Friday, May 15, 2009

Telaga Senja (35)

Look into my eyes - you will see /What you mean to me /Search your heart - search your soul /And when you find me there you'll search no more

Don't tell me it's not worth tryin' for /You can't tell me it's not worth dyin' for You know it's true /Everything I do - I do it for you

Look into your heart - you will find /There's nothin' there to hide /Take me as I am - take my life /I would give it all - I would sacrifice

Don't tell me it's not worth fightin' for /I can't help it - there's nothin' I want more /Ya know it's true /Everything I do - I do it for you

There's no love - like your love /And no other - could give more love /There's nowhere - unless you're there /All the time - all the way yeah
(background quite)
To your heart baby

Oh - you can't tell me it's not worth

tryin' for /I can't help it - there's nothin' I want more /I would
fight for you - I'd lie for you /Walk the wire for you - ya I'd die for you /Ya know it's true /Everything I do - oooww - I do it for you
============
Zung, benarkah abang mengasihiku.?"“ Ya. Pertanyaanmu itu jua jawabanku, aku sangat mengasihimu.!""Bila abang mengasihiku, simpanlah dulu kalung ini, kelak pada waktunya aku akan menerimanya."
============

" Magda! Meski aku bagai menjaring angin, tetapi aku merasakan mentari masih memantulkan sinar dalam setiap sudut kalbu yang hampir membeku,” ujarku meyakinkan dirinya. Magda bergeming, dia hanya menatapku, hampa.

“ Zung, aku juga tidak mengerti kenapa aku masih tetap bersimpuh dalam lorong panjang tanpa seberkas sinar. Aku berusaha bangkit, namun disana aku masih mendengar lolongan serigala seperti menerkamku serta lengkingan suara misteri amat menakutkan. Aku juga telah berusaha mendekat pada dermaga diujung pantai, tetapi urung, aku takut gelombang akan menjemputku dan menggulung jauh kesamudera luas tanpa seorang menolongku.”

“ Magda, berhentilah berhalusinasi. Masih ada waktu menyongsong mentari pagi dalam pelukan rindu.”
“ Zung, aku mohon pengertianmu. Aku menolak bukan karena dendam, tetapi untuk kebaikan kita bersama. Bukankah selama ini tanpa simbol-simbol kasih berwujud benda, namun kita tetap bersahabat?”
“ Ternyata semua apa yang aku rasakah selama ini adalah persahabatan fatamorgana, terimakasih dan selamat malam. Maaf, aku mau istrahat, bolehkah aku terbujur sendirian tanpa sosok apapun diruangan ini?”
“ Abang mengusirku.!?”
“Magda, apalagi yang aku harus aku katakan. Semuanya telah kamu akhiri di ujung nestapa. Kamu telah menghantarkanku keperaduan sunyi mengubur semua gejolak hatiku.”

“ Tidak bang! Aku tidak pernah dan tidak akan pernah mengubur gejolak itu. Aku masih khawatir, kali kedua abang akan menghantarkanku ke lembah terjal dan sunyi. Bukankah abang telah menghempaskanku ke batu cadas yang menghujam seluruh tubuhku hinga berlumur darah? Abang lupa? Ketika aku berjalan tertatih, sendiri, dibelantara liar. Aku lapar dan dahaga tak seorangpun menolongku. Dimana abang ketika itu.?”

Aku terhenyak, pertanyaan diakhir tuturannya menghujuam ulu hatiku, menyesakkan. Segera aku menutup mulutnya dengan telapak tanganku. Perlahan aku meraih dan meletakkan kepalanya di atas pangkuanku.
“ Cukup Magda! Jangan dera lagi aku untuk kesekian kalinya. Kita akhiri saja persahabatan kita dengan baik. Ternyata butir-butir hujan sepanjang malam tak mampu menyejukkan hatimu. Magda biarkanlah cintaku terkubur bersama kebencian hatimu yang tak kunjung padam. Magda mungkin benar, selama ini aku hanya membangun mahligai mimpi siang dan malam. Dan, kamu telah menghancurkannya dengan sempurna, ketika aku terbuai dalam mimpi itu . ”

Magda mengangkat tubuhnya dari simpuh, menarik dan mencium punggung tanganku seraya berujar : “ Bang, berulangkali aku mengatakan, aku tidak dendam. Aku juga tidak mengatakan akan mengakhiri peresahabatan kita. Bukankah selama ini persahabatan kita terus berlangsung tanpa simbol kasih berwujud benda.”

“ Magda, sudahlah. Aku cukup mengerti. Tidurlah, biarkan aku sendiri menghitung-hari-hariku. Jangan menyesal jika terjadi sesuatu atas diriku. Selamat malam.!”
Magda menatapku tajam dengan wajah marah, dia pergi meninggalkanku tanpa sepatah kata.

***

PAGI dini hari, Rina memasuki kamar tidurku dengan suara tersendat membangunkan aku dari lamunan panjang pada malam itu.
“ Mas, kenapa dengan mbak Magda. Tangisnya membangunkan tidurku, ada apa sih mas? “
“ Kenapa nggak kamu sendiri yang menanyakan.?”
“ Aku nggak tega mas.”
“ Rina, kamu tinggal disini sebentar, aku akan menemuinya.”

Magda kaget ketika aku menyingkap selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Magda menutup wajah dengan kedua tangannya diiringi isak tangis; “ Abang tak punya hati! Abang tak pernah mau mengerti perasaanku yang pernah kamu hancurkan. Hati yang masih berkeping-keping dan terserak abang injak remuk ketika aku berusaha menata ulang. Abang egois!”

“ Magda, aku ingin membantumu menata bersama. Aku berusaha memulihkan luka yang masih meradang dalam susut-sudut hatimu itu. “
“ Tetapi abang menoreh luka baru,” hentaknya seraya duduk dan menatapku tajam.
“ Itulah kebodohanku. Tetapi sudahlah, aku telah menyadarinya, memang aku belum layak memberi apapun pada dirimu. Kalung itu juga tak pantas melingkar dilehermu; kalung itu lebih tepat di dalam jamban, disanalah tempat yang pantas. Semoga kini hatimu puas.”

“ Abang Gila” ujarnya setengah teriak.
“ Ya, iya aku gila. Gila karena kebuntuan hatimu. Selama ini aku telah menjaga dan merawat bejana yang aku bentuk.”
“ Kapan? Bejana apa yang abang bentuk?”
“ Bejana kasih, didalamnya bergelora sejuta cinta dan harapan.”
“ Tidak! Bejana yang bentuk itu tanpa ruang, hanya onggokan butir-butir pasir dan kerikil tajam tanpa perekat.”
“ Magda, aku membentuknya dengan jarijemari kasihku. Perekatnya adalah darah dan airmata hati. Belum cukupkah?”

“ ... dan, darah dan airmata hatikupun abang tak hiraukan?”
“ Itu sebabnya aku membentuk bejana, untuk menampung tetesan darah dan airmata sebagai penawar hatimu yang terdera sebelumnya.”
“...dan, kinipun abang masih menyiksaku. Deritaku abang masukkan dalam bejana yang abang bentuk, kering kerontang, merawatnya tanpa setetes penawar duka!?” (Bersambung)

Los Angeles, May 2009
Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment