Friday, May 15, 2009

Telaga Senja (36)









http://www.youtube.com/watch?v=rriGtwl1oGE

Dont think I cant feel theres something wrong /Youve been the sweetest part of my life so long /I look in your eyes, theres a distant light /And you and I know therell be a storm tonight
This is getting serious /Are you thinking bout you or us


(chorus)
Dont say what youre about to say /Look back before you leave my life /Be sure before you close that door /Before you roll those dice /Baby think twice

Baby think twice for the sake of our love, for the memory /For the fire and the faith that was you and me /Baby I know it aint easy when your soul cries out for a higher ground /coz when youre halfway up, youre always halfway down /But baby this is serious /Are you thinking bout you or us

(repeat first chorus)
Baby this is serious /Are you thinking bout you or us

Dont say what youre about to say /Look back before you leave my life /Be sure before you close that door /Before you roll those dice / Dont do what youre about to do /My everything depends on you /And whatever it takes, Ill sacrifice /Before you roll those dice /Baby think twice

=============

“ Itu sebabnya aku membentuk bejana, untuk menampung tetesan darah dan airmata sebagai penawar hatimu yang terdera sebelumnya.”
“...dan, kinipun abang masih menyiksaku. Deritaku abang masukkan dalam bejana yang abang bentuk, kering-kerontang, merawatnya tanpa setetes penawar duka!?”

================

“ Aku telah berusaha, tetapi Magda selalu punya dalih dan dalil yang tak dapat kumengerti. Magda, aku berjanji, mulai malam ini akan berusaha semampuku untuk membuang bejana itu sebagaimana aku telah membuang kalung simbol kasihku ketempat yang pantas, jamban.”
“ Bang, aku tak pernah merasakan keberadaan bejana itu.”
“ Karena kamu memenjarakan pikiranmu sendiri. Selamat malam Magda,” ujarku. Aku meninggalkan kamarnya setelah kami puas saling menumpahkan “rasa”.

Aku menghentikan langkah ketika Magda memanggilku dengan suara bergetar: “ Bang, jangan pergi, aku kedinginan, tolong ambilkan air minum.”
Aku merebahkan tubuhnya perlahan keatas tempat tidur. Aku mengusap airmata dan mendekap dirinya, aku merasakan getaran tubuhnya. " Magda, aku ingin membalut luka yang pernah aku torehkan. Aku telah mengenalmu cukup lama, aku tahu pintu masih kau bukakan. Hanya saja kamu ragu menyilakan aku masuk dan duduk bersama."

" Masih mau minum?" tanyaku usai mencium keningnya.
" Ya. Aku haus bang.!"
Aku bergegas kedapur mengambil air hangat. Sendok demi sendok air aku sorongkan kemulutnya.
“ Boleh aku pergi,?” tanyaku setelah dia merasa cukup.
" Ya. terimakasih. Zung, bersabarlah. Mungkin pintu akan dibukakan untukmu."
" Barangkali juga pemilik pintu itupun sedang bermimpi."
" Jangan berhenti mengharap bang.!"
" Magda, mengharap "sepupu"nya mimpi," bisikku ditelinganya. " Selamat malam !" imbuhku lantas meninggalkan kamarnya.
" Malam baik, mimpi baik bang.! ucapnya lemah.

Rina menyongsong setelah aku membuka kamarku. “ Sudah beres mas? Mas serius membuang kalung itu ke toilet?”
“ Ya!. Rina tahu dari mana?”
“ Tadi aku nguping didepan pintu kamar. Aku takut mas marah-marah lagi kepada mbak Magda. Tadi aku sudah bawa air dalam baskom, kalau tadi mas marah , aku siram. Idiih...mas norak.!” ujarnya diiringi tawa lirih meninggalkanku.
***

AKU berusaha melupakan kejadian yang baru saja terjadi dalam peraduan malam tetapi mataku tak dapat diajak kompromi, tidur. Aku gelisah, tempat tidurku bagaikan bara membakar kujur tubuhku.

