Monday, August 31, 2009

Telaga Senja (112)

Highway run/Into the midnight sun/Wheels go round and round/You're on my mind
Restless hearts/Sleep alone tonight/Sending all my love/Along the wire


They say that the road/Ain't no place to start a family/Right down the line/It's been you and me/And lovin' a music man/Ain't always what it's supposed to be/Oh, girl, you stand by me/I'm forever yours/Faithfully

Circus life/Under the big top world/We all need the clowns/To make us smile/Through space and time/Always another show/Wondering where I am/Lost without you

And being apart/Ain't easy on this love affair/Two strangers learn to fall in love again/I get the joy of rediscovering you/Oh, girl, you stand by me/I'm forever yours/ Faithfully

Whooa, oh-oh-ooh/Whooa, oh-oh-ooh, oh/Whooa, oh-oh-oh, oh-whoooooa-oh/Faithfully/I'm still yours/ I'm forever yours/Ever yours/Faithfully
=====================
Selamat malam Laura.!” ujarku. Laura Segera mendekapku sesaat aku beranjak dari tempat dudukku.
“Tunggu dulu mas, aku belum selesai bicara.!”
“Menunggu!? Kemudian kamu akan mengusirku seperti seorang tikus tak waras.!?”
===================

Dugaaanku tidak meleset, Laura marah “mewakili” perasaan Magdalena setelah dia berbicara dengan Rina. Sayang, berita yang didapatkannya dari Rina tidak sepenuhnya benar.
“ Mas, aku kasihan dengan mbak Magdalena. Semalam dia menangisi mas. Baru saja aku bermasalah, kini terulang lagi dengan ibu itu. “ ujarnya.
“ Kamu bicara langsung dengan Magda.?”
“ Tidak mas. Aku bicara dengan Rina. Dia juga menangis ketika bercerita; Kesehatan mbak Magda terganggu setelah kejadian itu. Mas, kasihan dengan mbak Magdalena,” ucapnya pelan.

“ Mau mengetahui cerita sesungguhnya? Sekarang telepon mbak Magda, ayo!” desakku.
“ Jangan mas, sudah larut malam, nanti mbak Magda salah mengerti lagi,” katanya lembut sambil melepaskan pelukannya.
“ Laura, kini sudah jelas? Bolehkah aku pulang.? Kan nggak baik berduaan dikamar seperti ini, ntar dikirain orang kita sudah nggak waras,“ ujarku ngenyek disambut tawa masem Laura.
“ Iya. Mas pulang kerumah atau ke hotel.?”
“ Pulang kerumah orang waras.!”
***
HARI berikutnya, aku masih bersama Susan. Setelah urusan selesai, aku mengajaknya kekantor seperti aku janjikan kepada Laura. Rekan sekantor merasa surprise atas kehadiranku bersama Susan, tak terkecuali Neneng dan Laura. Kami langsung menuju ruangan direktur utama perusahaan. Aku memperkenalkan Laura bekas dosenku sekaligus memberitahukan bahwa Susan butuh bantuanku sejak kemarin. Mata Laura melirik tajam kearahku ketika menghantarkan minuman untuk kami bertiga. “ Terimakasih Laura, “ ucap Susan sesaat dia meninggalkan kami. Laura berlalu melengos tanpa menyahut.

Kami hanya berbicara tak begitu lama, Adrian mengantarkan kami hingga ke ujung kamarnya sambil mengingatkan besok aku harus berangkat ke Bandung membantu menyelesaikan masalah pembukuan kantor cabang. Aku dan Susan sengaja menemui Laura ke meja kerjanya. Dalam percakapan singkat itu, Laura tak mampu menyembunyikan rasa tidak senangnya terhadapku. Dia hanya melayani pembicaraan Susan. Tak sekalipun menggubris celutukanku hingga aku dan Susan keluar dari kantor.

“ Bang, Laura masih cemburu tuh,” ucap Susan saat kami pulang.
“ Tak ada undang-undang yang melarang orang cemburu, juga dengan Laura.”
“ Abang bilang kalian sudahan. Kok dia masih sewot begitu.?”
“ Apa bedanya dengan Susan. Meski sudah lama kita”cerai” masih cemburu. Kemarin malam ketika di bar, Susan cemburu ketika seorang permpuan mengajakku dansa dan memberiku ciuman.”
“ Aku bukan cemburu. Marah iya karena abang selalu mengaku nggak pernah main dengan perempuan lain.”

Tiba di hotel, Susan mendapat pesan dari kampus tempat dia mengajar,sifat “urgent”. Susan segera menghubungi rektor. Kemudian dia menghubungi suaminya Hendra di Bandung. Dari percakapan yang aku dengar, rektor menyuruhnya segera kembali ke Medan. Setelah selesai bicara dengan suaminya, Susan meminta aku mengantarkan ke airport. “ Pembantu dekan III sedang sekarat di rumah sakit. Sore ini aku harus pulang,” ujarnya terengah sambil menghubungi maskapai penerbangan, minta pengajuan schedule penerbangannya.
“ Zung, tolong bantu beresin barang-barangku,” pintanya sembari menunggu jawaban dari pihak maskapai penerbangan.

Susan berteriak memanggil namaku ketika dilihatnya, aku berlakon pesuruh menerima perintahnya:’ Iya siap bu.” ujarku sambil membungkuk. Sebelum meniggalkan hotel, dia memberiku kunci kamar. “ Abang teruskan pemakaiannya hingga besok lusa. Aku sudah bayar.” ujarnya . Di airport, aku dan Susan terjadi “pertengkaran” singkat. Gara-garanya, aku menolak pemberian sejumlah uang yang dimasukkan ke kantongku. “ Untuk apa ini, upah sebagai pengawal atau sebagai pacar.?”

“ Zung, kenapa sih kamu selalu menolak jika aku memberimu sesuatu. Terserah abang menganggap pemberianku sebagai apa. Aku tulus Zung, nggak ada maksud tersembunyi.” Akhirnya, aku biarkan tangannya memasukkan envelope itu ke katong celanaku seraya berujar:” Kalau memberi jangan hanya pada satu kantong. Isilah semua kantongku, kalau Susan ikhlas.”

“ Halah...Tan Zung belagu.” balasnya. “ Mungkin aku menjabat sementara sebagai pembantu dekan III” ujar Susan dalam ruang tunggu. “ Kalau abang, serius mau mengajar, aku akan bantu. Awalnya jadi asistenku dulu. Nilaimu memenuhi syarat kok jadi pengajar. Abang juga bisa lebih dekat dengan Magda. Zung, jangan terlalu lama berjauhan, nggak baik. Sebenarnya dari segi usia dan lamanya berteman sudah waktunya kalian menikah,” ujarnya.

“ Susan mau bantu aku.?”
“ Kapan dan dimanapun aku siap membantu, apalagi mengenai pernikahanmu. Abang butuh apa, tinggal bilangin, aku dan Hendra akan bantu. Jangan lama-lama.”
“ Tolonglah bicara dengan Magdalena. Aku serius mau menikahinya, sebelum aku semakin liar.”

“ Pasti. Besok setelah dari kantor, aku akan menemui ke kantornya. Bila perlu aku akan menemui ibunya juga.” jawabnya serius.
“ Jangan Susan!. Kamu nggak berhak mengatakan itu kepada ibunya. Tak sopan. Dalam adat batak, nggak boleh sembarangan menyampaikan keinginan pihak lelaki terhadap pihak perempuan. Ada tahap-tahapannya. Bicara langsung dengan Magda nggak ada masalah, itu urusan pribadi.” jelasku.
“ Ah...adat batak. Terlalu bertele-tele,” balasnya ngakak.
“ Bertele-tele tapi asyik meski kadangkala membosankan dan menyebalkan.”( Bersambung)

Los Angeles. September 2009


Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (111)


Before The Next Teardrop Falls
If he brings you happiness/ Then I wish you all the best/It’s your happiness that matters most of all/ But if he ever breaks your heart/If the teardrops ever start/I’ll be there before the next teardrop falls

Si te quire de verdad/Y te da felicidad/Te deseo lo mas bueno pa’ los dos/Pero si te hace llorar/ A mi me puedes hablar/Y estare contigo cuando triste estas

I’ll be there anytime/You need me by your side/To drive away every teardrop that you cried

And if he ever leaves you blue/Just remember, I love you/And I’ll be there before the next teardrop falls/And I’ll be there before the next teardrop falls
======================
Akhirnya Mawar menjaga bahkan merawat abang sejak dirumah sakit, di “klinik” pak Ginting,hingga di kamar abang. Belakangan, Mawar menuturkan semua itu ke Magdalena.”
“ Jadi Magda sudah tahu sejauh itu? Magda nggak pernah cerita kepadaku. Lalu apa komentar Magda.?”
=====================
“ Magda biasa-biasa saja. Aku juga salut hubungan keduanya, meski Magda tahu, dia tak merasa cemburu, bahkan dia mengucap terimakasih kepada Mawar, karena dia dapat menggantikan Magda merawat abang. Sampai sekarang mereka masih bersahabat. Abang saja yang mentiko membenci Magda tetapi dalam waktu yang sama menyayangi Mawar.”
“ Iya kebetulan Magda dan Mawar masih mempunyai hubungan keluarga. Menurut Susan, dalam situasi seperti itu, salah aku seandainya mencintai Mawar?”

“ Nggak ada yang menyalahkanmu. Tetapi itu hanya cinta pelarian, gara-gara cemburumu keterlaluan. Sekiranya dulu aku tahu, kisah asmaramu dengan Magda, aku juga tak akan mau abang dekati. Selain itu juga aku kasihan melihat abang seperti orang gila di diskotik.”
“ Susan juga nggak jujur. Bagaimana aku mau mendekatimu sementara kamu dosenku. Susan saja yang gila-gila, entah apa yang kau gilain,” balasku dengan gelak, disambut cubitan Susan, kuat sekali.

“ Abang masih berhubungan dengan Mawar?”
“ Nggak. Sudah lama tidak pernah terlintas dalam benakku. “
“ Bagaimana dengan Laura dan Rina ?”
“ Kemarin dulu sudahan dengan Laura. Yang lain? Belum ada. Rina teman karena aku pernah tinggal dirumahnya.
***
Setelah makan malam, Susan tidak mengijinkan aku pulang. Namun aku tetap bersikukuh harus pulang, dengan dalih, menyelesaikan pekerjaan kantor yang masih menumpuk. Susan tak percaya, dia menudingku sok rajin dan sok pahlawan, bahkan dia mencurigaiku pergi ke rumah Laura. Susan sukar percaya bila kami sudah berakhir dengan baii-baik. “ Magda juga sudah tahu itu. Atau Susan saja yang cemburu.?’

“ Nggak lagi Zung. Aku hanya ingin teman ngobrol. Juga rada takut sendirian tinggal dikamar!” dalihnya.
“ Lho, bagaimana kalau aku tak ada di Jakarta.?”
“ Aku tak membiarkan Hendra pergi ke Bandung.”
“ Hendra kan tahu kalau aku hanya mengawalmu siang hari. Bukan malam hari.?”
“ Zung, kamu merasa pengawalku.?”
“ Aku bangga menjadi pengawal seorang dosen bergolongan IV pula,” kelakarku.
“ Bang, nggak lucu.” ujarnya dengan wajah cemberut.
“ Cemberut dan cemburu beda tipis, artinya disana masih ada cinta; juga pengawal dengan pacaran beda segulir rambut.”
“ Zung, nggak usah pancing-pancing lagi,” ujarnya seraya bangkit dari kursinya menuju meja telephon, kemudian memutar nomor yang dituju.

" Hei... kenapa kamu sayang? Kamu sakit?”
“ Siapa itu? Hendra?”
“ Susan hanya menggoyangkan kepala sambil meneruskan percakapannya.”
“ Pacarmu iya,” tanyaku tak sabaran.
“ Iya! Kenapa? Kamu cemburu?” balasnya, sambil menutupkan gagang telepon dengan telapak tangannya, lantas menyerahkan telephon kepadaku. Ah...lagi-lagi Susan mengerjaiku. Tadinya aku kira dia menelepon suaminya: “ Hallo bang!” ujarnya diujung telephon.

