Tuesday, September 29, 2009

Telaga Senja (130)


Cats : Where have I been wrong
I’ve searched the places /I’ve searched them all /Searched among the faces /Searched along the road

Where am I to find you? /Where am I to go? /Never understanding /Why you run out on me
Please tell me /Where have I been wrong?
Where have I been wrong? /Where have I been wrong? /Have I to pay /For loving you?

Where have I been wrong? /I can’t go on /I can’t make pain /With someone new /I don’t feel the cold rain /I don’t feel the wind /Walking round in circles /Never reaching the end
Where am I to find you? Where am I to go? Never understanding /Why you walked out on me
Please tell me /Where Where have I been wrong?

Where have I been wrong? /Where have I been wrong? /Have I to pay /For loving you?
Where have I been wrong? /I can’t go on /I can’t make pain /With someone new
===================
" Sudah Laura. Cukup! Tidak usah lagi menabur cuka dalam luka," balasku memotong kalimatnya.
" Mas terluka? Siapa melukai siapa?"
" Iyalah, aku terlanjur telah melukaimu. Terserah kamu mau memaafkan atau tidak." ujarku sambil menginggalkannya di kamar.
====================
PENYESALAN selalu datang terlambat. Bebal? Iya itulah “reward” yang paling pantas kuperoleh saat pertama aku menerima kepercayaan dari bossku. Tia sudah tidak ada lagi dalam kamarku ketika aku terusir dari kamar Laura. Semua berkas yang telah selesai ku sulap raib bersamanya. Aku pasrah apapun yang terjadi, termasuk pemecatan dari kerjaan aku siap menerimanya.

Pagi itu, bagai tubuh tanpa roh, jiwa melayang entah kemana. Satu persatu barang bawaanku kukumpulkan. Disudut koper itu ku temukan envelope kuning berukuran kwarto. Disampulnya tertulis; “ Untuk pak Tan Zung & Ibu Lala” Dibawah sudut envelope tertulis ucapan singkat:
” Terimakasih atas kerjasama yang baik.” Diujung tulisan tertanda Cecep & Tia. Tangan ku gemetaran setelah membuka sedikit di jung envelope.

Khawatir Laura datang ke kamar, aku membawa koper ke dalam kamar mandi. Masih dengan tangan gemetar aku menemukan beberapa gepok lembaran uang sepuluh ribuan di dalam envelope itu. ( saat itu nilai nominal tertinggi masih Rp 10.000). Jumlah uang yang ada setara dengan 2/3 dengan jumlah yang seharusnya mereka kembalikan ke kas perusahaan atau setara dengan dua tahun gajiku. Posisi envelope kupindahkan ke paling bawah pakaian, tak tahu berbuat apa. Niat mengembalikan uang itu urung karena schedule keberangkatan kereta kurang dua jam lagi.

Sepertinya handuk tak mampu lagi menampung peluh bercucuran dari kening, sementara tubuhku ditutupi keringat dingin. Aku segera membenamkan tubuh dalam bath tub yang berisi air dingin, sedikit membantu mengurangi gelisah. Aku tak pedulikan ketukan pintu kamar ketika sedang berendam dalam kemelut jiwa di kamar mandi. Ketukan pintu itu kembali menggangu kesendirian. Aku menghukum diriku sendiri. Sikap sinis Laura dan “hadiah” hasil jarahan Tia membuat diriku merasa terasing. Kini ketukan pintu kamar itu semakin “ganas”. Aku bergegas keluar dengan lilitan handuk pada bawah tubuhku yang masih masih kuyup.

Laura mempelototiku ketika aku membuka pintu. “ Mas, kenapa susah benar membuka pintunya? Sedang asyik menghitung jerih payahmu,?” tanyanya, sorotan matanya tajam menusuk ke seluk -seluk kalbu, sesak aku. Aku diam tak mau menanggapi ucapannya. Laura menahanku ketika berbalik menuju kamar mandi.

