Tuesday, August 11, 2009

Telaga Senja (98)


Tonight you’re mine Completely./You give your love So sweetly. /Tonight the li-i-ight/Of love is in your eyes,/But will you love me tomorrow?

Is this a lasting/Treasure Or just a moment’s/Pleasure? Can I belie-e-eve/The magic of your sighs?/Will you still love me tomorrow?

Tonight with words Unspoken/You say that I’m the only one,/But will my heart /Be broken/When the night (When the night..)/ Meets the morning sun- (Meets the morning sun..)

I’d like to know/That your love/Is love I can/Be sure of./So tell me no-o-w/And I won’t ask again./Will you still love me tomorrow?/Will you still love me tomorrow?
==========================
Aku masuk keruang tamu, pamit kepada pembantu rumah tangga dan kepada Gunawan. Segera bergegas keluar rumah sebelum Laura mengejar dan menahanku. Aku menghentikan taksi yang kebetulan lewat didepan rumah. Dari kejauhan aku menoleh kebelakang, Laura sudah berada di depan rumah, menoleh kearah kiri dan kanan jalan, dia kelimpungan.
===========================
TIBA dirumah, aku temukan pintu kamar berisi tempelan potongan kertas lengkap berisi nama dan nomor telepon berikut isi pesan, waktu dan tanggal. Yang paling banyak telpon dari Medan; Susan enam kali dan Magda lima kali. Keduanya berisi pesan: “ Harap segera menghubungi setelah tiba dirumah.”

Karena badan sangat letih, aku menunda untuk menghubungi pemilik pesan, Magda dan Susan. Namun, hanya beberapa saat setelah rebahan, ibu kost mengetuk kamar, dia mengingatkan agar segera menghubungi Susan dan Magda.” Sepertinya mereka ada urusan penting,” ucapnya.
“ Nantilah bu, aku sangat letih. Minta tolong bu, kalau ada telepon dari siapapun nggak usah aku dibanguni.” Aku terbangun setelah perut mengiba untuk diisi pada pukul sembilan malam. Ibu menyiapkan ulang makan malam. Menurut ibu kos, jatahku dilahap habis oleh adikku Lam Hot. Diruang makan ibu kos melaporkan, adikku Lam Hot datang, “ Dia kelaparan. Ibu tadi yang menyuruh dia makan bagianmu, kasihan. Lam Hot pesan, segera telepon kalau sudah bangun. Sejam kemudian, sekitar pukul tujuh, teman sekantormu Laura datang. Tapi tak berapa lama, dia langsung pulang bersama temannya, tetapi nggak tinggalkan pesan kepada ibu.” ujarnya mengakhiri laporannya.

“ Temannya? Siapa.?”
“ Nggak kenal, Ibu belum pernah ketemu. Dia pakai kacamata, agak gemukan !” jawab ibu kos sambil berjalan masuk kekamarnya.
Laura datang berdua? Berdua dengan siapa? Om Laurance masih berada di Yogya. Apa mungkin dengan Gunawan? Ah...Persetan! Entah dengan siapapun dia, apa peduliku, kataku dalam hati. Aku duduk di meja tulis sambil membaca catatan pekerjaan kantor yang masih belum terselesaikan. Usai membuka-buka catatan, mataku tertuju pada sepotong kertas, terletak pada ubin di dekat pintu kamarku. Sebelumnya ibu kos telah memberitahu kalau Laura menulis sesuatu, tetapi tidak tahu suratnya taruh dimana.

Diatas sepotong kertas tertulis: “ Mas Tan Zung, tadi siang aku kira mas bercanda mau pulang. Sepeninggal mas, aku berulangkali menelepon kerumah ini tetapi ibu berpesan, mas nggak boleh diganggu. Aku juga datang, pintu kamar tertulis, "jangan diganggu." Maaf mas, kalau selama ini aku mengganggumu.” Thanks-Laura.

Penasaran, segera aku periksa pintu. Ternyata tulisan yang lolos dari perhatianku ketika keluar masuk kamar itu, masih menempel pada pintu kamar. Oyaya..kerjaan si ibu, dasar Londo. Padahal aku pesan, jangan dibangunkan kalau ada yang menelpon. Walapupun malam telah larut, agar kesalahfahaman ini tidak berbuah”petaka”, aku menghubugi Laura ke rumah tantenya lewat telepon. Aku senyam senyum mendengar jawaban pembantu rumahtangganya om Felix; “ Mbak Laura sedang istrahat, katanya tidak boleh diganggu. Bapak namanya siapa ? teleponnya nomor berapa? Nanti dikasihkan kepada mbak.!” ucapnya.

Tidak lama setelah aku telepon, Laura menghubungiku: “ Om Tan Zung sudah bangun? Sudah boleh diganggu.?” ejeknya ketika aku mengangkat telepon. Laura dapat menerima penjelasanku bahwa, tulisan yang ada di pintu kamarku itu atas inisyatif ibu itu sendiri. “ Ibu itu melihatku sangat letih, bahkan makan malampun aku terlambat. Suratmu yang sangat menggaggu itu sudah kusimpan, kelak akan ku taruh di museum,” ujarku disambut tawa Laura. "Eh...Laura...tadi kamu datang dengan siapa? Gunawan?"
" Mas, kalau bercanda jangan keterlaluan."
" Mbak, aku nggak bercanda, bertanya!?"
" Mas cemburu?"
" Lho, pertanyaanku belum dijawab, malah dibilang cemburu ?"
" Aku datang dengan saudara sepupu. Kebetulan dia datang bertamu ke rumah om Felix. Jelas.?"
" Aneh! Kok Laura merasa diselidiki karena aku bertanya siapa temanmu ya!?"
" Halah...mas, kalau nggak ada rasa cemburu ngapain pakai tanya segala siapa lelaki itu.!"
" Mbak. Aku bukan cemburu, kasihan "ya". Sebagai teman dekat pastilah prihatin karena kamu gonta ganti pasangan, seperti perempuan murahan."
" Mas, aku perempuan murahan.!?"
" Lama-kelamaan kamu seperti Magda. Gampang tersinggung, marah dan ngambek."
" Nggak mas. Aku nggak seperti siapa-siapa. Aku iya aku."
" Iya wis. Aku mau tidur dulu. Selamat malam mbak.!"

“ Tunggu! Kenapa sih tadi siang mas marah-marah,?”
“ Bukan marah. Kesal, karena Laura keras kepala. Aku sudah ingatkan, jangan menghindar malah kamu ngumpet. Banyak cara untuk menghindar, tetapi tidak harus bersembunyi atau melarikan diri.”
“ Kenapa mas langsung pulang.?”
“ Karena diusir !”
“ Laura nggak ngusir. Aku kesal, mas juga selalu menghindar. Mas kan tahu, aku nggak suka lihat dia.”
“ Kenapa nggak langsung ngomong pada Gunawan.?”
“ Sudah! Kemarin setelah mas kabur, aku suruh dia pulang."
" Terus..?"
" Dia pulang. Kalau juga nggak mengerti, keterlaluan.”
“ Makanya aku kemarin langsung pulang sebelum aku dibilang keterlaluan.”
“ Masss....!!! Aku maksudkan Gunawan, bukan mas,” suaranya pelan, sendu diujung telepon. (Bersambung)

Los Angeles, August 2009


Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/