinta dari seorang penjaja cinta? Itu sebabnya teman-teman kita menyebut aku bodoh. Aku mengharap kesabaranku yang dianggap bodoh itu tidak akan sia-sia kan bang!?”
“ Ya Magda. Bagiku punish yang telah aku terima adalah blessing in disguise. Petualanganku berakhir setelah diterjang angkaramurka, terkapar diatas aspal.”
Magda tertawa setelah mendengar penyeselanku.” Magda, kenapa tertawa ? Kamu senang aku menderita?”
“ Sedih amat sih bang, bertobat gara-gara di tabrak bajaj? Mobil Mercedez kek. Awakpun nggak malu ceritra kepada teman-teman.”
“ Nantilah aku tabrakin lagi ke mobil Mercedez.”
“ Abang mau bunuh diri?” tawanya.
***
Menjelang malam, ibu dan Lam Hot datang ingin menggantikan Magda. Sebelumnya aku telah menyarankan agar Magda pulang istrahat setelah berjam-jam menemaniku, namun dia menolak. Magda berucap pelan ke telingaku ketika ibuku memintanya pulang untuk istrahat:
” Bang, aku nggak mau pulang. Aku nggak capek kok. Bilangin, biar mamatua saja yang pulang.” bujuknya. Aku hanya tersenyum mendengar rengekannya. “ Magda, pulanglah. Mamatua juga sayang kepadamu. Ibu nggak mau calon mantunya ikut menderita.” godaku.
“ Ah...abang jelek. Sejak dulu, nggak pernah belain aku. Dulu juga, waktu di Medan, ketika mami cerewetin aku, abang selalu ketawa.”

" Ya, sudah kalau mau tetap tinggal disini, kamu bilangin sendiri ke calon mertuamu."
" Nggak seru bang. Masya awak sudah berantuk belum jadi mantu? Memang abang nggak pernah perduli dengan perasaanku," rengeknya pelan.
"Iyalah. Nanti ada waktunya aku belain kamu hingga titik darah penghabisan. Pulanglah istrahat. Besok pagi temanin aku periksa mata dan ke dokter tulang."
“ Pulanglah inang , nanti malah kamu yang sakit,” susul ibuku. Dengan perasaan terpaksa, Magda mengalah pulang kerumah Rina tempat mereka menginap.
Sepulang mengantar Magda, adikku Lam Hot kembali ke rumahsakit menemani ibu. Ketika ibu sedang terkantuk-kantuk, Lam Hot menuturkan perihal kekesalan Magda ketika disuruh pulang. “ Sejak kami keluar kamar, kakak Magda terus bersungut-sungut karena abang nggak belain dia. Maunya kakak, tungguin abang sampai pagi.” tutur Lam Hot geli.
***
Menjelang tengah malam, aku meminta Lam Hot membawa ibuku pulang. Belum lama ibu dan Lam Hot keluar dari ruangan, aku dikagetkan dengan suara Magda di ruang rawatku.
“ Kamu masih sempat ketemu dengan ibu dan Lam Hot?”
“ Ya. Kami berpapasan dan ngomong sebentar.”
“ Kenapa nggak sabaran nunggu Lam Hot?”
“ Aku nggak bisa tidur bang.”
“ Magda sudah tanya perawat kalau kamu bisa tinggal diruangan hingga nanti pagi?”
“ Boleh kok bang. Aku sudah “sogok” duluan dengan nasi goreng.” ujarnya tertawa
“ Nanti giliranku nggak bisa tidur," gurauku.

“ Zung bosan temanin aku ngomong iya? ujarnya lantas menjewer kupingku sambil ketawa. “ Aku hanya jagain abang tidur, siapatahu nanti bermimpi sambil panggil nama Laura.”
Meski ku respon dengan tawa, namun aku tersentak mendengar sindirannya. Aku tak perlu lagi berpura-pura heran. “ Kok kamu tahu akan menyebut-nyebut nama Laura?”
“ Aku kan kan punya intel juga !” ujarnya geli di dekat telingaku ; ” Nggak kok bang. Aku tahu secara tak sengaja dari perawat, ketika dia memanggil aku Laura. Dia pikir aku pemilik nama Laura itu.

Perawatnya cerita, hari pertama dan hari kedua abang selalu meronta dan menyebut nama Laura. Nama Magdalena Elisbeth telah hapus dari memory abang iya?” ujarnya samblil mengelus kepalaku. “Iya bang, namaku sudah terlupakan ?” lanjutnya.

