Wednesday, July 29, 2009

Telaga Senja (90)







http://www.youtube.com/watch?v=t97o2kbXVPg

All my life was a paper once plain, pure and white /Till you moved with your pen changin' moods now and then /Till the balance was right /Then you added some music, ev'ry note was in place /And anybody could see all the changes in me by the look on my face

And you decorated my life, created a world where dreams area apart /And you decorated my/life by paintin' your love all over my heart /You decorated my life

Like a rhyme with no reason in an unfinished song /There was no harmony life meant nothin' to me, until you cam along /And you brought out the colors, what a gentle surprise /Now I'm able to see all the things life can be shinin' soft in your eyes

And you decorated my life, created a world where dreams are a part 'And you decorated my life by paintin' your love all over my heart /You decorated my life

==========================
Laura hanya memandangku, tersenyum pahit, tak bergairah mendengar jawabanku yang spontan. Lagi-lagi aku menyesali jawabanku, tak menyadari telah menyinggung perasaanya. Segera aku mengusap-usap wajahnya;” maaf Lauara mulutku latah,” ujarku. ============================


Mathias manager hotel menyerahkan kunci kamar kepada Laura. Aku menahan Lauara ketika dia beranjak dari tempat duduknya dengan wajah masih murung. “ Laura, kamu terlalu sensitif, nggak bisa membedakan canda dengan serius. Pada hal sudah cukup lumayan lama kita bersahabat.”
“ Aku nggak apa-apa kok mas. Memang benar, aku belum cukup dewasa untuk memilih teman hidupku.”
“ Kenapa jadi serius seperti ini. Tadi kita sudah bicara dari hati kehati, terbuka hingga masalah pacarku.”

“ Aku kan nggak bilang apa-apa. Aku setuju, apa yang mas katakan benar.” ujarnya sambil berusaha melepaskan peganganku.
“Tunggu! Laura nggak boleh pergi sebelum wajahmu kembali cerah, tidak murung seperti itu.”
“ Cerah? Itu ekspresi dari hati mas.”
“ Jadi Laura marah?”
“ Kalau” iya” kenapa, kalau “nggak” kenapa?” tantangnya.
“ Kalau “iya” aku pulang besok dengan Lam Hot dan Rima. Kalau “nggak”, berikan aku ciuman selamat malam tiga kali, sebelum Laura meninggalkan kamar ini.”

Laura tersenyum dan menggelengkan kepalanya mendengar jawaban atas tantangannya, pertanda hatinya mulai pulih. Hal itu terlihat dari wajahnya mulai cerah dan dia meresponi:
“ Kenapa mesti tiga kali mas?”
“ Satu ciuman atas nama Rina, kedua dari Magda dan terakhir dari Laura sendiri.”
“ Kenapa nggak berikut dari ibu Susan?” ujarnya berusaha melepaskan tanggannya sambil memutar tubuhnya.
“ Lho, kok nggak satupun...? Berarti Laura masih marah?”
“ Mas serakah !” ujarnya diiringi ketawa lantas meninggalkanku dalam posisi berdiri.

Segera aku melompat ketempat tidur dengan perasaan lega. Laura telah mengetahui jelas hubunganku dengan Magda, kini aku dan dia telah mempunyai sekat pembatas. Namun aku masih ragu Laura dapat segera menghapus benih cinta yang ditabur selama beberapa bulan terhadap diriku. Apalagi pada situasi dimana dia dihimpit persoalan rumit dengan kedua orangtuanya. Aku yakin Laura masih butuh teman pendamping, setidaknya hingga Gunawan meninggalkan tanah air. Sementara keharmonisan papi dan mami Laura pada sumbu siap bakar akibat penolakan Laura atas pinangan orangtua Gunawan.

Dalam pembaringan malam, gumpalan hitam gelap terasa menutup bola mata sementara ‘roh” telah meniggalkan tubuh, menghantarkan nyenyak dalam peraduan. Sesaat kemudian Laura berbalik menemuiku; dia telah berdiri disisi ranjang kala mata telah kompromi dengan badan melepas penat.

“ Mas, tolong antarkan aku kekamar, aku takut jalan sendiri.” ujarnya sambil menarik lenganku. Aku berusaha membuka mata yang baru saja terpejam namun terasa sangat berat. Laura menepuk wajahku : ” Kok mas tega membiarkan aku jalan sendiri, pagi begini. Ntar orang kira aku perempuan nakal. Ayo dong mas antarkan aku kekamar, tetapi nggak ada jatah-jatahan.” ujarnya geli setelah dilihatnya aku bangkit dari tempat tidur.

***
Pagi sekitar pukul enam, Laura kembali menemuiku ke kamar, sementara aku masih terlelap. Aku terjaga dari tidur ketika Lauara menghidupkan radio. Dia melemparkan senyuman kala mengusap mataku meyakinkan diri bahwa sosok perempuan yang duduk di kursi menghadapku adalah Laura. Pagi itu, pakaian yang membalut tubuhnya berbeda dengan yang dikenakan sebelum kami berpisah tidur. Laura kelihatan lebih bugar. Kali pertama aku melihat Laura mengenakan rok yang terbuat dari bahan jeans, serasi dengan warna t-shirt. Lipstik tipis menempel pada bibirnya serasi dengan warna bedak yang melekat pada wajahnya. Kelopak matanya masih menyisakan lekukan tipis karena derita yang mendera malam sebelumnya.

Duh, kamu sejak tadi malam tak hentinya mengganggu. Minta antar ke kamarlah, sekarang mau apalagi,” ucapku sambil menghampirinya.
“ Kelihatan mas tidur nyenyak.”
“ Laura puas tidur.?”
“ Nggak. Aku tidak bisa tidur. Gelisah terus. Aku ngiri melihat mas dapat tidur nyenyak.”
“ Salah sendiri. Kamu gelisah karena tidak menunuaikan kewajibanmu.”
“ Kewajiban apa?”
“ Tak menyalurkan “jatah”pengantar tidurku.
“ Oalah.., kirain mas serius.”

“ Serius! Sampai-sampai aku bawa dalam mimpi."
" Mimpi apa mas?" tanyanya geli.
" Tadi malam aku bermimpi duduk ditepian telaga kala senja. Sejumlah bidadari mengerumuni; mereka berebutan ingin menciumiku, tetapi tak satupun yang kesampaian karena nggak sabar menunggu giliran.” tuturku.
Laura tertawa lepas,” jangan-jangan bidadarinya "pemain biola"mas," ujarnya menirukan ucapanku sehari sebelumnya.

“ Pukul berapa pagi tadi Laura pulang kerumah?”
“ Mungkin sekitar pukul empat. Tadi aku datang kesini pukul setengah enam, mas masih tidur lelap. "

" Ngapain Laura datang pagi-pagi? Mau bayar utang?"
" Nggak. Aku nggap punya utang pada mas. Hari ini aku mau mengajak jalan bareng dengan adik Lam Hot, sebelum mereka kembali entar malam.”
“ Boleh aku ikut pulang dengan mereka.?”

" Lho, tadi malam mas sudah bersedia kita pulang minggu depan."
" Aku sudah puas menikmati udara sejuk dan "panas"nya Yogya."
" Ah...nggak pernah panas tuh. Selama kita disini memang cuacanya mendung tetapi sejuk kok, " balasnya polos.
" Mendung disertai hujan air mata, " ujarku. Magda baru sadar kalau bahasaku bersayap.
" Mas, nggak usah disinggung lagi, tolonglah..!"

" Okey, daripada kamu gantung diri. Berapa hari lagi kita disini.?"
" Kita pulang besok lusa , sore, kalau mas sudah bosan.!"
" Dan selama itu pula aku menjadi body guard atau kekasih bayangan.?"
" Mas pilih yang mana.?"
" Kedua-duanya. "
" Bagaimana sebagai seorang sahabat.?"
" Apa beda sahabat dengan kekasih."

" Sahabat itu teman sejati mas. Tak mengharapkan sesuatu imbalan kala mengulurkan tangan membantu seseorang dalam kesulitan. Kekasih sewaktu-waktu dapat putus, jika tidak sesuai dengan keinganannya," ujarnya dengan derai tawa.
" Aku milih yang terakhir."
" Mengapa?"
"Karena sewaktu-waktu aku dapat memutuskan bila tidak sesuai dengan keinginanku." ( Bersambung)

Los Angeles, July 2009

Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Tuesday, July 28, 2009

Telaga Senja (89)



http://www.youtube.com/watch?v=CR3hg452VGc

I must be crazy now/Maybe I dream too much/But when I think of you/I long to feel your touch
To whisper in your ear/Words that are old as time/Words only you would hear/If only you were mine

I wish I could go back to the very first day I saw you/Should've made my move when you looked in my eyes/'Cause by now I know that you'd feel the way that I do/And I'd whisper these words as you'd lie here by my side

I love you, please say/You love me too, these three words/They could change our lives forever/And I promise you that we will always be together/Till the end of time

So today, I finally find the courage deep inside/Just to walk right up to your door/But my body can't move when I finally get to it/Just like a thousand times before

Then without a word he handed me this letter/Read I hope this finds the way into your heart, it said

I love you, please say/You love me too, these three words/They could change our lives forever/And I promise you that we will always be together/Till the end of time

Well maybe I, I need a little love yeah/And maybe I, I need a little care/And maybe I, maybe you, maybe you, maybe you/Oh you need somebody just to hold you/If you do, just reach out and I'll be there

I love you, please say/You love me too/Please say you love me too
Till the end of time/These three words/They could change our lives forever/And I promise you that we will always be together

Oh, I love you/Please say you love me too/Please please/Say you love me too /Till the end of time/My baby/Together, together, forever/Till the end of time/I love you/I will be your light/Shining bright/Shining through your eyes My baby

==================
Jadi untuk sementara ini aku masih pilihan utama dong,?" candaku.
" Wajah mbak Magda membayang-bayangiku mas." jawabnya serius.
" Aku....Gunawan....pilih mana, seandainya..."
" You're still the one, but not belong to," jawabnya sambil mengelus wajahku.
===================

TIDAK terlalu kaget mendengar pengakuan Laura tentang hubunganku dengan Magdalena. Aku menduga Laura terus berkomunikasi dengan Rina di Medan. Memang, aku juga pernah mengaku pada Laura, kalau aku masih punya hubungan dengan Magdalena. Tetapi saat itu Laura tidak terlalu memperhatikan pengakuanku. Boleh jadi, aku dianggap hanya dalih untuk menghindar darinya, kala itu. Laura pernah berbicara singkat dengan Magdalena, ketika di berulang tahun. Setelah itu, ternyata Laura masih berkomunikasi dengan dia melalui Rina.

"Laura pernah berkomunikasi dengan Magda setelah mengucapkan selamat pada hari ulang tahunnya .?"
“Iya. Tadinya Magdalena enggan berbicara denganku, mungkin dia cemburu. Dikiranya kita sedang pacaran.?”
“ Menurut Laura, kita ini sedang apa.?” pancingku.
“ Nggak tahu!” jawabnya. Laura tak mau menjawab secara terus terang.
" Kamu tidak pernah mau terbuka Laura. Katakan sejujurnya, aku ingin mendengar langsung dari mulutmu," desakku.
" Ya. Aku sempat mencintai mas."
" Sempat atau masih.?"

" Cukuplah mas. Masya sih semuanya harus kujawab. Mas kan punya rasa.?"
" Terus bagaimana lanjutan cerita mu dengan Magda.?"
“ Mas, saat aku menyampaikan selamat hari ulangtahun kepada mbak Magda, dia kurang bersemangat menyambut ucapan selamat dariku. Pagi harinya, aku menelpon Rina. Kami bicara lama; dia mengungkapkan perihal hubungan mas dengan mbak Magda. Selama ini aku mengira, kalau mas telah putus dengan mbak Magda. Rina menyarankan agar aku menelpon mbak Magda malam hari.

" Apa perlunya Laura menelepon Magda?"
" Aku mau mengaku jujur, bahwa sebelumnya, tidak tahu kalau mas masih punya hubungan dengan mbak itu."
" Setelah Laura tahu, kemudian bagaimana.?"
" Aku membatasi diri, meski itu sangat berat. "
" Apa saja yang kalian bicarakan."
" Banyak mas. Malam harinya aku bicara lama dengan mbak Magdalena. Tadinya aku mengira dia nggak mau bicara denganku, ternyata dia begitu baik, hangat dan menyenangkan. Mbak Magda tak sedikitpun merasa cemburu meski aku ceritakan kebersamaan kita. Mbak Magda mengaku, masih percaya dengan kejujuran mas. Rupanya mas sudah cerita juga tentang aku iya?”
“ Ya. Aku ceritakan kalau Laura calon isteri kedua,” candaku. Wajahnya tiba-tiba cemberut setelah mendengar candaku. Oalah...perempuan yang satu ini sukar diajak bercanda, pikirku.

“ Mas sudah cukup dua,?” tanyanya sinis.
“ Lho, kok serius? Terus bagaimana lanjutan ceritamu dengan Rina.?” ujarku sambil menepuk wajahnya yang masih cemberut.
“ Mbak Magda dan Rina mengundangku ke Medan kalau Rina sudah melahirkan.”
“ Laura menyesal berteman denganku setelah berbicara dengan Magda.”
“ Nggak. Sedikitpun tidak ada rasa penyesalan. Malah aku merasa beruntung berkenalan dengan mas yang telah berlumur dengan "dosa-dosa asmara" berikut sejuta pengalaman. Tetapi aku heran, bagaimana seorang mahasiswa dapat pacaran dengan ibu dosennya,” sindirnya.

“ Magda menceritakan itu juga padamu?”
“ Oh..bukan. Sebelumnya Rina yang cerita. Aku nggak tega menanyakan itu pada mbak Magda. Rupanya mas bermata belang," ujarnya diiringi tawa.
" Nggak jugalah. Wong waktu itu aku sudah sempat putus dengan Magda kok. Jadi aku nggak salah, karena tidak punya ikatan lagi dengannya. Aku bebas berteman dengan siapapun; Demikian sebaliknya, Magda bebas berteman dengan lelaki pilihan hatinya."
" Tetapi hingga saat ini, mbak Magda nggak punya teman dengan siapapun kecuali dengan mas."
" Salah dia sendiri," jawabku sambil ketawa.
Laura menanggapi serius. " Mas nggak mengerti perasaan perempuan. Tidak semudah itu melupakan seseorang yang telah dicintainya selama bertahun-tahun.!"
" Ya aku mengerti. Itu sebabnya aku kembali kepadanya. Jujur, aku juga sukar melupakannya. Dulu, dengan Susan hanya pelarian dan pelampiasan hati yang terluka."
" Terluka? Tapi mas masih mampu "mengobral" cinta.?"

“ Luara Sudah! Itu kisah masa lalu, tidak usah diungkit lagi,” pintaku.
“ Jadi mas sudah bertobat?” tanyanya.
“ Iya. Bertobat pacaran dengan perempuan yang masih bersuami, apapun alasannya.”
“ Emang mas, cinta itu bagai suatu misteri yang sukar dimengerti. Selalu mencari celah bagaimana mendapatkannya, bahkan kadangkala mampu membohongi diri sendiri.”
“ Untuk kasus yang satu ini, aku rasa nggak. Cinta itu membutakan, iya. Entahlah kalau itu kamu sebut misteri. Karena aku "buta" dibutakan oleh cinta pelarian sehingga tak mampu menempatkan cinta itu pada proporsi yang sebenarnya. Aku, melabrak norma-norma kepatutan. Pacaran dengan perempuan yang telah bersuami adalah tindakan maha bodoh, apapun alasannya.”

“ Apa sih alasannya mas tertarik dengan ibu Susan,? “ tanyanya serius.
“ Laura ! Aku menjawab pertanyaan terakhir, setelah ini jangan dilanjutkan lagi, okey !? Meski Susan sudah menikah bertahun-tahun lamanya, tetapi suaminya tak mampu memberi nafkah lahir batin. Susan masih tetap seperti gadis. Mengerti maksudku?”
“ Lho, kok bisa begitu.?”
“ Cukup Laura. Kita bicara yang lain saja.”

***
Tak terasa pembicaraan kami melebar hingga pada kisah cintaku dengan Magda dan Susan, sementara waktu telah menunjukkan pukul dua pagi. Laura menolak kuantar pulang kerumahnya. Dia menelepon front office, meminta kunci kamar kosong.
“ Apa mami nggak curiga kalau Laura sendirian tidur di hotel?”tanyaku.
“ Nggak. Apa bedanya aku tidur dirumah dan disini?”
“ Oh..iya, aku lupa kalau hotel ini milikmu.?”
“ Bukan. Ini masih milik orang tuaku.” jawabnya ketawa. “ Mas, Setelah aku diwisuda, papi-mami menganggap aku telah cukup dewasa menjaga diri,” imbuhnya.
“ Hanya masalah jodoh Laura belum dianggap dewasa,” balasku.

Laura agak kaget mendengar celutukanku. Dia memandangiku, lama, dan tersenyum pahit tak bergairah. Lagi-lagi aku menyesali diriku sendiri karena celutukan itu telah menyinggung perasaanya. Segera aku mengusap-usap wajahnya;” maaf Lauara mulutku latah,” ujarku. Laura tetap menatapku dengan kerut wajah murung. ( Bersambung)

Los Angeles, July 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Saturday, July 25, 2009

Telaga Senja (88)






http://www.youtube.com/watch?v=WXtc-TH0Iv4


You're Still The One /Looks like we made it /Look how far we've come my baby /We mighta took the long way /We knew we'd get there someday

They said, "I bet they'll never make it" /But just look at us holding on /We're still together still going strong

(You're still the one) You're still the one I run to /The one that I belong to /You're still the one I want for life

(You're still the one) You're still the one that I love /The only one I dream of /You're still the one I kiss good night

Ain't nothin' better /We beat the odds together /I'm glad we didn't listen /Look at what we would be missin'

They said, "I bet they'll never make it" /But just look at us holding on /We're still together still going strong

(You're still the one) You're still the one I run to /The one that I belong to /You're still the one I want for life

(You're still the one) You're still the one that I love /The only one I dream of /You're still the one I kiss good night (You're still the one) You're still the one I run to /The one that I belong to /You're still the one I want for life

(You're still the one) You're still the one that I love /The only one I dream of /You're still the one I kiss good night I'm so glad we've made it /Look how far we've come, my baby.

=========================
“ Sebenarnya sudah sejak tahun lalu mas. Tetapi baru kemarin dulu, aku secara tegas menolaknya. Mami semakin gelisah setelah Laura dan mas datang bareng.”
“ Lho, aku punya andil dalam masalahmu?”
“ Iya. Pemicunya,” jawab Laura getir diiringi senyum, pahit.
=========================

HARI pertama tiba di Yogya, kedua orangtua Laura menjamuku makan bersama disebuah restauran. Sejak berkenalan dirumah hingga ke restauran , tidak sedikitpun maminya menunjukkan antipati . Kini aku baru sadar, kenapa tingkah Laura padaku saat itu agak berlebihan terhadapku; dia duduk melekat di sampingku. Didepan mami dan papinya, memilih jenis makananku. Tak sungkan pula menaruh makanan keatas piringku, bahkan mangkuk sup satu untuk berdua, meski ada tersedia dua mangkuk. Juga sikap manjanya sengaja" dipertontonkan" dihadapan papi dan maminya. Ternyata dia punya skenario cantik, ku maknai, "mam berhentilah bermimpi, karena Laura tidak akan mau menerima pinangan orangtua Gunawan; Never ever". Laura dalam gaya seakan berucap: nih....mam aku sudah punya gacoan, don't bother me.

“ Laura menyesal datang bersamaku.?”
“ Nggak juga. Bahkan aku merasa beruntung karena “lahar” yang selama ini terpendam tersembur walau sangat menyakitkanku.”
“ Bagaimana dengan tantemu yang di Jakarta? Mereka setuju dengan pilihan mami .?”
“ Oh..nggak. Tante dan om Felix sangat dekat denganku; mereka nggak pernah mencampuri urusan pribadiku.”

Agaknya Laura lega setelah menuturkan balada hidupnya. Aku mencoba mengakhri kenangan Laura yang masih mendulang duka. Aku bujuk dia duduk diruang tengah kamar itu. Meski berhasil menggiringnya pada “wilayah” lain yang tak bersentuhan dengan luka yang dialaminya kini, sesekali dia masih mengeluhkan penderitaannya. Rupanya dia belum puas mencurahkannya dalam tangis. Akhirnya aku biarkan dia menuturkan kisah cinta Gunawan yang tak kesampaian.

“ Apapun yang terjadi mas, Laura tak bakal menuruti kemauan mami.”
“ Apakah nggak ada pertimbangan lain, misalnya, menjaga keharmonisan diantara keluarga. Bukankah papi juga jadi korban kebencian mami dan tantemu yang di Solo.?”
“ Mas, ini pesoalan hati. Maksud mas, aku menjadi “srikandi” ditengah keluarga, meski itu hanya kemunafikan.?”

“ Laura, cinta itu dapat lahir dan bertumbuh seiring kebersamaanmu dengannya dalam keseharian.”
“ Bagaimana dapat lahir dan bertumbuh, bertemupun aku tak sudi.”
“ Laura mungkin menyimpan akar pahit dengan Gunawan.?”
“ Bukan juga. Gunawan itu pengecut. Aku mulai muak melihatnya sejak tahun lalu. Seminggu sebelum berangkat ke Perancis, kepada sejumlah teman, dia mengaku bahwa aku dan dia telah bertunangan. Padahal, belum sekalipun Gunawan berbicara langsung kepadaku. Gunawan hanya bersembunyi dibawah bayang-bayang orangtuanya dan mamiku.”

“ Laura dan Gunawan satu kampus.?”
“ Ya. Dia diatasku satu tahun.”
“ Jadi selama kuliah, Gunawan belum pernah mengungkapkan isi hatinya?”
“ Belum. Aku juga ragu dengannya, sepertinya dia lebih suka dengan teman sejenisnya.!”
“ Hah..! Jangan-jangan Gunawan dan om Laurance ....”
“ Nggak ah. Mas ngaco. Tahun depan om Laurance akan menikah dengan perempuan Perancis.”

“ Tahu dari mana kalau Gunawan pemain anggar.?” tanyaku geli. Laura mengenyitkan dahinya medengar pertanyaanku. Menurutnya pembicaraan sudah nggak nyambung.
“ Mas ngantuk iya. Laura nggak pernah bilang Gunawan pemain anggar. Mas, sok tahu,” ujarnya serius.

Laura semakin kesal ketika aku tertawa lepas mendengar rasa kesalnya. “ Apa sih yang lucu, mas!?” tanyanya.
“ Pemain anggar itu sama dan sebangun dengan gay,”terangku.

Spontan Laura memukul-mukul dadaku sambil tertawa diiringi rasa malu. Laura seakan telah melupakan siksa deritanya; ketawanya semakin menjadi-jadi setelah aku menjawab pertanyaannya lagi , “ kalau perempuan suka dengan perempuan, kemarin apa mas bilang?”
“ Pemain biola,” jawabku. Aku membiarkannya, sejenak , berenang dengan rasa gelinya.

“ Bagaimana dengan om Laurance, dia setuju Gunawan menjadi suamimu.?”
“ Om tak pernah menyinggungnya. Tetapi aku yakin, dia tak akan mau mencampuri urusanku. Om itu sudah pernah merasakan bagaimana sakitnya ketika berpisah dengan calon isterinya, dulu.”
“ Tetapi itu kan masalah perpisahan antara calon isteri dengan calon suami. Masalahmu masih dalam tahap perjodohan.”
“ Tahap perjodohan? Denga siapa mas? Aku tak pernah merasakan Gunawan menjadi jodohku.”

“ Iya. Tetapi yang pasti, mami menjodohkanmu dengan Gunawan bukan?”
“ Itu tanpa sepengetahuanku. Kok mas belum mengerti juga,?” ucapnya dengan kesal.
“ Iya sudah. Kita bicara yang lain saja. Atau Laura mau pulang?”
“ Nggak. Aku nggak mau pulang.”
“ Jadi malam ini mau bergadang sampai pagi. Eh...besok kita berangkat siang atau sore hari?”
“ Nggak jadi mas. Nggak ada tiket.”
“ Kapan jadinya kita kembali ke Jakarta? Atau aku duluan.?"

“ Mas, masih mau menolongku? Kita pulang minggu depan. Selama mas disini, kita tetap jalan sama.”
“ Aku jadi nakhoda atau penopang layar perahu yang hampir karam.?”
“ Terserah mas mau jadi apa.”
“ Kapan Gunawan kembali ke Perancis.”
“ Nggak tahu mas. Sejak dia datang dari Perancis, aku belum pernah bicara berdua dengannya. Kan tadi aku sudah bilang.!?”

" Jadi untuk sementara ini aku masih pilihan utama dong,?" candaku.
" Wajah mbak Magda membayang-bayangiku mas." jawabnya serius.
" Aku....Gunawan....pilih mana, seandainya..."
" You're still the one, but not belong to," jawabnya sambil mengelus wajahku. ( Bersambung)

Los Angeles, July 2009
Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (87)

=====================
Agaknya ada sesuatu yang mau disampaikan tetapi isak tangis mendahuluinya. “ Iya papi hanya sendiri menghadapi kekerasan hati mamiku, om dan tante yang di Solo sama keras hatinya dengan mami. Tiba-tiba Laura memelukku sangat erat, terucap kata sangat menyentuh hati; Mas, Papi kandungku telah pergi ketika aku berusia dua tahun.”
=====================
Bagai banjir bandang Laura menumpahkan siksa derita lewat airmata yang akhir-akhir ini dipendamnya. Sepertinya Laura tak mampu lagi menahan deburan ombak yang menggulung perjalanan hidupnya. Ditengah isak tangisnya dia memanggil ayah yang kini sedang dalam peraduan sementara, di alam baka.