“ Kenapa mas diam,? Puas dengan hasil keringatnya?” cecernya. Hampir saja aku meledak, kalau bukan menyadari kesalahku. “Iya, Laura aku telah menghitung semuanya, cukup banyak. Mereka juga memberi bagian untuk mu?” ujarku pelan bak orang ketakutan.
“ Mas, pikir aku manusia sampah!?”
“ Nggak! Aku hanya meberitahukan, kalau mereka memberimu sampah...eh..maksudku jatah...”
“ Makan mas sendiri jatahmu itu,” kejarnya.
“ Iya, mau tak mau aku makan jatah ku. Bagaimana dengan jatahmu?” ujarku enteng tanpa beban lagi. Habis sudah rasa takut, timbul rasa jengkel. Laura menahanku saat mau kembali kekamar mandi.

“ Laura, aku mau pakaian dulu? Emang maumu ingin melihatku seperti ini? Dasar perempuan genit,” gurauku. Tiba-tiba Laura melepaskan pegangannya. “ Jawab dulu, Laura mau melihatku berkubang basah lebih lama lagi . Nggak apa-apa, aku siap menahan dingin demi kepuasanmu,” ejekku. Aku segera manangkap tangannya ketika mau mendarat dipipiku.
” Minta kok main tampar. Uhhh...dasar permpuan,” ucapku ngenyek.
“Masss...!” teriaknya sambil melepaskan tangannya dari gemgamanku, lantas dia meninggalkanku dikamar.

“ Sampai ketemu di Jakarta mbak,” teriakku dari selah pintu ketika dia berlari kecil kekamarnya. Laura terus melangkah tanpa menolehku. Empat puluh lima menit menjelang keberangkatan kereta aku kaget atas kedatangan Tia ke kamarku. “ Ayo mas, sebelum kereta berangkat, “ ujarnya. Sebelumnya, aku sudah ada niat pulang bareng dengan Laura meski tiket kereta telah ditangan. Tetapi karena kami langsung”perang” saat bertemu, niat itupun batal.
Tampaknya Tia puas hasil rekayasaku. Hal itu kurasakan selama perjalanan ke stasion kereta. Bicaranya lancar dan ceria. Selain itu dia masih menyisipkan kalimat pujian, gombal habis. Tia segera permisi meninggalkanku di halte setelah melihat kedatangan Laura. “ Mas, aku mau balik lagi kekantor. Tuh..Lala datang,” tunjuknya kearah mobil Laura. Sadar Laura amarahnya masih membara, mungkin juga cemburu, kunyalakan lagi sumbu kompor ke seribu.

Aku menahan Tia sejenak, pura-pura menanyakan sesuatu. Ditengah orang banyak, aku mencium pipi Tia sebelum dia berlalu. Aku tahu itu tabu. Aku tak peduli. Yang penting aku mau “kerjain” Laura. Tia masih sempat berpapasan dengan Laura ketika mau menemuiku di sisi pintu kereta. Buru-buru aku masuk kereta setelah Laura mendekat kearahku. Dia mengejarku ke pintu masuk, berteriak memanggilku,” Mas...tunggu sebentar. Kita pulang bareng. Aku nggak ada teman,” ajaknya. Nggak enak dilihatin orang banyak, aku turun dari kereta. Aku segera menjauh ketika Laura menarik koper kecil yang ku tenteng.

“ Jangan Laura. Isinya banyak sampah,” ujarku sambil menghindar dari jangkauan tangannya.
“ Mas...aku capek nyetir sendiri. Mas..tolong aku.”
“ Aku juga capek Laura. Semalan aku hanya tertidur di kamar mandi. Aku mau istrahat di kereta sambil menghitung ulang sampah hasil jarahan itu,” sindirku.
“ Mas, tak punya perasaan,” ujarnya dengan bibir bergetar.

“ Ya.Perasaanku telah hilang diracuni bisa ular dan belut. Pulanglah sendiri. Hati-hati dijalan, sampai ketemu di kantor.”
Laura menatapku sendu. Matanya memerah kemudian dia dan aku sama-sama berbalik langkah. Aku masuk kedalam kereta, Laura menuju mobil membawa sejuta kecewa. ( Bersambung)

Los Angeles. September 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/