“ Magda, aku kasihan dia. Kalau bukan karena mengantar makananku nggak mungkin dia mengalami kecelakaan itu. Kebetulan pula terjadi didepan mataku. Apa yang salah ketika kecelakaan tragis itu tersimpan dalam memory dan secara spontan memanggil namanya.? Aku kira itu sangat manusiawi. Jika kamu menyalahkan ketidaksetiaanku, dapat ku terima. Tetapi tidak dengan kekhawatiranku atas keselamatan jiwanya.”

“ Maaf bang! Tolonglah juga memahami kegalauan diriku. Resahku sangat manusiawi kan bang? Perasaanku terganggu ketika baru saja mendengarkan itu dari perawat. Abang nggak marah kan?”
"Nggak sayang. Aku tidakj marah. Namamu masih menyatu dalam hati dan jiwaku. Cintaku semakin bergelora diatas kegusaran hatimu. Meski aku terbujur dengan kelopak mata terluka, namun indera lain melihat cerah hatimu. Mendekatlah kesini Magda, aku ingin membisikkan sesuatu sebagai tanda apresiasiku malam ini; You were wonderful tonight. Magda, You know how much I love you..... " (Bersambung)

Los Angeles. October 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Thursday, October 15, 2009

Telaga Senja (142)

=======================
“ Kapan pernikahan Maya?”
“ Hehh..! Pikirin kesehatan abang saja dulu. Kok pikirannya ngawur kemana-mana,” hentaknya.
“ Kamu cemburu iya?”
“ Ya!” jawabnya singkat sambil mencubit pipiku, geram.
=======================
CINTA kasih Magda semakin aku rasakan lewat ungkapan dan perbuatan. Pun tak merasa malu menujukkan rasa cemburu. Aku merasakan ceria dan bahagia yang tercurah dari mulut dan hatinya.
“ Zung menayakan aku cemburu? Kurang apalagi aku selama ini sabar mendengar petualanganmu, gonta ganti perempuan. Selama ini selalu menyalahkan bila aku marah. Abang selalu menuduhku pecemburu. Seandainya aku tidak mencintaimu dengan tulus, untuk apa aku cemburu.”

“ Ya, iyalah aku minta maaf. Tetapi sekarang Magda kok semakin galak?”
“ Abang tak dapat membedakan marah dan kasih. Kalau mau mengikuti perasaan, mendengar suara abangpun aku tak sudi apalagi melihat ...huhhh.”
“ Magda, kok marahnya semakin dalam! Mau menumpahkan semua amarahmu? Sayang, aku belum dapat melihat bentuk wajahmu dikala marah.”

“ Wajah marah, ketawa sama saja bang. Aku tetap saja Magda yang sering kamu siksa.” Tiba-tiba tangannya menutup mulutku sambil tertawa.
“ Apa yang lucu ?”
“ Aku mau meniru gaya abang marah. Tapi aku nggak sanggup,” ujarnya masih cekikian.
“ Magda! Kamu suka kalau aku collaps lagi?”
“ Iya, mau bang. Mumpung masih di rumahsakit, aku mau melihat abang dengan segala gaya. Senyum, ketawa, marah dan merintih.”

“ Setelah itu apa?”
“ Aku puas. Selama ini kan abang yang selalu ngerjain aku.”
“ Kamu berani ketika aku tak berdaya iya!?”
“ Ya yalah, mana berani aku kalau abang lagi sehat apalagi pada orang lain, diludahinlah aku.” ujarnya menirukan ucapakan sebelumnya.
“ Lho, Magda sudah berapa lama kerja di tukang fotocopy?”
“ Abang ngaco. Nggak pernah.”
“ Tadi Magda meniru persis ucapakanku. Ingat?”
***
“ Zung, aku semakin yakin abang akan segera keluar dari ruangan ini. Aku melihat semangat abang luarbiasa!”
“ Iya aku juga semangat karena Magda datang melihatku. Magda juga setuju mau aku nikahi. Lengkaplah sudah hidup ini mam.” Lagi-lagi Magda menutup mulutku jika memanggilnya “mam”
“ Belum bang. Belum sekarang, nanti ada waktunya.”
“ Dulu kita sering panggil ...”
“ Itu dulu bang. Tetapi sekarang jangan dulu.” potongnya.
“ Kamu trauma?”
“Ya. Aku masih trauma. “