Aku bangkit dan menuliskan pesan singkat dalam kertas kecil serta liontin pemberiannya beberapa tahun silam diatas meja : “ Magda, aku berangkat ke airport lebih awal. Terimakasih atas kebaikan hatimu dan keluarga menerima Rina dirumah sebagai anggota keluarga. Juga, terimakasih telah mengijinkan aku menginap dirumah serta menjamuku dengan ramah. Maaf, aku mengembalikan liontin pemberianmu dulu. Aku tak punya alasan lagi untuk mengenakannya. Kidung malam itu telah menjadi untaian nada-nada nestapa.” Peluk ciumku. Tan Zung yang hampir berhenti mengharap.

Segera aku berkemas meninggalkan rumah Magdalena. Perlahan aku membuka pintu rumah, takut kedengaran oleh Magda dan Rina. Aku berjalan menembus udara dingin dan berkabut menyusuri sisi bahu jalan sambil menunggu kenderaan. Tanpa menawar, segera melompat keatas beca bermesin menuju pasar Peringgan sebelum airport dibuka. Aku memesan secangkir kopi dan roti panggang yang sudah lama tak kunikmati. Kopi tetap terasa pahit dikerongkongan meski sudah berbaur gula dan susu.

Setengah jam telah berlalu, duduk bagai patung bernyawa tanpa nikmat aroma kopi dan roti panggang "si tengku" asal Aceh itu. Aku segera meninggalkan warung kopi menuju airport. Aku datang masih kepagian, petugas keamanan tidak mengijinkan beca masuk kedalam airport terpaksa aku berjalan kaki dengan tubuh masih menggigil menahan dinginnya pagi.

Pikiran terus berkelana jauh, kemudian kembali lagi menukil senandung duka yang Magdalena dendangkan. Beban terasa berat melebihi koper yang aku tenteng, sementara kaki menyentak setiap benda yang ada didepanku. Aku berhenti dan duduk disisi jalan persis dipinggir taman kecil berisi aneka bunga dan pepohonan kecil. Semerbak wangi aneka kembang serta senandung pagi burung-burung dipepohonan tak jua mampu meringankan getaran tubuh menahan duka.

Aku berhasil “menyelamatkan” Rina, tetapi tak mampu menolong diriku sendiri, kataku dalam hati. Diriku bagai diterjang badai terhempas tak berdaya. Kata demi kata Magdalena, malam itu, kembali kurangkai dalam benak.

Betulkah aku membangun mahligai mimpi.?” tanyaku lagi dalam hati. Begitu bodohnya diriku selama ini, aku hanya dipermainkan perasaan? Benarkah? Ah....persetan dengan cinta. Selamat tinggal cinta, tampaknya aku masuk dalam kumpulan manusia terbuang dari kehidupan asmara. Kini, diriku ikut menambah bilangan insan putus asa mengikuti pilihan Magdalena, sendiri dan menyendiri untuk selamanya. (Bersambung)

Los Angeles, May 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (35)

Look into my eyes - you will see /What you mean to me /Search your heart - search your soul /And when you find me there you'll search no more

Don't tell me it's not worth tryin' for /You can't tell me it's not worth dyin' for You know it's true /Everything I do - I do it for you

Look into your heart - you will find /There's nothin' there to hide /Take me as I am - take my life /I would give it all - I would sacrifice

Don't tell me it's not worth fightin' for /I can't help it - there's nothin' I want more /Ya know it's true /Everything I do - I do it for you

There's no love - like your love /And no other - could give more love /There's nowhere - unless you're there /All the time - all the way yeah
(background quite)
To your heart baby

Oh - you can't tell me it's not worth

tryin' for /I can't help it - there's nothin' I want more /I would
fight for you - I'd lie for you /Walk the wire for you - ya I'd die for you /Ya know it's true /Everything I do - oooww - I do it for you
============
Zung, benarkah abang mengasihiku.?"“ Ya. Pertanyaanmu itu jua jawabanku, aku sangat mengasihimu.!""Bila abang mengasihiku, simpanlah dulu kalung ini, kelak pada waktunya aku akan menerimanya."
============

" Magda! Meski aku bagai menjaring angin, tetapi aku merasakan mentari masih memantulkan sinar dalam setiap sudut kalbu yang hampir membeku,” ujarku meyakinkan dirinya. Magda bergeming, dia hanya menatapku, hampa.

“ Zung, aku juga tidak mengerti kenapa aku masih tetap bersimpuh dalam lorong panjang tanpa seberkas sinar. Aku berusaha bangkit, namun disana aku masih mendengar lolongan serigala seperti menerkamku serta lengkingan suara misteri amat menakutkan. Aku juga telah berusaha mendekat pada dermaga diujung pantai, tetapi urung, aku takut gelombang akan menjemputku dan menggulung jauh kesamudera luas tanpa seorang menolongku.”

“ Magda, berhentilah berhalusinasi. Masih ada waktu menyongsong mentari pagi dalam pelukan rindu.”
“ Zung, aku mohon pengertianmu. Aku menolak bukan karena dendam, tetapi untuk kebaikan kita bersama. Bukankah selama ini tanpa simbol-simbol kasih berwujud benda, namun kita tetap bersahabat?”
“ Ternyata semua apa yang aku rasakah selama ini adalah persahabatan fatamorgana, terimakasih dan selamat malam. Maaf, aku mau istrahat, bolehkah aku terbujur sendirian tanpa sosok apapun diruangan ini?”
“ Abang mengusirku.!?”
“Magda, apalagi yang aku harus aku katakan. Semuanya telah kamu akhiri di ujung nestapa. Kamu telah menghantarkanku keperaduan sunyi mengubur semua gejolak hatiku.”

“ Tidak bang! Aku tidak pernah dan tidak akan pernah mengubur gejolak itu. Aku masih khawatir, kali kedua abang akan menghantarkanku ke lembah terjal dan sunyi. Bukankah abang telah menghempaskanku ke batu cadas yang menghujam seluruh tubuhku hinga berlumur darah? Abang lupa? Ketika aku berjalan tertatih, sendiri, dibelantara liar. Aku lapar dan dahaga tak seorangpun menolongku. Dimana abang ketika itu.?”

Aku terhenyak, pertanyaan diakhir tuturannya menghujuam ulu hatiku, menyesakkan. Segera aku menutup mulutnya dengan telapak tanganku. Perlahan aku meraih dan meletakkan kepalanya di atas pangkuanku.
“ Cukup Magda! Jangan dera lagi aku untuk kesekian kalinya. Kita akhiri saja persahabatan kita dengan baik. Ternyata butir-butir hujan sepanjang malam tak mampu menyejukkan hatimu. Magda biarkanlah cintaku terkubur bersama kebencian hatimu yang tak kunjung padam. Magda mungkin benar, selama ini aku hanya membangun mahligai mimpi siang dan malam. Dan, kamu telah menghancurkannya dengan sempurna, ketika aku terbuai dalam mimpi itu . ”

Magda mengangkat tubuhnya dari simpuh, menarik dan mencium punggung tanganku seraya berujar : “ Bang, berulangkali aku mengatakan, aku tidak dendam. Aku juga tidak mengatakan akan mengakhiri peresahabatan kita. Bukankah selama ini persahabatan kita terus berlangsung tanpa simbol kasih berwujud benda.”

“ Magda, sudahlah. Aku cukup mengerti. Tidurlah, biarkan aku sendiri menghitung-hari-hariku. Jangan menyesal jika terjadi sesuatu atas diriku. Selamat malam.!”
Magda menatapku tajam dengan wajah marah, dia pergi meninggalkanku tanpa sepatah kata.

***

PAGI dini hari, Rina memasuki kamar tidurku dengan suara tersendat membangunkan aku dari lamunan panjang pada malam itu.
“ Mas, kenapa dengan mbak Magda. Tangisnya membangunkan tidurku, ada apa sih mas? “
“ Kenapa nggak kamu sendiri yang menanyakan.?”
“ Aku nggak tega mas.”
“ Rina, kamu tinggal disini sebentar, aku akan menemuinya.”

Magda kaget ketika aku menyingkap selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Magda menutup wajah dengan kedua tangannya diiringi isak tangis; “ Abang tak punya hati! Abang tak pernah mau mengerti perasaanku yang pernah kamu hancurkan. Hati yang masih berkeping-keping dan terserak abang injak remuk ketika aku berusaha menata ulang. Abang egois!”

“ Magda, aku ingin membantumu menata bersama. Aku berusaha memulihkan luka yang masih meradang dalam susut-sudut hatimu itu. “
“ Tetapi abang menoreh luka baru,” hentaknya seraya duduk dan menatapku tajam.
“ Itulah kebodohanku. Tetapi sudahlah, aku telah menyadarinya, memang aku belum layak memberi apapun pada dirimu. Kalung itu juga tak pantas melingkar dilehermu; kalung itu lebih tepat di dalam jamban, disanalah tempat yang pantas. Semoga kini hatimu puas.”