Aku terhenyak mendengar pengakuan Laura, air matakupun tak dapat terbendung mendengar jeritan Laura, suaranya lirih memanggil-manggil papinya. Kupeluk dia dalam pembaringan, wajah kami menyatu bersama air mata. Aku mengecup kelopak matanya menunjukkan empatiku.

“ Mas, kenapa aku lahir dan ditakdirkan untuk menderita ? Kenapa mas!?” tanyanya sesugukan dalam pelukanku. Aku teridam, tak mampu menjawab pertanyaan. Saat itu aku tak mampu membalut luka hantinya yang masih terkoyak oleh ego maminya karena memaksa nikah dengan Gunawan. Kemudian Laura menukil duka kepergian ayah kandungnya puluhan tahun silam.

“ Laura, dari tuturan ceritamu, meski papi telah meninggalkanmu sejak kecil, tetapi Laura masih beruntung mendapatkan papi yang mempunyai kasih sayang seperti almarhum papi.”
“ Tanpa papi, mungkin aku sudah gila. Aku juga kasihan, papi ikut korban akibat penolakanku atas permintaan mami. Kemarin papi menasihatiku agar bersabar. Tetapi aku melihat papi menanggung tekanan batin yang sangat dalam. Om dan tanteku yang di Solo, ikut-ikutan mendukung mami.”

“ Sejak kapan Laura mengetahui kehilangan almarhum.?”
“ Ketika tamat es-em-pe. Satu malam aku menanyakan pada mami, kenapa nama belakangku yang tertulis di ijazah tidak sama dengan nama papi? Waktu itu, mami tidak menanggapi. Tidak seperti biasanya, mami selalu menjawab bila aku menanyakan sesuatu. Namun saat itu, mami hanya diam tak mau menjawab. Aku terus mengulang pertanyaan yang sama, kemudian mami masuk ke kamar meninggalkanku di ruang makan. Dari ruang makan, aku mendengar isak tangis mami. Aku semakin heran dan tertanya-tanya, kenapa mami menangis ketika aku tanyakan tentang nama belakangku yang berbeda. Mami memeluk dan menciumiku ketika aku masuk kamar, tetapi mami belum menjawab juga, ketika kutanyakan kenapa mami menangis.

Awalnya, mami sangat berat hati menceritakannya. Tetapi karena terus aku desak, mami mau berterus terang. Mulut mami bergetar, suaranya hampir tak aku dengar ketika dia menuturkan bahwa, papi telah meninggalkan kami belasan tahun lalu karena terserang penyakit jantung. Menurut mami, papi hanya bertahan beberapa jam setelah dibawa kerumah sakit. Aku sangat terpukul, antara percaya dan tidak, mendengar pengakuan mami yang dirahasiakan belasan tahun itu. Aku terduduk ditempat tidur mami bagai tak bernyawa.

Dunia terasa berputar kemudian aku tak sadarkan diri. Beberapa jam kemudian, aku telah berada dirumah sakit. Saat aku membuka mata, papi memelukku diiringi airmata kemudian duduk bersimpuh disisi tempat tidurku. Aku hanya memandanginya, pikiranku masih terguncang. Namun aku tak mampu melihat papi bersedih, kemudian memeluk dan mencium wajah papi dalam simpuhnya. Mami, papi dan aku berangkulan. Meski hatiku masih terasa sesak, aku paksakan senyum usai berpelukan,” tutur Laura dengan suara serak.

“ Laura pernah melihat foto papi almarhum semasa hidupnya.?
“ Pernah. Foto pernikahan papi dan mami. Tetapi mami melarang memajang dikamarku, nggak tahu kenapa. Sesekali aku berkunjung kerumah kakek dari alamarhum papi. Disana aku puas melihat foto-foto almarhum sejak masa kecilnya hingga papi diwisuda. Mami juga tidak mengijinkan foto-foto yang ada dirumah kakek aku pajang dikamarku. Tetapi diam-diam foto almarhum papi ketika wisuda aku tempelkan didalam foto albumku.”

“ Laura sudah pernah melihat makam almarhum.?”
“ Iya. Setelah aku keluar dari rumah sakit, aku minta mami mengantarkannya. Mas, setibanya disana, aku memeluk pusara papi diiringi tangisan dan memanggil papi berulang-ulang. Aku dan mami berpelukan dalam tangis. Aku ingat betul, ketika kali pertama ke pusara, kedua tanganku menepuk-nepuk pusaranya dan berteriak: "papi Laura sudah gede, papi nggak rindu pada Laura? Pap aku sudah tammat es-em-pe, nama papi tertulis dalam ijazahku. Papi nggak mau lihat....? Pap....bangunlah sebentar...!" tangisku kala itu. Mami merangkulku ketika aku tiduran diatas pusara papi, membujukku; ” Jangan ganggu papimu sedang tidur.”

Tenggorokanku terasa kering, aku kehabisan suara tetapi aku puas, sepertinya aku telah melihat wajah papi dalam pembaringannya. Sejak mami menceritakan kepergian papi, aku merasakan kasih sayang dari mami dan papiku yang sekarang, juga dengan tante dan kakek. Kasih sayang mereka semakin bertambah setelah mami menceritakan perihal almarhum papi . Tetapi kini mas, kasih sayang itu telah sirna seiring penolakanku atas permintaan mami.”

“ Bagaimana Laura merasakan kasih sayang mereka berkurang, bukankah baru tiga hari lalu Laura menolak kehadiran Gunawan.?”
“ Sebenarnya sudah sejak tahun lalu mas. Tetapi baru kemarin dulu, aku secara tegas menolaknya. Mami semakin gelisah setelah Laura dan mas datang bareng.”
“ Lho, aku punya andil dalam masalahmu?”
“ Iya. Pemicunya,” jawab Laura getir diiringi senyum, pahit. (Bersambung)

Los Angeles, July 2009

Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Thursday, July 23, 2009

Telaga Senja (86)



Love hurts, love scars,/Love wounds, and marks,/Any heart, not tough,/Or strong, enough/To take a lot of pain,/Take a lot of pain/Love is like a cloud/Holds a lot of rain/Love hurts, ooh ooh love hurts

Im young, I know,/But even so/I know a thing, or two/I learned, from you/I really learned a lot,/Really learned a lot/Love is like a flame/It burns you when its hot/Love hurts, ooh ooh love hurts

Some fools think of happiness/Blissfulness, togetherness/Some fools fool themselves I guess/Theyre not foolin me

I know it isnt true,/I know it isnt true/Love is just a lie,/Made to make you blue /Love hurts, ooh,ooh love hurts/Ooh,ooh love hurts

I know it isnt true,/I know it isnt true/Love is just a lie,/Made to make you blue /Love hurts, ooh ooh love hurts/Ooh ooh love hurts/Ooh ooh...
===================
Hentikan ocehanmu atau Laura aku antar pulang,” ujarku sambil menutup kembali pintu kamar. Laura terdiam mendengar hentakanku.
“ Mas.....katamu ikut merasakan deritaku. Kenapa engkau enyahkan aku tanpa belas kasih. Inikah arti persahabatan yang mas janjikan.?”
==================

Sebagai sahabat aku akan mengatakan kesalahan dan kebodohan yang kamu lakukan, meski aku tidak sempurna Laura! Aku tadi telah katakan, akan membantu semampuku, dan membuka hati saat Laura dalam kesulitan. Tak terbesit sedikupun dalam hati untuk mengenyahkanmu. Aku tidak setolol itu Laura,” ujarku sambil membuka pintu kamar. Laura berlari dan menghempaskan tubuhnya diatas ranjang.
“ Iya mas, aku perempuan bodoh,’ ucapnya lantas membekap mulutnya dengan bantal menutup suara isak tangisnya yang tak terbendung. Untuk sesaat aku membiarkan dia menangisi dirinya dengan hati yang masih terluka.

“Laura tangisan tidak menyelesaikan masalahmu. Bila kamu masih menggangapku sebagai sahabat, hentikan isak tangisanmu, tuturkan apa yang mengganjal hatimu,” bujukku.
“ Tak ada lagi yang perlu Laura tuturkan. Semuanya telah dirampas oleh egois mamiku.”
“ Siapa yang egois, Laura atau mami.?” tanyaku. Laura segera mengangat bantal dari wajahnya; “ Mas menyebutku egois meski kebebasanku telah terampas!?”
“ Apa mungkin mami mau merampas kebebasanmu, apalagi kamu dalah seorang putri tunggal? Kemungkinan mami hanya menginginkan Laura bersahabat dengan seseorang yang tepat dan layak. Gunawanlah orang yang tepat untuk kriteria itu.!” ujarku mendekatinya ketempat tidur.

“ Yang mau nikah aku atau mami? Orangtua apaan tuh.!”
“ Heh...Laura! Boleh kamu kesal tetapi tidak harus menghujat orang tuamu.”
“ Mas, nggak usah menasehatiku.”
“ Iya sudah. Kalau Laura ngga dapat lagi diajak bicara,” ujarku. Laura menarik lenganku ketika mau beranjak keluar dari kamar.
“ Tunggu dulu. Mas hanya mendengar akhir ceritanya. Kenapa langsung punya kesimpulan aku yang egois.?”

“ Benar, aku hanya mendengar akhir ceritamu. Bukankah sejak tadi aku telah meminta agar kamu menuturkannya, apa dan mengapa Laura dirundung duka. Untuk hal ini juga kamu egois. Laura hanya memaksaku mendengar tangisanmu.”
“ Seandainya mas mau memahami betapa tersiksanya hatiku ini, mungkin aku akan terobat, meski hanya sedikit.”
“ Aku tak tau siapa menyiksa dirimu? Mami atau Gunawan atau barangkali aku.?”
“ Iya. Selain mami, mas juga turut menyiksaku, karena selalu menyalahkan Laura.”
“ Okey Laura, ada kesalahpahman diantara kita. Jujur, aku merasa tersiksa juga melihat sikapmu dua hari terakhir ini. Kamu bukan lagi Laura yang saya kenal sebelumnya, periang, bersahaja dan santun. Kini kamu bukan dirimu lagi. Laura seperti layang-layang putus, raib di telan badai.”

“ Iya mas. Tetapi ketika aku mengatakan, kini Laura diujung kematian abadi, kenapa mas murka.”
“ Karena aku sangat kecewa. Bukankah selama ini Laura telah menunjukkan bahwa dirimu orang religius, setidaknya itu aku perhatikan keseharian, Laura selalu hening sejenak melayangkan doa kala mau makan dan sebelum kita jalan.”

“ Benar. Hanya itulah yang membebaskan keprihatinanku. Tetapi , sejak kedatangan Gunawan, sepertinya Tuhan menjauhiku. DIA tak pernah lagi mendengar doa-doaku. Mas, air mataku hampir kering menangis dalam doa, tetapi prahara hidupku tak kunjung meredam,” keluhnya dengan suara tersendat kemudian menutupkan wajahnya dengan selimut. Tubuhnya kembali terguncang menahan luka sukmanya.
Ditengah isak tangisnya, aku menyingkap selimut dari wajahnya, kemudian memiringkan tubuhnya. Perlahan Aku memijit punggungnya , seperti pernah aku lakukan kepada Magda dan Susan tatkala mengalami duka yang dalam. Laura tidak melanjutkan tuturannya kecuali sesugukan yang aku dengar.

Laura akhirnya bersedia menuturkan lanjutan siksa yang menderanya, setelah aku mengancam tidur di rumah Rio. Sebelumnya aku mengingatkannya karena jarum arlojiku telah menunjukkan ke angka 11:30 malam. “ Sekarang sudah menjelang tengah malam. Bagaimana kalau kamu tuturkan besok. Aku khawatir mami dan papi mencarimu.”
“ Iya mas. Mungkin papi akan kecarian, tetapi tidak dengan mami.”
“ Apa bedanya mamimu dengan papi.?”
“ Mami sudah nggak perduli lagi dengan Laura.”ujarnya sendu.
“ Selama ini yang aku tahu dan menurut ceritamu, mami sangat dekat denganmu. Sejak kapan kalian bermusuhan.”

“ Ketika orang tua Gunawan mengutarakan keinginannya untuk meminangku menjadi isteri Gunawan. Dan sejak saat itu papi dan mami selalu ribut. Mami, tanpa berbicara denganku menyetujui permintaan orangtua Gunawan, tetapi papi menolak keras. Itulah awal keributan dirumah. Beberapa hari ini papi sudah jarang dirumah, datang dan pergi. Papi tak tahan melihatku murung dan tak mau bicara dengan siapapun, juga dengan om Laurance. “
“ Jadi papi tidak setuju dengan keputusan mami.?”