“Magda, sudah puas melampiaskan rasa kesalmu selama ini?”
“ Belum. Masih boleh nambah bang?” tanya masih ketawa.
“ Masih, tetapi yang enak didengar.”
“ Sama saja boong bang. Teman-teman kita bilang, kecuali Mawar, aku ini perempuan bodoh. Sudah dikhianati masih mau menunggu seperti mengharap burung lepas di angkasa kembali ke sangkar.”
“Kenyataanya kan sudah kembali!?”
“Kembali setelah abang terkapar. Padahal begitu banyak antri lelaki menunggu jawabanku. Entah kenapa aku tak bergairah. Antriannya panjang bang, dari rumah hingga ke Kp. Keling!" ujarnya ngakak”

“ Iya, aku dengar juga itu. Orangtua Hary teman kita waktu es-em-a, dulu, datang meminangmu kerumah.”
" Aku heran bang. Kok mereka langsung ke orangtua. Yang mau mau menikah orangtua atau anaknya? Hary sendiripun nggak pernah datang kerumah menemuiku. Pengecut. Berani lewat orangtua. Didalam hatiku, mungkin itulah kelebihanmu bang. Nggak pernah ada rasa takut. Pintar merayu, suka ngerjain aku. Sering aku disiksa tetapi selalu dibelai, tetapi cemburumu itu keterlaluan..huh...abang jelek."
" Aku juga dengar, Roni "sibolis" bekas anak III IPA 2, baru-baru ini mau mendekatimu iya?. Tetapi akhirnya dia mundur teratur setelah mengetahui kita masih punya hubungan. Dia takut dihajar seperti si Bistok, dulu."

“ Kok abang tahu semuanya?”
“ Tahu dari seseorang teman yang ku bayar jadi intel. Yang pasti Magda nggak kenal orangnya.”
“ Abang nakal amat sih? Pakai intel segala?”
“ Karena aku sangat mencintaimu.”
“ Kalau tadinya aku mau pada Hary atau Rony atau siapa saja ?”
“ Petama yang akan aku lakukan adalah, Magda akan kutembak mati kemudian calon suamimu. Aku siap masuk penjara, bahkan siap menerima hukuman mati, demi cintaku.”
“ Lha! Dulu bilang, silahkan pergi dengan lelaki lain."
" Bisa-bisakunya itu."
" Abang nggak fair. Abang boleh gonta ganti pacar, tetapi aku..”
“ Bagiku, nggak ada istilah fair dalam bercinta. Egois, iya.”

“ Lho! Abang maunya menang sendiri.”
“ Ya, iyalah. Manalah mungkin pemenangnya dua orang? Iya nggaklah? Dan, itu telah aku buktikan sampai sekarang, akulah pemenangnya, sendiri!. Ngga ada pemenang bersama, emang PSSI.”
“ Memang abang sejak dari dulu jugul (keras hati,pen)”
“ Hanya itu modalku mempertahankan mu. Dan aku tahu itu, kamu suka.”
“ Iya bang. Aku heran, meski abang sangat nakal, entah kenapa aku seperti orang gila kalau nggak ketemu atau ngomong dalam sehari dengan abang. Mami juga bingung, tetapi nggak berani bicara langsung ke aku. Mami hanya mengeluh kepada tante Mem yang di Bandung.”
“ Apa keluhan mami?”
“ Tante bilang: ” Mami nggak habis pikir. Kenapa aku seperti orang gila gara-gara Tan Zung. Padahal sudah banyak orang mau mendekatiku, tetapi aku tolak.”
“ Tindakanmu sangat tepat dan terpuji. Kita belum cerai resmi, koq sudah dijodoh-jodohin kepada orang lain?”
" Terpuji maho" sergahnya. “ Abang pura-pura lupa. Bukankah gara-gara Albert duduk disampingku, abang langsung “ menceraikanku”? Padahal kita sudah berhubungan selama lima tahun.
“ Magda, boleh aku minta? Jangan sebutkan nama itu lagi.!?
“ Duh..Zung. Menyebut namapun aku nggak boleh. Padahal, puluhan perempuan telah abang gauli; ya, perempuan malam, perempuan penjudi dan teman sekantor. Aku diam dan tetap sabar.”

“ Tadi aku baru bilang, cintaku egois. Meski aku jauh mengembara, tetapi hatiku tak pernah bergeser darimu.”
“ Abang kayak artis kebanyakan. Sebentar ceria, berjanji setia, menangis kemudian selingkuh. Semua keberpurapuraan.” balasnya terkekeh.
***
Perawat meminta Magda keluar dari kamar: “Mbak. boleh keluar sebentar? Aku mau melap tubuh mas Tan Zung.”
“ Biar aku yang bersihkan mbak,” ujar Magda.
“ Magda! Emang kamu bisa?” tanyaku setelah perawat keluar dari ruangan.
“ Tadi sudah kubilang, abang selalu berpura-pura. Abang lupa , dulu, ketika mabuk di ruang ”perpustakaan” aku mebersihkan tubuhmu, bahkan muntah abangpun aku bersihkan. Huh...kalau aku ingat itu, aku sangat marah terhadap diriku sendiri. Entah apalagi yang kuharap dari seorang pemabuk dan “don juan”( sama dan sebangun dengan play boy, pen -:)
“ Ada Magda. Cinta!” ( Bersambung)

Los Angeles. October 2009


Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Tuesday, October 13, 2009

Telaga Senja (141)


I LOVE YOU - Celine Dion
I must be crazy now/Maybe I dream too much/But when I think of you/I long to feel your touch /To whisper in your ear/Words that are old as time/Words only you would hear/If only you were mine

I wish I could go back to the very first day I saw you/Shouldve made my move when/you looked in my eyes/Cause by now I know that you'd feel the way that I do/And I'd whisper these words as you'd lie here by my side

I love you, please say/You love me too, these three words/They could change our lives forever/And I promise you that we will always be together/Till the end of time
So today, I finally find the courage deep inside/Just to walk right up to your door /But my body can't move when I finally get to it/Just like a thousand times before

Then without a word he handed me this letter/Read I hope this finds the way into your heart, it said
I love you, please say/You love me too, these three words/They could change our lives forever/And I promise you that we will always be together/Till the end of time

Well maybe i, I need a little love yeah/And maybe i, I need a little care/And maybe i, maybe you, maybe you, maybe you/Oh you need somebody just to hold you/If you do, just reach out and I'll be there

I love you, please say/You love me too/Please say you love me too/Till the end of time/These three words/They could change our lives forever/And I promise you that we will always be together

Oh, I love you/Please say you love me too/Please please/Say you love me too/Till the end of time/My baby/Together, together, forever/Till the end of time/I love you/I will be your light/Shining bright/Shining through your eyes/My baby

======================
” Bang....jangan ucapkan itu lagi. Aku masih Magda yang abang kenal lima tahun lalu. Aku tidak pernah berubah. Aku sudah siap menerima dengan segala keberadaanmu. Abang masih percaya kepadaku kan ?Till the end of time, together, forever I love you !”
=====================

UNGKAPAN perasaan tulus dari Magda menyemangati jiwa yang terlindas karena keangkuhan dalam pengembaraan. Magda datang menggapai tanganku serta menuntunku dari lembah kehancuran jiwa dan raga. Tabir kesombongan dan kepurapuraan itu telah berakhir, ketika ajal hampir menjemputku.

“ Zung, serius mau menikahiku? Kok nggak pernah ngomong ke aku?”
“ Ya. Beberapa menit sebelum kecelakaan, aku sudah sampaikan kepada Laura.”
“ Abang mau menikah dengan siapa sih? Dengan aku atau dengan Laura.?”
“ Dengan Magdalena Elisabeth perempuan batak yang tinggal di Medan Baru?”

“ Aneh! Apa hubungannya rencana pernikahan kita dengan Laura? “
“ Aku menyampaikan ke pada Laura, karena ada rencana mau keluar dari kantor. Kembali ke Medan dan menikahimu.”
Oalah ..bang. Buat aku degdegan. Kapan abang sampaikan itu kepada Laura.?”
“ Tidak berapa lama sebelum kecelakaan.?”
“ Abang dan Laura nggak ngantor?”

“ Oh..iya aku tidak masuk kantor. Aku sakit sepulang tugas dari Bandung. Waktu jam istirahat Laura membeli makanan untukku. Aku menyampakian rencana itu ketika kami sedang makan siang. Baru saja dia meninggalkan rumah, Laura mengalami kecelakaan. Aku berlari mau menolongnya, naas, dalam waktu bersamaan bajaj melaju kencang dan menabrakku hingga terlempar.”