“ Abang Gila” ujarnya setengah teriak.
“ Ya, iya aku gila. Gila karena kebuntuan hatimu. Selama ini aku telah menjaga dan merawat bejana yang aku bentuk.”
“ Kapan? Bejana apa yang abang bentuk?”
“ Bejana kasih, didalamnya bergelora sejuta cinta dan harapan.”
“ Tidak! Bejana yang bentuk itu tanpa ruang, hanya onggokan butir-butir pasir dan kerikil tajam tanpa perekat.”
“ Magda, aku membentuknya dengan jarijemari kasihku. Perekatnya adalah darah dan airmata hati. Belum cukupkah?”

“ ... dan, darah dan airmata hatikupun abang tak hiraukan?”
“ Itu sebabnya aku membentuk bejana, untuk menampung tetesan darah dan airmata sebagai penawar hatimu yang terdera sebelumnya.”
“...dan, kinipun abang masih menyiksaku. Deritaku abang masukkan dalam bejana yang abang bentuk, kering kerontang, merawatnya tanpa setetes penawar duka!?” (Bersambung)

Los Angeles, May 2009
Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (34)





http://www.youtube.com/watch?v=pSJV04IRUW0

==============
“ Maaf Rina, suaraku agak keras, aku nggak marah. Aku dan Tan Zung sudah seperti kakak adik,” katanya diiringi derai tawa.
“ Nggak juga! Mana ada kakak-adik seperti gayamu itu. Seperti suami isteri, ya, iya! “ balasku disambut tawa Rina.
==============
Sebelum kami menuju keperaduan, aku mengajak Magdalena mengobrol diruang tamu tempat kami (dulu) selalu merangkai kata cinta, marah dan menangis karena cemburu. Aku sebenarnya masih wanti-wanti, karena baru saja bertengkar dengan Magda hanya karena aku mengajak Rina duduk bersamaku didepan, padahal sebenarnya tawaranku hanya basa-basi.

“ Apalagi bang yang mau dibicarakan. Istirahatlah, supaya besok nggak telalu lelah di Jakarta,” ujarnya ketika aku menahannya duduk di ruang tamu.
“ Magda serius nggak mau.?”
“ Mau bicara apalagi bang, nanti kita bertengkar lagi.”
“ Bertengkar untuk kebaikan kita bersama, apa salahnya? Anggaplah itu sebagai proses kearah yang lebih harmonis walau kadangkala melelahkan dan menjengkelkan.

" Tetapi aku takut nanti abang tak dapat menahan marah!?"
" Selama kita bicara pada lintasan yang sama kenapa harus marah.?"
" Bukankah selama ini kita telah bersenandung bersama meski kerap ditingkahi pertengakaran?
" Magda selalu berdalih. Ya, sudahl kalau kamu tak berekenan, kita tidur saja.” jawabku kesal.

“ Nah kan? Belum kita mulai abang sudah marah. Aku cuma tanya, kita mau bicara apa.?”
“ Bicara tentang kekerasan hatimu.”
“ Rin, kamu jadi saksi, siapa diantara kami yang keras kepala,” tawanya.

" Baiklah Magda, kalau memang tidak ada waktu kita untuk bicara." ujarku, lalu meningglkannya di ruang tamu.
“ Bang, mau kemana!?” panggil Magda ketika aku berjalan menuju kamar tidur.
Aku terus melangkah tak perduli teriakannya. Magda menyusulku ke kamar, “ Bang, aku nggak suka yang beginian, gampang merajuk. Aku tadi kan hanya bercanda.” ujarnya geram dikamarku.
Aku menyambut kekesalannya dengan ketawa. “ Aku nggak marah. Aku mau mengambil hadiah untukmu.”
Huh..! Abang nakal!” balasnya, lalu mencubit pinggangku, sakit meninggalkan bekas.