“ Iya. Mas, aku salah duga. Tadinya Laura menduga kalau papi setuju dengan keputusan mami. Kemarin sebelum aku kembali ke hotel, papi terus menerus mengetuk kamarku. Aku tak mampu mendengar bujukan papi, akhirnya aku membukakan pintu kamar. Papi langsung memelukku, berujar: “ Laura, papi mendukung sikapmu. Papi juga nggak setuju dengan mami. Jangan marah dengan papi, sayang! Papi hanya sendiri,“ tangis papiku. Mas! Aku dan papi menangis berdua dikamar. Sepertinya aku dan papi kalah dalam perang,” desahnya.

“ Kalian masih ada hubungan famili dengan Gunawan.?”
“Iya mas. Mami punya hubungan kekerabatan dengan keluarga Gunawan, Itu sebabnya Gunawan dikirim sekolah ke Perancis karena om Laurance ada disana.”
“ Maaf Laura, mungkin aku terlalu jauh masuk dalam urusan pribadimu.”
“ Nggak mas. Aku mengucap terimakasih karena masih mau mendengar tutur pahitku.”
“ Laura , mengapa papi mengatakan, “papi hanya sendiri “ ?”

Laura terdiam. Lama menatapku, pandangannya kosong. Agaknya ada sesuatu yang mau disampaikan tetapi isak tangis mendahuluinya. “ Iya papi hanya sendiri menghadapi kekerasan hati mamiku, om dan tante yang di Solo sama keras hatinya dengan mami. Tiba-tiba Laura memelukku sangat erat, terucap kata sangat menyentuh hati; Mas, Papi kandungku telah pergi ketika aku berusia dua tahun.” ( Bersambung)

Los Angeles, July 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Wednesday, July 22, 2009

Telaga Senja (85)


Thanks for the times that you've given me/The memories are all in my mind/And now that we've come to the end of our rainbow/There's something I must say out loud

You're once, twice, three times a lady/And I love you/Yes, you're once, twice, three times a lady/And I love you/I love you

You've shared my dreams, my joys, my pains/You've made my life worth living for/And if I had to live my life over again/I'd spend each and every moment with you

You're once, twice, three times a lady/And I love you/Yes, you're once, twice, three times a lady/And I love you/I love you

When we are together, the moments I cherish/With every beat of my heart/To touch you, to hold you, to feel you, to need you/There's nothing to keep us apart

You're once, twice, three times a lady/And I love you/You're once, twice, three times a lady/And I love you

Yes, you're once, twice, three times a lady/I love you/I love you


========================
“ Aku juga nggak enak dengan Gunawan,?” pancingku.
“ Massss..! Sekalian bunuh aku, biar puas! Tadi Laura bilang, jangan sebut nama itu lagi,” suaranya gemas menahan marah, takut kedengaran pasangan sekitar.
“Okey... Laura, kita pulang. Kehotel atau kerumahmu.?”
===========================
LAURA masih menghentikan gerakan kami namun tak menjawab pertanyaanku, pulang kehotel atau aku antar kerumah?. Desah suaranya mengiringi isak tangis disisi wajahku. “ Mas, Laura tak punya pijakan lagi setelah mami terus memaksaku kepada Gunawan. Mami bukan lagi teman nyaman mencurahkan hati seperti sebelumnya. Cinta kasih telah terampas oleh rasa ego. Entahlah aku harus berbuat apa. Mas Tan Zung yang tadinya sahabat berbagi rasa, tak dapat mendengar apalagi memahami irama hatiku yang sedang gundah. Mas, ayolah kita pulang,” bujuknya diakhir sendandung lagu berirama lembut itu, selembut hati Laura.

Laurance dan Gunawan berdiri melepaskan kepergian kami mendahului mereka. Tangan Laura terus menempel pada lenganku hingga keparkiran mobil. Laura tiba-tiba mendekapku sebelum masuk kedalam mobil. Aku membiarkan Laura membenamkan wajahnya diatas pundakku. Agaknya ada gejolak siksa yang tak tertahankan. Aku juga sangat menyesal menambah beban siksanya lewat ucapan nakal dan iseng yang seharusnya tidak perlu terjadi.

Aku membiarkan wajahnya disi wajahku dengan air mata masih terus tertumpah; “ Laura, sudahlah. Aku belum mengerti sepenuhnya apa yang kamu tangisi.”
Tubuh Laura semakin bergetar menahan tangis, dia berkata lirih; “ Mas, aku telah kehilangan semuanya; kehilangan sahabat mencurahkan hati, kehilangan sahabat berbagi rasa. Mas, tak da lagi yang aku miliki, semuanya telah pergi. Mas, Laura tidak punya adik dan kakak untuk berbagi suka dan duka. Mas yang selama ini kuharap dapat membantu unutk melepaskan derita yang melilit diriku, juga akan pergi,” ujarnya.

Hatiku luluh mendengar jeritan hati dari seorang perempuan yang selama ini kuanggap hidup sempurna.
“ Maaf, aku tidak mengira ada luka yang kamu simpan. Laura, aku masih sahabatmu berbagi rasa. Aku tidak akan meninggalkanmu sendiri hingga kamu merasa nyaman.”
“ Terimakasih mas,” ujarnya lirih.
“ Laura! Kamu masih percaya denganku bukan.?”
“ Entahlah mas,” jawabnya singkat. Laura melepaskan dekapannya, melangkah masuk kedalam mobil.
“ Laura, kita ke hotel dulu atau langsung kerumah.”
“ Terserah mas, mau bawa kemana,” ujarnya sambil merebahkan kepalanya diujung jok kursi.

Aku putuskan pulang ke hotel sebelum mengantarnya ke rumah. Aku masih ingin mendengar tuntas jeritan hatinya yang didera siksa, menurutku, maha berat. Tidak jauh beda derita siksa Magdalena, dulu, ketika dia harus memilih antara aku dan Albert. Kini aku diperhadapkan pada situasi yang hampir sama; Laura menolak pilihan maminya namun dia belum mempunyai pilihan siapa lelaki yang dicintainya. Yang pasti pemuda batak yang bernama Tan Zung, kini, bukan salah satu pilihan. Aku meyakininya, ketika baru saja dia menyebut nama Magdalena disertai ciuman atas namanya. Ini salah satu alasanku membawa Laura ke hotel sebelum mengantarkannya pulang. Aku menduga, belakangan ini Laura terus berkomunikasi dengan Rina.

Tiba di hotel, Laura enggan turun dari mobil ketika aku mengajaknya ke lobby hotel. “ Mas, aku mau tidur di mobil saja,” ucapnya lirih tanpa menolehku.
“ Baik Laura, aku akan telepon Rio. Aku mau tidur dirumahnya. Laura masih bisa nyetir?”
“ Mas, jangan tinggalkan aku...!” balasnya lantas meemegang tanganku. Wajahnya memelas.

“ Aku juga nggak tega melihatmu seperti ini.
“ Tetapi mas tega meninggalkanku sendiri.?”
“ Laura! Aku tak tahu apalagi yang aku perbuat. Aku mau mengajakmu bicara baik-baik, tetapi kamu menolak.”
“ Laura tidak menolak mas, tetapi jangan di lobby itu.”
“ Baik, kita bicara di kamarku, mau!?” Laura turun dari mobil tanpa menjawabku. Laura melangkah lebih dahulu menuju kamarku.

“ Laura, tunggu dulu. Kenapa malah kamu meninggalkanku,” pancingku untuk mencairkan suasana. Laura bergeming, dia terus melangkah, sementara aku memperlambat langkah, barangkali dia mau menungguku, pikirku. Laura terus melangkah tanpa menolehku.

Aku menahan tawa, ketika Laura hampir membuka kamar adikku Lam Hot. “ Laura, kamu belum puas curhat denganku. Kamu masih butuh orang lain?” Laura berbalik kearahku.
“ Belum cukupkah aku.?” tanyaku ulang sambil membukakan pintu kamar. Laura diam. Dengan tubuh “rapuh” dia memelukku didepan pintu.

" Mas, jangan ikut menertawaiku. Akupun sudah tak sanggup menertawaiku, kecuali menyesali kenapa aku dilahirkan sebatang kara."
" Laura ! Aku sangat kecewa mendengar keluhanmu, seakan kamu mengutuki dirimu sendiri bagai orang tak mempunyai iman."
" Mas! Maaf. Laura kini diujung kematian abadi."
" Hentikan ocehanmu atau Laura aku antar pulang," ujarku sambil menutup kembali pintu kamar. Laura terdiam mendengar hentakanku.
" Mas.....katamu ikut merasakan deritaku. Kenapa engkau enyahkan aku tanpa belas kasih. Inikah arti persahabatan yang mas janjikan.?" ( Bersambung)

Los Angeles, July 2009
Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Tuesday, July 21, 2009

Telaga Senja (84)

(music: right click on mouse then click “open in new window”)

I'm not always strong /And sometimes i'm even wrong /But i win when i choose /And i can't stand to lose /But i can't always be

The rock that you see /When the nights get too long /And i just can't go on

The woman in me /Needs you to be /The man in my arms /To hold tenderly /Cause i'm a woman in love /And it's you i run to /Yeah the woman in me /Needs the man in you

When the world wants too much And it feels cold and out of touch /It's a beautiful place /When you kiss my face

The woman in me /Needs you to be The man in my arms /To hold tenderly /Cause i'm a woman in love /And it's you i run to /Yeah the woman in me /Needs the man in you
Yeah the woman in me /Needs the man in you /I need you baby /Yeah yeah /Oh baby...
=====================
Tampaknya Laura agak enggan menyambut tangannya. Gunawan bangkit dari kursinya kemudian menarik tangan Laura. “Sebentar mas,” bisiknya ke telingaku, bibirnya hampir menyentuh wajahku.
“ Bah! Kok giliran Gunawan duluan.?”
=======================
SEMENTARA Gunawan dan Laura berduaan di “floor” aku asyik bicara dengan Laurance. Aku berusaha menghindar menoleh ke depan selama percakapan dengan Laurance. Mainkan kaulah disitu Laura, kataku dalam hati agak kesal, setelah Laura mendahulukan Gunawan. Hmmm...aneh, kali pertama aku merasa gelisah merambat cemburu terhadap Laura, bahkan tak sabaran menunggu Laura kembali duduk disisiku.

Menit-menit aku lalui dengan gejolak gelisah meski aku masih berbicara dengan Laurance. Akupun masih tak mampu melihat kedepan, walau ingin menyaksikan sedang apa Laura dan Gunawan lelaki calon suami pilihan orang tua Laura itu disana. Tak sadar, teguk demi tegukan minuman nyelongsor melalui tenggorokan, getir. Ingin menambah minuman, tetapi ku urungkan ingin menjaga citra dihadapan om Laura, Laurance.

Gunawan dan Laura kembali bergabung dengan kami. Gunawan mengambil sebatang rokok, menyodorkan ke Laura tetapi dia menolak,”Oh...nggak! Terimakasih Gun,” tolaknya. Laura menurunkan tangannya kemudian meremas ujung jariku, namun aku tidak memberi reaksi.
“ Mas, mau nambah minumannya?” tanya Laura.
“ Nggak !” jawabku singkat tanpa menolehnya. Mataku menatap kosong jauh kedepan. Gairahku hilang setelah Laura mendahulukan Gunawan melantai bersamanya. Ini pelanggaran etika dalam tatakrama club malam. Beberapa saat aku diam membisu, sementara ujung jari telunjuk mengetuk pelan meja mengikuti irama musik.

Laura mulai gerah dengan suasana “perang dingin” denganku. Dia menyorongkan gelasnya kemulutku. “ Terimakasih Laura,” ujarku menolak, kemudian aku permisi ke kamar mandi, sekedar over konpensasi. Agak lama disana. Kembali dari kamar mandi gelasku telah terisi minuman seperti semula. Gelas minumanku tak kusentuh beberapa saat, masih menjaga citra. Jangan pula sampai ketahuan kepada om Laurance dan Gunawan bahwa aku ini peminum berat.

Mencairkan suasana yang sedikit kaku, aku mengambil sebatang rokok milik Laura, memasukkan diantara kedua bibirku tanpa sulutan. Spontan, Laura menyalakan macis kemudian menyulutnya. Kini giliranku “ over acting”, rokok yang masih tersisa setengah, aku sorongkan kemulut Laura, dia terima. Irama musik yang disuguhkan silih berganti. Saat musik beralun lembut, Laura bangkit dari tempat duduknya, meraih lenganku mengajak kedepan.

Saat melantai, kedua tangannya melingkar diseputar leherku, mendekapku hangat sembari mengikuti irama lagu; “ Kenapa mas tiba-tiba begitu dingin,” ucapnya di telingaku.
“ Aku panas kok dibilang dingin?”
“ Kenapa mas?”
“ Laura dan Gunawan tak punya etika, kampungan.!”
“ Lho, kenapa? Jelasin dong Laura nggak ngerti,” ujarnya sambil mengangkat wajahnya dari sisi wajahku.

“ Aku tak keberatan Laura melantai bersama dia hingga esok hari. Tetapi sebelum Laura ikut dengannya atau siapapun dia termasuk papimu, mesti bertanya atau ijin lebih dulu dari aku, karena Laura datang kesini bersamaku, faham?”
“Maaf mas, Laura nggak mengerti.” ujarnya, kembali dia meletakkan wajahnya diatas pundakku.
“ Laura, kita pulang. Aku pusing gara-gara merokok.”
“ Mas, aku juga tak pernah merokok. Gunawan juga.”
“ Persetan dengan Gunawanmu itu.!”
“ Mas, jangan marah dulu. Aku sengaja merokok didepannya karena dia paling benci melihat perempuan perokok. Laura juga dari tadi mau muntah. Mas, tunggu satu lagu lagi, aku belum puas.”

" Gantian. Gunawan kan ada disana.?"
" Mas tadi ingatkan, kita bukan anak remaja lagi. Kok cemburuannya berlebihan.!?"
" Laura sok tahu. Aku tak cemburu, kesal iya. Bagaimana kalau aku duluan pulang, biar aku telepon Rio menjemputku.”

“ Silahkan.!” jawabnya singkat tetapi tubuhnya semakin didekapkan. Aku mencoba melepaskan tangannya yang menggelantung dileherku namun dia tak mau melepaskannya. Malah Laura menghentikan gerakannya, mengangkat wajahnya menghadapku; “ Nggak boleh. Kita datang sama, pulang juga harus sama,” ujarnya, kemudian perlahan dia "mengayun"tubuhku seirama dengan gerak tubuhnya mengikuti irama musik.

Pundakku masih labuhan wajahnya .” Laura tahu, selain marah juga cemburu , iya kan mas," ucapnya pelan ditelingaku. ” Mas, benar nggak? ayong dong, jawab Laura," desaknya.
" Iya, sedikit!” jawabku.
“ Kenapa kita saling mencemburui? Aku juga heran, kala mas menyebut nama Magda, hatiku gundah, cemburu. Mestinya aku tak berhak mencemburuinya. Juga, mas tak harus mencemburuiku. Tapi...iya...nggak tahulah mas, mengapa.” Suaranya tersendat diakhir kalimatnya. Aku merasakan cairan hangat mengalir di pangkal leherku.

“ Kamu menangis Laura?”tanyaku sambil mengangkat wajahnya. Laura menatapku dengan mata kuyu, kami menghentikan langkah saling menatap dekat. Perlahan Laura mendekatkan bibirnya mengecup; “ Mas, ini kecupan dari mbak Magda,” ujarnya. Kemudian dia megangkat wajahnya, sejenak, lalu memberiku kecupan kedua; "Mas, ini ciuman dari Laura yang selalu mencemburuimu, “ujarnya.

Aku meniru ciuman serial versi Laura; “Ini dari mas Tan Zung,” ujarku. Kemudian menyusul seri kedua. " Yang ini dari Gunawan." Laura menolak sebelum ku mengecupnya. “ Nggak.” ujarnya, wajahnya dipalingkan untuk menghindar kecupanku.
" Oh...tadi sudah dapat dari orangnya langsung iya,?" ujarku bercanda.
Segera dia menghentikan langkah-langkahnya mengikuti irama musik, setelah mendengar candaku. " Mas, jangan ikut menyiksaku. Cukup aku menahan siksa dari mami, " ucapnya dengan bibir gemetar ditelingaku.
" Maaf Laura. Aku hanya bercanda."
" Tetapi bukan seperti itu mas. Sejak tadi aku sudah mengelak membicarakannya, tetapi mas selalu mengulang. Tolong mas, jangan hantarkan aku dalam keputusasaan." ujarnya sendu. Kini bukan hanya airmata terus mengucur, tenggorokannya tak mampu menahan isak tangisnya.

" Mas, aku tak tahan lagi. Kita pulang," ucapnya lirih.
" Bagaimana dengan mereka, aku nggak enak dengan om Laurance.?"
" Nggak apa-apa mas. Besok aku bilangin."
" Aku juga nggak enak dengan Gunawan,?" pancingku.
" Massss..! Sekalian bunuh aku, biar puas! Tadi Laura bilang, jangan sebut nama itu lagi," suaranya gemas menahan marah, takut kedengaran pasangan sekitar.
"Okey... Laura, kita pulang. Kehotel atau kerumahmu.?" (Bersambung)

Los Angeles, July 2009

Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Monday, July 20, 2009

Telaga Senja (83)



http://www.youtube.com/watch?v=RTGRtajINTY

======================
“ Baiklah, kalau nggak mau pergi. Mungkin Laura mau menuturkan kisah kasihmu dengan Gunawan, seperti Laura janjikan tadi siang.”
“Iya mas, tetapi jangan tiduran gitu dong.”
======================

Aku segera bangkit setelah melihat keseriusannya ingin menyampaikan sesuatu, duduk disebelahnya. Aku yakin benar bahwa dia punya masalah pribadi dengan keluarganya. Sejak siang aku telah menunggu, sesuai dengan janjinya, alasan kenapa dia ribut dengan maminya. Laura menarik tanganku,” Mas, kita duduk disana,” ujarnya.

“ Boleh cerita, tapi nggak pakai nangis. Ayo silahkan jangan sampai ada yang tersisa. Bertutur jangan datar, sedikit dramatis agar aku tidak tertidur.”
“ Mas, sekarang sudah hampir pukul sembilan, bagaimana kalau nanti aku ceritakan, setelah kita kembali dari bar. Nanti mereka kelamaan menununggu.”
“ Laura sendiri yang mengulur-ngulur waktu. Pakai diamlah, merunduk sedihlah, entah apapun yang disedihkan.?”

“ Karena mas egois! Maunya jalan sendiri.”
“ Baru tahu bahwa aku egois ? Eh...Laura, siapa mereka yang menunggu di bar ? Kamu buat janji dengan siapa? Mami, Papi, oom atau Gunawan..?” tanyaku tak sabar.
“ Kok marah mas?”
“ Bukan marah mbak, memang karakter suaraku begitu."
“ Iya sudah mas, kita nggak usah pergi.” ujarnya ngambek. Sebelum suasana semakin runyam, aku bangkit dan mengajaknya keluar dari kamar. Laura berdiri ketika aku menarik lengannya. “ Okey Laura, kita berangkat, tetapi beritahu dulu, siapa mereka yang sedang menunggu kita.”
“ Om Laurance dan Gunawan,” jawabnya.

“ Mengapa aku harus ikut.?”
“ Biar ada temanku mas.”
“ Belum cukup dua orang menemanimu disana.?” Laura tak mengindahkan pertanyaanku. Kini dia menarik lenganku, sambil jalan dan memberi kunci mobil;
“ Malam ini masih giliran mas yang nyetir mobil.”
“ Besok giliran Gunawan,” potongku.
“ Tidak! Giliranku !” sahutnya.
“ Kapan giliran Gunawan?”
“ Tak pernah ada.!” sergahnya, lantas naik kedalam mobil.

Sebelum berangkat, didalam mobil aku menanyakan “game” apa yang akan diperankan malam ini. “ Laura, kita bukan anak remaja lagi, utarakan dengan jujur, skenario apa yang kita lakoni malam ini.” Cinta sibuta dari gua hantu? atau “ Cintanya nyangkut di pohon cemara.”
“ Tak satupun judulnya nyangkut mas. Kita lihat saja nanti disana apa yang akan terjadi. Aku setuju dengan mas, kita bukan remaja lagi, aku ingin pembuktiannya dari mas,” ujarnya nantang. Ingin segera tiba di bar dan bertemu dengan Gunawan, aku mempercepat laju mobil. " Rileks saja mas, barnya buka hingga pukul dua subuh kok." tegurnya.

" Aku tak sabaran memainkan peran "misteri seorang putri dengan dua pemuda jahanam" kataku disambut ketawa renyah Laura.

Lengan Laura terus menempel pada lenganku setelah turun dari mobil hingga masuk bar. Dua sosok lelaki berdiri menyambut kami saat tiba di bar. Laura tidak melepaskan lengannya ketika dia memperkenalkan Laurance dan Gunawan. Laura mendekatkan mulutnya ke telingaku, bertanya ; “ mas kita minum apa?” Dia menyentuh pahaku pelan ketika aku belum menjawab.

Sengaja aku memilih minuman ringan, agar tampak lebih kompak dan mesra, kemudian Laura membisikkan permintaan kami kepada pramuria bar. Sementara menunggu minuman, aku menunggu aksi lanjutan Laura.

Aghh..aku kaget bukan main, ketika Laura mengambil rokok menthol buatan luar negeri dan macis dari tas tangannya. Bagai perokok berat, dia membuka bungkus yang masih utuh kemudian menyerahkan sebatang untukku. Selama berteman dengannya, belum sekalipun aku melihatnya merokok demikian juga denganku. “ Skenario tahi kucing,” gumamku dalam hati.

Rasa romantis yang hampir terhilang, kembali, setelah dia memberiku rokok yang disulutnya. Ah...ini skenario bengal, ujung rokokku belepotan lipstik. Mata Gunawan terus menatap Laura, sepertinya dia juga menunggu tawaran rokok dari Laura .
“ Sejak kapan Laura merokok? Om nggak pernah lihat?” tanya Laurance.
“ Sudah lama tetapi nggak selalu om,” ujarnya sambil menawarkan rokok ke Gunawan. Meski dalam remang, aku melihat wajah Gunawan sumringah ketika menerima tawaran rokok dari Laura. Aku memantik macis keujung rokok Gunawan, sebelum Laura melakukannya.
“ Terimakasih.” ucapnya lirih. Kembali aku merasakan colekan tangan Laura diatas pahaku. Entahlah memberi pujian; ” good boy,” atau cibiran; “ sok akrab lu.”

Skenario Laura aku rasakan semakin cantik setelah pramuria mengantarkan pesanan kami. Dua gelas berbeda isi. Tanpa setahuku, ternyata dia mengubah pesanan yang kuminta. Dia memesan minuman kesukaanku, entah dari siapa pula dia dapat bocoran, sementara gelasnya berisi minuman ringan. Ditengah alunan musik berirama lembut, kami terlibat dalam pembicaraan tentang politik yang sedang hangat pada saat itu, kediktatoran Soeharto. Paling semangat Gunawan. Dalam hatiku berujar, elu satu-satu berani ngomong karena sekolah di luar negeri.

Aku merasakan tekanan tangan dipahaku tidak lagi seperti sebelumnya, lembut. Kini Laura menekan pahaku dengan jempol jarinya, agak keras. Aku menerjemahkannya, hentikan omong kosong ini.

Sesaat kemudian, tangan Gunawan disodorkannya kearah Laura, mengajak melantai mengikuti musik lembut sendu. Awalnya, Laura agak enggan menyambut tangannya. Gunawan bangkit dari kursinya kemudian menarik tangan Laura. Laura mengalah, dia bangkit dari kusrsinya: “Sebentar mas,” bisiknya ke telingaku, bibirnya hampir menyentuh wajahku.
“ Bah! Kok Gunawan duluan.?” ( Bersambung)


Los Angeles, July 2009


Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Saturday, July 18, 2009

Telaga Senja(82)

=============
“ Rio, mengkhianati pacarpun tak elok, apalagi orangtua. Rio jangan silau. Memang, keinginan untuk memiliki cinta dan harta amat manusiawi ; Tetapi milikilah itu dengan kejujuran.”
=============
Rio meninggalkanku di bar sendirian, hening dalam kesunyian meski musik dan belasan pasangan telah duduk didalamnya. Rio sangat menyesal tak dapat menemaniku pada malam pertama mereguk dunia malam di kota kelahiran Laura, Yogya.

Malam itu Rio menolak minum meski hanya sebotol bir. “ Maaf bang, aku nggak boleh lama menemani. Malam ini, kami ada latihan. Sejak kami punya group, sudah punya kesepakatan, tidak boleh minum alkohol sebelum dan saat latihan,” ujarnya. Rio menemaniku hanya sebentar tetapi berjanji akan menjemputku kembali.

“ Malam ini abang tidur dimana? Di hotel atau dirumahku.? Aku sarankan tidur dihotel saja, nggak enak dengan kak Laura,” usulnya sambil ketawa.
Sebelum dia meninggalkanku, Rio berbisik: “ Bang, hati-hati dengan perempuan yang duduk dipojok depan itu. Abang nggak hati-hati, bisa-bisa abang nggak pulang ke Jakarta, licik dan menghanyutkan. Cukup banyak temanku hancur gara-gara dia,”ingatnya.

Tak lama setelah Rio pulang, perempuan yang duduk didepan pojok menemuiku menyapa lembut; “ Boleh aku duduk mas? Mas nggak punya teman?” tanyanya sembari melorotkan pantatnya, duduk persis didepanku, lantas memesan minuman persis dengan minumanku. Dia menyebut namanya, Rosa. Aku pura-pura tidak mendengar ketika dia menanyakan namaku. Ditengah pembicaraan ringan, Rosa mulai memancing pembicaraan mengarah pada pemuasan nafsu, bahkan dia memberi nomor kamarnya setelah tahu aku dari Jakarta.