“ Pulanglah bang, nggak baik kalau orang tahu kalian satu kamar,” anjur Magda. “Juga, kan nggak enak dengan om Hendra,” lanjutnya. Magda mengaku hari ini nggak masuk kerja; setelah siangnya Susan mencoba menghubunginya Magda ke kantor. Menjelang pukul sepulung malam, Susan akhirnya merelakan aku pulang kerumah setelah melalui perdebatan panjang. Tiba dirumah, ibu kos menyampaikan pesan Laura, supaya segera menghubungiya. Menurut ibu, Laura berulangkali meneleponku setelah sebelumnya mampir kali kedua.

Diliputi rasa tanya, aku segera bergegas kerumah Laura, setelah ku hubungi berulangkali tak ada seorangpun mengangkat telepon. Meski telah larut malam, Laura masih bersedia membuka pintu dan menerimaku bertamu. Dia mengajakku masuk kamarnya: “ Mas, kita bicara didalam saja, aku khawatir nanti ibu terbangun.” ujarnya. Sebelum Laura memulai pembicaraan, aku menanyakan apakah dia menghubungi Andrian perihal ketidakhadiranku. Laura hanya menjawab ”ya”, tak bergairah, dingin. Laura memulai pembicaraan setelah dia menyilakan aku duduk disisi tempat tidurnya, sementara dia duduk diatas kursi persis menghadapku. “ Maaf mas, kalau aku dianggap terlalu lancang mencampuri urusan pribadimu. Tetapi sebagai seorang sahabat mas dan mbak Magdalena, aku membaranikan diri bicara dengan mas.”
“ Tentang apa?” tanyaku tak sabaran.
“ Tentang ibu Susan.!?”
“ Ada apa dengan dia,?”

“Mas, aku tidak mempermasalahkan Susan, tetapi dengan mas sendiri.” Aku langsung menangkap maksudnya, dia keberatan aku bersama dengan Susan. Namun aku heran, mengapa Laura keberatan. Cemburu.? Bukankah beberapa hari lalu telah menyadari “penyelewengan “ hati kami berdua ? Kemudian sepakat untuk mengakhiri hubungan asmara yang berlangsung singkat itu. Laura melanjutkan pembicaraannya sebelum aku mengajukan pertanyaan ada apa dengan aku?.

“ Mas, Tadi pagi sebelum aku kekantor kebetulan aku telepon Rina. Dia beritahukan kalau mas nginap di hotel dengan ibu Susan. Bagaimana sih perasaan mas tidur bersama dengan perempuan yang telah bersuami? Sekali lagi maaf, kalau aku mencampuri urusan pribadimu.”
“ Laura keberatan atau mewakili perasaan Magdalena.?”
“ Mewakili perasaan perempuan yang masih waras mas.”
“ Maksudmu Susan perempuan nggak waras, begitu.?”
“ Terserah apa kesimpulan mas.”
“ Laura! Karena aku lelaki masih waras, maka aku menolak tidur sekamar dengannya. Makan bareng, ngobrol sampai tengah malam iya. Tetapi tidak tidur sekamar. Tidur bareng iya. Bukankah setiap malam aku juga tidur bareng dengan Laura?” gurauku menghilangkan ketegangan.

“ Mas, nggak lucu. Kapan aku tidur bareng dengan mas.!” balasnya dengan bibir gemetar menahan marah.
“ Setiap malam Laura!. Laura tidur di kamarmu, aku tidur dikamarku...”
“ Mas...! Aku serius!” hentaknya menutupi rasa malunya sambil melemparkan bantak kewajahku, kuat.

“ Luara! Rupanya untukku tidak ada lagi ruang untuk bergurau setelah kita mengakhiri keterpautan hati. Persahabatan itu ternyata bermakna, kala dilabur asmara. Kesabaran yang Laura miliki, terhadapku, hilang seiring berakhirnya alunan irama bernuansa cinta. Laura, telah melampiaskan amarahmu tanpa dasar itu, kamu telah puas? Aku mohon ijin pulang. Selamat malam Laura.!” ujarku. Laura Segera mendekapku sesaat aku beranjak dari tempat dudukku.
“Tunggu dulu mas, aku belum selesai bicara.!”
“Menunggu!? Kemudian kamu akan mengusirku seperti seorang tikus tak waras.!?” ( Bersambung)

Los Angeles, August 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Thursday, August 27, 2009

Telaga Senja ( 110)


Unbreak my Heart - Toni Braxton - Live
La la la la la la la
Don’t leave me in all this pain,/Don’t leave me out in the rain,/Come back and bring back the smile,/Come and take these tears away

I need your arms, to hold me now,/The nights are so unkind/Bring back those nights/ When I held you beside me

Unbreak my heart,/Say you love me again,/Undo this hurt you caused/ When you walked out the door/And walked out of my life/Uncry these tears,/I cried so many nights,/ Unbreak my heart (my heart)

Take back the sad word good-bye,/Bring back the joy in my life/Don’t leave me here with these tears,/Come and kiss this pain away

I can’t forget, the day you left/Time is so unkind/And life is so cruel/ Without you here beside me

*)
Unbreak my heart,/Say you love me again,/Undo this hurt you caused /When you walked out the door/And walked out of my life,/Uncry these tears,/I cried so many nights,/Unbreak my heart

Don’t leave me in all this pain,/Don’t leave me out in the rain,/Bring back the/ nights/ When I held you beside me

Back to *)
Unbreak my heart, oh baby/Come back and say you love me/Unbreak my heart, sweet darling,/Without you I just can’t go on-

Say that you love me,/Say that you love me,/Tell me you love me,/Unbreak my,/ Say that you love me,/Say that you love me,/Tell me you love me,/Unbreak my,/ Say that you love me,/Say that you love me,/Tell me you love me, / Unbreak my...
===================
Aku lega, setidaknya malam ini, aku terlepas dari pengulangan memori lama yang pernah terhanyut mengatas namakan cinta pelarian.“ Zung, besok datangnya jangan terlambat, atau aku telepon dulu.?”ujarnya ketika aku minta ijin pulang.
===================
MESKI kepala masih terasa berat karena pengaruh minuman dan kurang tidur, terpaksa berangkat ke hotel menemui Susan yang sejak setengah jam lalu menungguku. Susan khawatir kalau aku tak memenuhi janji menemaninya ke kantor yang dituju. Sebelum berangkat kehotel, aku telepon Laura memberitahukan kalau aku nggak ngantor selama dua hari, sekaligus minta tolong menyampaikan ke Manager. “ Laura , tolong beritahukan ke manager, hari ini nggak bisa masuk, mau bantu teman dari Medan. Mungkin nanti kami mampir di kantor pada jam istrahat,” ujarku. Namun, Laura enggan bicara dengan manager yang masih “menggilainya”. “ Lebih baik aku bicara dengan om Adrian, aku malas ketemu dengan manager sinting itu.” jawabnya.

Tiba di hotel, Susan siap berangkat. Dia telah menunggu di lobby hotel. “ Tan Zung lelet amat.” omelnya. Sebelum kekantor yang dia tuju, dia mengajakku mampir ke tempat kost. “ Ingin tahu tempat tinggalmu.” ujarnya didalam mobil yang disewanya. Ibu kost menyambut kami dengan ramah; dia mengikutiku kedapur, berbisik: “ Zung siapa perempuan itu, Magdalena?”
“ Bukan.! Dia bekas dosenku,” jawabku. Aku melihat ibu kost tersenyum ketika Susan masuk ke kamarku, sementara Susan geleng-geleng kepala melihat kamar ku seperti kapal pecah. “ Zung, apalagi yang kamu tunggu, menikahlah. Kamar sekecil inipun tak dapat kau urus,” ucapnya lantas merapikan pakaianku yang masih belum terlipat. Buku-buku bacaan, koran dan majalan ditempatkannya terpisah. Dia tersenyum melihat tiga foto terpajang di meja kamarku, fotoku sendiri diapit oleh foto Magdalena dan Susan.

“ Foto abang juga aku pajang di kantor,” ujarnya ketawa.
“ Memang fotoku pantas disana, bukan di kamar tidur. Suamimu nggak marah memajang fotoku.?”
“ Nggak. Kan hanya foto.? ujanya diiringi derai ketawa.
Kami segera berangkat setelah kamarku rapi. Susan mengajakku mampir di sebuah toko bilangan Jalan Sudirman setelah urusannya selesai. Susan memilih beberapa kemeja dan t-shirt serta sepatu lelaki.
“ Aku sudah lupa ukuran kemeja dan sepatumu,” ujarnya, dia menggaet tanganku menuju keruangan pas.
“ Aku masih banyak kemeja dan sepatu,” ucapku menolak.
“ Halah..Zung nggak usah malu. Aku tahu kamu banyak uang, tetapi aku ingin memberimu kenangan -kenangan, agar tidak melupakanku,” ucapnya ketawa.

Aku berdalih; “ Fotomu dikamarku sudah cukup mengingatkanku setiap hari. Akhirnya aku mengalah, terpaksa menerima, setelah dia bersikeras memberikan barang yang telah dibelanjakan. Kami kembali ke toko setelah sampai diparkiran.
“ Zung ada yang ketinggalan, kita ke toko lagi,” ajaknya. Susan memilih satu kacamata reyban, harganya cukup mahal.
“ Ini untuk pria ganteng. Masya kalah dengan sopir itu,” ujarnya menunjuk sopir taksi gelap yang disewa selama beberapa hari.

“ Susan, nanti aku terganggu bila aku mengenakan kaca mata ini.”
“ Terganggu kenapa.?”
“ Gadis-gadis akan berpaling kearahku, nanti kamu cemburu.”
“ Nggak. Abang nggak usah mancing-mancing. Magdalena setia menunggumu.”
“ Susan sok tahu. Darimana tahu kalau dia masih setia menungguku?”
“ Magda tidak mengucapkan langsung. Tetapi dari pembicaraan kami kemarin dulu sebelum aku ke sini, menangkap isyarat, dia masih mencintai dan menunggumu. Abang jangan main dengan perempuan lain lagilah.”
“ ...kecuali Susan.!?” selahku.
“ Iya. Karena aku tak akan mau menggagumu lagi. Aku juga sudah beritahu dia kalau mau ketemu dengan abang. Alamat dan telephonmu aku dapatkan dari dia.”

“ Isyarat apa lagi yang kamu tangkap dari Magdalena.?”
“ Magdalena sangat kesal karena abang main dengan perempuan lain, minum sampai teler dan dia mengeluhkan kelakuanmu yang sering marah-marah kepadanya. Setahuku, Magda belum mempunyai teman pria lain kecuali abang. Menurutnya, dia pernah mau menjemputmu karena abang main judi dan teler bersama dengan perempuan lain. Zung, dia menangis ketika menceritakan kepadaku.”

“ Susan, aku masih meragukan apakah dia masih setia menungguku. Iya itu tadi, karena terakhir aku keblabasan dengan perempuan lain, Laura. Sebelumnya juga, Magda selalu mengalihkan pembicaraan, jika menyinggung mengenai kelanjutan cinta kami yang pernah terputus. Terakhir, ketika aku pulang ke Medan, dia menolak pemberian kalung yang belikan khusus untuknya.”

“ Zung, memang agaknya masih ada yang tersisa penderitaan yang dialami ketika kalian putus. Magda masih trauma. Dia juga khawatir akan terulang kembali, karena abang pencemburu.”
“ Bukankah cemburu itu bahagian dari cinta.”
“ Iya. Tetapi tidak keterlaluan. Meski aku belum lama mengenalnya secara pribadi, aku yakin dia perempuan jujur dan setia. Buktinya, meskipun kalian telah putus tetapi dia masih mau berhubungan denganmu, bahkan menangisimu jika kelakuan abang tak kunjung berubah.”

“ Untuk yang satu itu memang aku sangat lemah, karena aku, dulu, sempat terjun di pasaran. Judi, minum dan perempuan adalah bagian dari kehidupan dipasaran. Tetapi aku masih berutung dibandingkan dengan teman-temanku, aku tidak pernah bermain dengan perempuan nakal, serius.”
Susan tiba-tiba ketawa seraya memutar wajahku menghadapnya: “ Apa Zung!? Nggak pernah main dengan perempuan?”

