Saturday, January 30, 2010

Telaga Senja (218)

http://www.youtube.com/watch?v=7swiNFxY8Zg
======================
" Kita berlabuh diberbagai tempat ; Di rumah ditengah kebun pinggiran kota, di kamar si putri melati tempat dibesarkan, dan malam ini di kamar pemuda idaman,” ujarku disambut ciuman di kening dan berucap,” Papa, kita bobo.” Keletihan seharian selama perjalanan, menghantarkanku dan Magda dalam tidur.
======================
PAGI saat kami bangun, dikagetkan kehadiran sejumlah ibu-ibu, dibantu seorang lelaki, amangboru( suami bibi, pen), siap-siap memotong ternak berukuran sedang. peliharaan orangtuaku. Entah bagaimana ayah dapat mengundang mereka sepagi itu.
“ Ada acara apa,? “ tanyaku, didampingi Magda, kepada ibu.
“ Acara penyambutan menantu,” ujarnya singkat diiringi tawa.
“ Kenapa harus potong ternak itu? Bagaimana menghabiskannya?”
“ Ibu mengundang tetangga dan famili dekat,” jelas ibu.
Aku menark tangan Magda masuk ke dalam kamar. Disana aku sarankan agar dia mau membantu “parhobas” ( pekerja/pelayan) ibu-ibu itu. Sebelum keluar dari kamar, aku kebingungan menjelaskan kepada Magda makna acara makan siang dengan famili dekat dan tetangga.

“ Mama tidak mengenal mereka. Mama panggil apa kepada ibu-ibu itu.?”
“ Pukul rata saja lah, panggil inang.” ucapku geli, sebab akupun tak tahu sapaan pas kepada mereka.
“ Ini acara adat batak iya pap.?” tanyanya
“ Orang tak tahu adat batak pun dapat melakukan acara seperti ini. ?”
“ Papa, gimana sih. Mama kan mau belajar?”
“ Mam, aku nggak tahu. Nanti mama tanyakan lagi ke ayah atau ibu. Yang pasti acara seperti dilakukan oleh orang beradab yang tahu adat,” ujarku.

Magda menjadi pusat perhatian para juru masak. Magda merasa risih diperhatikan seperti itu. " Pap, temanin mama disini. Jangan pergi. Aku malu dilihatin terus."
" Jangan perdulikan sorotan mata mereka. Anggap saja mereka mengagumi kecantikanmu," bisikku.

Ibuku memberi pujian langsung kepada Magda ketika melihat kesigapannya menyiapkan berbagai jenis bumbu.
“ Siapa yang ajarin Magda,” tanya ibu
“ Ya siapa lagi kalau bukan aku bu,” jawabku, disambut tawa Magda.
Setelah ibu memberi petunjuk kepada “parhobas” , dia mengajak Magda mengundang tetangga dan famili dekat. Saat mereka mau berangkat, aku bertanya kepada ibu, apakah mengundang tulang/paman, orangtua nya Shinta.
“ Ya pasti lah. Tulang harus diundang.” jawab ibuku.

“ Kenapa harus di undang? Tulang juga punya andil untuk menggagalkan rencana pernikahan kami,” protesku.
“ Zung, kalian sudah melangkah sesuai dengan keinginan kalian. Ibu dan ayah telah menerima kalian dengan baik. Bahkan siang ini kita akan makan bersama mengucap syukur. Anak dan parmaen /mantuku tiba dirumah dengan selamat. Siang ini kita akan berdoa bersama agar perjalanan rumah tangga kalian senantiasa Tuhan berkati,” ujar ibuku agak sedih.
“ Pap, apalagi yang di ributkan,? ” tanya Magda menengahi.
“ Magda nggak usak ikut campur. Ini urusanku dengan ibu,” entakku. Magda terhenyak mendengar jawabku, ketus. Spontan ibu menyambar, marah, “ Babam i...loak maho manghatai. Ndang naung parnijabum i?” ( Mulut kau. Bodoh kali lah kau. Dia kan sudah isterimu?, pen) seru ibuku menyengat.

Tulang datang, aku pergi,” ucapku dengan hati meradang. Aku belum bisa melupakan dan memaafkan keusilannya.
“ Zung...? Kamu dan parmaenku ( menantuku, pen) yang akan di doakan. Kamu mau pergi karena tulangmu diundang? Terserah kamu lah amang, kalau tega mempermalukan ibu dan ayah. Manang na boha pe, tulang mi, apala ibotongku do i ( Bagaimanapun paman mu itu adalah saudara kandungku),” ujar ibuku menahan marah. “ Tulang mu juga orangtua mu amang.” tambahnya, suara hampir tak terdengar.

“ Kalau papa mau pergi silahkan. Biar mama sendiri dengan inang dan amang menerima tulang,” bentak Magda. Tak mampu menahan pukulan telak ibu dan Magda, aku beringsut menjauh dari mereka, berpura-pura membantu ibu-ibu merapikan bara kayu api dalam tungku masak. Bara api yang mengeluarkan panas, menambah hati semakin mendidih mendengar ucapan Magda menyentak, mempersilakan aku pergi, seakan tak mengerti betapa teririsnya hati akibat ulah tulangku.

Magda beranjak dari dapur, sebelumnya dia memberi isyarat agar aku mengikutinya saat mata kami bertatap pandang. Tiba di kamar, Magda langsung menghujam dengan ”upper cut”, “ Kita datang ke sini mau cari masalah? Apakah persoalan akan selesai dengan dendam kesumat terhadap orangtua?”
“ Aku dendam kepada tulang, bukan kepada orangtuaku.”
“ Jadi maksud papa, hanya ayah dan ibu yang melahirkan dan membesarkan, orang tua? Tulang bukan orangtuamu? Mamiku juga bukan orangtua papa?”
Lho kenapa mami diikut-ikutkan.?”
“ Papa jawab! Apakah mamiku orangtua papa juga.?” (Bersambung)

Los Angeles. January , 2010

Tan Zung"
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/