Saturday, October 24, 2009

Telaga Senja (147)



http://www.youtube.com/watch?v=Mzzt1eNcSsA

You set my soul at ease/Chased darkness out of view/Left your desperate spell on me /Say you feel it to/I know you do/Ive got so much more to give/This cant die, I yearn to live/Pour yourself all over me/And Ill cherish every drop here on my knees

Chorus
I wanna love you forever/And this is all Im asking of you/10,000 lifetimes together /Is that so much for you to do? /Cuz from the moment that I saw your face/And felt the fire in your sweet embrace/I swear I knew./Im gonna love you forever

My mind fails to understand/What my heart tells me to do/And Id give up all I have just to be with you/And that would do/Ive always been taught to win/And I never thought Id fall/Be at the mercy of a man/Ive never been/Now I only want to be right where you are.
Chorus

In my life Ive learned that heaven never waits no/Lets take this now before its gone like yesterdayCuz when Im with you theres nowhere else/That I would ever wanna be no/Im breathing for the next second I can feel you/Loving me ... Im gonna love
Chorus

======================
“ Mas Tan Zung mau ikut pulang ke Medan? Tungguin aku keluar dari sini dong! Nggak lama lagi kok. Menurut dokter aku boleh rawat jalan. Aku juga mau kembali ke Yogya,” pintanya memelas.
Aku dan Magda saling pandang mendengar permintaan Laura.

======================

SEPERTI telah aku duga sebelumnya, Laura akan memintaku menemani atau menunggunya keluar dari rumah sakit. Aku mengangguk tanda setuju setelah Magda memberi isyarat melalui tatapan dan senyuman terukir di bibirnya. “ Iya Laura, aku..eh...kami akan kembali ke Medan setelah Laura dokter mengijinkanmu pulang,” ucapku disambut haru Laura. “ Terimakasih mbak Magda,” balasnya. “ Lho, aku nggak?” kataku berpura-pura protes.

“ Kapan rencana kalian menikah,” tanya mamanya Laura.
“ Setelah bahu dan pangkal lengannya sembuh total tante,” jawab Magda.
Nak Tan Zung mau menetap di Medan?”
“ Ya tan, mungkin dia mau jadi asisten dosen,” jawab Magda . Sementara Magda asyik ngobrol dengan orangtua Laura, sesekali mata Laura beradu pandang denganku tanpa sepengetahuan Magda. Lewat tatapannya, aku merasakan getaran cinta terselubung yang terajut sejak enam bulan lalu. Namun semua keindahan itu berakhir tragis ketika musibah menyapaku.

Perlahan, tangan Magda meraih pergelangan tanganku, lalu melilitkan pada pinggangnya. Berat rasanya lakon itu harus ku “pertontonkan” di hadapan Laura, mengenang, beberapa hari lalu aku dan Laura terbuai dalam rongga mimpi yang menjanjikan.

Magda melepaskan gemgamannya dari tanganku, ketika Laura minta tolong mengambilkan air minum. Walau gerakan tubuh masih lamban, aku berusaha memenuhi permintaan Laura. Meski Magda tersenyum, perasaaku sedikit terganggu ketika dia menoleh kearahku saat menyendok air minum ke mulut Laura.

“ Lagi dong. Mas capek?” tanya Laura ketika aku menyudahi sendokan air minum ke mulutnya. Khawatir akan menjadi persoalan baru dengan Magda, aku cari akal, bagaimana agar mami atau Magda yang melayani Laura.
“ Iya, aku capek. Bagaimana kalau aku tarik selang air dari kamar mandi, kamu senidri yang menyedotnya?” bisikku ke telinganya. Tiba-tiba kerongkongan Laura keselak kemudian tertawa lepas sambil menjerit, “ Zung.....” teriaknya diiringi tawa dan batuk-batuk.

Magda dan maminya Laura serempak menoleh kearah kami, sementara Laura tampak kelelahan menahan batuk dan tawanya. “ Kenapa mbak? tanya Magda seraya mengambil gelas dari tanganku. Tatapan mata Magda terhadapku diiringi rasa selidik. Magda menggantikanku melanjutkan melayani Laura.

“ Mas Tan Zung, bilang, lebih baik menarik selang air dari kamar mandi, aku tinggal sedot,” ujarnya cekikian. Aku tak mampu membalas tatapan mata Magda yang masih menyimpan rasa cemburu, saat Laura mengakhiri”laporannya”. Ah....tadipun aku sudah duga, kataku dalam hati, Magda belum siap mental mengahadapi sisa-sisa aksi cinta “terselebung” antara aku dan Laura. Perlahan aku beringsut dari sisi Laura sebelum Magda “mengusir” ku.
***
Jelang sore kami ke dokter spesialis tulang. Dokter memutuskan akan melakukan operasi pada pangkal lengan serta bahu. Sebelum menjalankan operasi, aku terlebih dahulu berunding dengan Ibu dan Magda. Mereka tidak bersedia jika dilakukan operasi. Ibu dan Magda mengusulkan lebih baik dilakukan pengobatan alternatif di Medan. Aku setuju.

Hari kelima dokter mengijinkan kami pulang kerumah. Saat akan meninggalkan rumahsakit Magda memanggil adiku Lam Hot menuju loket pembayaran. Sehari sebelumnya sudah aku minta ke Lam Hot, agar deluruh biaya rumah sakit didahulukan dulu.
“ Jangan biarkan Magda membayar pengobatanku. Nanti setelah dirumah akan kuganti,” ujarku. Lam Hot menyanggupinya.

Tak berapa lama mereka kembali, wajah Magda dan Lam Hot tampak ceria. “ Aku sudah bereskan semua biaya rumahsakit. Abang nggak usah pikirkan pengembaliannya,” ujarnya disambut tawa Magda; kemudian Magda menerangkan bahwa, seluruh pengobatanku ditanggung perusahaan. “Abang tinggal tanda tangan bukti perawatan selama lima hari ini,” terang Magda.

Saat berkemas meninggalkan ruang rawat, seorang ibu menemui Magda di depan pintu ruangan. Dalam pembicaraan mereka, sepertinya ibu itu agak kesal karena Magda tidak pernah mengubunginya sejak tiba di Jakarta. Magda memperkenakannya kepada ibu, Lam Hot, terakhir ke aku. “ Ini yang aku bilang itu namboru ( bibi, pen) ujarnya seraya mengelus kepalaku.

Bibinya mengajak Magda menginap dirumah, tetapi Magda menolak. “ Nantilah aku datang setelah abang Tan Zung pulih. Nggak ada yang bantuin abang Tan Zung, kasihan,” ujarnya menolak. Bahkan Magda menolak tawaran bibinya untuk mengantarkan kami pulang. “ Kami naik mobil adik Lam Hot kok namboru,” tolaknya, padahal dia tahu Lam Hot tidak bawa mobil.

***
Ibu, Lam Hot dan Magda tak memberitahukan, kalau sehari sebelumnya terjadi tarik menarik diantara mereka perihal kepulanganku. Apakah aku pulang ke rumah kostku, kerumah Lam Hot atau ke rumah tulang/paman( saudara sepupu ibu).
Lam Hot menolak pulang ke tempat tulang karena tidak merasa dekat dan belum sekalipun datang bezoek. Kerumah Lam Hot, sudah tidak punya kamar kosong, karena Magda dan ibu menginap disana. Ke kamarku? hanya satu kamar. Akhirnya, ibu dan Lam Hot mengalah setelah Magda bersikeras akan merawat di rumah kostku, sebelum pulang ke Medan.

Meski telah di sepakati aku akan pulang ke tempat kostku, ibu masih berusaha membujuk agar bersedia ke rumah tulang/ paman. “ Nanti tulangmu akan memberi boras sipir ni tondi ( sejumput beras ditaruh diatas kepala; bermakna, ucapan selamat setelah lepas dari marabahaya; pen). Aku tetap menolak bujukan ibu, berucap: “ Kenapa nggak ibu sendiri yang melakukannya.?” Sementara kami menunggu taksi, orangtua Rina datang menjemput.

Didalam mobil, orangtua Rina kesal mendengar aku akan langsung pulang kerumah kostku. “ Om dan tante salah apa kepada Tan Zung? Tan Zung tidak mau lagi makan masakan tante? Nggak mau lagi pijak rumah kami?” cecarnya.
“ Iya om, kita kerumah om saja. Pingin makan masakan tante ,” balasku mengobati kekecewaanya.
Halah..bang. Bilang saja kelaparan,” sambung Magda disambut tawa riuh seisi mobil.(Bersambung)

Los Angeles. October 2009


Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/