Aku mengambil dan menyerahkan kalung bermata berlian hasil kemenangan dimeja judi di Jakarta, disaksikan Rina.
“ Zung, kamu nyolong dimana?” ujarnya heran seraya menatapi kalung itu, bibirnya merekah.
“ Itu hasil tabunganku selama 5 tahun. Magda, seumur hidup, aku tidak pernah mencuri kecuali mencuri hatimu, itupun hampir kandas. Mau nggak? Kalau nggak, aku akan berikan kepada Susan” ujarku disambut ketawa Rina kemudian meninggalkan kami berdua diruang tamu.

“ Zung, aku simpan dulu, nanti kalau abang mau nikah akan kuberikan kepada calonmu.”
“ Calon yang mana? Aku justru telah memberikan kepada pilihanku.!”
“ Zung, aku serius.!”
“ Aku juga serius. Aku menyerahkan dengan hati yang tulus. Terserah Magda menggangap sebagai apa, calon isteriku atau ito ( sepupu, pen).!”
“ Zung, terimakasih, tapi aku tak sanggup menerima ini,” ujarnya sambil menyerahkan kembali kalung ketanganku.
“ Magda.....!? Baik, tapi ingat inilah saat terakhir aku bertegur sapa denganmu,” ujarku meninggalkannya sendirian diruang tamu. Dia berusaha menahan tanganku. Aku menepiskan tangannya seraya masuk kekamar tidur yang telah dibenahinya.

Magda mengikutiku hingga ke kamar: “ Zung kok nggak bisa memahami perasaanku. Bukankah kita sudah sepakat, tidak saling membenci. Bang, selama lima tahun bersahabat, kita saling berbagi kasih meski kita lalui dijalan berliku. Senyum, tawa dan tangis terukir seiiring perjalanan waktu. Abang melupakan kesepakatan kita, bersahabat tidak harus menikah, tetapi kenapa malam ini abang telah berubah?”

“ Sebab aku bukan robot,” jawabku sambil menelentangkan tubuhku.
“ Bang, duduklah dulu. Kita bicara baik-baik saja. Besok abang mau kembali jangan siksa lagi aku seperti ini,” ujarnya. Magda menarik tanganku agar aku duduk kembali.
“ Magda, apalagi yang diributkan. Aku sudah menerima kembali kalung yang kamu tolak. Siapa menyiksa siapa!. Hentikan tangismu itu, aku bosan melihat air mata.”
“ Iya, aku tahu abang juga telah bosan melihatku. Itu sebabnya aku tidak mampu menerimanya kalung itu , “ ujarnya dengan isak tangis.

“ Magda! Hentikan tangismu, nanti mami bangun. Atau malam ini aku menginap di hotel.?”
“ Zung! Berpalinglah kearahku, kenapa abang memalingkan wajahmu. Aku masih seperti yang dulu, menyangimu sebagai sahabat, aku masih merindukanmu ketika abang jauh dariku. Tetapi aku tak mampu menerima kalung itu. Aku takut abang salah mengerti.”

“ Justru aku cukup mengerti, maka aku memberanikan diri memberikan kepadamu, bukan kepada perempuan lain atau kepada Susan, faham?” ujarku seraya bangkit duduk menatap tajam matanya.
Magda membalas tatapanku, berujar : “ Zung, bagaimana aku meyakinkan diriku, kalau pemberian itu dari ketulusan hatimu. Aku ragu, abang masih membangun mahligai mimpi.!”
“ Magda tidakkah kau melihat dalam bening mataku wajahmu masih menyatu ? Tidak adakah satu diantara kelima indera yang kamu miliki berucap jujur pada dirimu? Tidakkah engkau mendengar senandung itu diantara riak kerinduan? Dan, ketahuilah Magda. aku selalu mencari jalan terbaik untuk memulihkan hati kita yang terluka. "

“ Zung, aku belum yakin. Hati masih terkoyak, lukaku belum sepenuhnya pulih.!"
“ Magda, apakah senyum dan tawa yang terangkai dalam persahabatan kita terbungkus dusta.? Aku yakin tidak, Magda ! Untuk kali terakhir aku memohon dari lubuk hati yang terdalam, kenakanlah ini setiap saat sebagai pelipur lara,” ujarku seraya menggegam kedua tangannya.

" Zung, benarkah abang mengasihiku.?"
“ Ya. Pertanyaanmu itu jua jawabanku, aku sangat mengasihimu.!"
"Bila abang mengasihiku, simpanlah dulu kalung ini, kelak pada watunya aku akan menerimanya." (Bersambung)
Los Angeles, May 2009
Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (33)






http://www.youtube.com/watch?v=XbBpZhA92uQ

===============
“ Seluruh inderaku masih dapat merasakan dan membaca rangkaian titik serta garis berikut aneka warna itu menyatu dengan nuansa teduh.”
“ Abang terus menyimpan mimpi-mimpi."
” Aku tidak bermimpi, Magda.!"

===============

KETIKA aku dan Magda masih bertengkar tentang hati kami yang “ tersumbat”, inanguda, maminya Magda, datang kedapur bersama Jonathan. Lagi-lagi inangudaku yang baik itu “menghajar” Magdalena ketika melihatku didapur sedang memasak air, sementara Magda hanya berdiri membiarkanku sendiri memasak dan membenahi gelas, gula dan kopi.
“ Bah! Magda, kok tega benar membiarkan itomu .....?”
“ Mam, nggak usah cerewet, ini urusanku dengan abang,” potongnya.
Eehhe borukkon tahe( oalah putriku, pen). Kalian jauh saling nyariin, dekat ribut terus,” ucap maminya, disambut gelak Jonathan.

Inanguda mengajakku, Magda dan Jontahan duduk bersama didapur. Mami mengutarakan ulang, niat baiknya untuk “menampung“ Rina hingga melahirkan. Magda dan Jonathan menerima niat maminya dengan tulus.
“Mam, aku juga sudah sampaikan kepada Rina, dia setuju.” ujar Magda, diakurin anggukan Jonathan. Ditengah percakapan kami, inanguda menanyakan siapa lelaki yang tidak bertanggungjawab, menghamili Rina.?”
“ Ya bang, kemana kabur lelaki itu,?” tanya Jonathan.

“Namanya Paian. Kampungnya aku lupa, tetapi menurut informasi yang aku peroleh, dekat Narumonda. Ketika dia pulang kampung, dia janji pada Rina hanya dua minggu. Ternyata berita dari teman Paian satu kampung, dia telah menikah dengan paribannya.”
Mami Magda mengulang nama yang kusebut. “Paian ? Jangan-jangan anak amangborumu.!?”(paman,pen) tukas inanguda seraya melihat Magda dan Jonathan bergantian. Jonathan dan Magdalena menanyakan amangborunya yang mana.
Amangboru parsotul yang menikahkan anaknya empat bulan lalu. Dulu pernah namborumu menginginkan Magdalena jadi mantunya.!” jawabnya lalu menopangkan tangan dikeningnya sambil dia mengumpat lirih, "kurang ajar."

“ Itu dia orangnya mam.!?” tanya Magdalena.
“ Zung, Sudah pasti, nama dan marganya itu.!?” tanya inangudaku. “ Jon, panggil dulu Rina.” lanjutnya.
“ Jangan mam, aku nggak setuju Rina ikut dalam pembicaraan ini. Nanti dia semakin terpukul,” ucap Magda. Dengan perasaan gelisah campur marah Mami Magda menghubungi seseorang dengan telpon. Dia berbicara agak perlahan, supaya tidak kedengaran oleh Rina.
Eda! ( panggilan kepada sesama perempuan, kakak atau adik, pen) Paian sekarang dimana?” tanya inanguda mengawali percakapannya .
“ Oh.... di Jakarta. Di Jakarta dimana? Eda pernah tahu kalau dia pernah punya pacar di Jakarta?

Mami Magda kembali bergabung bersama kami dengan wajah muram setelah mengakhiri pembicaraanya dengan tante Paian di Medan.
“ Memang dia itu anak kurang ajar. Dia membohongi namborumu. Katanya belum punya pacar, sehingga dia di jodohkan dengan putri ompungmu par Jl. Serdang itu.