“ Sumpah! Sentuh juga nggak. Aku hanya berteman dengan perempuan baik-baik; Ira, Maya, Mega, Magdalena dan kamu. Tetapi yang paling berkesan adalah kamu dan Magda.”
“Bagaimana dengan Mawar,?”singgungnya.
“ Oh iya, hampir lupa. Tetapi dia hanya teman biasa kok. Kenapa Susan ingat dia.?”
“ Memang abang nggak ada hubungan spesial dengan dia,?" selidiknya.
“ Kenapa ? Kok tiba-tiba nama itu muncul ? Selama ini Susan tidak pernah sekalipun menyinggung nama Mawar. Apa yang kamu tahu mengenai Mawar.?”

“ Sebelumnya aku juga nggak tahu kalau abang pernah berhubungan dengannya.!”
“ Dari siapa Susan tahu.?”
“ Kemarin dulu ketika aku mampir di rumah Magda, dia bercerita, bahwa abang pernah jatuh hati kepada Mawar , waktu Magda ribut dengan orangtuanya karena dia di jodohkan dengan Albert. Abang sangat marah dan malah mengusir Magda dari rumah sakit ketika abang dalam perawatan karena kecelakaan. Memang abang kejam iya!? Akhirnya Mawar menjaga bahkan merawat abang sejak dirumah sakit, di “klinik” pak Ginting,hingga di kamar abang. Belakangan, Mawar menuturkan semua itu ke Magdalena.”
“ Jadi Magda sudah tahu sejauh itu? Magda nggak pernah cerita kepadaku. Lalu apa komentar Magda.?” ( Bersambung)

Los Angeles, August 2009


Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Wednesday, August 26, 2009

Telaga Senja ( 109)

Somethin' Stupid
I know I stand in line /Until you think /You have the time/To spend an evening with me/ And if we go Someplace to dance I know that There’s a chance/You won’t be Leaving with me

Then afterwards We drop into A quiet little place/And have a drink or two/And then I go /And spoil it all /By saying something stupid/Like “I love you”

I can see it in your eyes /That you despise /The same old lines/You heard the night before/And though it’s/Just a line to you /For me it’s true /And never seemed/So right before

I practice every day/To find some /Clever lines to say/To make the meaning/Come through/But then I think /I’ll wait until the /Evening gets late /And I’m/alone with you/The time is right /Your perfume /Fills my head

The stars get red /And oh the night’s so blue/And then I go /And spoil it all /By saying something stupid/ Like “I love you”
=====================
“ Abang mangkak.!’ serunya sambil melemparkan bantal kearahku.
“ Sengaja. Sudah lama aku nggak mangkak kepada perempuan.Tidurlah bu sudah larut malam,” ujarku. Susan kembali merebahkan tubuhnya tanpa memberi reaksi.
“Susan, kamu masih marah? Selamat malam! Sampai ketemu besok pagi.” ujarku meninggalkannya sendirian dikamar.( Bersambung)
=======================

AKU keluar dari kamar menenangkan diri sekaligus menghindari “adegan” berlanjut, menghantarkan debat, berujung pada sentuhan kenangan yang dulu kami lakoni. Aku mengharap Susan dapat memahami keberadaanku, kini, sedang memungut dan menata ulang serpihan kasih yang masih tercecer dengan Magda. Sementara pikiranku kusut, kaki melangkah menelusuri tangga menuju bar yang masih buka. Aku memilih meja dipojok ruangan yang masih kosong.

Suguhan tembang-tembang manis band lokal, malam itu, seakan diciptakan untuk diriku; lirik rintihan dan puja-puji kekasih silih berganti. Minuman yang sudah mulai merasuk pada syaraf yang dalam kesendirian, membuat mata hampir terpejam; tetapi terusik oleh sentuhan tangan lembut di ujung jari tanganku; berucap : “ Mas, kita dansa yuk.” ajaknya genit. Aku membalas dengan mengecup jari tangannya : “ Terimakasih! Aku lelah, lain waktu saja,” balasku dengan santun. Perempuan itu meninggalkanku setelah membalas kecupanku.

Sepeninggal perempuan itu, aku menyandarkan kepala pada ujung sandaran kursi, bayang-bayang wajah Magda mengiring lagu. Aku terhenyak dari lamunan sepi oleh kecupan lembut di ujung bibirku; kedua tangannya memutar wajahku,pelan, menengadah ke wajahnya. Tak sedikitpun menyangka kalau Susan tahu aku ke bar.

“ Zung, kamu belum pulang?” bisiknya ditengah terusan lagu sendu mengendus kenangan.
“ Eh......Susan, kenapa belum tidur? Bagaimana tahu aku ada disini.?”
“ Zung pulanglah sudah larut malam, nanti abang sakit.”
“ Pulang? Nada suaramu mengusirku?”
“ Nggak bang ! Sekarang sudah pukul dua dini hari, barnya mau tutup. Ayolah, abang terlalu banyak minum,” ujarnya lantas menarik lenganku.
“ Okey. Tunggu dulu, aku mau bayar minumannya.”
“ Sudah aku bayar. Abang pulang naik taksi? Biar aku panggilkan.”
“ Susan! Aku tidak mengerti maksudmu. Tadi kamu mengajakku tinggal di hotel, sekarang kamu mengusirku. Baik, aku akan pulang dan tidak perlu kamu mencari taksiku.”

“ Abang terlalu banyak minum.”
“ Itu bukan urusanmu,” hentakku meninggalkannya.
“ Zung! Kenapa abang marah? Tadi abang yang bilang mau pulang. Jadi abang nggak mau pulang,? Abang mau tidur di kamarku,? “ tanyanya lantas dia menuntunku menuju eskalator.
“ Abang mandi iya, biar segar,” ujarnya setelah di kamar.
“ Bagaimana Susan tahu kalau aku minum di bar?” tanyaku sebelum masuk kamar mandi.

” Aku mengikutimu tidak lama setelah abang keluar dari kamar.”
“ Apa perlunya kamu mengikutiku,?”
“ Ingin melihatmu untuk yang terakhir. Tadi, aku nggak menyangka kalau tega meninggalkanku sendirian. Tetapi ternyata sebelum pulang, abang mampir dulu di bar.”
“ Susan bilang mau melihatku yang terakhir tetapi mengapa kamu ikuti aku hingga ke bar.?”

“ Aku tak tega melihat abang “menyiksa” diri sendiri dengan alkohol. Aku tahu kebiasaan buruk abang nggak berubah dari Magadalena, minum berlebihan. Magda juga sangat mengeluh dengan kebiasaanmu itu.”
“ Sudah lama aku nggak minum kok.”
“ Lho, kata Magda, beberapa hari lalu kalian ribut gara-gara abang mabuk.?”
“ Iya, karena dia mengulah. Sama seperti kelakuan Susan malam ini.”
“ Nggak! Aku ngak mengulah, abang saja yang sok. Hanya minta tolong ditemani, abang berdalih, siapa nggak kesal?”

“ Kesal? Memang aku apamu?”
“ Tan Zung jelek dan pemabuk.”
“ ...dan bekas pacar,” selahku
“ ...dan bekas mahasiswaku, “ tambahnya diiringi derai tawa.
“ Jadi, Susan sudah di bar sejak aku masuk kesana.?”
“ Ya. Abang tidak melihatku duduk di belakang ruangan itu.”
“ Kanapa tadi nggak Susan cegah ketika aku mulai “kerasukan”?”
“ Abang saja nggak sadar. Pelayan tidak memenuhi permintaanmu sebanyak 2 kali. Aku yang melarangnya.”

“ Oh...ya..iya, aku baru ingat. Tadi aku hampir marah, pramurianya ngggak peduli padahal aku telah berulangkali nyalakan geretan kecil, minta tambah minuman. Ternyata kamu pengkianatnya," gelakku. Setelah kepala direndam sebentar, aku permisi pulang. Malam itu, Susan telah rela melepaskan pulang ke tempat kostku. Aku lega, setidaknya malam ini, aku terlepas dari pengulangan memori lama yang pernah terhanyut mengatas namakan cinta pelarian.
“ Zung, besok datangnya jangan terlambat, atau aku telepon dulu.?”ujarnya ketika aku minta ijin pulang. (Bersambung)

Los Angeles, August 2009


Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Tuesday, August 25, 2009

Telaga Senja ( 108)

From the day that I met you, girl /I knew that your love would be /Everything that I ever wanted in my life /From the moment you spoke my name /I knew everything had changed /Because of you I felt my life would be complete

Chorus:
Oh baby, I need you /For the rest of my life, girl /I need you /To make everything right, girl
I love you /And I'll never deny that /I need you


Nothing matters but you, my love /And only God above would be the one /To know exactly how I feel /I could die in your arms right now /Knowing that you somehow /Would take my soul and keep it / Deep inside your heart

(Repeat Chorus)
Girl, your love to me feels just like magic /When you smile you have total control /You have power like nothing I felt before /I've let all of my feelings show /'Cause I want you to know /That I need you

I need you /For the rest of my life, girl /I need you /Say that you'll be my wife /Oh, I love you
Won't you marry me, marry me /I need you

Oh, I need you /For the rest of my life /Oh, I need you /Won't you marry me, marry me /I love you /I really need you, baby /I need you /Girl, I really need, I need you /Girl, I really need, I need you / Need you, baby

Oh, baby /I love you /Girl I really need you, need you /Babe, oh baby /Won't you marry me /Won't you marry me, marry me /I love you /Oh, I need you
===================
Wajah Susan tampak kesal ketika pengamen gonta ganti menggangu percakapan dan kenikmatan makan malam kami. “ Zung. Kita pulang, berisik.”
“Aku menikmatinya kok.”
“ Zung. Aku pulang duluan?”
“ Susan, ini Jakarta bukan Medan,” gelakku sambil menarik tangannya kembali ke hotel
====================

TIBA dikamar hotel, Susan memutar telephon sementara aku merebahkan tubuh ditempat tidur. “ Nih Zung, Hendra mau bicara.”
“ Zung! Tolong tante Susan dibantu, besok dia mau ke kantor P&K dan BAKN,” mohonnya.
Kami hanya bicara sebentar, kemudian menyerahkan telepon kembali pada Susan. Dalam percakapan mereka, aku menangkap, Hendra menaruh kepercayaan penuh terhadap aku dan Laura. " Nggak pap, dia masih seperti dulu. Genitnya sudah berkuranag kok pap." ujarnya genit pula diakhir percakapan.

“ Susan, sejak kapan kamu jadi tante-tante,? tanyaku setelah pecakapan usai dengan Hendra.
“ Mulai malam ini. Tante, bukan tante-tante.”jawabnya tertawa.
Susan kembali memutar telephon. Diiringi senyuman, dia menyerahkan gagang telephon, “ Nih kamu bicara,” ujarnya. Sebenarnya aku malas mau bicara setelah mengetahui Susan menelepon Magda. Namun, aku berusaha menutupi agar keributan yang baru saja terjadi dengan Magda tidak diketahui Susan. Magdalena kaget setelah mendengar suaraku. Hatiku kembali luluh ketika dia masih memperhatikan kesehatanku.
“ Abang dengan Susan hingga tengah malam begini?” tanyanya dingin.

“ Ya. kami baru pulang makan. Sebentar aku mau pulang,” jawabku setengah berbisik, takut kedengaran oleh Susan.
“ Jangan terlalu lama. Nanti abang sakit,” pintanya.
“ Iya. Aku mau pulang kok.”
Susan tiba-tiba “merampas” gagang telephon dari tanganku dan berbicara kepada Magda: “ Magda, malam ini aku pinjam dulu abang kita Tan Zung, boleh kan.!?” ujarnya setengah memaksa.

“ Iya....dia sehat dan semakin ganteng..hahahah. Oh..gitu...iya..iya...besok aku bawa dia ke dokter, Hanya malam ini saja. Besok pagi kami mau pergi ke direktorat mau ketemu pak direktur pendidikan tinggi.” ujarnya mengakhiri pembicarannya dengan Magda.
“ Kamu sakit apa Zung? Kelihatannya segar begini kok dibilang sakit? Kamu bohong ke Magda iya.? Nih, Magda mau bicara lagi,” ujarnya seraya menyerahkan gagang telepon lantas pergi ke kamar mandi. Aku mendahului sebelum Magda bicara” Kenapa Magda belum tidur? Kamu menyesal marahin aku iya.?”
“ Abang yang selalu marah-marah. Sudah salah juga masih ngotot. Sekarang abang juga macam-macam. Ah...abang nggak pernah mau jujur. Tadi abang bilang disana bersama dengan om Hendra. Manalah mungkin Susan menahanmu menginap malam ini kalau om itu disana,” ujarnya dengan suara lemah.

