Sunday, September 27, 2009

Telaga Senja (128)

CATS:One Way Wind
You said some winds blow forever/and I didn’t understand/but you saw my eyes were asking/and smiling you took my hand so we walked along the seaside/where trees grow just one way/pointing out the one direction/that the wind blows day after day.

One way wind/one way wind/are you trying to blow my mind ?/One way wind/one way wind/is she her that I hoped to find/
why you blow the cold every day /tell me what are you try to say.

No I don’t know all about you/and maybe I never will/but I do know ev’ry word of/our talking upon the hill/and whenever I will see you /for maybe one more time/I’m sure I’ll get the answer/that the wind has still in mind.

==================
“ Teman dari Jakarta,” jawabku ketika Tia menanyakan siapa perempuan itu. Selanjutnya aku tak tahu Laura pergi entah kemana.
“ Bukannya kemarin calon isterinya datang dari Jakarta.?”
“ Baru saja kami “cerai” ujarku disambut tawa Tia.
==================
TEGURAN Laura menyangkut pekerjaan terus menggangu pikiran kala aku dan Tia pergi ke klub malam. Bagaimana pula Laura tahu kalau aku telah merekayasa hasil audit kami padahal aku melakukannya tanpa sepegetahuannya. Mungkinkah dia masuk kekamar tanpa sepengetahuanku? Pikiran terus berkecamuk hingga tiba di klub malam. Tia menegur setelah melihat perubahan diriku, lantas mengajak melantai. Meski tak punya gairah, aku mengikuti irama musik seiring dengan langkah Tia. “ Pikirin apa sih mas?” tanya Tia setelah merasakan gerakanku seadanya walau dia berulangkali mendekapku erat.

Aku semakin gelisah saat wajah Tia menempel diatas dada, aku melihat sosok mirip Laura masuk, dia memilih duduk di ujung ruangan. Perlahan aku melepaskan pelukan Tia dan mengajaknya kembali duduk. Aku menutupi kegelisahan itu dengan menambah porsi minuman. Tia hanya senyum ketika aku meminta minuman “double”.

Mataku liar mencari sosok Laura dalam temaran cahaya ditengah riuhnya pengunjung. Tia mendekatkan mulutnya ke telingaku sambil menunjuk ke sebuah meja, ” Sepertinya aku mengenal perempuan itu. Dia Lala, panggilan akrab Laura, dari kantor pusat iya mas!?” tanyanya.

Benar, Laura duduk sendirian. Aku melihat dua kursi kosong disana. Awalnya aku ingin menemuinya tapi urung, bahkan aku menolak ketika Tia mengajakku bergabung dengan Laura. Sejenak Tia meninggalkanku menuju meja Laura sekaligus ia ingin memastikannya.

Tia dan Laura berpelukan, bicara sejenak kemudian kembali menemuiku. Tia heran ketika aku menolak duduk bersama Laura.” Bukankah mas sekantor dengan Lala? Lala datang dalam rangka apa?” tanyanya. Tia pun kaget ketika aku beritahu, Laura datang untuk membantu menyelesaikan pekerjaanku. “ Tadi Tia nggak lihat siapa temanku ribut didepan kamar,?” tanyaku.

“ Nggak, Aku nggak tahu dengan siapa mas ribut!. Ah...ayolah kita kesana, aku nggak enak nih,” ujarnya sambil menarik lenganku secara paksa. Laura tak membalas sapaanku ketika aku menemui ke tempat duduknya, kecuali memandangku dengan tatapan kosong. Aku semakin kalap. Kalau saja Tia tidak bersama kami, ingin segera meninggalkannya.

Sementara Laura dan Tia masih asyik ngobrol, minuman dengan porsi double terus ku libas. Pada pesanan berikut, tangan Laura menahan gelasku berisi minuman, “ Cukup!” hentaknya dengan tatapan tajam. Tia senyum kecut mendengar hentakan Laura. Merasa ada “angin” aku mengajak Laura turun tetapi ditolak. Wuih...angin palsu rupanya batinku.
Gagal dengan Laura, aku menarik tangan Tia, mau. Menghilangkan rasa dongkol terhadap Laura, sengaja aku menahan Tia lebih lama di depan mengikuti alunan musik hingga kaki terasa pegal. Kembali ke tempat, aku tak menemukan Laura disana kecuali gelasku dan gelas Laura telah kosong. Tia ikut-ikutan mencegahku ketika menambah minuman. Dia menyodorkan minumannya yang masih tersisa. Tak lama berselang, Tia mengajak kembali ke kamar setelah seseorang datang menjemput kami. Sebelum keluar dari ruangan, aku pastikan kalau Laura sudah tidak ada lagi didalam night club.

Tia bersikeras mengantarkanku masuk kekamar walau aku menolaknya. “ Mas jalannya sempoyongan,” dalihnya. Padahal aku merasakan langkahnya juga sudah tak beraturan. Tiba dikamar, aku menemukan Laura duduk sendirian dengan kepulan asap rokok menyengat. Untuk kesekian kali aku melihat Laura mengenakan pakaian minim setelah beberapa minggu sebelumnya kami jalan ke pantai di Yogya. Laura menyambut sapaan Tia lantas berdiri meninggalkan aku dan Tia di kamar. Dia menepiskan tanganku dan tak mau menjawab ketika aku menanyakan dia mau kemana.

Sepeninggal Laura, Tia terhempas diatas tempat tidurku.” Mas aku numpang tidur sebentar, kepalaku pusing,” mohonnya.
Tingkah Laura sejak di klub malam hingga aku menemukannya sendiri di kamarku, menambah rasa ingin tahu, apa maunya. Aku tinggalkan Tia sendiri dikamar setelah aku berusaha memulihkan “ ganguan syaraf “ lewat semedi singkat dikamar mandi.

Dengan suara pelan dan bujuk rayu aku mengetuk kamar Laura, namun tak ada jawaban. Hal itu berlangsung kurang lebih lima belas menit. Aku tetap bertahan didepan pintu kamarnya sambil mengetuk pintu kamar dengan irama ketukan yang berbeda. Mungkin merasa terganggu atau kasihan, Laura membuka pintunya tanpa sepatah kata. Tampakku ekpresi wajahnya tak bersahabat, kemudian mengajukan pertanyaan bodoh, “ Aku menggangumu Laura.!?”

“ Ya” jawabnya singkat tanpa menyilakan aku masuk.
“ Boleh aku masuk,?”
“ Perlu apa?”
“ Memenuhi janjiku tadi malam. Aku mau menjelaskan kenapa aku “memperbaiki” laporan keuangan.”
“ Aku mau istifrahat mas. Kita selesaikan besok di kantor Jakarta saja,” ujarnya sambil menutupkan pintu. (Bersambung)

Los Angeles. September 2009

Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/