Monday, August 31, 2009

Telaga Senja (111)


Before The Next Teardrop Falls
If he brings you happiness/ Then I wish you all the best/It’s your happiness that matters most of all/ But if he ever breaks your heart/If the teardrops ever start/I’ll be there before the next teardrop falls

Si te quire de verdad/Y te da felicidad/Te deseo lo mas bueno pa’ los dos/Pero si te hace llorar/ A mi me puedes hablar/Y estare contigo cuando triste estas

I’ll be there anytime/You need me by your side/To drive away every teardrop that you cried

And if he ever leaves you blue/Just remember, I love you/And I’ll be there before the next teardrop falls/And I’ll be there before the next teardrop falls
======================
Akhirnya Mawar menjaga bahkan merawat abang sejak dirumah sakit, di “klinik” pak Ginting,hingga di kamar abang. Belakangan, Mawar menuturkan semua itu ke Magdalena.”
“ Jadi Magda sudah tahu sejauh itu? Magda nggak pernah cerita kepadaku. Lalu apa komentar Magda.?”
=====================
“ Magda biasa-biasa saja. Aku juga salut hubungan keduanya, meski Magda tahu, dia tak merasa cemburu, bahkan dia mengucap terimakasih kepada Mawar, karena dia dapat menggantikan Magda merawat abang. Sampai sekarang mereka masih bersahabat. Abang saja yang mentiko membenci Magda tetapi dalam waktu yang sama menyayangi Mawar.”
“ Iya kebetulan Magda dan Mawar masih mempunyai hubungan keluarga. Menurut Susan, dalam situasi seperti itu, salah aku seandainya mencintai Mawar?”

“ Nggak ada yang menyalahkanmu. Tetapi itu hanya cinta pelarian, gara-gara cemburumu keterlaluan. Sekiranya dulu aku tahu, kisah asmaramu dengan Magda, aku juga tak akan mau abang dekati. Selain itu juga aku kasihan melihat abang seperti orang gila di diskotik.”
“ Susan juga nggak jujur. Bagaimana aku mau mendekatimu sementara kamu dosenku. Susan saja yang gila-gila, entah apa yang kau gilain,” balasku dengan gelak, disambut cubitan Susan, kuat sekali.

“ Abang masih berhubungan dengan Mawar?”
“ Nggak. Sudah lama tidak pernah terlintas dalam benakku. “
“ Bagaimana dengan Laura dan Rina ?”
“ Kemarin dulu sudahan dengan Laura. Yang lain? Belum ada. Rina teman karena aku pernah tinggal dirumahnya.
***
Setelah makan malam, Susan tidak mengijinkan aku pulang. Namun aku tetap bersikukuh harus pulang, dengan dalih, menyelesaikan pekerjaan kantor yang masih menumpuk. Susan tak percaya, dia menudingku sok rajin dan sok pahlawan, bahkan dia mencurigaiku pergi ke rumah Laura. Susan sukar percaya bila kami sudah berakhir dengan baii-baik. “ Magda juga sudah tahu itu. Atau Susan saja yang cemburu.?’

“ Nggak lagi Zung. Aku hanya ingin teman ngobrol. Juga rada takut sendirian tinggal dikamar!” dalihnya.
“ Lho, bagaimana kalau aku tak ada di Jakarta.?”
“ Aku tak membiarkan Hendra pergi ke Bandung.”
“ Hendra kan tahu kalau aku hanya mengawalmu siang hari. Bukan malam hari.?”
“ Zung, kamu merasa pengawalku.?”
“ Aku bangga menjadi pengawal seorang dosen bergolongan IV pula,” kelakarku.
“ Bang, nggak lucu.” ujarnya dengan wajah cemberut.
“ Cemberut dan cemburu beda tipis, artinya disana masih ada cinta; juga pengawal dengan pacaran beda segulir rambut.”
“ Zung, nggak usah pancing-pancing lagi,” ujarnya seraya bangkit dari kursinya menuju meja telephon, kemudian memutar nomor yang dituju.

" Hei... kenapa kamu sayang? Kamu sakit?”
“ Siapa itu? Hendra?”
“ Susan hanya menggoyangkan kepala sambil meneruskan percakapannya.”
“ Pacarmu iya,” tanyaku tak sabaran.
“ Iya! Kenapa? Kamu cemburu?” balasnya, sambil menutupkan gagang telepon dengan telapak tangannya, lantas menyerahkan telephon kepadaku. Ah...lagi-lagi Susan mengerjaiku. Tadinya aku kira dia menelepon suaminya: “ Hallo bang!” ujarnya diujung telephon.

“ Pulanglah bang, nggak baik kalau orang tahu kalian satu kamar,” anjur Magda. “Juga, kan nggak enak dengan om Hendra,” lanjutnya. Magda mengaku hari ini nggak masuk kerja; setelah siangnya Susan mencoba menghubunginya Magda ke kantor. Menjelang pukul sepulung malam, Susan akhirnya merelakan aku pulang kerumah setelah melalui perdebatan panjang. Tiba dirumah, ibu kos menyampaikan pesan Laura, supaya segera menghubungiya. Menurut ibu, Laura berulangkali meneleponku setelah sebelumnya mampir kali kedua.

Diliputi rasa tanya, aku segera bergegas kerumah Laura, setelah ku hubungi berulangkali tak ada seorangpun mengangkat telepon. Meski telah larut malam, Laura masih bersedia membuka pintu dan menerimaku bertamu. Dia mengajakku masuk kamarnya: “ Mas, kita bicara didalam saja, aku khawatir nanti ibu terbangun.” ujarnya. Sebelum Laura memulai pembicaraan, aku menanyakan apakah dia menghubungi Andrian perihal ketidakhadiranku. Laura hanya menjawab ”ya”, tak bergairah, dingin. Laura memulai pembicaraan setelah dia menyilakan aku duduk disisi tempat tidurnya, sementara dia duduk diatas kursi persis menghadapku. “ Maaf mas, kalau aku dianggap terlalu lancang mencampuri urusan pribadimu. Tetapi sebagai seorang sahabat mas dan mbak Magdalena, aku membaranikan diri bicara dengan mas.”
“ Tentang apa?” tanyaku tak sabaran.
“ Tentang ibu Susan.!?”
“ Ada apa dengan dia,?”

“Mas, aku tidak mempermasalahkan Susan, tetapi dengan mas sendiri.” Aku langsung menangkap maksudnya, dia keberatan aku bersama dengan Susan. Namun aku heran, mengapa Laura keberatan. Cemburu.? Bukankah beberapa hari lalu telah menyadari “penyelewengan “ hati kami berdua ? Kemudian sepakat untuk mengakhiri hubungan asmara yang berlangsung singkat itu. Laura melanjutkan pembicaraannya sebelum aku mengajukan pertanyaan ada apa dengan aku?.

“ Mas, Tadi pagi sebelum aku kekantor kebetulan aku telepon Rina. Dia beritahukan kalau mas nginap di hotel dengan ibu Susan. Bagaimana sih perasaan mas tidur bersama dengan perempuan yang telah bersuami? Sekali lagi maaf, kalau aku mencampuri urusan pribadimu.”
“ Laura keberatan atau mewakili perasaan Magdalena.?”
“ Mewakili perasaan perempuan yang masih waras mas.”
“ Maksudmu Susan perempuan nggak waras, begitu.?”
“ Terserah apa kesimpulan mas.”
“ Laura! Karena aku lelaki masih waras, maka aku menolak tidur sekamar dengannya. Makan bareng, ngobrol sampai tengah malam iya. Tetapi tidak tidur sekamar. Tidur bareng iya. Bukankah setiap malam aku juga tidur bareng dengan Laura?” gurauku menghilangkan ketegangan.

“ Mas, nggak lucu. Kapan aku tidur bareng dengan mas.!” balasnya dengan bibir gemetar menahan marah.
“ Setiap malam Laura!. Laura tidur di kamarmu, aku tidur dikamarku...”
“ Mas...! Aku serius!” hentaknya menutupi rasa malunya sambil melemparkan bantak kewajahku, kuat.

“ Luara! Rupanya untukku tidak ada lagi ruang untuk bergurau setelah kita mengakhiri keterpautan hati. Persahabatan itu ternyata bermakna, kala dilabur asmara. Kesabaran yang Laura miliki, terhadapku, hilang seiring berakhirnya alunan irama bernuansa cinta. Laura, telah melampiaskan amarahmu tanpa dasar itu, kamu telah puas? Aku mohon ijin pulang. Selamat malam Laura.!” ujarku. Laura Segera mendekapku sesaat aku beranjak dari tempat dudukku.
“Tunggu dulu mas, aku belum selesai bicara.!”
“Menunggu!? Kemudian kamu akan mengusirku seperti seorang tikus tak waras.!?” ( Bersambung)

Los Angeles, August 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment