Wednesday, October 21, 2009

Telaga Senja (146)


http://www.youtube.com/watch?v=3rbw8gP2bAs

Michael Bolton - I promise you
I will promise you, yes I promise to/Love you for all your life/Love you every day and night/I will always be there for you/I'll be in your arms, you'll be in my heart

CHORUS:
I'll love you forever, I promise you/We'll be together, our whole life through/There's nothin' that i, I wouldn't do/With all of my heart, I promise you

I will take your hand, and I'll understand/Share all your hopes and dreams / Show you what love can mean/Whenever life just gets too much for you/I'll be on your side, to dry the tears you cry

REPEAT CHORUS
Oh I will always be in your arms/And you will always be the flame/Within my heart
REPEAT CHORUS

========================
Ketika ibu agak berjarak dari kami, aku berbisik ke Magda; “ Magda, nggak usah cerita lagi mengenai mami. Tadi ibu sudah ingatkan, mamimu itu adiknya. Jadi kita mar ito ( sepupu, pen). Payah juga kamu. Entar gimana dong kita mau nikah? Masya menikah na mar ito ?”
==========================

Magda terdiam sejenak setelah mendengar tuturan ibu. Kemudian dia membalas bisikanku,” Aku nggak peduli. Ito iya ito, rencana pernikahan jalan terus. Kita kan nggak semarga!?” ketusnya. " Zung! Bukankah abang telah bertutur tulus kepada burung di udara tentang cinta yang membara? Dan ia telah menyampaikan itu dengan sempurna kepada diriku. Kenapa abang khawatir, menatap pada ranting tempat ia bertutur? Bagaimana sikap abang?” tanya dia gusar.

“ Aku tak berubah. Sekali layar berkembang pantang biduk surut berpulang”
“ Kalau kelak seluruh keluarga kita nggak setuju pernikahan kita?”
“ Menurut Magda bagaimana?”
“ Aku kan tanya abang!?”
“ Kita nikah catatan sipil saja.”
“Abang nggak menyesal, tanpa acara pesta penikahan? Padahal teman-teman kita semua meyelenggarakan pesta adat dan resepsi khusus ?”

“ Magda perlu pesta atau pernikahannya? Nanti setelah nikah baru kita selenggarakan pesta, mau?”
“ Iyalah. Apa kata abang, aku ikut.” Pembicaraan kami akhiri setelah ibu mendekat ke tempat tidurku.
“ Apa yang kalian bicarakan dengan berbisik-bisik?” tanya ibuku sambil menyuapiku.
“ Rencana pulang ke Medan. “ jawabku.
“ Mamatua, biar aku saja yang suapin” ujar Magda, lantas menarik piring dari tangan ibu. Wajah Magda sumringah setelah ibu menjauh dari kami. ”Payah mamatua. Selalu ingin tahu pembicaraan anak muda. Nggak bebas awak.” ujarnya dengan tawa.

“ Memang Magda mau ngapain?”
Halah...abang pura-pura. Iya entah ngapainlah. Ehh... dari tadi mata abang binar. Ada apa sih bang?”
“ Antingmu cantik, aku suka.”
Kan abang yang beli? Duh, aku jadi kelupaan, bilang terimakasih. Gara-gara cerita bohong Lam Hot, kita jadi heboh. Aku nggak menduga abang pintar memilih jenis anting kesukaanku. Titipan kalung berikut liontin telah aku terima dari ibu Susan sehari setelah pulang dari Jakarta. Terimakasih bang “ ujarnya seraya mencium pipiku. Malamnya, lanjut Magda, setelah ibu Susan memberi titipan abang, aku langsung telepon abang mau mengucapkan terimakasih. Tetapi abang lagi uring-uringan dengan Laura, marahnya ke aku. Besoknya juga aku telepon, kata ibu kost nggak boleh diganggu. Huh...seperti orang penting saja.“

Sementara Magda bicara, pikiranku mengembara, tentu saja ke Susan. Aku terharu atas kebaikan hatinya, tulus. Dia berusaha agar hubunganku dengan Magda terus berlangsung hingga ke jenjang pernikahan. Di airport, ketika aku menghantarkannya, dia berjanji akan memberikan kalungnya sebagai pengganti kalung yang pernah aku janjikan kepada Magda tapi belum kunjung ku berikan. Ternyata bukan hanya kalung yang dikenakannya saat itu diberikan kepada Magda, juga liontin dan sepasang anting bermata berlian.

