Friday, May 15, 2009

Telaga Senja (34)





http://www.youtube.com/watch?v=pSJV04IRUW0

==============
“ Maaf Rina, suaraku agak keras, aku nggak marah. Aku dan Tan Zung sudah seperti kakak adik,” katanya diiringi derai tawa.
“ Nggak juga! Mana ada kakak-adik seperti gayamu itu. Seperti suami isteri, ya, iya! “ balasku disambut tawa Rina.
==============
Sebelum kami menuju keperaduan, aku mengajak Magdalena mengobrol diruang tamu tempat kami (dulu) selalu merangkai kata cinta, marah dan menangis karena cemburu. Aku sebenarnya masih wanti-wanti, karena baru saja bertengkar dengan Magda hanya karena aku mengajak Rina duduk bersamaku didepan, padahal sebenarnya tawaranku hanya basa-basi.

“ Apalagi bang yang mau dibicarakan. Istirahatlah, supaya besok nggak telalu lelah di Jakarta,” ujarnya ketika aku menahannya duduk di ruang tamu.
“ Magda serius nggak mau.?”
“ Mau bicara apalagi bang, nanti kita bertengkar lagi.”
“ Bertengkar untuk kebaikan kita bersama, apa salahnya? Anggaplah itu sebagai proses kearah yang lebih harmonis walau kadangkala melelahkan dan menjengkelkan.

" Tetapi aku takut nanti abang tak dapat menahan marah!?"
" Selama kita bicara pada lintasan yang sama kenapa harus marah.?"
" Bukankah selama ini kita telah bersenandung bersama meski kerap ditingkahi pertengakaran?
" Magda selalu berdalih. Ya, sudahl kalau kamu tak berekenan, kita tidur saja.” jawabku kesal.

“ Nah kan? Belum kita mulai abang sudah marah. Aku cuma tanya, kita mau bicara apa.?”
“ Bicara tentang kekerasan hatimu.”
“ Rin, kamu jadi saksi, siapa diantara kami yang keras kepala,” tawanya.

" Baiklah Magda, kalau memang tidak ada waktu kita untuk bicara." ujarku, lalu meningglkannya di ruang tamu.
“ Bang, mau kemana!?” panggil Magda ketika aku berjalan menuju kamar tidur.
Aku terus melangkah tak perduli teriakannya. Magda menyusulku ke kamar, “ Bang, aku nggak suka yang beginian, gampang merajuk. Aku tadi kan hanya bercanda.” ujarnya geram dikamarku.
Aku menyambut kekesalannya dengan ketawa. “ Aku nggak marah. Aku mau mengambil hadiah untukmu.”
Huh..! Abang nakal!” balasnya, lalu mencubit pinggangku, sakit meninggalkan bekas.

Aku mengambil dan menyerahkan kalung bermata berlian hasil kemenangan dimeja judi di Jakarta, disaksikan Rina.
“ Zung, kamu nyolong dimana?” ujarnya heran seraya menatapi kalung itu, bibirnya merekah.
“ Itu hasil tabunganku selama 5 tahun. Magda, seumur hidup, aku tidak pernah mencuri kecuali mencuri hatimu, itupun hampir kandas. Mau nggak? Kalau nggak, aku akan berikan kepada Susan” ujarku disambut ketawa Rina kemudian meninggalkan kami berdua diruang tamu.

“ Zung, aku simpan dulu, nanti kalau abang mau nikah akan kuberikan kepada calonmu.”
“ Calon yang mana? Aku justru telah memberikan kepada pilihanku.!”
“ Zung, aku serius.!”
“ Aku juga serius. Aku menyerahkan dengan hati yang tulus. Terserah Magda menggangap sebagai apa, calon isteriku atau ito ( sepupu, pen).!”
“ Zung, terimakasih, tapi aku tak sanggup menerima ini,” ujarnya sambil menyerahkan kembali kalung ketanganku.
“ Magda.....!? Baik, tapi ingat inilah saat terakhir aku bertegur sapa denganmu,” ujarku meninggalkannya sendirian diruang tamu. Dia berusaha menahan tanganku. Aku menepiskan tangannya seraya masuk kekamar tidur yang telah dibenahinya.

Magda mengikutiku hingga ke kamar: “ Zung kok nggak bisa memahami perasaanku. Bukankah kita sudah sepakat, tidak saling membenci. Bang, selama lima tahun bersahabat, kita saling berbagi kasih meski kita lalui dijalan berliku. Senyum, tawa dan tangis terukir seiiring perjalanan waktu. Abang melupakan kesepakatan kita, bersahabat tidak harus menikah, tetapi kenapa malam ini abang telah berubah?”

“ Sebab aku bukan robot,” jawabku sambil menelentangkan tubuhku.
“ Bang, duduklah dulu. Kita bicara baik-baik saja. Besok abang mau kembali jangan siksa lagi aku seperti ini,” ujarnya. Magda menarik tanganku agar aku duduk kembali.
“ Magda, apalagi yang diributkan. Aku sudah menerima kembali kalung yang kamu tolak. Siapa menyiksa siapa!. Hentikan tangismu itu, aku bosan melihat air mata.”
“ Iya, aku tahu abang juga telah bosan melihatku. Itu sebabnya aku tidak mampu menerimanya kalung itu , “ ujarnya dengan isak tangis.

“ Magda! Hentikan tangismu, nanti mami bangun. Atau malam ini aku menginap di hotel.?”
“ Zung! Berpalinglah kearahku, kenapa abang memalingkan wajahmu. Aku masih seperti yang dulu, menyangimu sebagai sahabat, aku masih merindukanmu ketika abang jauh dariku. Tetapi aku tak mampu menerima kalung itu. Aku takut abang salah mengerti.”

“ Justru aku cukup mengerti, maka aku memberanikan diri memberikan kepadamu, bukan kepada perempuan lain atau kepada Susan, faham?” ujarku seraya bangkit duduk menatap tajam matanya.
Magda membalas tatapanku, berujar : “ Zung, bagaimana aku meyakinkan diriku, kalau pemberian itu dari ketulusan hatimu. Aku ragu, abang masih membangun mahligai mimpi.!”
“ Magda tidakkah kau melihat dalam bening mataku wajahmu masih menyatu ? Tidak adakah satu diantara kelima indera yang kamu miliki berucap jujur pada dirimu? Tidakkah engkau mendengar senandung itu diantara riak kerinduan? Dan, ketahuilah Magda. aku selalu mencari jalan terbaik untuk memulihkan hati kita yang terluka. "

“ Zung, aku belum yakin. Hati masih terkoyak, lukaku belum sepenuhnya pulih.!"
“ Magda, apakah senyum dan tawa yang terangkai dalam persahabatan kita terbungkus dusta.? Aku yakin tidak, Magda ! Untuk kali terakhir aku memohon dari lubuk hati yang terdalam, kenakanlah ini setiap saat sebagai pelipur lara,” ujarku seraya menggegam kedua tangannya.

" Zung, benarkah abang mengasihiku.?"
“ Ya. Pertanyaanmu itu jua jawabanku, aku sangat mengasihimu.!"
"Bila abang mengasihiku, simpanlah dulu kalung ini, kelak pada watunya aku akan menerimanya." (Bersambung)
Los Angeles, May 2009
Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment