Saturday, July 25, 2009

Telaga Senja (87)

=====================
Agaknya ada sesuatu yang mau disampaikan tetapi isak tangis mendahuluinya. “ Iya papi hanya sendiri menghadapi kekerasan hati mamiku, om dan tante yang di Solo sama keras hatinya dengan mami. Tiba-tiba Laura memelukku sangat erat, terucap kata sangat menyentuh hati; Mas, Papi kandungku telah pergi ketika aku berusia dua tahun.”
=====================
Bagai banjir bandang Laura menumpahkan siksa derita lewat airmata yang akhir-akhir ini dipendamnya. Sepertinya Laura tak mampu lagi menahan deburan ombak yang menggulung perjalanan hidupnya. Ditengah isak tangisnya dia memanggil ayah yang kini sedang dalam peraduan sementara, di alam baka.

Aku terhenyak mendengar pengakuan Laura, air matakupun tak dapat terbendung mendengar jeritan Laura, suaranya lirih memanggil-manggil papinya. Kupeluk dia dalam pembaringan, wajah kami menyatu bersama air mata. Aku mengecup kelopak matanya menunjukkan empatiku.

“ Mas, kenapa aku lahir dan ditakdirkan untuk menderita ? Kenapa mas!?” tanyanya sesugukan dalam pelukanku. Aku teridam, tak mampu menjawab pertanyaan. Saat itu aku tak mampu membalut luka hantinya yang masih terkoyak oleh ego maminya karena memaksa nikah dengan Gunawan. Kemudian Laura menukil duka kepergian ayah kandungnya puluhan tahun silam.

“ Laura, dari tuturan ceritamu, meski papi telah meninggalkanmu sejak kecil, tetapi Laura masih beruntung mendapatkan papi yang mempunyai kasih sayang seperti almarhum papi.”
“ Tanpa papi, mungkin aku sudah gila. Aku juga kasihan, papi ikut korban akibat penolakanku atas permintaan mami. Kemarin papi menasihatiku agar bersabar. Tetapi aku melihat papi menanggung tekanan batin yang sangat dalam. Om dan tanteku yang di Solo, ikut-ikutan mendukung mami.”

“ Sejak kapan Laura mengetahui kehilangan almarhum.?”
“ Ketika tamat es-em-pe. Satu malam aku menanyakan pada mami, kenapa nama belakangku yang tertulis di ijazah tidak sama dengan nama papi? Waktu itu, mami tidak menanggapi. Tidak seperti biasanya, mami selalu menjawab bila aku menanyakan sesuatu. Namun saat itu, mami hanya diam tak mau menjawab. Aku terus mengulang pertanyaan yang sama, kemudian mami masuk ke kamar meninggalkanku di ruang makan. Dari ruang makan, aku mendengar isak tangis mami. Aku semakin heran dan tertanya-tanya, kenapa mami menangis ketika aku tanyakan tentang nama belakangku yang berbeda. Mami memeluk dan menciumiku ketika aku masuk kamar, tetapi mami belum menjawab juga, ketika kutanyakan kenapa mami menangis.

Awalnya, mami sangat berat hati menceritakannya. Tetapi karena terus aku desak, mami mau berterus terang. Mulut mami bergetar, suaranya hampir tak aku dengar ketika dia menuturkan bahwa, papi telah meninggalkan kami belasan tahun lalu karena terserang penyakit jantung. Menurut mami, papi hanya bertahan beberapa jam setelah dibawa kerumah sakit. Aku sangat terpukul, antara percaya dan tidak, mendengar pengakuan mami yang dirahasiakan belasan tahun itu. Aku terduduk ditempat tidur mami bagai tak bernyawa.

Dunia terasa berputar kemudian aku tak sadarkan diri. Beberapa jam kemudian, aku telah berada dirumah sakit. Saat aku membuka mata, papi memelukku diiringi airmata kemudian duduk bersimpuh disisi tempat tidurku. Aku hanya memandanginya, pikiranku masih terguncang. Namun aku tak mampu melihat papi bersedih, kemudian memeluk dan mencium wajah papi dalam simpuhnya. Mami, papi dan aku berangkulan. Meski hatiku masih terasa sesak, aku paksakan senyum usai berpelukan,” tutur Laura dengan suara serak.

“ Laura pernah melihat foto papi almarhum semasa hidupnya.?
“ Pernah. Foto pernikahan papi dan mami. Tetapi mami melarang memajang dikamarku, nggak tahu kenapa. Sesekali aku berkunjung kerumah kakek dari alamarhum papi. Disana aku puas melihat foto-foto almarhum sejak masa kecilnya hingga papi diwisuda. Mami juga tidak mengijinkan foto-foto yang ada dirumah kakek aku pajang dikamarku. Tetapi diam-diam foto almarhum papi ketika wisuda aku tempelkan didalam foto albumku.”

“ Laura sudah pernah melihat makam almarhum.?”
“ Iya. Setelah aku keluar dari rumah sakit, aku minta mami mengantarkannya. Mas, setibanya disana, aku memeluk pusara papi diiringi tangisan dan memanggil papi berulang-ulang. Aku dan mami berpelukan dalam tangis. Aku ingat betul, ketika kali pertama ke pusara, kedua tanganku menepuk-nepuk pusaranya dan berteriak: "papi Laura sudah gede, papi nggak rindu pada Laura? Pap aku sudah tammat es-em-pe, nama papi tertulis dalam ijazahku. Papi nggak mau lihat....? Pap....bangunlah sebentar...!" tangisku kala itu. Mami merangkulku ketika aku tiduran diatas pusara papi, membujukku; ” Jangan ganggu papimu sedang tidur.”

Tenggorokanku terasa kering, aku kehabisan suara tetapi aku puas, sepertinya aku telah melihat wajah papi dalam pembaringannya. Sejak mami menceritakan kepergian papi, aku merasakan kasih sayang dari mami dan papiku yang sekarang, juga dengan tante dan kakek. Kasih sayang mereka semakin bertambah setelah mami menceritakan perihal almarhum papi . Tetapi kini mas, kasih sayang itu telah sirna seiring penolakanku atas permintaan mami.”

“ Bagaimana Laura merasakan kasih sayang mereka berkurang, bukankah baru tiga hari lalu Laura menolak kehadiran Gunawan.?”
“ Sebenarnya sudah sejak tahun lalu mas. Tetapi baru kemarin dulu, aku secara tegas menolaknya. Mami semakin gelisah setelah Laura dan mas datang bareng.”
“ Lho, aku punya andil dalam masalahmu?”
“ Iya. Pemicunya,” jawab Laura getir diiringi senyum, pahit. (Bersambung)

Los Angeles, July 2009

Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment