Monday, June 8, 2009

Telaga Senja(50)


http://www.youtube.com/watch?v=BNE1_qHBb2c

I wanna call the stars Down from the sky /I wanna live a day That never dies /I wanna change the world/ Only for you /All the impossible I wanna do

I wanna hold you close Under the rain /I wanna kiss your smile /And feel the pain I know what’s beautiful /Looking at you /In a world of lies You are the truth

And baby Everytime you touch me /I become a hero I’ll make you safe / No matter where you are / And bring you Everything you ask for /Nothing is above me /I’m shining like a candle in the dark /When you tell me that you love me

I wanna make you see /Just what I was /Show you the loneliness /And what it does /You walked into my life /To stop my tears /Everything’s easy now I have you here

=========================
“ Tak perlu aku beritahu kenapa, agar mas tidak semakin besar kepala,” katanya ketawa.
“ Mungkin Laura setipe dengan mbak Neneng, hanya dengan irama tubuhpun langsung jatuh hati.”
“ Mas, sudah waktunya kita pulang,” ujarnya seraya beranjak dari kursinya.

=========================

MARTHA, tante Laura menelpon sesaat kembali makan siang dengan Neneng, dia menyuruhku datang kerumah menemani Laura karena dia mau pergi kekantor suaminya. “ Tadi aku sudah minta ijin kepada Adrian,” ujarnya. Adrian adalah adik iparnya yang juga dirut peusahaan kami. Neneng yang mengetahui kepergianku kerumah Martha untuk menemani Laural; dia memanggiku keruangannya dan bertanya usil: “ Bahasa apalagi yang mau mas pakai jika bertemu dengan Laura ?”
“ Bahasa roh..heheheh , maksudku bahasa nurani."
“ Maksudnya apa?”

“ Aku mengutamakan nurani. Siapapun dia jika butuh bantuan, kita wajib menolongnya, apalagi yang sedang dalam pembaringan. Seadainyapun Neneng mengalami hal yang sama, kemudian butuh pertolongan, dengan senang hati aku akan membantu semampuku meski Neneng sudah punya suami. Begitulah kalau nurani yang bicara. Bila hal itu dimaknai beda, itu soal lain.”
Neneng memegang kedua pergelangan tanganku erat sebelum meninggalkan ruangannya kemudian berkata,” Aku percaya mas ! Sampaikan salam kami kepada Laura, semoga dia cepat sembuh.”
***

Martha menyambutku ramah seraya menyilakan masuk. “ Sebentar tante panggilkan Laura. Demamnya sudah agak berkurang,” ujarnya meninggalkanku diruang tamu. “ Zung, nggak usah segan-segan, anggap rumah sendiri. Panggil saja si mbok kalau butuh minum atau makan. Tante dan oom mungkin pulang agak malam. Tolong ingatkan Laura makan obatnya,” ujarnya.

Kalimat terakhir berupa pesan itu mengundang rasa tanya dan pikiranku kembali ketika Neneng memberiku “warning” tentang kedekatan kami yang telah diterjemahkan beda dengan hatiku sesungguhnya, hanya teman biasa. Apakah ini pertanda untuk terus membatasi diriku berteman dengan Laura.? Sejauh manakah dia memaknai persahabatanku, pada hal sudah diberitahu jika aku masih punya sahabat, Magdalena. Bagaimana aku bersikap selanjutnya?

Kini, ternyata yang aku hadapi bukan lagi hanya Laura, tante, oom atau jangan-jangan Adrian, dirut kami, mempunyai pikiran yang sama, bahwa persahabatanku dengan Laura sudah pada tingkat pacaran. Sementara pikiran kalut dengan “masalah” baru, Laura muncul dari kamar, dia menyapaku, tampak tubuhnya masih lemah. Dia melangkah agak sempoyangan. Aku songsong dia dan menuntun keruang tamu. Namun, aku merasa terjebak ketika tantenya kembali kerumah. Dia tersenyum melihatku menuntun Laura keruang tamu.

“ Tante ketinggalan sesuatu. Lala, panggilan Laura, rebahan di sofa kalau badanmu masih lemah,” ujarnya. Lengkaplah sudah kesimpulan tante Martha bahwa aku dan Laura memang bukan lagi sekedar berteman biasa setelah melihat ”adegan” singkat itu. Hati mulai gelisah setelah tante meninggalkan kami berdua diruang tamu. Tubuhku didepan Laura, tetapi hatiku jauh melayang dipangkuan Magdalena yang kini juga sedang terbujur dalam pembaringan.

Aku diperhadapkan pada masalah yang sangat dilematis. Satu sisi harus menjaga perasaan Laura dan keluarganya agar jangan sampai merasa diabaikan. Pada sisi lain aku harus menjaga dan merawat hubunganku dengan Magda meski aku juga belum tahu ujung “perjuangan”ku. Tapi yang pasti aku tidak akan melukai hatinya untuk kali kedua. Aku menyadari, perjalanan masih panjang dan berliku menuju kepangkuan abadi Magdalena. Itu adalah harga yang harus dibayar mahal akibat ulahku sendiri.
“ Zung, oom menganjurkan kita berangkat ke Yogya naik pesawat, mungkin besok tante akan belikan tiket.”

“ Kenapa nggak ditunda dulu ? Laura masih lemah,” ujarku.
Sebenarnya aku ingin menunda karena belum sempat berbicara dengan Magdalena sejak dia sakit. Aku juga ingin minta ijin terlebih dahulu. Aku tahu karakternya, dia sangat marah bila berpergian dengan perempuan lain tanpa sepengetahuannya. Ingat masa lalu ketika kami hampir patah arang, gara-gara kepala paribanku Sinta bersandar di atas dadaku sepulang dari kampung. Kala itu, paribanku sangat lelah selama perjalanan yang memakan waktu enam jam. Juga Magdalena merasa dongkol ketika aku berteman dengan Susan, pada hal sebenarnya kami telah putus, namun aku tahu dia masih merindukanku. Memang, sangat sukar melupakan kenangan yang kami rajut selama lima tahun.

“ Kita tunggu dulu lah kesehatanmu benar-benar pulih,” ucapku lagi.
“ Nggak apa-apa kok mas. Dokter bilang, lusa aku sudah bisa naik kereta atau naik pesawat. Aku sih lebih enak naik kereta. Bagaimana dengan mas? Mau naik kereka atau pesawat.?” (Bersambung)

Los Angeles. June 2009


Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/