Tak begitu lama, Rosa kupu-kupu malam itu segera undur diri, setelah aku kerjain;
“ Mas, kapan datang ? Sendiri?” tanyanya mengawali pembicaraan kami.
“ Sudah tiga hari. Aku datang bersama pacarku.”
“ Lho kok pacarnya nggak dibawa,?” tanyanya genit.
“ Iya yang tadi itu. Dia keluar sebentar beli sesuatu.!” jawabku.
“ Yang mana mas? Yang tadi lelaki teman mas duduk? Jadi mas..? “
“ Aku ? homo!”
“ Oh...gitu tokh. Permisi mas,” ujarnya lantas beranjak pergi meninggalkanku. Gelakku hampir meledak saat dia meninggalkanku; pergilah kau merayap dengan sayap malam mu itu, kataku dalam hati.
***
Belum sempat puas mereguk malam bersama untaian musik dalam bar, Rio datang agak tergopoh.
“ Bang! Kacau! Lam Hot baru telepon aku cariin abang. Katanya, Laura tersinggung berat karena abang pergi tidak ngajak. Bang, ayo aku antar ke hotel. Laura masih menunggu. Tadi Lam Hot ingatkan, jangan beritahu kalau abang serdang di bar.”
“ Rio, yang ini paling aku nggak suka. Mengapa Laura tersinggung? Dia sudah mau coba mengaturku.?”
“ Bang, ayolah. Kawan-kawanku sedang latihan, mereka menunggu. Nanti abang jelaskanlah langsung kepada kak Laura,” bujuk Rio.
Dengan perasaan terpaksa aku menuruti bujukan Rio. Saat mau keluar ruangan, Rosa menyapaku; “ Mau main anggar mas.?
“ Oh..iya. Mau ikut ?” kataku sambil ketawa geli. Rio ketawa terbahak-bahak ketika kujelaskan maksud main anggar itu, homo. “ Tadi aku bilang sama perempuan itu kita pacaran.”

Saat tiba dihotel, wajah Lam Hot cembrut dan langsung ngerocos; “ Parah kalilah abang. Kok tega-teganya meninggalkan kak Laura sendirian. Tadi bilang sebentar malah lanjut ke bar.”
“ Mana Laura.?”
“ Sudah di dalam. Main cantiklah bang.!” ujarnya saat aku menuju kamar.

Aku membuka pintu setelah tak ada sahutan dari dalam kamar meski aku mengetuknya berulangkali. Aku menemukan Laura sedang duduk. Tangannya menopang dagu menatap hampa kedepan, sepertinya Laura menikmati musik instrumentalia yang disiarkan radio lokal. Pakaian yang dikenakan berbeda dengan yang dikenakan ketika aku tinggalkan dikamar.Dalam remang kamar, aku mendekati dan menyapanya. Laura menolehku ketika aku memegang bahunya dan bertanya; “ Sudah lama menunggu?”

Laura menganggukkan kepala seraya berujar,” Mas, tadi bilang mau menemui Lam Hot dan Rio. Tetapi malah pergi. Pergi, kenapa nggak ngajak Laura? Mas kan dengar, waktu mami telepon, Laura bilang kita mau jalan,” suaranya pelan hampir nggak kedengaran.
“ Iya, aku dengar. Tetapi aku kira, Laura jalan dengan Gunawan.”
Segera dia mengangkat kepalanya, matanya menatapku tajam mendengar jawabanku.
“ Ngapain aku tunggu mas, kalau aku mau pergi dengan Gunawan.!?”

“ Lho, kok marah! Aku nggak tahu kalau Laura mau jalan denganku. Aku hanya mendengar malam ini Laura mau jalan, tetapi nggak tahu dengan siapa,” balasku sengit menutupi keberpura-puraanku. Memang dia menyebutkan, ketika berbicara dengan dengan maminya lewat telepon, bahwa kami akan pergi malam ini.
“ Mas, kemarin juga aku sudah bilang, malam ini kita pergi ke bar. Mas bilang kita lebih baik nonton, ingat nggak mas.?”
“ Iya, aku ingat. Tetapi semuanya kan bisa berubah setelah kedatangan om Laurance dan Gunawan.!”

“ Siapa yang bisa mengubah mas,?” tantangnya.
“ Okey. Aku minta maaf. Aku hanya menduga-duga. Masih mau pergi? Kemana kita mau jalan. Ke bar atau nonton?. Tetapi jangan marah kalau aku tertidur saat film diputar.”

Aku rebahan diatas tempat tidur saat Laura belum menjawab pertanyaanku. “ Baiklah, kalau nggak mau pergi. Mungkin Laura mau menuturkan kisah kasihmu dengan Gunawan, seperti Laura janjikan tadi siang."
"Iya mas, tetapi jangan tiduran gitu dong." ( Bersambung)

Los Angeles, July 2009
Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Friday, July 17, 2009

Telaga Senja (81)

Lay a whisper on my pillow /Leave the winter on the ground /I wake up lonely,there's air of silence /In the bedroom and all around

Touch me now, I close my eyes /And dream away...

*)It must have been love, but it's over now /It must have been good, but I lost it somehow /It must have been love, but it's over now /From the moment we touched till the time had run out
Make believing we're together /That I'm sheltered by your heart /But in and outside I turn to water /Like a teardrop in your palm /And it's a hard winter's day /I dream away...

**)It must have been love, but it's over now /It was all that I wanted, now I'm living without /It must have been love, but it's over now /It's where the water flows, it's where the wind blows

*) It must have been love, but it's over now /It must have been good, but I lost it somehow /It must have been love, but it's over now />From the moment we touched till the time had run out
**)
====================
“ Kenapa nggak mau?”
“ Kenapa!? Nantilah Laura ceritakan.”
“ Kasihan dia , datang jauh-jauh dari Perancis, kenapa Laura nggak respek.”
“ Mas...!? Laura bilang, nanti aku ceritakan.!” balasnya kesal.
=====================
KARAKTER seseorang bisa berubah sewaktu-waktu, lembut berubah keras dan sebaliknya. “Format” itu dapat berubah sesuai dinamika yang sedang menggelinding. Laura yang sehariannya lembut, setidaknya selama aku mengenalnya, tiba-tiba berubah garang. Aku terhenyak mendengar hardikannya, kala menanyakan kenapa tidak punya respek terhadap Gunawan. Kali kedua, seingatku, Laura bersikap seperti itu meski telah berulangkali sikapku menjengkelkannya. Memang sih, masih kalah “galak” jika dibandingkan dengan Magda.

“ Laura, kenapa kamu marah? Sebagai seorang lelaki, aku dapat membayangkan kekecewaan Gunawan. Banyak cara untuk menghindar Laura, tetapi tidak seperti sikapmu itu, apalagi terhadap mami,” tegurku.

“Mas, terimakasih khotbahmu,” jawabnya setengah teriak menirukan ucapan kekesalanku sehari sebelumnya, ketika kami di pinggir pantai. Laura bangkit dari tidurnya masih berucap; “ Mestinya juga mas harus respek terhadapku. Tadi aku katakan, saatnya Laura akan menceritakan, mengapa!” Laura langsung merebahkan dirinya setelah “memuntahkan” kekesalannya, lantas menutupi wajahnya dengan selimut. Aku hanya mendengar isak tangis ekspresi kekecewaanya dari balik helai selimut, entahlah terhadapku atau terhadap maminya.

Aku tak ingin lebih lama dikamar bersama Laura yang sedang berakit galau. Aku minta ijin untuk menemui Rio di lobby; “ Laura, aku sebentar keluar menemui Rio dan Lam Hot. Nggak baik mereka menunggu terlalu lama.” ujarku. Aku bangkit mendekatinya setelah dia tak menyahut; menyingkap selimut penutup wajahnya. Dia membalikkan tubuhnya membelakangiku sesaat aku menyibak selimut dari wajahnya. Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya mirip Magda bila sedang ngambek.

Mengobati hatinya yang sedang “berkabung” ku usap wajahnya lembut sambil mengulang permintaanku, mau menemui Rio dan Lam Hot. Meski dia tak menjawab, tetapi aku tahu pasti hatinya sedikit teduh setelah mengusap wajahnya. Dia masih memunggungiku tetapi tangannya memegang telapak tanganku kemudian melepaskanya, pertanda “just go”.
Rio, Rima dan Lam Hot menanyakan Laura ; “ Mana mbak Laura,?” tanya Rima. Tak ada jalan lain kecuali berbohong menutupi prahara yang baru saja terjadi. “ Laura keletihan, dia masih istrahat sebentar,” jawabku.
***
Kami meninggalkan hotel; Lam Hot mengantar Rima pulang kerumah eyangnya, sementara aku mengajak Rio jalan ke kampus Universitas negeri di kota itu yang sejak SMA aku impikan, namun orangtua tidak setuju sekolah terlalu jauh.
”Cukuplah abangmu di Jawa,” ujar orangtuaku ketika itu. Setelah puas mengitari suasana kampus yang kebetulan tidak ada kegiatan, aku mengajak Rio ke Keraton.
“ Bang, apa nggak lebih baik kita jalan bareng dengan kak Laura?” tanyanya.
“ Justru aku menghindarinya,” balasku.

Rio menjadi guide sejak dari kampus hingga di Keraton. Dia masih penasaran melihat kisruhnya hubunganku dengan Laura. Malam hengkang dari hotel, siang meninggalkan Laura di kamar, sendirian.
“ Parah kali rupanya persoalan kalian,” ujarnya sambil ketawa.
“ Laura sedang menghadapi masalah pribadi, tetapi bukan aku penyebabnya. Sepanjang yang aku perhatikan, Laura mempunyai masalah dengan maminya.”

“ Memang abang nggak punya hubungan khusus dengannya.”
“ Seperti aku katakan kemarin malam, kami hanya sebatas teman. Iya, kadangkala ada getaran juga. Itulah sebabnya aku meninggalkan Laura “menangisi” dirinya sendiri di dalam kamar. Aku khawatir jika bertahan dikamar, dari mulutku akan keluar kata-kata bujuk karena tak tega melihat penderitaannya. Bisa-bisa Laura akan menanggapi lain atau perasaannya semakin melambung.”
“ Sampai kapan abang bisa bertahan seperti ini.”
“ Maksud Rio.?”
“ Berteman dengan dua perempuan; keduanya mengharap balas cinta kasih dari abang.”

“ Aku mengharap, aku hanya bunga-bunga hidupnya. Laura mengetahui kalau aku masih punya pacar di Medan, bahkan dia sudah pernah bicara ketika Magda berulang tahun. Hingga saat ini aku belum mampu melupakan hubungan kami yang sudah terajut selama lima tahun lebih, meski akhir-akhir ini banyak bentroknya daripada akuran. Seandainyapun hubunganku berakhir dengan Magda, aku tak mungkin menjalin hubungan dengan Laura.”

“ Lho, kenapa? Apa yang kurang dengan Laura?”
“ Aku sudah janji dengan orangtua tidak akan menikah selain orang batak. Inipun panjang ceritanya kenapa, Rio.”
“ Bah! sama nasib kita bang. Sebelum aku kesini, sudah teken mati kepada bapak-mama, tidak boleh nikah dengan halak ion ( orang sini, pen). Kalau nggak, tak diperbolehkan berangkat. Alasan mereka, karena aku anak panggoaran ( anak sulung, pen), parah bang orang tua pikirannya masih ortodok. Tetapi mau tak mau awak harus turut, kalau nggak, tak jadi berangkat kesini,” keluh Rio.

“ Rio sudah punya pacar.?”
“ Belumlah. Ketemu perempuan batak, mantiknya( sombong, red) bukan main. Kalau aku mau sama orang sini, bejejer bang, apalagi kalau kami sedang show. Tetapi seandainya aku ketemu seperti kak Laura, tak peduli biar aku telah teken mati, akan kusambit bang. Apalagi yang kurang? Sandaran awak pohon beringin!?”
“ Rio, mengkhianati pacarpun tak elok, apalagi orangtua. Rio jangan silau. Memang, keinginan untuk memiliki cinta dan harta amat manusiawi. Tetapi milikilah itu dengan kejujuran." ( Bersambung)
Los Angeles, July 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Thursday, July 16, 2009

Telaga Senja (80)

====================
Sesekali Laura melirik kearahku sembari berbicara dengan maminya. Tak berapa lama wajahnya redup, suaranya terasa sesak; “ Mam, suruh dia pulang! Lala nggak mau..... Nggak mam. Mammm...! nggak! “ hentaknya, lantas menutupkan telepon. Laura berusaha menguassai emosinya yang baru saja “meluap”.
=====================
Laura merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur usai beribicara dengan maminya.. Dia menutup wajahnya dengan bantal seakan menutupi gejolak jiwa yang sedang membatin. Keheningan kamar tak berlangsung lama ketika Laura tak mampu membendung ekspresi kekecewaannya, suara isak tangis tersembul dari balik bantal bersarung putih itu, pelan.

Aku tetap memaku diri disudut ruangan, mataku menerawang ke langit-langit. Kupenjamkan mata menanti surut riak gelombang yang sedang terdera. Mungkinkah hatinya gundah pada dua sayap “rapuh” yang membawa hatinya jauh terbang tinggi ke angkasa .?” Dalam keprihatinan siang, aku menduga, seseorang, mungkin Gunawan Chan, datang berkunjung kerumahnya dan mau mengajak Laura jalan bareng. Sial bagi tamu Laura, entah siapun dia, Laura sedang bergayut khayal dengan seseorang pemuda batak bernama, Tan Zung.

Hanya berjarak beberapa menit setelah pembicaraan pertama berakhir, dering telepon turut memecahkan heningnya kamar yang didalamnya dua insan, satu memeluk harapan terpana dalam pesona jiwa, sementara yang satu menyimpan rindu lain dalam rongga jiwa.

Laura bangkit dengan tubuh lunglai . Tangannya meraih gagang telepon. Wajahnya tertunduk tanpa ekspresi, juga tak lagi menoleh kearahku yang masih duduk disudut ruangan. Suaranya lemah menjawab suara maminya diseberang sana: “ Mamm.....Lala nggak mau. Nggak..! Lala belum mau pulang. ...Iya..Lala mau bepergian hanya dengan om Laurance, tidak dengan dia mam...please mamm. Nanti malam Lala mau jalan dengan mas Tan Zung mam....... Besok juga. Iya....Lala baru sekali jalan dengan mas Tan Zung. Lusa..? Lala mau pulang dengan mas Tan Zung...Iya naik pesawat. Sudah iya mammm... Lala mau jalan dulu. ....Iya mam...”

Sepertinya Laura baru menang dalam peperangan maha dahsyat, hal itu terlihat dari cerimin wajahnya. Laura menoleh kearahku, lalu beranjak dengan wajah menunduk menuju kamar mandi.
“ Mas, permisi sebentar ke kamar mandi,” ujarnya , suaranya hampir tak terdengar.
Berbekal pengalaman dengan Magda dan Susan, aku simpulkan, Laura ke kamar mandi ingin melampiaskan rasa kesal yang masih tersisa. Beberapa saat aku mendengar Laura terbatuk-batuk, kemudian mendengar suara pancuran air. Hmmm Laura bermain cantik.
Dia menghidupkan air menutupi isak tangis yang tak tertahankan. Cara sahabatku Susan melampiaskan rasa kesal, menangis sambil teriak. Juwita hatiku Magdalena, terisak tetapi matanya terus manatapku, seakan berucap, “ Zung, lihatlah air mataku hampir kering sudah gara-gara kelakuanmu.”

Namun bagiku belum jelas, Laura menangis karena apa dan untuk siapa? Aku mengetuk kamar mandi dan memanggil , sementara air masih terus mengucur dari keran. Laura keluar dai kamar mandi dengan wajah dibiarkan basah, sedikit membasahi kepala . Kelopak matanya memerah masih menyisakan cairan bening. Begitu rumitkah persoalan yang dihadapinya sehingga kepalapun membutuhkan air sebagai pendingin.?

“ Mas, boleh aku berbaring sebentar,” tanyanya, sesaat keluar dari kamar mandi.
“ Laura sakit? Mau aku antar ke dokter Lou,” tanyaku menggoda. Laura tertawa sambil menutup mulutnya, kemudian dia membaringkan tubuhnya diatas tempat tidur. Aku permisi sambil keluar dari kamar, “Sebentar aku panggilkan dokter iya,” ujarku sambil membuka pintu. Laura berteriak; “ Mas, aku nggak sakit. Aku cuma istrahat sebentar, kepalaku pusing.”

Laura sadar aku kerjain; dia membalas balik, “Iya mas, tolong panggilkan dokter Lou sekalian dengan anaknya Gunawan.”
“ Serius nih?”
“ Ya. Tetapi mas sendiri yang jemput. Nggak boleh minta bantuan orang lain.”
“ Boleh. Aku tahu alamatnya kok.”
“ Dimana mas?”
“ Di Pasir putih Ancol, “ jawabku cepat.
Sedikit kesedihannya terobat atas guyon lepasku.” Eh....Laura..adik Lam Hot dan Rio masih menunggu kita di lobby. Aku panggil mereka kesini atau aku menemui mereka sekaligus mengusirnya.?”
“ Mas, jangan, kok diusir?” balasnya serius.“

" Laura, kalau boleh aku tahu, siapa sebenarnya lelaki itu yang datang kerumahmu, Gunawan ?"
" Ya. mas. Dia mengajakku jalan ."
" Kenapa nggak mau?"
" Kenapa!? Nantilah Laura ceritakan."
" Kasihan dia , datang jauh-jauh dari Perancis, kenapa Laura nggak respek."
" Mas...!? Laura bilang, nanti aku ceritakan.!" balasnya kesal. ( Bersambung)

Los Angeles, July 2009
Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (79)

Laura langsung menarik tanganku menuju ke kamar. “ Mas, aku mau ngomong di kamar,” ujarnya seakan tak sabaran menunggu jawabanku, “kenapa aku meninggalkan hotel secara diam-diam.?”
===================
Rio menyapa Laura sebelum kami meninggalkan lobby. “ Mbak, nggak ingat lagi denganku? Dulu mbak sering kerjain aku waktu Mapram (Masa Pra Mahasiswa = pelonco, pen).” Laura kembali duduk sambil mengenyitkan keningnya. “Tunggu mas, aku hampir ingat. Mas Asing Sing So iya,?” serunya.
“Ya mbak. Masih ingat juga iya. Kami bersaudara dengan Tan Zung,” sambut Rio.
“ Lho, mas Tan Zung nggak pernah cerita kalau punya saudara di Yogya. Dimana Asing Sing So lainnya.?”

“ Masih ada mbak. Mereka masih tiarap. Tadi malam kami “pesta” dengan bang Tan Zung.”
“ Kalian Asing Sing So juga dengan mas Tan Zung.?”
“ Pastilah. Mbak masih ingat nyanyian itu?”
“ Ingat, cuma sudah lupa syairnya.”
“ Tanyakan bang Tan Zung . Tadi malam kami nyanyi sampai abang mengeluarkan airmata, entah ingat siapa,” ujar Rio mengompori.?

“ Iya mas? Mas bisa nangis juga.? “ tanya Laura pula.
“ Semua makhluk hidup bisa menangis, kecuali raga telah pisah ranjang dengan jiwa.” kelakarku
“ Hush...mas ngaco,” potongnya.
“ Yang kumaksud, mati rasa dan mati suri.”
“ Mas, semakin ngaco,” ujarnya sambil permisi kepada Rio;” Mas ditinggal sebentar. Jangan pulung dulu, ntar kita nyanyi,” imbuhnya. Laura tak sungkan menarik tanganku menuju ke kamar.

“ Laura, jangan hanya kita berdua, barangkali kita butuh saksi-saksi,” godaku sembari menahan langkahnya.
“ Massss.... saksi untuk apa?” tanyanya polos.
“ Saksi kalau aku dan Laura bicara baik-baik, tidak saling marahan,” ujarku sambil tertawa lepas.
“ Nggak ada marahan, yang ada, tadi malam seseorang menghilang entah kemana dan nggak tahu karena apa. Ayo mas , sebentar saja, “bujuknya.
" Bukan menghilang mbak, lompat pagar," celutuk Lam Hot.

Aku mengalah, kemudian mengkuti Laura kekamar. Didalam kamar, aku temukan semua barang-barangku, entah siapa yang memindahkan dari kamar Lam Hot. Kenapa barang-barangku ada disini? Siapa yang pindahin dari kamar Lam Hot.?”
“ Tadi pagi aku yang pindahin. Mas, kemarin malam, aku dan om Laurance datang kesini mau ngajak jalan. Kami pergi setelah menunggu sekitar lima belas menit. Kami tanya ke front office, mas juga tidak meningalkan pesan. Aku kan sudah janji mau bawa om Laurance untuk berkenalan dengan mas.!?”

“ Maaf. Aku ngak ingat sedikitpun. Aku kira kita nggak ada acara makanya aku ikut Lam Hot, kebetulan dia mengajakku keluar. Laura datang kesini berdua.?”
“ Oh..iya bertiga dengan Gunawan temanku kuliah dulu. Dia datang bersama om Laurance, dia juga sedang kuliah di Perancis. Itu loh mas, anaknya dokter Lou Chan yang kita pergi kemarin dulu,” jelasnya.
“ Kata adik Lam Hot, tadi malam mas melihat kami? Kenapa nggak samperin .?”

“ Mereka yang melihat. Aku hanya dapat laporan. Seandainyapun aku melihatnya apalagi Laura sedang berpegangan tangan dengan mantan teman kuliahmu itu, rasanya tak tega mengganggu kenyamanan kalian setelah Laura dan dia bertahun-tahun tidak ketemu,” ujarku sambil melangkah meninggalkan dia sendirian duduk di atas tempat tidur, berdiri disudut kamar.
“ Mas! Tunggu dulu, mas mau kemana? Aku nggak mengerti maksudnya.! Siapa pegangan tangan dengan Gunawan? Kapan dan dimana? Lho katanya, mas nggak melihat kami,?” sanggahnya dengan raut wajah sedikit tegang.

“ Laura, jangan salah mengerti. Aku tidak keberatan kamu berteman dengan siapa, tokh kita tidak ada ikatan apapun kecuali sebagai teman. Yang aku ingin sampaikan adalah, aku tak ingin mengganggu kenyamanan kalian, tidak lebih dari situ. Aku memakluminya, tulus, apalagi kalian sudah berpisah cukup lama.”
“ Aku semakin tak mengerti maksud mas Tan Zung. Mas, duduk disinilah kenapa harus berdiri disana.?”

“Sulit dimengerti kalau ada sesuatu yang tersembunyi Laura.!”
“Mas, apa yang tersembunyi? Aku berpegangan tangan dengan om Laurance, bukan dengan Gunawan. Masya sih dengan om sendiri nggak boleh.?
“ Laura, salah mengerti lagi. Aku tidak melarang kamu berteman atau pegangan tangan dengan siapapun. Aku serius Laura.!”
“ Tetapi kenapa mas keluar dari hotel ini tanpa memberitahu kepada siapapun.?”
“ Ya. Aku sengaja menghindar agar Laura tidak merasa berbeban bila aku masih disini. Aku juga sudah rencanakan kembali ke Jakarta lebih awal.”
“ Mas, pulang lebih awal gara-gara aku berpergian dengan om Laurance tadi malam? Nanti Laura pulang dengan siapa?” tanyanya dengan nada iba.
“ Ada Gunawan kan.?”
“ Mas ! Aku kesini bersama mas, bukan dengan Gunawan.?"

Pembicaraan kami terhenti sebentar setelah dering telepon. Dari percakapan yang aku dengar, Laura berbicara dengan maminya. Sesekali Laura melirik kearahku sembari berbicara dengan maminya. Tak berapa lama wajahnya redup, suaranya terasa sesak; “ Mam, suruh dia pulang! Lala nggak mau..... Nggak mam. Mammm...! nggak! “ hentaknya, lantas menutupkan telepon. Laura berusaha menguassai emosinya yang baru saja “meluap”. (Bersambung)

Los Angeles, July 2009
Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Tuesday, July 14, 2009

Telaga Senja (78)

===================
Setelah miras masuk beberapa teguk, Rio kembali menyerahkan gitar sekaligus mereka berlima “request” aku nyanyi sendiri. Aku memilih lagu yang mereka sudah nyanyikan sebelumnya, kebetulan lagu yang aku suka sejak Bunga meninggalkanku , dulu.
“ Na hinali Bakkudu”
==================

PADA bait akhir, suara hampir tak terdengar. Bayang -bayang wajah Bunga, Susan dan Magda datang silih berganti. Aku berusaha melanjutkan bait yang terputus tapi tak berakhir tuntas. Pengaruh manson juga sudah merasuk hingga keubun-ubun. Kelima teman nongkrong masih bersabar mengikuti dendang sendu yang kunyanyikan ulang, tetapi juga tak sampai diujung bait.

“ Mari bang, aku yang mainkan,” ujar Rio sambil menarik gitar dari tanganku. Aku diam, hening, larut dalam kebeningan suara mereka. Menjelang tengah malam, isi keduabelas botol bir dan manson berukuran kecil tuntas sudah. Sebelum bubaran, Rio ingin mengantarkan aku pulang ke penginapan. “ Abang tinggal di hotel mana?” tanyanya.
“ Beberapa hari ini aku menginap di hotel diujung jalan sana. Kalau boleh bantu dulu aku cari penginapan disekitar tempat ini, aku suka daerah ini nggak terlalu ramai,” pintaku. Setelah sedikit kuceritakan masalahku, kenapa pindah dari hotel itu, akhirnya dia mengajakku tidur di rumah kosnya. “ Nanti aku ceritakan selengkapnya setelah dirumah, " ujarku
***
Ditengah perjalanan, aku mengajak Rio membeli minuman lagi. “ Kita ngobrol sambil minum, sebelum kita tidur ,” ujarku.
“ Aku masih ada simpanan dirumah bang,” jawabnya ketawa. Ah..ternyata kami punya selera yang sama, pikirku. Tiba dirumah kos, Rio mengeluarkan dua botol bir dari kamarnya. Kami duduk diteras rumah.
“ Ini pertahanan terakhir bang. Jadi gimana jalan ceritanya, kenapa abang menghindar?” tanyanya lantas membuka dua botol bir. Sambil mereguk minuman, aku bertutur awal tentang persahabatanku dengan Laura hingga berlanjut liburan ke Yogya, tempat kelahirannya.

