Monday, January 18, 2010

Telaga Senja (210)

KHII:If We Hold On Together
Don’t lose your way/With each passing day/You’ve come so far/Don’t throw it away/Live believing/Dreams are for weaving/Wonders are waiting to start/Live your story/Faith, hope & glory/Hold to the truth in your heart

If we hold on together/I know our dreams will never die/Dreams see us through to forever/Where clouds roll by/For you and i

Souls in the wind/Must learn how to bend/Seek out a star/Hold on to the end/Valley, mountain/There is a fountain/Washes our tears all away/Words are swaying/Somebody is praying/Please let us come home to stay

If we hold on together/I know our dreams will never die/Dreams see us through to forever/Where clouds roll by/For you and i

When we are out there in the dark/Well dream about the sun/In the dark well feel the light/Warm our hearts, everyone

If we hold on together/I know our dreams will never die/Dreams see us through to/forever/As high as souls can fly/The clouds roll by/For you and i
====================
Magda mengantarkanku hingga ke ujung jalan tempat mobil terparkir. Bagai akan berpisah lama, dia mendekapku erat sebelum masuk ke mobil.” Hati-hati di jalan pap. Kembalinya, lewat depan rumah iya pap,” pintanya.
=====================

Perasaanku tak jauh beda dengan Maga. Pada hari pertama pernikahan harus berpisah, meski hanya sejenak demi melengkapi pernikahan secara utuh menurut adat batak. Bayang-bayang wajah kedua orangtuaku dan ibu Magda datang silih berganti selama dalam perjalanan. Namun aku sangat dendam kepada kedua tulang/omku, ayah Shinta dan om Robert. Menurutku kedua inilah yang mengacaukan rencaku dengan Magda mengatasnamakan adat.

Didalam perjalanan timbul sejumlah rencana diantaranya, aku harus segera memberitahukan, bahwa aku telah menikah, kepada kedua orangtuaku lewat surat atau pesan melalui orang yang kebetulan pulang ke kampung. Malam itu terlebih dulu aku mampir ke rumah Shinta memberitahukan ikhwal pernikahanku. Shinta dan suaminya kaget, antar percaya dan tidak. Hal ini desebabkan, karena aku terlalu sering bergurau dengan mereka.

“ Nikah? Nikah dengan kak Magda? Kapan,” cecar Shinta.
“ Tadi siang.”
“ Kak Magda dimana.?”
“ Dirumahku.”
“ Bang...seriuslah. Dimana rumahnya.?”
“ Di kebun. Shinta, aku kesini mau minta tolong. Besok pagi tolong pergi ke stasion bus, beritahukan lewat sopir bus, bahwa aku telah menikah,” ujarku sambil menyebut nama sopir yang kebetulan sekampung dengan ayahku.
“ Memang abang ini aneh-aneh,” ujarnya ke suaminya. “ Selalu buat kejutan dan tak lazim. Dulu pun mementaskan drama natal, membuat orang pada menangis. Sapi nenek sudah dijual karena janji mau menikahi Maya. Tetapi abang malah pergi ke Jakarta. Seandainya, kalau belum dijual, sapinya sudah beranak. Sekarang, menikah dengan itonya ( sepupu. pen), Magda,” pungkasnya. Suaminya hanya tersenyum mendengar ocehan isterinya, Shinta.
***
Sepanjang perjalanan yang memakan waktu kurang lebih satu jam dari rumah Shinta kerumah amangtua, mata tetap was-was lewat kaca spion, khususnya ketika melintasi daerah kota. Amangtua kebetulan ada di rumah. Inangtua, isteri amangtua menyambutku ramah. Aku mengutarakan niat mau bicara dengan amangtua. “ Kamu beruntung, amangtuamu kebetulan ada di rumah. Biasanya dia nongkrong di kedai tuak sepulang dari pasar,” ujarnya. Tak berapa lama kami berbincang di rumah, amangtua mengajakku ke lapo tuak. Sebelum masuk pada inti pembicaraaan, aku “sogok” duluan dengan sejumlah botol bir.

Amangtua kaget setelah kututurkan bahwa aku telah membawa perempuan tanpa sepengetahuan keluarga. Namun dia setuju setelah aku tuturkan alasan-alasan kenapa aku melakukan tindakan kawin lari. “ Nggak apa-apa, bawa ke rumah parmaen itu ( menantu, pen). Nanti aku akan ajak teman semarga kita menghadap hula-hula( pihak keluarga perempuan, pen). Beresnya itu, nggak usah khawatir, tak ada larangan kawin lari dalam adat batak,”tuturnya. Mendapat sambutan positip, minuman pun aku terus kutambahkan sebagai ucapan terimakasih. Tetapi aku menahan diri, hanya minum sedikit, karena tidak ada sopir pengganti. Lagi pula takut ketahuan Magda lantaran licensed ku menenggak alkohol telah dicabutnya.

Menjelang akhir pertemuanku dengan amangtua, entah kenapa ada lagi yang menggeletik hatinya. Lalu, menanyakan siapa keluarga perempuan itu dan kenapa mereka nggak setuju. Memang sepanjang pembicaraan kami, aku segaja mengalihkan pembicaraan setiap amangtua menanyakan siapa keluarga Magda. Dalam pembicaraan selalu aku menekankan, kedua orangtuaku dan orangtua Magda tak menyetujui hubunganku, tanpa meceritakan secara detail kenapa mereka tak menyetujui pernikahanku dengan Magda.

Diakhir penuturanku, tiba-tiba amangtua tersentak. “ Bah..! Jadi ibu parumaen/mantu itu sepupu dengan ibumu? Nenek kalian kakak adik pula,? Ah...kau menjerat aku. Jangan amang.....jangan bawa ke rumah. Digorok pula aku oleh ayahmu.” tegasnya. Aku berusaha meyakinkan dirinya, bahwa secara hukum pernikahan kami telah syah.
“ Aku hanya ingin agar pernikahan dialangsungkan secara adat.” bujukku.
Amangtua akan dikucilkan dari adat jika menyetujuinya.”
“Kenapa putri tulang/om kandung, satu kakek-nenek, bisa dikawini. Kenapa kami tidak, padahal kakek dan nenek yang berbeda?” tanyaku kesal.

“ Manalah aku tahu kenapa? Tanya kau lah sijolojolo tubu ( leluhur orang batak, pen) “ jawabnya. Akupun mengundurkan diri dari lapo dengan perasaan kesal. Percuma juga sudah disogok dengan lima botol bir, kesalku dalam hati. Beberapa menit kemudian, aku sadar, bahwa aku lupa mengantarkannya pulang. Rasain! ucapku lirih.
Gagal dengan amangtua, aku kerumah namboru kandung (bibi, adik permpuan ayah, pen) bersuamikan polisi. Bibiku menyambut dengan senang hati setelah ku membertahukan bahwa aku telah menikahi Magda dengan cara catatan sipill. Aku tak lagi menceritakan siapa Magda sebab dia sudah kenal dan tahu keluarga Magda.

“ Bibi nggak bisa berbuat apa-apa. Bibi adalah boru.( dalam adat batak, posisi boru tak dapat mengambil keputusan, pen). Tetapi bibi setuju dengan apa yang kalian lakukan. Orang sileban ( menunjuk diluar suku batak, pen) juga nggak punya adat serumit adak batak, gabe (beranak pinak) juga nya," ujarnya memberi semangat. Namun, amangboru, suami bibi menegur. " Ma, jangan sampai kedengaran hula-hula itu, " maksudnya ayahku.
" Kami nggak bisa berbuat banyak dalam pernikahan yang telah kalian langsungkan. Amang boru hanya bisa bantu, jika ada keluarga yang masih menggangu." ujarnya. ( Bersambung)

Laughlin, Nevada. January , 2010


Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (209)

=========================
Juru potert profesional yang sejak tadi menunggu, memintaku dan Magda duduk di kursi yang telah disapkan, kemudian mengatur posisi kami keseluruhan. Jonatahn berdiri dibelakang kami pada posisi tengah, disisi kiri dan kanan, Mawar dan Rina. Susan dan Hendra duduk disamping kami berdua.
==========================

SEUSAI pengabadian dalam bentuk pose bersama, Susan kembali super aktif mempersiapkan makan siang, sekaligus memberangkatkan Hendra ke kantor. Susan masih libur hingga esok lusa. Siang berlangsung meriah dan khidmat. Disudut ruangan Jonathan dan Magda tampak berbicara serius. Aku sengaja tak mau mencampuri pembicaraan mereka. Aku, Mawar dan Rina duduk pada satu meja.

Rina bercerita banyak reaksi keluarga Magda perihal pelarianku dan Magda, berikut dengan skenario penculikan Magda. Mawar menambahkan, bahwa dia telah mendengar laporan amanguda ( pak le/paman ) yang tinggal di Siantar dan om Robert ke pihak kepolisian. Mawar menuturkan, papinya yang bertugas di kantor kepolisian telah mendapat laporan bahwa abang Tan Zung menculik Magdalena. Menurut Mawar, papinya menyarankan agar abang Tan Zung segera mendaftarkan ke catatan sipil untuk menghindari tuduhan penculikan. “ Besok abang pergi ke kantor catatan sipil. Kalian dapat melakukannya tanpa dihadiri keluagra, karena usia telah memungkinkan sesuai dengan undang-undang,” urainya.

Magda dan Jontahan kembali bergabung dengan kami. Aku menuturkan usulan Mawar ke Magda rencana ke catatan sipil, setelah makan siang. Magda menanggapi serius didukung Jonathan, Rina, Susan dan Hendra.
“ Kak Susan minta tolong kami diantarkan ke kantor catatan sipil, sekalian kakak menjadi waliku,” pintanya semangat. Susan menyanggupi dan akan ditemani adik iparnya, Ron. Hendra segera nimbrung mendengar percakapan kami.“ Telepon aku kekantor setelah kalian sudah disana. Abang mau jadi saksi,” tukasnya.
***
Setelah makan siang, kami berangkat tanpa Jonathan, Mawar dan Rina. Aku tersentak ketika pihak petugas tidak bersedia melayani karena aku bukan warga Medan. “ Saudara bukan warga kota madya Medan,” ujar petugas ketika melihat kartu tnada penduduk Jakarta. Lumayan alot menghadapi petugas meski telah dijelaskan bahwa aku sedang mengurus pergantian tanda penduduk. Bahkan Susan telah memeberi jaminan dengan memberikan tanda pengenal sebagai dosen di perguruan tinggi. “ Saya siap memberi jaminan apapun yang bapak butuhkan,” ucapnya kepada petugas, namun petugas tetap menolak. Magda tampak seperti putus asa setelah upaya Susan tak berhasil.

Ditengah perasaan kesal dan hampir putus asa, Susan memberitahukan Hendra lewat telepon. Hendra tiba hanya dalam waktu sepuluh menit. Kantor Hendra yang tidak terlalu jauh dari kantor catatan spil. Dia langsung menemui kepala kantor. Kurang dari setengah jam , dia keluar dengan wajah cerah. Aman, pikirku. Petugas pencatat mempersiapkan seluruh acara dengan sigap setelah menghadap atasannya. Seluruh prosesi acara berlangsung dengan lancar. Seberkas surat, kini ada dalam peganganku. Aku dan Magda secara hukum resmi sebagai suami isteri.

Susan mengajak kami kembali ke kebun tanpa Jonathan, Rina dan Mawar, kecuali pembantu. Sejak urusan kami selesai di kantor catatan sipil hingga menjelang di kebun, Susan super excited. Dia memarkirkan mobil di pinggir sungai yang mengalir bening, dekat rumahnya. Dia menarik kami secara paksa masuk kesungai. Sebelumnya Susan telah mempreteli isi kantongku dan meletakkan di dalam mobil. Bertiga masuk kesungai ditonton sejumlah pasangan mata dipinggairan sungai. Susan dan Magda mengerubutiku, perlawanan tak seimbang. Magda dan Susan menghentikan aksinya setelah melihatku hampir kehabisan nafas menahan “siksaan” dengan cara membenamkan ke dalam sungai yang agak dalam. Susan meningalkan kami setelah Magda memberiku bantuan "pernafasan” mouth by mouth, hanya sebentar. Sementara kami duduk dipinggiran suangai, Susan menyuruh pembantu ke rumah untuk mengambil handuk untuk pelindung tubuh Susan dan Magda yang basah kuyup.
***
Senja menjelang malam, dengan perasaan berat Magda melepaskan keberangkatanku seperti telah diutarakan kemarin dulu, aku akan menemui keluarga amangtua, kakak ayah. Ayah mereka kaka adik, tinggal di Binjei. “ Abang perlu ditemani si Ron? “ tanya Susan seraya menyerahkan kunci mobil. “ Pap....jangan mampir dimana-mana,” sela Magda.
“ Iya nggak lah. Maya kan sudah punya suami.”
“ Bang, nggak lucu,” ketus Susan disambut tawa Magda. Magda mengantarkanku hingga ke ujung jalan tempat mobil terparkir. Bagai akan berpisah lama, dia mendekapku erat sebelum masuk ke mobil." Hati-hati di jalan pap. Kembalinya, lewat depan rumah iya pap," pintanya. (Bersambung)

Laughlin, Nevada. January , 2010

Tan Zung

"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/