“Jadi kalian bukan naik motor bareng? Aku kira abang dan Laura mengalami kecelakaan dalam waktu bersamaan. Maaf bang, aku salah mengerti. Abang tadi langsung marah ketika aku tanyakan. Bukannya diterangkan baik-baik.”
“ Itu makanya tadi aku langsung sesak. Magda menuduhku sebelum mendengar penjelasanku. Sudahlah, lupakan itu, entar kita ribut lagi."

“ Zung, Menurut dokter, kapan abang pulang?"
“ Aku belum tanyakan. Jika hidung dan bibir sudah sembuh aku minta pulang.”
“ Bagaimana dengan pangkal lengannya?”
“ Lebih baik perawatan alternatif, dukun patah.”
“ Aku akan tungguin abang sampai sembuh. Setelah sembuh, kita kembali ke Medan iya bang.!” bujuknya sembari mengelus kepalaku. “ Nanti berobat ke pak Ginting. Aku akan merawat abang sampai sembuh, lalu kita akan....”
“ Menikah?” sergahku
“ Jangan dululah bang. Kita akan berlibur ke Parapat atau ke Bali. Terserah abang. Setelah itu..'

“ Baru menikah?”
“ Belum! Abang nafsu amat sih? Ngomong dulu kepada mami dan Jonathan.”
“ Kalau mereka nggak setuju?”
“ Kita kabur bang,” ujarnya cekikan. Tetapi aku yakin bang, lanjutnya, Jonathan pasti nggak ada masalah. Mungkin mami keberatan, karena kita masih punya hubungan darah dari pihak mami.”
“ Bagaimana bisa kabur, aku buta?”
“ Zung, kerjain aku iya! Tadi perawatnya beritahu aku, matanya akan pulih seperti semula.”
“ Kok bisa dia cerita kepada Magda?”
“ Tadi perawatnya mengingatkanku agar aku tidak melayani abang ribut; “pasien itu cengeng, nggak boleh “diasapin" kata perawatnya. Magda ketawa renyah.
“ Iya. Tadi asapnya terlalu ngebul, akhirnya aku sesak.”
Halah.... Sakit nggak sakit tetap saja menjeng, maunya dibujuk dan dielus terus.”

“ Aku kan menjeng hanya kepada Magda. Menjeng pada orang lain bisa diludahin."
" Hhmm.. diludahin iya bang!? Bagaimana dengan Bunga, Mega, Ira, Susan, Maya dan Laura ..?"
" Heh..stop--stop...! Apa-apa nih. Magda cari perkara lagi iya? Beraninya sama orang buta!" Tawanya menggelegar ketika melihatku "menggelepar" setelah menyebut nama perempuan yang pernah singgah dan bertumbuh dalam kalbu.
" Bang, jangan serius seperti itu, jelek! Aku hanya mengingatkan memori abang agar lebih semangat.! ujarnya masih ketawa.
" Semangat? Ketika tubuhku remuk?"
" Nggak ah! Abang masih seperti dulu kok, kecuali bibirnya masih mencong!" ujarnya geli.
" Tetapi Magda masih sayang kan?"
" Asal hatinya jangan mencong lagi bang!"

" Pasti sudah ngak, janji. Magda tidak meragukan aku lagi kan?”
“ Apalagi nih bang,” ujarnya wanti-wanti.
“ Kalau masih mempercayaku, Magda pulang duluan. Aku menyusul.”
“ Nggak. Abang harus pulang bareng dengan aku .”
“ Magda, aku nggak tega meninggalkan Laura sendirian. Orangtuanya jauh di Yogya.”
“ Tadi mereka sudah datang kok. Aku tahu dari Lam Hot. Lam Hot dan Rima gantian nungguin Laura setelah mengantar mamatua pulang.”

“ Magda, selama ini Laura banyak membantuku.”
“ Zung, aku dan mamatua datang mau menjemput abang!”
“ Baiklah. Tetapi kita tungguin dulu dia pulang kerumahnya sebelum kita pulang. Magda masih punya waktu?”
“ Masih. Kalau kurang, nanti aku telepon ke kepala bagian.”
" Bagaimana dengan Rina? Kapan dia melahirkan?"
" Aku sudah titip ke mami. Menurut dokter, mungkin waktunya bulan depan, minggu pertama."
" Kapan pernikhan Maya?"
" Hehh..! Pikirin kesehatan abang saja dulu. Kok pikirannya ngawur kemana-mana," hentaknya.
" Kamu cemburu iya?"
" Ya!" jawabnya singkat sambil mencubit pipiku, geram. ( Bersambung)

Los Angeles. October 2009


Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/