“ Bang, tunggu dulu! Laura pemilik hotel yang di jalan itu?” tanyanya dengan menyebut nama hotel.
“ Kamu kenal Laura?”
“ Iya, kami satu kampus dengannya bang, aku semester dua dia sudah mau selesai.”
“ Bagaimana kamu tahu Laura yang aku ceritakan adalah Laura yang kamu kenal,?” tanyaku penasaran.
“ Siapa nggak kenal Laura bang. Hanya dia perempuan yang nyetir sendiri ke kampus. Perempuan lain yang mempunyai mobil diantar oleh sopir. Aku yakin dia itu bang,” ujarnya yakin.

“ Mungkin namanya kebetulan sama. Laura nggak pernah cerita kalau dia punya hotel.
“ Bang, aku kenal keluarga ini, rendah hati. Kebetulan hampir setiap minggu aku ketemu dengan mereka di gereja.”
“ Kamu kenal orangtuanya?”
“ Kenal bang! Namanya Farel Suryo Harsono; selalu kami panggil om fesha. Ada foto Laura didalam dompet abang.?”
“ Nggak punya kecuali foto kakakmu Magda.”
“ Bang, nggak usah buru-buru putusin dulu, sayang.!”
“ Diputusin? Aku nggak punya hubungan khusus dengannya, dia bukan pacarku. Kebetulan saja kami satu kantor dengannya.”
“ Kalau memang abang tidak punya ikatan dengan Laura kenapa harus keluar dari hotel?”
“ Aku khawatir bila masih menginap disana, mungkin dia punya beban psikis.”
***
Menjelang siang, aku menghubungi Lam Hot lewat telepon memberitahukan kalau aku mau datang menjemput barang-barangku dari hotel. Dia merasa jengkel karena sejak pagi telah menungguiku. Juga Laura berulangkali mendatangi kamarnya menanyakan keberadaanku. Saat masih bicara dengannya, sayup kudengar suara Laura dan menanyakan siapa teman bicara Lam Hot. Segera Laura mengambil gagang telepon dari Lam Hot setelah dia mengetahui aku yang sedang berbicara dengan Lam Hot.

Aku mendengar desah suaranya sebelum memulai bicara. Laura meminta alamat dimana aku bertelepon. “ Aku dan Lam Hot mau jemput, mas di hotel mana ?” desaknya dengan suara membujuk setelah aku menolak memberi alamat rumah Rio tempatku menginap.
“ Aku nggak tahu daerah mana, aku tidur dirumah teman bukan di hotel,” jawabku. Aku mendengar suaranya mulai “nyangkut” ketika bertanya: “ Mas, kenapa pergi diam-diam. Ada apa sih mas? “tanyanya, lantas Laura menyerahkan gagang telepon kepada Lam Hot sebelum aku menjawab pertanyaannya. Aku mendengar suara Lam Hot diujung telepon: “ Kakak mau kemana,” tanyanya. Tidak ada suara jawaban kecuali seseorang membuka pintu kemudian pintu tertutup.

“ Bang, main cantiklah. Jangan terlalu ketara ego kita itu. Abang di mana? Tahu jalan pulang kan? Sebentar nanti aku juga mau check out mau pindah ke hotel lain. Kemana kulemparkan koper abang ini?” tanya Lam Hot kesal.
“Sebentar aku ke sana mau jemput barang-barangku, tolong beritahukan Laura."
" Dia sudah kembali kerumahnya. Kenapa abang nggak beritahukan tadi?”
***
Setelah makan siang, aku dan Rio menjemput koperku ke hotel. Laura, Lam Hot dan Rima sudah menungguku di lobby. Wajah Laura tidak secerah biasanya meski berusaha mengukir senyum ketika aku dan Rio masuk ke dalam lobby.
“ Benar bang. Dia itu yang aku bilang tadi malam,” bisik Rio sebelum mendekat kepada Laura. Ketiganya berdiri menyambut kedatanganku dan Rio. Masing-masing saling memperkenalkan diri ke Rio. Wajah adikku Lam Hot juga berubah binar setelah mengetahui Rio satu marga dengan kami. Laura langsung menarik tanganku menuju kamar. “ Mas, aku mau ngomong ,” ujarnya, lantas menarik tanganku seakan tak sabaran menunggu jawaban atas pertanyaannya; “kenapa aku meninggalkan hotel secara diam-diam.?” ( Bersambung)

Los Angeles, July 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Monday, July 13, 2009

Telaga Senja (77)

Engkau terlena dalam pelukan dingin malam /Matamu terpejam, kembang masih erat kau genggam /Butir pasir beterbangan, sinar bulan berkilauan /Kau tersenyum dalam diam /Kau tertidur makin lelap /Seperti bintang wajahmu gemerlap /Kudekap erat sukmamu, kuselimuti tubuhmu

Aku terjaga, pekik ombak Laut Selatan /Matahari pagi di atas puncak bukit karang /Sebatang pohon kering, membelah matahariku /‘ku bertanya kepadamu, /“Mimpi indahkah kau semalam?” /Kiranya kini kau t’lah hilang musnah /seperti namamu yang kutulis di pasir /ditelan ombak Pantai Laut Selatan
==========================
Sementara pikiran bagai riak gelombang yang sedang gelisah, suara hati bertanya, membatin, kenapa mesti ada riak gelombang, bukankah warna-warni pelangi Magda masih membentang dalam sukma?. Ya, masih terbentang menutupi semua ruang bahkan warnanya belum pudar, jawabku dalam benak.
============================

SEANDAINYA Laura akhirnya memutuskan, mencari jalan terbaik untuk dirinya, itu sangat wajar, karena dia belum menangkap “signal” dari diriku. Atau selama ini dia merasakan tangan terulur hampa, simpulku lagi dalam hati. Lantas, apa yang aku lakukan? Sederatan tanya masih terangkai dalam hati tetapi belum satupun dapat terjawab dan pertanyaan yang tersisa; Bila memang Laura sebelumnya telah mempunyai teman khusus, mengapa tak pernah sekalipun dia menyinggungnya sama seperti aku lakukan. Padahal, kepada Laura, aku mengaku masih mempunyai teman khusus Magdalena, dan Laurapun sudah berbicara langsung dengannya saat menyampaikan selamat hari ulang tahun Magdalena.

“ Bang tenang dulu. Untuk apa kunci kamarku? Abang kan punya kamar? “ tanyanya ketika aku meminta kunci kamar Lam Hot.
“Aku mau pindahkan barang-barangku kekamarmu untuk sementara. Malam ini aku mau cari penginapan lain,” jawabku.
“ Kok abang reaktif seperti ini. Tenang dululah bang.Katanya abang pemain.!?”
“ Hot, suasananya sudah nggak aman nih. ”
“ Kan abang nggak ada ikatan apapun dengan dia.?” ujarnya sambil menyerahkan kunci kamarnya.
“ Hah...antara ada dan tiada,” jawabku ketawa.
“ Abu-abu dong! Hidup ini harus tegas, hitam atau putih. Jadi abang mau nginap dimana?”
“ Belum tahu ke hotel mana aku menginap, mungkin agak keluar kota biar lebih nyaman. Nggak usah kau sibuk cariin aku, besok pagi aku akan jemput barang-barangku. Kamu juga nggak usah usil telepon Magda.”
Cemmananya abang ini, disini sebel, kesana takut.!” ejeknya.

Segera Lam Hot dan Rima kutingalkan. Serasa mau terbang, aku berjalan cepat melupakan kaki yang masih nyeri mencari angkutan ke hotel. Koper dan barang kecil lainnya aku pindahkan ke kamar Lam Hot, kemudian menitipkan kunci ke petugas shift malam. Seorang karyawan hotel yang telah mengenaliku menyusul dari belakang, bertanya: “ Bapak mau kemana? Tadi mbak Laura dan om Laurance tungguin bapak.!”

“ Oh..iya, aku nggak kemana-mana,” jawabku diiringi rasa bimbang untuk pindah hotel setelah diberitahu Laura menunguiku sebelumnya. Ditengah kebimbangan, akhirnya ku putuskan hengkang malam ini juga. Aku menyisir sisi jalan mencari warung namun tak kunjung ketemu. Sengaja aku tidak ke bar, karena aku yakin Lam Hot pasti mencari ke bar sepanjang “down town” bila aku tak pulang hingga larut malam. Aku menghampiri seorang pemuda tanggung yang sedang berdiri dipinggir jalan, menanyakan warung tempat anak muda nongkrong.

“ Orang Sumatera ya mas?” tanyanya setelah mendengar aksen suaraku.
“ Bukan. Aku orang Sulawesi Utara,” ujarku mengelabui identitas sambil memperhalus tekanan suara. Merasa malu juga, orang langsung dapat menebak tepat suku dari mana, gara-gara aksenku sangat kental, payah.
“ Aku nggak tahu tongkorongan anak Sulawesi, kalau tongkrongan orang Sumatera aku tahu,” terangnya.
“ Iya nggak apa-apa, tapi anak muda kan, bukan ibu-ibu,” kelakarku. "
" Sarang" ibu-ibu juga ada mas, mereka hampir setiap hari main kartu karo."
" Maksudmu, joker karo.?"
" Oh...iya...ya , joker karo. Kakak iparku orang Sumatera mas. Sering juga kakak itu main kesana," ujarnya kemudian dia menerangkan arah jalan ke warung tongkrongan anak muda.
" Tempatnya agak jauh mas." ujarnya. Dia tidak menolak ketika diminta mengantarkanku.
“ Mas tolong antarkan aku kesana, ntar nanti kamu pulang dengan beca yang sama,” bujukku.

Setelah mendekat dengan warung yang dituju, sayup terdengar nanyian berirama andung ( ratap, pen), " Na hinahli bangkudu" karya komponis Nahum Situmorang. Ah...suasana sekitar mengingatkanku kedai tuak di petigaan Jl. Sei Wampu dan Jl. Binjai, Medan. Ingat, tempo dulu, Mawar dan Magda menjemput dari kedai itu saat melampiaskan kedongkolanku terhadap Magda. Kini, kejadian beberapa tahun silam terulang kembali dalam situasi yang hampir sama, pelampiasan rasa dongkol.

Horas! sapaku setelah aku masuk dalam warung. Lima orang pemuda yang berada disana menyambut hangat sambil membalas sapaanku. Setelah memperkenalkan diri lengkap dengan marga, seorang diantaranya tiba-tiba berdiri menghampiriku; “horas bang”, ujarnya sambil menyodorkan tangannya, ternyata kami satu marga. Kelima pemuda yang nongkrong di warung adalah mahasiswa, hal itu aku ketahui saat pembicaraan kami yang berlangsung akrab. Dua diantaranya dari Medan dan Siantar, selebihnya dari Jakarta. Awal perkenalan aku agak sedikit kikuk ketika seorang memperkenalkan marganya sama dengan Magdalena.

Sambil bercakap-cakap, mataku liar menyapu seputar meja dan lemari warung, tak satupun gelas atau botol berisi alkohol.
Aku menanyakan kepada Rio semargaku bila diwarung itu boleh nenggak minum keras(miras).
“ Boleh bang, kebetulan kita semua lagi bokek,” jawabnya ketawa. Pemuda Olan semarga dengan Magda usia termuda diantara kelimanya segera bergegas dan menghidupkan motornya setelah aku memberi sejumlah uang membeli minuman. Malam ini jadi “pesta”, kataku dalam hati.

Sekembalinya Olan dan Rio membeli miras, aku mulai mengutakatik gitar memancing kelima mahasiswa untuk bersama-sama mengolah vocal. Sejumlah lagu kami nyanyikan, tuntas. Luar biasa, olah vocal mereka menakjubkan. Penasaran, aku tanyakan langsung kepada Rio, kok suaranya bagus sekali.
“ Bawaan lahir bang,” ujarnya diiringi tawa.
“ Kalian punya group?“
“ Ya bang. Kadang kala kami nyambi di sejumlah bar hotel. Kebetulan sekarang lagi lebaran, bar agak sepi,” tambahnya. Setelah miras masuk beberapa teguk, Rio kembali menyerahkan gitar sekaligus mereka berlima “request” agar aku nyanyi sendiri. Aku memilih lagu yang mereka sudah lantunkan sebelumnya, kebetulan lagu yang aku suka sejak Bunga meninggalkanku, dulu. “ Na hinali Bakkudu ” http://www.youtube.com/watch?v=PDbcjXp9zRQ ( Bersambung)

Los Angeles, July 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/