“ Aku ketakutan Magda merajuk dan marah lagi. Aku takut kehilangan kamu. Yakinlah Magda, aku nggak akan mengulang kesalahan yang sama seperti dulu. Aku tak tega menolaknya, seperti Magda tahu, ibu itu banyak membantuku ketika kita mau skripsi. Ini kesempatanku membalas kebaikannya. Tadi Susan sudah minta ijin, kamu bilang apa? Atau aku pulang sekarang.?”

Magda tak segera menjawab, sementara aku gelisah, takut Susan keburu keluar dari kamar mandi. “Magda buruan jawab, sebelum Susan datang.!” desakku.
“ Aku bilang "Ya". Tetapi bang, tanyakan kepada hati nuranimu lagi. Aku jauh, manalah aku tahu apa yang abang lakukan. Kalau juga abang melakukan apapun, itu hak abang. Sebagai sahabat, aku hanya mengingatkan,” suaranyanya makin lemah, hampir tak kedengaran.
“ Magda, jangan bilang sebagai sahabat. Kamu calon isteriku. Kalau hanya sebagai sahabat, aku nggak perlu minta ijin darimu. Magda juga nggak pernah tegas, selalu bilang terserah. Nanti aku jalani Magda marah lagi. Gimana dong?”
“ Tadi aku katakan pulang. Tetapi keputusannya bukan padaku. Jalankan saja mana menurut abang yang baik,” jawab Magda dingin.
“ Iya sudah. Aku pulang.” ujarku mengakhiri percakapan dengan Magda setelah Susan keluar dari kamar mandi.
***
“ Zung, besok pagi mampir dirumahmu sebelum kita ke kantor, sekalian abang minta ijin kekantormu.”
“ Maksudmu malam ini aku tidur disini.?”
“ Tadi kan aku permisi kepada Magda, mau “pinjam” abang malam ini. Abang juga sudah janji dengan Hendra mau bantu aku, besok.” ujarnya tertawa. “Abang tega tinggalin aku sendirian disini.?” lanjutnya.
“ Aku pulang mau ganti pakaian dulu, besok aku balik. Masya temani pacar pakaian seperti ini,” candaku.

“ Zung, kalau di Medan aku tak butuh bantuanmu,” ujarnya seraya membalikkan tubuhnya membelakingiku. Busyet.! Mantan pacar ngambek. Aku diperhadapkan pada situasi yang sangat pelik. Susan butuh bantuan, sementara Magda agak keberatan aku menginap dengan Susan. Pada posisi sulit seperti ini, aku putuskan pulang. Aku hampiri dirinya, berujar: “ Susan, aku janji besok pagi akan menemanimu kemana kamu mau. Tetapi , besok kita menghadap bossku, katakan kalau Susan butuh bantuanku.”
Susan bergeming. Aku mengulang kalimatku, Susan tetap tak mau menyingkap selimut yang membungkus tubuhnya.
“ Zung, pulanglah. Biar aku sendiri menyelesaikan urusanku,” ujarnya masih membelakangiku.

“ Eh...sudah mau golongan IV masih ngambek, malu dong.”
Tiba-tiba Susan membalikkan tubuhnya, duduk, menatapku lama.“ Duh, jeleknya wajahmu kalau lagi merajuk,” godaku.
“ Abang mangkak.!’ serunya sambil melemparkan bantal kearahku.
“ Sengaja. Sudah lama aku nggak mangkak kepada perempuan.Tidurlah bu sudah larut malam,” ujarku. Susan kembali merebahkan tubuhnya tanpa memberi reaksi.
“Susan, kamu masih marah? Selamat malam! Sampai ketemu besok pagi.” ujarku meninggalkannya sendirian dikamar.( Bersambung)

Los Angeles, August 2009


Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Monday, August 24, 2009

Telaga Senja ( 107)

====================
“ Magda ! Lupakanlah semuanya itu, maaf aku mau pergi.!”
“ Abang mau kemana malam begini?”
“ Lho, kok jadi mengurusi langkahku? Bukankah tadi kamu bilang aku bebas kemana hendak pergi ? Apa pedulimu jika aku mau pergi keneraka sekalipun.!?”
=====================
AKU menyadari hati Magdalena kembali lembut manakala niat menghadiri pernikahan Maya dan melihat kelahiran anak Rina ku batalkan. Seperti baisanya, sebelum ancamanku menjadi kenyataan, dia selalu mengalah dan bagiku itulah kelebihannya. Kecuali, kalau aku berbuat salah dan tak mau minta maaf, sampai berjam-jampun dia ngotot mempertahankan yang di yakininya benar. Meski hati Magda kembali lembut kadangkala kerasnya seperti batu cadas.

Tetapi aku yakin apa yang baru diucapkannya, melepaskanku, itu hanya ekspresi kekesalan hati bukan sesugguhnya. Buktinya, di akhir pembicaraan, dia bertanya kepergianku pada malam hari. Magda masih merasa khawatir kalau aku akan ke bar, minum hingga teler, dia tahu kebiasaan jelekku itu. Soal kesabaran? Tidak perlu diragukan dan diapun tahu siapa aku sesungguhnya; Kadangkala "nakal" walau tidak terlalu jauh, itupun hanya sekali dengan Laura. Namun, sebelum menapak lebih jauh dengan Laura, aku kembali ke pangkuan hati Magda dan minta maaf.

Aku yakin dia telah memafkanku walau mulutnya sukar mengatakannya. Sebelumnya, aku pernah "bersembunyi" dibawah selimut perempuan lain, Susan ibu dosenku, itupun sebagai pelarian hati yang luka, ketika cemburuku meluap hingga keubun-ubun karena Magda duduk bersanding dengan Albert. Kini, Susan datang lagi mengusik kehampaan sesaat, kala aku dan Magda dalam "berduka lara"

***

AKU segera menghubungi Susan setelah berulangkali dia meninggalkan pesan kepada ibu kos. Susan berteriak kegirangan ketika di hubungi melalui telephon.
“ Zung! Susah benar hubungin kamu kayak orang penting. Sejak kemarin aku dan Hendra menunggumu. Kesinilah, temani aku makan malam, “teriaknya.
“ Iya, aku mandi dulu.”
Halah kamu. Mandi disini saja, cepatan aku lapar, “desaknya.

Aku berlari keluar menunggu taksi tanpa mengganti pakaian yang aku kenakan sejak kemarin malam saat berpergian dengan Laura ke casino. Selama di perjalanan, hatiku tertanya-tanya, kenapa aku harus menemuinya malam ini sementara dia bersama dengan Hendra?

Susan segera membuka kamar ketika mendengar suaraku. Dia memelukku erat setelah mencium pipiku, berucap lirih ditelingaku; ” Zung, aku kangen.!”
“ Kangen atau lapar?”
“ Zung, mangkak ah. Aku kangen. Susan sudah minta ijin ke Magda untuk “pinjamin” kamu.”
“ Urusan apa aku dengan Magda," balasku agak kesal.
“ Zung! Jangan begitulah. Aku dan Magda sudah bicara dari hati ke hati tentang hubungan kalian.”
“ Kalian bicarakan juga tentang hubungan kita.?”
“ Zung! Kamu masih suka berpura-pura.”
“ Itu yang Susan mau, bukan? Eh..om Hendra dimana?”
“ Dia juga ada urusan dinas ke Bandung, minggu depan dia baru kembali,” ujarnya seraya menggandeng tanganku keluar kamar.
“ Tunggu dulu, aku belum mandi. Tadi janji, Susan mau mandiin aku,” ucapku disambut cubitan nakal.
‘ Iyalah, aku tungguin. Jangan lama-lama kayak perempuan hamil.”
“ Lho kok tahu, memang Susan sudah pernah hamil. Wong kamu saja nggak pernah..."
" Zung...sudah...! " teriaknya
***
Susan menolak turun dari taksi ketika aku membawanya makan malam ke pelataran parkir terminal blok M.
“Zung, ngapain kita kesini?”
“ Makan.!”
“ Nggak ah. Tan Zung malu-maluin, masya kita makan di kaki lima.”
“ Maunya Susan makan dimana?”
“ Dimana saja asal jangan dikaki lima.”
“ Makan dihotel untuk orang yang pacaran serius. Disini untuk pasangan yang pernah cerai kemudian ketemu lagi karena kangen," balasku.
“ Zung, aku malu nanti kalau kebetulan dilihat oleh teman seperjalananku yang dari Medan.”
“ Kenapa nggak makam malam dengan teman-teman Susan...?"
" Disini tempatnya bersih kok bu,” selah sopir taksi, membuat Susan tersipu malu.
“ Kita pulang?” tanyaku ngenyek setelah turun dari taksi.
Susan langsung menarik tanganku menuju warung tanpa menjawab. “ Abang yang pesan makanannya.”

“ Iya sudah pasti. Kalau dikaki lima aku yang pesan, tetapi kalau di restauran bagian Susan.”
“ Ya...ya..Tan Zung, ngajak ribut terus.!”
“ Itu bagian dari kehidupan orang yang ....”
Susan segera mencubit pahaku sebelum aku mengakhiri kalimatku. “ Sepertinya wajahmu sedang berduka, karena ditinggal kekasih? Bukankah baru tadi pagi om Hendra berangkat ke Bandung?”
“ Wajahku murung? Nggak ah.” ujarnya dengan senyum mengembang.
“ Katanya kangen, ketemu malah ngajak ribut,” ujarku disambut ketawa lepas, wajahnya menunduk.
“ Zung.Nanti saja kita ribut lagi dikamar, sekarang makan dulu.” ucapnya masih ketawa.
Wajah Susan tampak kesal ketika pengamen gonta ganti menggangu percakapan dan kenikmatan makan malam kami. “ Zung. Kita pulang, berisik.”
“Aku menikmatinya kok.”
“ Zung. Aku pulang duluan?”
“ Susan, ini Jakarta bukan Medan,” gelakku sambil menarik tangannya kembali ke hotel. ( Bersambung)

Los Angeles, August 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Saturday, August 22, 2009

Telaga Senja (106)

Simpson - I Wanna Love You Forever
You set my soul at ease/Chased darkness out of view/Left your desperate spell on me
Say you feel it to/I know you do/Ive got so much more to give/This cant die, I yearn to live/Pour yourself all over me/And Ill cherish every drop here on my knees

Chorus
I wanna love you forever/And this is all Im asking of you/10,000 lifetimes together/ Is that so much for you to do? /Cuz from the moment that I saw your face/And felt the fire in your sweet embrace/I swear I knew./Im gonna love you forever

My mind fails to understand/What my heart tells me to do/And Id give up all I have/just to be with you/And that would do/Ive always been taught to win/And I never thought Id fall/Be at the mercy of a man/Ive never been/Now I only want to be right where you are.

Chorus
In my life Ive learned that heaven never waits no/Lets take this now before its gone like yesterday/Cuz when Im with you theres nowhere else/That I would ever wanna be no
Im breathing for the next second I can feel you/Loving me ... Im gonna love
==================
“ Rina, tolonglah sebelum otak Magda mikirin yang aneh-aneh.”
“ Memang mas aneh.!”
“ Rina, aku minta tolong, sampaikan saja pesanku atau aku akan pergi main judi.”
“ Ya aku sampaikan, tetapi mas, jangan ngancam gitu dong.!”
==================
"Aku berusaha bersabar menunggu Magda menelephonku, namun sudah tiga puluh menit telephon tak kunjung berdering sementara arlojiku telah menunjukkan pukul tujuh malam. Dua pilihan sulit, menemui Susan ke tempat penginapannya atau menunggu telepon Magda.

Dalam kegelisahan aku keluar masuk rumah sambil menunggu putusan akhir. Belum berapa lama keluar dari rumah, terdengar dering telephon, aku berlari masuk kerumah tetapi, lagi, keburu terputus. Akau menduga, percakapannya dengan Laura pagi sebelumnya agaknya mulai meragukan kesetiaanku, meski menurut Laura, telah meminta maaf atas keterlanjuran kami dalam waktu singkat. Mungkinkah ada luka baru yang tertoreh walau Laura telah minta maaf.? Sementara dalam dadaku kasih sayang semakin menggelora pasca “pengkhianatan” tak sengaja. Lagi, telephon berdering. Aku mendengar suara Magda berdesah, lemah.

“ Hallo bang..!”
“ Magda, kenapa? Ada ucapanku yang salah sayang?” sergahku.
“ Zung....jangan panggil aku sayang, Jangan lagi bicara seperti itu.”
“ Magda! Hanya karena aku mengucapkan kalimat itu kamu menangis.?”
“ Masih ada orang lain yang mengasihi dan mencintaimu, bukan aku lagi bang.!
“ Magda! Siapa lagi sayang, siapa lagi kecuali kamu!?”
“ Baaang...jangan lagi bang, jangan panggil aku sayang.!”
“ Magda.! Mohon maaf, aku hampir melangkah jauh. Bukankah Laura telah mengaku jujur dan minta maaf tadi pagi.?”
“ Ya. Aku tidak mampu berbuat apa bang. Jangan salahkan Laura. Dia memang sudah minta maaf , walau aku sempat terluka. “

“ Magda memaafkan Laura tetapi tidak mau memaafkanku.?”
“ Sakit bang! Sebelum abang berangkat ke Jakarta, aku telah ingatkan agar hati-hati. Tetapi akhirnya keraguanku telah terjawab.”
“ Baiklah. Jika tidak mau memaafkan kesalahanku, akupun siap menerima keputusan yang terpahit sekalipun. Selamat malam sayang.!” ujarku mengakhiri percakapan kami.

Kembali telephon berdering sebelum aku keluar dari rumah.
Heh! Apa lagi yang kamu mau.?”
Heh Geblek! Aku Rina. Tidak ada habisnya mas menyiksa mbak Magda.”
“ Ah...kamu lagi Rin. Aku telah mengaku salah dan minta maaf, tetapi dia diam dan menangis, akhirnya aku putuskan lebih baik pergi ke night club.”
“ Kampret! Jangankan mbak Magda, gue juga muak mendengarnya.”
“ Lho, galak amat sih, seperti mama-mama.!”
“ Goblok! Siapa bilang aku gadis, wong mau melahirkan!”
“ Duh...sewot amat sih, aku kan cuma bercanda!”

“ Bercanda? Mas masih mampu bercanda sementara mbak Magda sekarat dikamar.!”
“ Kenapa dengan Magda, sakit? Bilangin dia, aku nggak jadi pergi.”
“ Iya! Kalau maminya sudah keluar dari kamar mbak Magda.”
“ Maminya tahu kalau aku telephon.?”
“ Ya, iya tahulah. Siapa lagi sih yang menyiksa mbak Magda selain mas lanteung!?”
“ Rin, bilangin Magda aku nggak jadi pergi ke night club.”
“ Mas sendiri saja yang bicara. Sejak kemarin mbak Magda cerita tentang kamu. Juga Susan mantan dosen kalian mampir dirumah tanyakan alamat dan nomor telephon mas. Mbak Magda was-was kalau affair mas terulang lagi setelah mas “berselingkuh” dengan Laura. Rasa was-wasnya kini kenyataan, malam ini mas mau pergi dengan Susan. Tega iya mas.!?”

“ Aku sudah batalkan. Rin tolong panggilkan Magda aku mau bicara.”
“ Janji mas, nggak ribut lagi .!?”
“ Ya.! Aku janji.!”
Sejenak hening, aku hanya mendengar desah suara diujung telephon.
“ Magda, kamu sakit?”
“ Nggak bang.!”
“ Magda, apa yang kamu tangisi. Tadi aku telephon mau bercerita perjalananku selama dua minggu ini dan mau jelaskan kenapa kemarin aku nggak telepon kamu. Juga aku mau tanyakan, apakah Magda mengijinkanku pergi menemui ibu Susan. Tetapi belum apa-apa Magda sudah ngambek dan menangis, hanya karena aku memanggilmu sayang !?”
Aku tidak mendengar jawaban pada ujung pembicaraanku. “ Magda masih mendengarkanku?”

“ Iya bang, aku dengar.”
“ Mau dengar perjalananku selama dua minggu ini?”
“ Nggak usah lagi bang. Laura sudah bercerita panjang tentang abang. Aku terharu mendengar ketulusannya walau tadinya ada rasa cemburu.”
“ Sekarang Magda nggak cemburu lagi kan.?”
“ Aku tak berhak lagi untuk cemburu, mau melangkah kemana itu hak abang.”
“ Lho, jadinya aku seperti layang-layang putus. Kalau saja aku tahu seperti ini jadinya, kenapa aku harus akhiri hubunganku dengan Laura.?”

“ Terserah abang mau terusin. Aku kan sudah bilang abang bebas mau melangkah kemana. Tak sedikitpun aku punya hak membatasi langkah abang.”
“ Magda serius? Kalau memang itu kemauanmu aku siap.”
“Jangan dibalik gitu dong bang! Kok bilang kemauanku? Bukankah abang telah lebih dahulu melakukannya?”
“ Iya, aku tak membantah. Sebenarnya Magda juga punya andil atas kesalahanku. Kalau saja Magda tidak mengijinkan ku pergi dengan dia, ini pasti tidak terjadi.”
“ Apa hakku melarang abang pergi? Seandainyapun aku melarang, kedua mataku tak cukup jauh mengikuti langkah abang.”

“ Magda benar, aku setuju, memang aku manusia liar. Magda, kalau begini akhir keputusanmu, bulan depan aku nggak jadi datang pada pernikahan Maya. Kalau boleh minta tolong, sampaikan pada Rina, aku nggak jadi datang saat kelahiran Thian.”
Magda berang setelah mendengar penundaanku berkunjung ke Medan pada saat kelahiran Thian. Sebelumnya dia bicara datar, kini suaranya naik turun menahan marah. “ Kenapa Rina dan Thian jadi korban? Mereka nggak tahu apa-apa. Abang kan sudah janji mau datang bahkan mau bawa pakaian Thian. Abang kok tega.!?”

“ Namanya juga manusia liar. Apa sih yang diharap dari manusia seperti aku? Selamat malam Magda.” Mendengar ucapanku , suara Magda berubah lembut.
“ Bang..abang...tunggu dulu bang ! Kasihan Rina, dia mengharap abang datang. Bang Tan Zung yang buat janji, bukan aku,” bujuknya sebelum aku menutupkan telephon.
“ Magda ! Lupakanlah semuanya itu, maaf aku mau pergi.!”
“ Abang mau kemana malam begini?”
“ Lho, kok jadi mengurusi langkahku? Bukankah tadi kamu bilang aku bebas kemana hendak pergi ? Apa pedulimu jika aku mau pergi keneraka sekalipun.!?" ( Bersambung)
Los Angeles, August 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Thursday, August 20, 2009

Telaga Senja (105)


love to see you cry
Maybe I just wanna touch you for your warm inside again/Maybe I just wanna let you the sweetest pleasure is me/I dont know why why but I love to see you cry/I dont know why why it just makes me feel like

Are you coming to the moment/When you know your heart can break/Im inside you/Im around you/Just wanna hear you cry again

I dont know why why but I love to see you cry/I dont know why why it just makes me feel like/I dont know why why but I love to see you cry/I dont know why why but it just makes me feel like

You dont know how much it hurts when you fall asleep in my arms/Before the morning comes
I wanna run away, I wanna run away/I dont know why/I dont know why/I dont know why
I dont know why why but I love to see you cry/I dont know why why it just makes me feel like/I dont know why why but I love to see you cry/I dont know why why but it just makes me feel like
=================
" Jangan ucapkan itu Laura. Tanganmu tak cukup lebar menghempang sinar mentari. Biarkan dia bergulir dan berhenti di peraduan ufuk barat. Just let me go on loving and believing 'til it's over. Please don't tell me how the story ends
=================
PENIKMATAN sang surya akhirnya beakhir seiring awan berkuncup mendung. Aku dan Laura secara jujur mengakui sudut-sudut hati telah tumbuh rerumputan hijau namun belum berakar kokoh. Kami sepakat tidak akan “membunuh” tetapi juga tidak akan membiarkannya tumbuh subur merambat pada sudut hati yang masih tersisa. Pagi menjelang siang, Aku dan Laura menikmakti hamparan pasir nan luas teriring airmata perpisahan. Namun persahabatan tetap menjadi bagian dari kehidupan kami berdua.

” Mas, maafkan aku jika telah mengusik cintamu dengan mbak Magda. Cinta itu bertumbuh diluar kesadaranku. Tetapi mas, jangan pergi terlalu jauh. Aku belum mampu berdiri sendiri menapak jalan terjal ini. Yakinlah mas, Laura tidak akan mengulang kesalahan yang sama.” ujarnya. “ Mas, jangan pergi terlalu jauh...” ulangnya lirih dalam pelukanku.

“ Laura, persahabatan tak akan pernah berakhir hingga diujung waktu. Cinta adalah bagian dari persahabatan itu, bukan segalanya. Aku dan Magda akan tetap bersamamu dalam ruh persahabatan,” balasku. Laura akhirnya melepaskan pelukannya setelah berulang kali aku memohon undur diri.
“ Mas, jangan pulang dulu, lihatlah akhir titik airmataku.” mohonnya sendu.
“Iya, aku mau lihat dan akan ku tampung, kemudian akan ku berikan kepada Magda sebagai bukti “perselingkuhan hati”, guyonku, disambut kedua pukulan tangannya pelan di dadaku.
“Perjalanan masih panjang, tak perlu kita larut dalam tangis, ketawalah menyambut “kemenangan” itu.”

“ Aku kalah mas. Mas yang menang,” balasnya. Laura melepas kepergianku dari rumah tetapi bukan dari hatinya. Tetesan airmatanya mengiringi kepergianku di depan pintu rumah. “ Besok Laura mau kekantor, tunggu aku mas. Kita berangkat bareng,” mohonnya menahan isak.
***
TIBA dirumah, aku menemukan pesan pada secarik kertas ditempel di pintu kamar, memberitahukan, Susan sedang di Jakarta. “ Tan Zung, segera hubungi ibu Susan di hotel, kamar 268.”
Oalahlah....apalagi ini, baru saja selesai masalah, yang baru datang lagi. Aku menghempaskan tubuhku keatas tempat tidur diiringi teriakan kecil, “ Hari ini aku benar-benar gila. Gila karena perempuan.” Dengan perasaan rindu ditengah kegundahan, aku menelephon Magdalena. Rupanya dia sudah menunggu telephonku sejak kemarin sore hingga malam.

” Zung kemana saja ? Aku menelephon sejak kemarin sore. “
“ Aku bezoek Laura, dia sedang sakit.”
“ Abang main judi lagi iya.?”
“ Nggak !. Magda tahu dari siapa aku main judi.?”
“ Dari orang yang mengasihimu?”
Heh..Magda, jangan cari perkara kau. Kita sedang jauhan, nanti aku marah kau menangis, nggak ada yang mengusap air matamu. Beritahu siapa lagi yang mengasihiku, jangan ngarang kau.!”

“ Zung! Aku serius. Orang itu memberitahukanku karena dia kasihan pada abang.”
“ Kasihan beda dengan mengasihi. Kau ngelantur, ayo sayang, sebutkan siapa orangnya.!”
Ito berani bilang sayang lewat telephon.!” ujarnya diiringi tawa.
Halahh, Magda juga berani panggil aku ito lewat telephon. Ayolah sebut siapa orang yang mengasihiku selain kamu mam?”

Magda terdiam, aku menunggu lama tak ada jawaban,” Magda ! Kamu masih disana? Masih dengar suara ku? Kenapa diam?”. Magda tak menjawab, terdengar gagang telephon telah diletakkannya. Aku kelimpungan, mimpi apa aku gerangan sejak kemarin sore, kini pedang terhunus siap memacung leherku.
Ah....rumit kalipun menyambung benang putus. Dulu, sebelum aku berangkat, diairport, aku telah merasakan kehangatan itu melebur kebekuan. Entah apa pula membuat dia kembali”senu”. Sejauh mana Laura bercerita tentang aku ?
***
Aku mencoba menghubunginya, tetapi Magdalena tidak mau mengangkat telephon. Kali ketiga, telephon diangkat tetapi bukan suara Magda.
“ Mas, Magda dikamar sebelah, kalian ribut lagi?” tanya Rina.
“ Nggak. Kami bicara baik-baik bahkan bercanda. Nggak tahu kenapa, tiba-tiba diam dan menutup telephonya. Kenapa dia nggak ngantor?”

“ Nggak tahu mas. Setelah Laura telepon dia hanya duduk termenung, nggak mau serapan.”
“ Tolong panggilkan dia, sebentar saja Rin.”
“ Mas, Magda sedang menangis. Aku nggak berani memanggilnya.”
“ Kenapa dia menangis?”
Lho, kok tanya aku. Yang bicara mas dengan Magda.!”
“ Rina! Tadi pagi Laura telepon ke sini?”
“ Iya pagi-pagi buta. Aku cuma bicara sebentar. Dia bicara lama dengan Magda, nggak tahu bicara apa.”
“ Tolong panggilkan Magda. Bilangin kalau nggak mau bicara, aku akan pergi ke casino dan ke night club.”
“ Sinting, wong lagi marahan malah ngancam?”


“ Tahu nggak kamu, ngebujuk perempuan yang satu ini sama dengan membujuk perempuan sekampung.”
“ Ah mas, dasar playboy.!”
“ Rina ngelantur. Aku lelaki baik-baik dan beriman ,” ujarku ketawa.
“ Beriman tetapi penjudi dan pemabuk.!?”
“ Rina, tolonglah sebelum otak Magda mikirin yang aneh-aneh.”
“ Memang mas aneh.!”
“ Rina, aku minta tolong, sampaikan saja pesanku atau aku akan pergi main judi.”
“ Ya aku sampaikan, tetapi mas, jangan ngacam gitu dong.!”(Bersambung)

Los Angeles, August 2009


Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Wednesday, August 19, 2009

Telaga Senja ( 104)

This could be our last goodnight together/We may never pass this way again/ Just let me enjoy 'till its over or forever/Please don't tell me how the story ends.

See the way our shadows come together/Softer than your fingers on my skin/Someday this may be all that we'll remember of each other/Please don't tell me how the story ends.

Never's just the echo of forever/Lonesome as the love that might have been/Just let me go on loving and believing 'til it's over/Please don't tell me how the story ends.
Please don't tell me how the story ends...
======================
“ Om, aku dan mas Tan Zung, hari ini nggak ngantor. Kami mau kerumah sakit. Iya...ya...berdua..! Terimakasih om.!”
“ Lho, siapa yang mau kerumah sakit.?”
“ Kita berdua mas !”
“ Kenapa?”
“ Sama-sama sakit jiwa.” jawabnya enteng.
========================
SUASANA mendung kamar Laura berubah cerah secerah mentari pagi dari ufuk timur. Kelopak yang hampir luruh, merekah mekar menebar semerbak wangi. Ibu kos menyambut dengan senyum mengembang ketika kami keluar dari kamar; Dia memeluk Laura bagai putri kandung seraya melirikku. “ Sudahan ?” bisiknya ke telinga Laura. Laura tersipu. “ Ayo kita serapan bareng. Mas, kamu duduk disana,” aturnya. “ Pukul berapa berangkat ngantor .” tanya ibu sembari melihat arloji tangannya. Aku dan Laura saling pandang tentu saja dengan senyum. “ Hari ini kami nggak ngantor bu Kami mau mensyukuri kemenangan,” jawabku.

“ Menang apa,?”
“ Maksudku mengucap syukur karena Laura sembuh dari sakit.”
“ Laura sakit apa.?” tanya ibu serius.
“ Penyakitnya banyak bu; Sakit kepala, sakit hati dan sakit jiwa.”
“ Hush....ngomong sembarangan,!” tegur ibu kos, janda bercucu dua ini.
“ Aku serius bu. Dia dua hari dirawat di rumahsakit sepulang dari Yogya. Gunawan yang mengantar ke rumahsakit,” jelasku sambil melirik Laura, ingin tahu reaksinya. Ah...dia biasa-biasa saja.
“ Siapa Gunawan?”
“ Temanku di Yogya, dulu satu kampus bu,” jawab Laura. Matanya tertuju kearahku, tiba-tiba redup lagi. Pancaran matanya seakan memohon: “ Sudahlah mas, aku masih terluka.”

“ Gunawan terpaksa menolong Laura, mengantarkan ke rumahsakit. Kebetulan bu, aku juga kelelahan sepulang dari Yogya, ketiduran, sehingga tidak mendengar telepon Laura,” jelasku mengobati rasa dongkol Laura. Hhmm....kini bibirnya mengukir senyum. Berlagak seperti waitress, aku berdiri sambil mengisi minuman ke gelas Laura, disambut tawa ibu kost. “ Kok cuma sendiri..?” tanyanya ketika aku hanya mengisi air minum Laura.
“ Hanya itu yang dapat kuberikan pagi ini sebagai ucapan syukurku, sekaligus pengganti airmata yang tertumpah sejak tadi malam,” ujarku berlagak serius pula. Keduanya, ibu dan Laura tertawa lepas. Sementara serapan agak tertunda menunggu keduanya mengakhiri rasa geli mereka.

“ Mas Tan Zung, aku jadi teringat almarhum suamiku. Kalau ibu lagi kesel, bapak anak-anak paling bisa deh. Wuuhh..bisa-bisa seisi rumah seharian ketawa,” tutur dia sambil menyeka airmata ketawanya. Selama serapan pagi, aku dan Laura mendapat “wejangan” dan tuturan pengalaman ibu pada masa-masa sulit dan senang bersama suaminya ketika masih hidup.
***
Selesai serapan pagi, ibu meninggalkan aku dan Laura dirumah.” Kalian baik-baik dirumah, ibu mau lihat cucu. Jangan lupa tutup pintu kalau kalian masih ngobrol di rumah,” ujarnya sambil ketawa.
“ Apa sih maksud ibu itu? Disuruh tutup pintu kalau ngobrol di rumah.?” tanyaku geli kepada Laura setelah ibu berlalu.
“ Mana aku tahu. Kenapa nggak tanya kepada ibu itu.?”
“ Pukul berapa kita berangkat,? tanyaku.
“ Berangkat kemana mas.?”
“ Kerumah sakit jiwa,” balasku disambut tawa renyah Laura. Aku mengajak Laura duduk di ruang tamu.

” Ini kesempatan yang terbaik untuk menyembuhkan “penyakit jiwa” kita,” ujarku.
“ Apa lagi mas yang kita bicarakan. Nanti mas marah-marah lagi,” jawabnya seperti orang ketakutan.
“ Nggak lagi. Aku sudah menyadari kesalahanku , kini aku bertobat.”
“ Apa jaminannya?” tanyanya diiringi senyum.
“ Jaminannya? Bila marah, aku jadi keluar dari kantor dan pulang ke Medan.”
“ Kan? Mas mulai lagi nih. Ntar cari gara-gara. Memang mas serius mau pulang ke Medan?” tanyanya serius.
“ Tergantung akhir pembicaraan kita nanti. “
“ Laura nggak mau ah. Mas pintar ngomong, ntar aku lagi disalahin. Nggak, aku nggak mau bicara lagi.!”

“ Okey, nggak pakai jaminanlah. Kita bicara seperti biasa saja. Kenapa Laura sebut kita berdua sakit jiwa.?” tanyaku. Laura tidak langsung menjawab, dia hanya ketawa geli sambil terus menatapku.
“ Laura! Aku serius.”
“ Oh ya? Mas serius? Ya, kita memang seperti orang sakit jiwa, saling mencemburui, padahal sudah tahu kita tidak saling memiliki,” ketawanya, lepas. “ Tetapi pagi tadi aku sudah minta maaf kepada mbak Magda kok.” imbuhnya.
Heh..Laura telepon Magda dan minta maaf. Minta maaf kenapa..?” sergahku.
“ Karena aku tak mampu membatasi diriku. Jujur mas, aku memang jatuh hati walau tak pernah ku ucapkan.”

“ Laura jatuh hati? Tetapi aku tak pernah memungutnya.!” jawabku berlagak serius.
“ Aku tahu mas. Itulah sebabnya aku menangisi diriku sendiri. Namun belakangan hati ber tanya namun tak kunjung terjawab pasti. Sejak kita di Yogya hingga aku jatuh sakit dan dirawat dirumah sakit, perhatian mas terhadapku seakan telah memungut hatiku yang terjatuh.”
“ Perasaanmu saja itu,” balasku. Laura agak kaget mendengar hentakan suaraku beraksen Medan pula.

“ Ya mas. Sekarang aku sedang mengutarakan perasaanku. Tampaknya mas nggak mau mengaku jujur. Kenapa mas marah dan keluar dari hotel di Yogya ketika mas mendengar bahwa aku pegangan tangan dengan Gunawan, padahal aku berpegangan tangan dengan om Laurance? Mas merasa kesal ketika Gunawan lebih dulu mengajakku dance di diskotik, merngapa ? Kenapa mas marah, ketika Gunawan mengantarkanku ke rumahsakit ? Mas meninggalkanku di casino seperti perempuan hina kala aku menyebut nama Gunawan, padahal mas sediri yang memulainya.?”
“ Kamu benar Laura! Aku memang cemburu karena perasaanku juga seperti apa yang kamu rasakan, jatuh hati. Bagiku ini sangat menyakitkan, karena aku masih mencintai Magda. “

“ Berbahagialah mas, karena ada yang perempuan yang mencintai dan setia menunggu, tidak sepertiku bercinta dalam mimpi-mimpi.”
“ Laura kita berhak saling ....”
“ Tetapi tidak akan saling memiliki...” potongnya sembari ketawa.
“ Mungkin Laura mempunyai ide jalan keluar agar kita terlepas dari jeratan mimpi-mimpi indah ini, sebelum melangkah lebih jauh.?”
“ Punya! Jalan terbaik, aku pulang ke Yogya.!”
“ Itu namanya melarikan diri, bukan jalan keluar.! Laura, biarkan riak dan gelombang itu tetap menyatu dalam samudera luas. Satu saat dia teduh dalam buaian semelir angin.”

“ Tetapi aku takut mas, riak dan gelombang menyatu dengan deburan ombak menggulung dan menghempaskan pada tepian berbatu cadas.”
“ Laura, perjalanan waktu telah menujukkan jati dirmu. Tangan yang tak tampak akan menghantarkanmu pada hamparan rumput hijau nan luas.”
“ Bagaimana mas meyakininya?"
“ Bercermin pada kebeningan hati dan jiwamu“

" Mas, tetapi hingga kini tanpa sinar, masih tertutup bayang-bayang gelap. Mungkin hanya satu jalan meneduhkan hati, aku akan pergi menjauh keujung jalan sana.?"
" Jangan ucapkan itu Laura. Tanganmu tak cukup lebar menghempang sinar mentari. Biarkan dia bergulir dan berhenti di peraduan ufuk barat. Just let me go on loving and believing 'til it's over. Please don't tell me how the story ends. ( Bersambung)

Los Angeles, August 2009


Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Tuesday, August 18, 2009

Telaga Senja (103)


Celine Dion & Il Divo I Believe In You
Lonely the path you have chosen/A restless road no turning back/ One day you will/ find you light again/Don't you know/Don't let go the chance

English chorus:
Follow your heart/Let your love lead through the darkness/Back to a place you once knew/I believe, i believe,i believe in you/Follow your dreams/Be yourself an angel of kindness/There's nothing that you cannot do/I believe,i believe,i believe in you

Tout seul tu t'en iras tout seul/Couer ouvert à l'univèrs/Poursuis ta quête/Sans regarder derrière/N'attends pas/Que le jour se léve/Suis ton etòile/Va jusqu'oì ton revê t`emporte/Un jour tu le toucheras/Si tu crois,si tu crois,si tu crois en toi/Suis ta lumière/N'étint pas la flamme que tu portes/Au fond de toi souviens toi/Que je crois,que je crois,que je crois en toi

Someday i'll find you/Someday you'll find me too/And when i hold you close/I know that it's true
Repeat english chorus

========================
Dia tetap tidak mau menjawab, menolehpun tidak selain isak tangis. Baiklah, kalau berpalingpun tak rela, jika tidak keberatan bolehkah aku meminta kali terakhir? Tolong dibakar semua foto-foto kita selama di Yogya.! Selamat tinggal...Laura!”
========================

AKU menyeka airmata sebelum meninggalkan Laura yang masih menangis histeris. Tak sepatah katapun Laura ungkapkan saat aku di dalam kamar dan keluar kecuali isak tangis memilukan, bagaikan kematian seorang sahabat. Tidak berapa jauh setelah keluar dari kamar, kaki terasa berat melanjutkan langkah. Aku putuskan kembali ke kamar Laura. Ibu kost menyongsongku kedepan rumah setelah dia melihatku akan berbalik ke kamar Laura;” Mas, kok tega banget meninggalkannya masih menjerit seperti itu,” protesnya.

Aku masuk ke kamar lantas duduk di ujung tempat tidur Laura yang masih meringkuk dalam siksa. Untuk beberapa saat membiarkan tangisannya mengisi ruangan yang kini didiami sepasang insan yang terlibat dalam “perseteruan”batin bernuansa asmara. Irama tangisnya menyesakkan dan mengiris jiwa dalam sejuta penyesalan. Dalam sesaknya sukma, aku berusaha menenangkan diri, menukil kejadian tadi malam, tanpa aku sadari telah menorehkan luka dalam sanubarinya.

Keputusan mendadak keluar dari pekerjaan dan pulang ke Medan adalah keputusan yang sangat emosional. Dari sudut tempat tidurnya, aku membujuk Laura agar menghentikan tangisnya. “ Laura duduklah, lebih baik kita bicara baik-baik sebelum aku berangkat ke kantor. Sudah waktunya berangkat ke kantor, nggak enak ditegur karena terlambat. Laura mau ngantor?” tanyaku lembut.
“ Laura hanya menggelengkan kepala dari balik bantal yang menutupi wajahnya.”
“ Kamu masih sakit.?”
“ Nggak! Aku mau pulang ke Yogya,” jawabnya pelan, sesaat kemudian membekap mulutnya dengan bantal menutup isak tangisnya. Setelah tangisnya mereda, ku menyentuh ujung kakinya, berujar: “ Laura, aku sudah batalkan mengundurkan diri dari kantor kita. Aku nggak jadi pulang ke Medan.”

Pelan tapi pasti, isak tangisnya berhenti setelah mendengar ucapanku, tetapi wajahnya masih tertutup bantal. Aku merasakan kelopak yang hampir luruh sebelum waktunya, kini mekar. Kesempatan ini aku manfaatkan menyiramnya dengan sendaugurau sebagaimana sering ku lakukan kepada Magda. Hanya saja, kalau tangis Magda telah “berseri” seperti tangis Laura pagi ini, membujuknyapun awak harus jungkir balik dan berseri pula. Meski masih dalam suasana “tegang” jurus-jurus penawar luka,sendagurau, satu-satunya menjadi pilihan.

“Laura duduklah ! Kok bantalnya basah, airmatanya bercampur darah?” pancingku. Laura kaget, dia langsung mengangkat bantal dari wajahnya, lalu memeriksa seputar bantal. Dia periksa ulang sambil membalik-balikan bantal namun tak menemukan walau sebercak darah. Laura geram, dia melemparkan bantal ke wajahku setelah dia melihatku tertawa pelan. “ Tangis dan tawa adalah ciri orang yang sedang kasmaran,” ujarku sambil mengembalikan bantal ke pangkuannya setelah dia duduk menghadapku.

“Sudah bolehkah kita bicara? Tetapi janji nggak pakai marah dan tangis.!” syaratku. Laura belum mau menanggapiku. Dia hanya duduk menatapku, tajam bagai sembilu. Bagiku, tatapan matanya berkata banyak. Laura menghindari telapak tanganku ketika hendak menghapus sisa airmata di wajahnya.
“ Oh....Maaf, tanganku terlalu lancang. Memang tangan ini nggak tahu diri,” ujarku sambil mengusapkan ke bed cover. Laura mungkin menyadari “kekeliruannya”, dia kembali melemparkan bantal kearahku. “ Hmmm... ternyata selain diriku, bantal juga ikut jadi korban, “ gumamku. “ Permisi mbak, aku mau berangkat kerja,” ujarku lagi sambil beranjak dari tempat tidur.

Tiba-tiba Laura bangkit dari duduknya, turun dari tempat tidur dan segera menutup pintu kamarnya.” Tunggu! nggak boleh keluar.” ujarnya dengan mimik serius.
“ Lalu ngapain aku disini? Hanya menatap patung bernafas? bisanya hanya menangis dan menangis,?” protesku.
“ Tidak! Laura bukan patung. Bukan juga robot!. Aku manusia yang punya hati, perasaan dan harga diri !” balasnya sengit. Aku terdiam atas hentakannya pas menghujam jantungku. Aku mengaminkan tohokannya, dan berjanji dalam hati tak perlu lagi membela diri. Duduk seperti orang terdakwa, siap mendengar cecaran pertanyaan Laura perihal kejadian malam sebelumnya, ketika aku meninggalkannya di mini bar casino dan menemukanku dikamar , berdua dengan Sonya.

“ Apa sih yang salah mas, hingga tega amat meninggalkanku duduk sendirian di bar seperti perempuan jalang.? “
“Aku mengaku salah. Laura bukan perempuan nakal, kau sungguh baik...tetapi...”
“ Tetapi..kenapa...hah..!?
" Sudahlah Laura, Maafkan aku.!"
" Aku nggak butuh permohonan maaf. Aku perlu penjelasan, nggak sekedar minta maaf. Aku juga perlu koreksi diri bila memang aku salah.”
“ Jujur, aku tak senang mendengar nama Gunawan kamu sebut-sebut. Laura menuding aku cemburu? iya, mungkin. Aku juga tak suka mendengar kalimatmu,” kita tidak akan saling memiliki...” walau itu hal yang sebenarnya.”

“ Mas sendiri yang menyebut-nyebut nama Gunawan, sengaja menyindirku.”
“ Aku tidak menyindir, faktanya Laura dan Gunawan saling menaruh hati. Kamu jatuh sakit, Gunawan mengantarkan dan menjagaimu di rumahsakit.”
“ Kemarin aku sudah jelaskan kenapa Gunawan mengantarkan aku ke rumahsakit. Tante yang menghubunginya karena tak seorangpun yang dapat membawaku ke rumahsakit. Mas sendiri seperti orang penting, nggak boleh diganggu.”
“ Setelah kamu diantar, dia menjagaimu bukan.!?”

“ Mas...! Gunawan tidak sedetikpun tinggal bersamaku selama aku dirawat. Mana mungkin dia menjagaiku sementara maminya sedang koma di lain rumahsakit,!? Emang mas cemburuannya keterlaluan," hentaknya.
Aku menatap wajahnya setelah dia puas menumpahkan amarahnya.
" Sekarang mas boleh minta maaf, walau kita tidak saling memiliki,” ejeknya, sesungging senyuman menyertainya.

“ Cemburumu juga keterlaluan, padahal kita tidak akan saling memiliki,”ujarku membalas ejekannya, ku hadiahi juga dia dengan senyuman.
“ Aku nggak cemburu, sebel ! marah iya. Masya mas samakan aku dengan perempuan malam, sesukanya bawa dan meninggalkan seperti barang rongsokan. Aku kan punya harga diri mas.!“
“ Kamu nggak cemburuan ? Bila Laura memang tidak cemburu, mengapa kabur saat melihatku dengan Sonya berdua di kamar? Dan, siapa yang kamu tangisi semalaman.?”

“ Diriku sendiri,” jawabnya singkat sambil keluar kamar, kemudian dia mengangkat telepon.
“ Om, aku dan mas Tan Zung, hari ini nggak ngantor. Kami mau kerumah sakit. Iya...ya...berdua..! Terimakasih om.!”
“ Lho, siapa yang mau kerumah sakit.?”
“ Aku dan mas !”
“ Kenapa?”
“ Berdua, sama-sama sakit jiwa.” jawabnya enteng. ( Bersambung)

Los Angeles, August 2009


Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Sunday, August 16, 2009

Telaga Senja (102)



Let It Be
When I find myself in times of trouble/Mother Mary comes to me/Speaking words of wisdom, let it be./And in my hour of darkness/She is standing right in front of me/Speaking words of wisdom, let it be./Let it be, let it be./Whisper words of wisdom, let it be.

And when the broken hearted people/Living in the world agree,/There will be an answer, let it be./For though they may be parted there is/Still a chance that they
will see/There will be an answer, let it be./Let it be, let it be. Yeah/There will be an answer, let it be.


And when the night is cloudy,/There is still a light that shines on me,/Shine on until tomorrow, let it be./I wake up to the sound of music/Mother Mary comes to me
Speaking words of wisdom, let it be./Let it be, let it be./There will be an answer, let it be./Let it be, let it be,/Whisper words of wisdom, let it be

====================
“ Hot ngapan malam-malam begini. cariin kakaknya? Sudah gede kok dicariin.?” tanya Sonya. Sayup kudengar Lam Hot melangkah cepat seperti mengejar seseorang, suaranya terdengar memanggil...” Mbak...tunggu. Mbak mau kemana.?”
====================

SONYA heran melihat kehadiran adikku Lam Hot dan seorang perempuan mencariku ditengah malam. Dia menanyakan, apakah perempuan itu, maksudnya Ria, yang membawa kabur uangku dulu. ” Masih berlanjut bang.?” tanya Sonya.
“ Berlanjut? Aku belum ketemu sejak dia membawa kabur uangku. Aku juga nggak tahu, siapa teman Lam Hot mencariku malam-malam begini.?” jawabku.

Sebenarnya, ada keinginan untuk menemui sosok perempuan yang datang dengan Lam Hot. Aku yakin dia adalah Laura. Tetapi badanku tak mampu berdiri setelah alkohol menggerogoti keseleluruh syarafku. Sonya menyelimuti seluruh tubuhku sebelum dia minta izin meninggalkanku sendirian dalam kamar. “ Bang aku pulang dulu.”

Meski tak jelas, aku mendengar dua orang berbicara didepan pintu saat Sonya mau keluar dari kamar, selanjutnya mataku redup tak mendengar percakapan berikutnya mereka.
***
PAGI sekitar pukul enam, Lam Hot membangunkanku. Badan agak pulih meski kepala masih sedikit terasa pusing. Kali ini Lam Hot berbicara serius. Dia sangat menyesali sikap urakanku.
“ Dulu, sebelum berangkat dari Medan, bang telah berjanji kepada ayah dan ibu, mau meninggalkan kehidupan malam. Malah sekarang semakin gila. Uang dihamburkan-dihamburkan main judi. Kalau merasa berlebih, kenapa nggak kirim ke kampung bantuin orangtua. Empat lagi bang adik kita yang masih sekolah,” ujarnya.

“ Aku berusaha Hot, tetapi aku selalu gagal bila terbentur masalah,” balasku.
“ Setiap orang tak lepas dari masalah, tetapi tidak harus “bunuh diri”. Apa yang abang lakukkan itu hanya pelarian sesaat. Abang merasa telah ”menyelesaikan” persoalan, padahal sebenarnya menambah masalah baru . Sadar atau tidak, perilaku abang menambah penderitaan orang lain, setidaknya membuang waktu sia-sia. Bukan hanya Sonya, aku sejak tengah malam harus mengurusi abang. Laura juga menjadi korban keangkuhan abang,” suaranya mulai meninggi.

“ Kenapa dengan Laura.?”
“ Laura tidak hanya mengorbankan perasaannya, juga dirinya. Kan abang tahu Laura bukan perempuan pegajul seperti abang, Demi abang, dia rela menemanimu ketempat jahanam ini, tetapi justru abang mengusirnya seperti perempuan sampah. Keterlaluan! Apa kurangnya sih mbak Laura? Hampir dua minggu kita menjadi tamu agung di Yogya. Tetapi abang tega membalas dengan air cuka.”

