Friday, May 15, 2009

Telaga Senja (33)






http://www.youtube.com/watch?v=XbBpZhA92uQ

===============
“ Seluruh inderaku masih dapat merasakan dan membaca rangkaian titik serta garis berikut aneka warna itu menyatu dengan nuansa teduh.”
“ Abang terus menyimpan mimpi-mimpi."
” Aku tidak bermimpi, Magda.!"

===============

KETIKA aku dan Magda masih bertengkar tentang hati kami yang “ tersumbat”, inanguda, maminya Magda, datang kedapur bersama Jonathan. Lagi-lagi inangudaku yang baik itu “menghajar” Magdalena ketika melihatku didapur sedang memasak air, sementara Magda hanya berdiri membiarkanku sendiri memasak dan membenahi gelas, gula dan kopi.
“ Bah! Magda, kok tega benar membiarkan itomu .....?”
“ Mam, nggak usah cerewet, ini urusanku dengan abang,” potongnya.
Eehhe borukkon tahe( oalah putriku, pen). Kalian jauh saling nyariin, dekat ribut terus,” ucap maminya, disambut gelak Jonathan.

Inanguda mengajakku, Magda dan Jontahan duduk bersama didapur. Mami mengutarakan ulang, niat baiknya untuk “menampung“ Rina hingga melahirkan. Magda dan Jonathan menerima niat maminya dengan tulus.
“Mam, aku juga sudah sampaikan kepada Rina, dia setuju.” ujar Magda, diakurin anggukan Jonathan. Ditengah percakapan kami, inanguda menanyakan siapa lelaki yang tidak bertanggungjawab, menghamili Rina.?”
“ Ya bang, kemana kabur lelaki itu,?” tanya Jonathan.

“Namanya Paian. Kampungnya aku lupa, tetapi menurut informasi yang aku peroleh, dekat Narumonda. Ketika dia pulang kampung, dia janji pada Rina hanya dua minggu. Ternyata berita dari teman Paian satu kampung, dia telah menikah dengan paribannya.”
Mami Magda mengulang nama yang kusebut. “Paian ? Jangan-jangan anak amangborumu.!?”(paman,pen) tukas inanguda seraya melihat Magda dan Jonathan bergantian. Jonathan dan Magdalena menanyakan amangborunya yang mana.
Amangboru parsotul yang menikahkan anaknya empat bulan lalu. Dulu pernah namborumu menginginkan Magdalena jadi mantunya.!” jawabnya lalu menopangkan tangan dikeningnya sambil dia mengumpat lirih, "kurang ajar."

“ Itu dia orangnya mam.!?” tanya Magdalena.
“ Zung, Sudah pasti, nama dan marganya itu.!?” tanya inangudaku. “ Jon, panggil dulu Rina.” lanjutnya.
“ Jangan mam, aku nggak setuju Rina ikut dalam pembicaraan ini. Nanti dia semakin terpukul,” ucap Magda. Dengan perasaan gelisah campur marah Mami Magda menghubungi seseorang dengan telpon. Dia berbicara agak perlahan, supaya tidak kedengaran oleh Rina.
Eda! ( panggilan kepada sesama perempuan, kakak atau adik, pen) Paian sekarang dimana?” tanya inanguda mengawali percakapannya .
“ Oh.... di Jakarta. Di Jakarta dimana? Eda pernah tahu kalau dia pernah punya pacar di Jakarta?

Mami Magda kembali bergabung bersama kami dengan wajah muram setelah mengakhiri pembicaraanya dengan tante Paian di Medan.
“ Memang dia itu anak kurang ajar. Dia membohongi namborumu. Katanya belum punya pacar, sehingga dia di jodohkan dengan putri ompungmu par Jl. Serdang itu.

“ Mam, nggak usah diceritain pada Rina, kalau Paian itu famili dekat dengan kita.”
“ Iya mam.! . Kalau aku ketemu pingin kuhajar dia itu anak, berengsek.!” timpal Jonathan.
“ Bang, kalau nanti kembali ke Jakarta, nggak usah cerita kepada keluarga Rina kalau kami punya kaitan famili dengan Paian berengsek itu,"pinta Magda.
“ Kami ? Kalau seperti yang dituturkan mami, aku juga punya tautan famili dengan Paian. Benar nggak inanguda.?’ tanyaku.
“ Ya. iyalah, abang ngajak ribut terus. Ayo bang, buatkan teh untuk kami..eh..untuk kita.”
Hah...kakak parbada ( cerewet, pen) ,” ujar Jonathan sambil menggoyang-goyang bahu Magdalena.
***
Sebelum aku kembali ke Jakarta, aku minta Rina telpon kedua orangtuanya, menjelaskan keberadaannya di Medan. Juga menjelaskan kepada adikku Lam Hot, perihal hubunganku dengan Rina, tetapi dia menolak untukmenghubungi mereka dengan lewat telpon.
“ Nanti aku buat surat saja mas.”
Setelah makan malam Rina memberikan dia envelope tanpa perekat. “ Mas boleh baca kalau mau, mungkin ada yang perlu aku tambahkan.” ujarnya.

Aku membaca setelah inanguda dan Jonathan meninggalkan kami di meja makan.
“ Hot, kamu tidak usah sok tahu. Gue nggak ada hubungan khusus apapun dengan kakakmu Tan Zung. Kamu juga nggak usah sok prihatin. Kamu baik-baik saja dengan adikku Rima. Jangan perbuat kesalahan yang sama seperti gue.”

Kemudian aku membaca surat kepada papinya.“ Papi, Rina tidak usah dipikirkan lagi. Aku sudah cukup dewasa memikirkan diriku. Tolong papi telephon om Wiro agar jangan mencampuri urusanku atau aku akan bunuh diri.! Mas Tan Zung tidak ada urusannya dengan Rina. Papi dan mami juga nggak perlu tahu siapa ayah anakku kelak.”

Aku membujuk Rina agar telpon orangtuanya. “ Telponlah papi dan mami, mereka sangat merindukanmu,” pintaku setelah membaca suratnya. Dengan berat hati Rina mau bericara dengan orangtuanya setelah aku memutar telepon ke Jakarta. Suaranya tersendat ketika memulai pembicaraannya. Rina tidak bicara banyak, dia mengulang apa yang dituliskan dalam suratnya.

Papi , mami, Rina tidak dirumah om Wiro, aku dirumah keluarga yang sangat mengasihi dan memperdulikanku. Rina jangan dicari lagi, aku cukup dewasa memilih jalan hidupku. Mas Tan Zung besok mau kembali ke Jakarta. Papi, dia tak ada punya hubungan apapun denganku. ” isaknya diakhir pembicaraan. Rina menelungkupkan wajahnya diatas kursi masih diiringi isak tangis. Magda ikut larut mendengar percakapan Rina dengan kedua orangtuanya. Magda segera menahan tubuh Rina yang hampir terjatuh dari kursi.

Aku dan Magda memopongnya, membaringkannya di sofa. Magda terus mengipasi tubuh Rina yang sangat lemah. “ Zung! Kok bengong, ambilkan air minum untuk Rina,” pintanya menyadarkan ku. Rina siuman setelah minum air putih. Magda merangkulnya, “ Rina nggak usah bersedih, aku dan mami akan membantumu sampai Rina melahirkan. Pikirkan kesehatan dan bayi dalam rahimmu.” Rina masih dalam isak mendekap Magda sembari mencium pipinya dan berujar, “ Terimakasih mbak Magda.”

Aku, Magda dan Rina duduk bersama membicarakan rencana selanjutnya setelah kami melihat Rina telah mampu menguasai kesedihannya. Magda berjanji akan membantu Rina hingga nanti kepersalinan. Magda marah ketika aku menanyakan berapa Rina harus membayar kamarnya per bulan.

“ Zung, kami tak pernah mengharap bayaran dari Rina! Aku dan mami tulus mau membantu Rina.” ucapnya seraya mencubit lenganku. Magda segera menyadari suaranya agak keras, “ Maaf Rina, suaraku agak keras, aku nggak marah. Aku dan Tan Zung sudah seperti kakak adik,” katanya diiringi derai tawa.
“ Nggak juga! Mana ada kakak-adik seperti gayamu itu. Seperti suami isteri, ya, iya! “ balasku disambut tawa Rina. (Bersambung)

Los Angeles, May 2009
Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment