Tuesday, January 19, 2010

Telaga Senja (211)

You Decorated My Life
All my life was a paper once plain, pure and white/Till you moved with your pen / changin' moods now and then/Till the balance was right/Then you added some music, ev'ry note was in place/ And anybody could see all the changes in me by the look on my face

And you decorated my life, created a world where dreams area apart/And you decorated my life by paintin' your love all over my heart/You decorated my life

Like a rhyme with no reason in an unfinished song/There was no harmony life meant//nothin' to me, until you cam along/And you brought out the colors, what a gentle surprise/Now I'm able to see all the things life can be shinin' soft in your eyes

And you decorated my life, created a world where dreams are a part/And you decorated my life by paintin' your love all over my heart/You decorated my life
=====================
“ Kami nggak bisa berbuat banyak dalam pernikahan yang telah kalian langsungkan. Amang boru hanya bisa bantu, jika ada keluarga yang masih mengganggu.” ujarnya.
=======================

UPAYAKU sia-sia, bagai menjaring angin, setelah tak satupun dari kedua keluarga yang menyetujui pernikahan kami secara adat. Aku tak ingin berkutat dalam pemikiran melepas jerat sanksi adat yang akan kutanggung. Lupakan adat, gumamku sendiri. Dalam pikiran yang sedang mengembara karena gagal menembus kabut buntu, kuputuskan mampir kerumah kos tanpa memikirkan resiko apapun. Habis takut timbul berani, kurang lebih demikian tekad yang aku miliki malam itu sebelum pulang bertemu dengan Magda yang baru beberapa jam lalu aku nikahi.

Ibu kos terperanjat melihat kedatangaku. “ Zung, Magda dimana? Magda kamu culik iya,” tanyanya mencurigaiku saat aku berdiri di depan pintu.
“ Bukan. Aku telah menikahinya tadi siang. Aku serius bu. Ada seseorang mencariku.?”
“ Ya Zung, segeralah pergi sebelum mereka menangkapmu. Beberapa malam ini ada sejumlah orang keluar masuk di depan kamarmu. Hari pertama mereka menanyakan alamatmu di kampung.”

“ Mereka tidak menyebut identitasnya.?”
“ Hanya menyebut petugas. Memang kamu menculik Magda,?”tanyanya ulang.
“ Tidak. Tadi siang, kami telah menikah di kantor catatan sipil. Ada bagudung ( tikus, pen) lain selain petugas?”
“ Apa itu bagudung? Zung buruan pergi kataku ! Tiga hari ini mereka datang jam-jam seperti ini.” ucapnya gelisah.
“ Persetan dengan mereka bu. Aku mau mengambil barang-barangku,” jawabku tanpa sediktpun rasa takut.

Hingga semua barangku telah aku masukkan ke dalam mobil tak seorangpun yang datang ke rumah kos maupun orang patut di curigai disekitar rumah. Bayangan wajah Magda terus menghiasai pikiran selama dalam perjalanan pulang. Dalam benakku, mengurai bayangnya terbaring gelisah dalam penantian malam. Perpisahan kami yang memakan waktu tiga jam terasa menyiksa, setelah tanganku menengadah hampa dalam harapan. Gelora jiwa mengejar rindu ditengah halilintar beresabung ganas seakan ikut memacu kenderaanku. Ritme jantung kadang sendat kemudian berpacu cepat bagai derap kijang mengejar bibir telaga dikala haus. Sejumlah pita rekaman lagu yang kuputar lewat audio mobil, syairnya tak mampu mengeja dahaga.

Masih di pertengahan jalan menuju rumah, laju kenderaanku terhambat oleh curah hujan. Hujan bagai tertumpah ruah dari langit menyembunyikan wajah rembulan dan bintang. Gempita rindu itu semakin membahana kala menyusuri jalan menembus celah butiran hujan di kegelapan malam. Mobil melaju terseok diatas jalan yang belum teraspal menuju rumah ditengah kebun. Dari kejauhan, setelah beberapa langkah turun dari mobil menembus hujan lebat, aku melihat kamar tanpa secercah cahaya. Mungkin Magda telah tertidur bisikku dalam hati. Namun tak lama, cahaya lampu menerangi kamar. Aku melihat bayangan Magda menilik dari jendela kamar. Sejurus kemudian, Magda berlari menyongsongku menembus hujan ditengah gegap gemuruh jiwa dikelamnya malam.

“ Kenapa kemalaman pap?” tanyanya tak sabaran setelah dia puas menciumiku dijalanan tanpa lampu penerang itu. “ Papa jadi melewati depan rumah,?” tambahnya.
“ Iya. Aku melihat sejumlah mobil dan motor di pekarangan rumah. Lampu ruang tengah terang bederang. Barangkali mereka sedang membicarakan kita, entahlah," jawabku seraya menuntunnya diatas tanah licin itu. Meski kami jalan tertatih diatas jalan berlumpur, Magda tak mampu menahan keseimbangan tubuh. Aku berusaha menahan, tetapi terlambat. Akupun ikut terjungkal dijalanan. Berdua ketawa sambil berusaha bangkit, sementara tubuh kami berbalur lumpur. Mungkin Susan terusik mendengar ketawa lepas kami berdua; dia menyalakan senter mengarah kepada kami, berteriak,” Heh...Zung...Magda ! Pengantin baru berlayar diatas ranjang, kok kalian bernafas dalam lumpur.!?”
***
Susan ikut mendampingi Magda mendengar hasil kunjunganku ke rumah amangtua , bibi dan Shinta. Tampak wajah Magda agak “mendung” setelah aku selesai menuturkan hasil pembicaraan dengan kedua keluarga dekatku. “ Magda nggak usah berkecil hati. Abang Tan Zung telah berusaha. Lebih baik kalian pikirkan rencana ke depan. Jangan habiskan waktu hanya berpikir tentang adat,” nasehatnya. “ Heh....jangan kebahagian kalian tersita khususnya malam ini gara-gara adat kalian itu. Sudah, ayo torehkan sejarah baru malam ini, “ujarnya ketawa seraya mematikan lampu ruangan tengah tempat kami berbincang. (Bersambung)

Laughlin, Nevada. January , 2010


Tan Zung

"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/