“ Laura dimana.?”
“ Lupakanlah dia bang. Dia merasa terhina atas perilaku abang tadi malam. Mbak Laura sangat terpukul setelah melihat abang dan Sonya keluar dari kamar mandi. Pikirannya macam-macam. Aku sudah coba jelaskan tadi malam, kalau Sonya itu tetangga dan teman Rina, tetapi dia terus menangis dan menutup kupingnya. Laura juga bilang, nggak mau kerja lagi, dia mau pulang ke Yogya.”
“ Hah !?...gila.!”
“Abang yang gila, kok nuduh orang lain gila.” balas Lam Hot.
“ Kenapa dia ikut-ikutan keluar? Tadi malam aku katakan, aku yang mau keluar dari pekerjaan.”
“ Abang keluar? Lalu abang mau makan apa?” teriak Lam Hot. Aku tak peduli dengan teriakkannya.

“ Temani aku sekarang menemui Laura sebelum jam kantor. Tolong dik.!”bujukku. Lam Hot menolak menemaniku.
" Untuk apalagi bang, semuanya sudah jadi abu. Tadi malam dia sudah katakan, semuanya telah berakhir ketika aku mengantarkan ke tempat kostnya. Dia sangat sakit hati setelah melihat Sonya bersama abang. Kalau mau ketemu pergilah sendiri,”ujarnya. Sebelum Lam Hot meninggalkanku, dia menyerahkan uang milikku.” Ini uang titipan dari Sonya, katanya, uang abang bertaburan di lantai klub malam itu.”

Tanpa Lam Hot, aku segera berangkat ke rumah Laura. Aku untuk minta tolong ke ibu kost untuk memanggilnya dari kamar setelah berulangkali aku gagal membujuknya keluar dari kamar. “ Tolonglah bu, aku mau ketemu dia sebelum aku pulang ke Medan,” mohonku.

“ Mungkin aku nggak kembali lagi ke sini untuk waktu yang lama,” ujarku lagi meyakinkan. Missi ibu berhasil, Laura membuka pintu kamar, kelopak matanya agak bengkak. Duh, pastilah semalam menangis, dugaku. Aku segera masuk kamarnya sebelum dia melangkah keluar. Laura berdiri disisi tempat tidurnya, menunduk.

“ Laura, maaf. Aku telah melukai perasaanmu. Tak perlu kujelaskan kenapa aku bersikap seperti itu, aku harap Laura mengerti perasaanku. Tapi sudahlah, lupakan semuanya itu. Laura, sepertinya, Jakarta bukan tempat yang cocok untukku. Besok lusa aku mau kembali ke Medan. Mungkin hari ini, hari terakhir aku bekerja. Sebelum aku pulang ke Medan, boleh kita jalan bersama untuk kali terakhir? Ada sesuatu yang sangat perlu ku jelaskan.”

Laura kaget mendengar keputusanku, dia berbalik dan membantingkan tubuhnya keatas tempat tidur. Isak tangisnya memecah kesunyian ruangan. Ibu kost berlari menemui kami dikamar,” Ada apa mbak? Kenapa dia mas? tanya ibu kost. Aku hanya berdiri, terpaku di sisi tempat tidurnya. “ Boleh aku tinggal sebentar di kamar ini?” tanyaku kepada ibu kost. Dia menggaggukkan kepala sembari tangannya memberi isyarat, agar aku membujuk Laura, lantas dia keluar sambil menutup pintu.

Setelah menunggu agak lama Laura tak kunjung bicara, aku permisi sambil menyentuh lengannya. Bibirku bergetar tak mampu menahan rasa sedih akan perpisahan yang sangat menyakitkan. “ Laura, ini pertemuan kita terakhir. Bolehkah aku melihat wajahmu saat terakhir. Laura..! Berpalinglah hanya sejenak agar aku melangkah tulus. Laura.! Laura... sekali lagi aku mohon maaf.

Dia tetap tidak mau menjawab, menolehpun tidak selain isak tangis. Baiklah, kalau berpalingpun tak rela, jika tidak keberatan bolehkah aku meminta kali terakhir? Tolong dibakar semua foto-foto kita selama di Yogya.! Selamat tinggal...Laura!” (Bersambung)

Los Angeles, August 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Saturday, August 15, 2009

Telaga Senja (101)

=====================
“ Nggak ada orang menjagaimu di rumah sakit selama dua malam itu.!?”
“ Ya...ada mas..!”
“ Ah..kok malah berbelit. Tadi bilang nggak ada. Sekarang ada. Siapa dia?”
“ Malaikat mas.!”
=======================
Tudinganku kepada Laura ditanggapi enteng, meski awalnya dia merasa difitnah, bahkan dia berani bermain kata ketika dia menjawab ” Malaikat ” saat kutanyakan siapa menemaninya selama dua malam di rumah sakit. Senyumannya saat menjawab tudinganku seakan juga mentertawakan kecemburuanku.

Memang Laura bukan Magda yang selalu “beringas” kala aku menuduh macam-macam, tak jarang telapak tangannya melayang ke wajahku pelampiasan rasa marah sekalihus rasa sayangnya. Soal kelembutan hati, keduanya bak semangka dibelah dua, kembaran. Tangan Laura masih diatas kedua pahaku dengan wajah “kemenangan”, dia bertanya: “ Mas marah karena cemburu atau cari gara-gara agar aku dan mas ribut lalu kita berpisah.?“ Pertanyaan yang sangat sukar ku jawab. Cemburu? Mungkin itu jawaban yang paling tepat. Untuk apa aku marah kalau bukan cemburu!?

“ Menurut Laura, karena apa?” tanyaku.
“ Cemburu ! Tetapi mas, untuk apa mencemburuiku seandainya, Gunawan menjadi pilihanku. Bukankah mas telah mempunyai pilihan? “
“ Inilah kebodohanku, aku terbawa perasaan, karena aku menganggap Laura adalah sahabat yang layak dipercaya, namun akhirnya tega membohongiku. Laura sendiri bertutur, kalau Gunawan bukan tipe lelaki yang kamu iginkan, bahkan diriku kamu ciptakan menjadi tameng. Kemudian, kamu berubah pikiran, bagiku tak menjadi masalah karena itu hakmu. Tetapi mestinya kamu harus jujur, jangan justru terus menari diatas kebohongan.

" Mas, aku tidak berubah pikiran. !"" Sudah, nggak usah kita bicarakan itu lagi. Kita kembali bersahabat seperti sejak lima bulan lalu. Kalaupun kamu menganggapku cemburu, itu benar. Laura, nih kunci mobil, silahkan pulang duluan. Nanti aku pulang naik taksi. Mungkin besok pagi atau lusa akan menghadap Adrian, aku mau undur diri dari pekerjaan,” ujarku sambil menghabiskan minumanku yang tersisa, lantas meninggalkannya.

Laura berusaha menahan tanganku, kemudian melepaskannya, kemungkinan dia merasa malu dengan sejumlah pengunjung di mini bar itu. Aku kembali lagi ke mini bar karena kelupaan membayar minuman. Disana, Laura masih duduk termenung, kedua tangannya menopang wajah dengan tatapan hampa kedepan. Malam itu, aku menjadi manusia bebal. Tak sedikitpun hatiku terenyuh melihat dia yang terpuruk, duduk menyendiri.

***
Uang tunjangan hari raya dan gaji sebulan penuh yang masih utuh ku tukarkan dengan chips ( alat taruhan, pengganti uang tunai, pen.) Jumlah uang yang ditukarkan mendapat imbalan kamar gratis satu malam berikut voucher lunch dan dinner di restauran hotel itu. Sebelum duduk di meja bacarat, aku menaruh sejumlah taruhan di meja rolet pada angka sesuai tahun kelahiranku, hasilnya jeblok. Kemudian memasang berturut - turut pada angka sesuai tanggal kelahiran Magda, Laura dan Susan; semuanya ke laut, apes. Kurang lebih satu jam duduk dimeja bacarat, pikiran kurang konsentrasi sementara “modal” naik turun. Sambil menunggu pergantian shift para bandar, aku menuju ke night club dilantai dua diluar gedung casino. Sejenak aku mampir di mulut pintu mini bar, menoleh kedalam, Laura sudah tidak ada disana.

Dalam keremangan ruangan, mataku liar mencari Sonya, pramuria yang pernah menolongku ketika mabuk berat saat pertama aku berkunjung ke night club ini, namun tak kunjung tampak. Saat menikmati tembang-tembang manis dengan lirik-lirik cinta, pikiranku melayang kepada Laura. Tetapi malam ini aku telah “menyiksa”nya, entah dimana kini keberadaanya. Teguk demi teguk alkohol terus mengalir lewat tenggorokan tanpa kontrol.

Dari sejumlah perempuan malam yang menawarkan diri duduk bersamaku semuanya ku tolak.
Heh...Sonya dimana,” tanyaku setengah teler kepada seorang pramuria ketika menambah minumanku. “ Sebentar dia datang mas,” jawabnya.
“ Kalau dia sudah datang, tolong sampaikan, abang temannya Rina menungguuuu...., okey..?” kataku, sambil merogoh kantong dan memberinya selembar uang, tak tahu nilai nominalnya berapa.

Tak lama kemudian, semerbak wangi di sisiku menyadarkan kehampaan rasa. “ Bang, kebanyakan minum,” ujarnya. Selain karena remang dan mataku sudah mulai nanar, wajahnya tampakku samar.
“ Sonya? Darimana? Aku menunggumu sejak kemarin,!” ucapku. Sonya hanya ketawa mendengar ocehanku.
“ Bagaimana khabar Rina?. Dari mana saja bang sudah lama nggak pernah ketemu.”

Aku tak pedulikan pertanyaannya, “ Sonya temani aku dance,” ajakku sembari menarik lengannya, tetapi dia menolak.
“ Bang, terlalu banyak minum.” Aku terus membujuknya hingga akhirnya dia mau mengikutiku.

Didepan beberapa kali aku hampir jatuh, tak mampu menahan tubuh. Sonya mengajakku duduk kembali,” Bang, lebih baik istrahat dulu. Abang dilihatin sama security. Abang punya kamar? “
“ Iyalah, antarkan aku ke kamar. Kepalaku hampir mau pecah nih.”
Sonya menuntunku duduk ke tempat dudukku semula.. “ Abang tunggu disini, aku mau clock out.”
“ Lho baru datang sudah clock out?”
“ Nggak, aku sudah kerja sejak buka. Aku tadi lihat abang waktu masuk, cuma aku lagi kerja,” ujarnya lalu meninggalkanku. Sementara menunggu, aku meminta lagi minuman menyempurnakan “kebengalanku”. Tak berapa lama Sonya sudah ada disampingku. Tangan Sonya meminta gelas secara paksa dari tanganku saat mau meneguk.

” Cukup! Tadi aku bilang abang terlalu banyak minum. Abang mau Sonya antar atau mau jalan sendiri?” ancamnya. Aku hanya menurut kemauannya, takut ditinggal. Dia mendampingiku jalan hingga ke kamar. Segera aku berlari ke kamar mandi, dada terasa mau pecah, mau muntah. Sonya menemuiku di kamar mandi setelah aku membersihkan muntahan di dalam sink. Badan menggigil kedinginan ketika Sonya melap setengah tubuhku dengan handuk basah.

“ Mau telepon ke Medan lagi bang?” guyonnya sambil menuntunku keluar dari kamar mandi. Saat keluar dari kamar mandi, aku mendengar ketukan pintu kamar. Sonya membuka pintu setelah menghantarkan aku ke tempat tidur. Dia kaget ketika melihat adikku Lam Hot dan seorang perempuan bersamanya berdiri didepan pintu.

“ Hot ngapan malam-malam begini. cariin kakaknya? Sudah gede kok dicariin.?” tanya Sonya. Lam Hot tidak menjawab Sonya. Sayup kudengar Lam Hot melangkah cepat seperti mengejar seseorang, suaranya terdengar memanggil...” Mbak...tunggu. Mbak mau kemana.?” ( Bersambung)

Los Angeles, August 2009


Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/