“ Mam, nggak usah diceritain pada Rina, kalau Paian itu famili dekat dengan kita.”
“ Iya mam.! . Kalau aku ketemu pingin kuhajar dia itu anak, berengsek.!” timpal Jonathan.
“ Bang, kalau nanti kembali ke Jakarta, nggak usah cerita kepada keluarga Rina kalau kami punya kaitan famili dengan Paian berengsek itu,"pinta Magda.
“ Kami ? Kalau seperti yang dituturkan mami, aku juga punya tautan famili dengan Paian. Benar nggak inanguda.?’ tanyaku.
“ Ya. iyalah, abang ngajak ribut terus. Ayo bang, buatkan teh untuk kami..eh..untuk kita.”
Hah...kakak parbada ( cerewet, pen) ,” ujar Jonathan sambil menggoyang-goyang bahu Magdalena.
***
Sebelum aku kembali ke Jakarta, aku minta Rina telpon kedua orangtuanya, menjelaskan keberadaannya di Medan. Juga menjelaskan kepada adikku Lam Hot, perihal hubunganku dengan Rina, tetapi dia menolak untukmenghubungi mereka dengan lewat telpon.
“ Nanti aku buat surat saja mas.”
Setelah makan malam Rina memberikan dia envelope tanpa perekat. “ Mas boleh baca kalau mau, mungkin ada yang perlu aku tambahkan.” ujarnya.

Aku membaca setelah inanguda dan Jonathan meninggalkan kami di meja makan.
“ Hot, kamu tidak usah sok tahu. Gue nggak ada hubungan khusus apapun dengan kakakmu Tan Zung. Kamu juga nggak usah sok prihatin. Kamu baik-baik saja dengan adikku Rima. Jangan perbuat kesalahan yang sama seperti gue.”

Kemudian aku membaca surat kepada papinya.“ Papi, Rina tidak usah dipikirkan lagi. Aku sudah cukup dewasa memikirkan diriku. Tolong papi telephon om Wiro agar jangan mencampuri urusanku atau aku akan bunuh diri.! Mas Tan Zung tidak ada urusannya dengan Rina. Papi dan mami juga nggak perlu tahu siapa ayah anakku kelak.”

Aku membujuk Rina agar telpon orangtuanya. “ Telponlah papi dan mami, mereka sangat merindukanmu,” pintaku setelah membaca suratnya. Dengan berat hati Rina mau bericara dengan orangtuanya setelah aku memutar telepon ke Jakarta. Suaranya tersendat ketika memulai pembicaraannya. Rina tidak bicara banyak, dia mengulang apa yang dituliskan dalam suratnya.

Papi , mami, Rina tidak dirumah om Wiro, aku dirumah keluarga yang sangat mengasihi dan memperdulikanku. Rina jangan dicari lagi, aku cukup dewasa memilih jalan hidupku. Mas Tan Zung besok mau kembali ke Jakarta. Papi, dia tak ada punya hubungan apapun denganku. ” isaknya diakhir pembicaraan. Rina menelungkupkan wajahnya diatas kursi masih diiringi isak tangis. Magda ikut larut mendengar percakapan Rina dengan kedua orangtuanya. Magda segera menahan tubuh Rina yang hampir terjatuh dari kursi.

Aku dan Magda memopongnya, membaringkannya di sofa. Magda terus mengipasi tubuh Rina yang sangat lemah. “ Zung! Kok bengong, ambilkan air minum untuk Rina,” pintanya menyadarkan ku. Rina siuman setelah minum air putih. Magda merangkulnya, “ Rina nggak usah bersedih, aku dan mami akan membantumu sampai Rina melahirkan. Pikirkan kesehatan dan bayi dalam rahimmu.” Rina masih dalam isak mendekap Magda sembari mencium pipinya dan berujar, “ Terimakasih mbak Magda.”

Aku, Magda dan Rina duduk bersama membicarakan rencana selanjutnya setelah kami melihat Rina telah mampu menguasai kesedihannya. Magda berjanji akan membantu Rina hingga nanti kepersalinan. Magda marah ketika aku menanyakan berapa Rina harus membayar kamarnya per bulan.

“ Zung, kami tak pernah mengharap bayaran dari Rina! Aku dan mami tulus mau membantu Rina.” ucapnya seraya mencubit lenganku. Magda segera menyadari suaranya agak keras, “ Maaf Rina, suaraku agak keras, aku nggak marah. Aku dan Tan Zung sudah seperti kakak adik,” katanya diiringi derai tawa.
“ Nggak juga! Mana ada kakak-adik seperti gayamu itu. Seperti suami isteri, ya, iya! “ balasku disambut tawa Rina. (Bersambung)

Los Angeles, May 2009
Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/