Hehhh ...bang, kenapa bengong seperti itu, dengar nggak aku ngomong? Abang pasti ingat seseorang!”
“ Nggak. Arsiknya enak sekali,” jawabku mengalihkan pembicaraan serta pikiranku, liar.
“ Enak dinikmati dong. Bukan bengong seperti itu,” cecarnya. “ Ayo bang, ingat siapa. Ingat Susan?”
“ Iya, Susan itu sangat baik kepadaku dan kepadamu juga. Tetapi entah kenapa malam itu, kamu bringasan karena mendengar aku tidur bersama dengan dia.”
“ Kan abang yang ngaku sendiri?”
“ Iya sudahlah ‘yang. Nggak usah diungkit lagi. Tetapi yang pasti, aku tidak pernah tidur sekamar dengan Susan selama di Jakarta. “
“ Maaf bang. Mungkin malam itu aku terlalu was-was karena, dulu, abang sering tidur sekamar dengan dia.”

“ Itu kan cerita lama. Lagian, aku tidur dirumahnya hanya untuk menemani dia karena suaminya sedang berada di London. Kami tidak pernah melakukan yang tidak patut. Bulan lalu kan aku sudah janji, tidak akan menodai kesucian itu, meski kadangkala tergoda."
“ Kan, bengal abang keluar, dasar! "
“ Magda beritahu ke Susan bahwa aku mengalami kecelakaan?”
“ Nggak bang. Aku takut dia ikut datang bezoek abang!
“ Kenapa Magda takut.?”
“ Aku tidak siap jika Susan menciumi dan memelukmu didepan mataku, meski itu hanya ekpresi persaudaraan, karena sebelumnya abang dan dia....”
“ Sudah...sudah, lupakan dia, nggak usah diteruskan lagi.” potongku sebelum dia mengakhiri ucapannya.
" Tetapi aku mengakui kebaikannya kok. Kini, aku dianggapnya seperti adik sendiri. Kebetulan dia putri satu-satunya. Sepeninggal abang, hampir setiap akhir pekan, dia selalu meneleponku. Jika suaminya sedang tugas ke luar kota, kadangkala aku diajak ke bar tempat abang dan Susan selebor, dulu." tawanya.
***
Sebelum berangkat menuju ke ruang rawat Laura, aku tanyakan Magda, apakah siap mental bila ketemu Laura. “ Siap bang!” jawabnya.
Kami tidak menemukan Laura di ruangan ICU, menurut perawat yang menanganinya, dia sudah pindah ke ruangan recovery. Baru saja kami tiba di depan pintu ruangannya, dia memanggil namaku,” Mas...! Mas Tan Zung! Mas sudah bisa jalan?” teriaknya. Seperti aku telah duga sebelumnya, Laura langsung mendekapku erat setelah mendekat. Kemudian dia menebak, “ Yang ini pasti mbak Magda, benarkah mas!? Aku mengangguk. "Mbak......akhirnya ketemu juga.” Magda membalas pelukan Laura. Mereka berpelukan cukup lama.

Laura dan Magda saling menitikkan air mata. “ Mbak, sudah mulai baikan? sapa Magda, sambil mengusap airmatanya. Laura kembali memeluk Magda dan dia membisikkan sesuatu kepada Magda. Magda menggangukkan kepalanya kemudian mencium pipi Laura diakhir bisikan Laura. “ Mas Tan Zung, kesini!" panggilnya. Secara bergantian, Laura mencium pipiku dan pipi Magda.
“ Selamat berbahagia” ucapnya dengan suara serak. “ Mbak, aku nanti pasti datang pada pernikahannya meski masih pakai kursi roda.”
***
Aku memperkenalkan kedua orangtua Laura kepada Magda. “ Mam, mbak Magda sengaja datang dari Medan mau bezoek mas Tan Zung. Nggak lama lagi mereka akan menikah,” ucap Laura. Kedua orangtua Laura memelukku, hangat; ” Syukurlah, kesehatan mas Tan Zung sudah mulai pulih. Kapan rencana keluar dari rumahsakit?” tanya mami Laura.
" Mungkin lusa bu.”

“ Mbak Magda, kapan kembali ke Medan? selah Laura.
“ Setelah dokter mengijinkan abang Tan Zung boleh naik pesawat.”
“ Mas Tan Zung mau ikut pulang ke Medan? Tungguin aku keluar dari sini dong! Nggak lama lagi kok. Menurut dokter aku boleh rawat jalan. Aku juga mau kembali ke Yogya,” pintanya memelas.
Aku dan Magda saling pandang mendengar permintaan Laura. ( Bersambung)

Los Angeles. October 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment